Stella semakin terlihat bahagia. Matanya berbinar antusias. Hatinya penuh dengan bunga-bunga indah."Bo-Boleh undang semuanya?" ulang Stella."Tentu. Aku ingin semua penduduk Conrad menyaksikan hari bersejarah itu."Wanita itu mengucapkan terima kasih. Ia berkata dengan nada manis bahwa pernikahan mereka memang akan menjadi sejarah di daerah Conrad.“Oh ya, bagaimana laporan keuangannya? Ada yang perlu aku bantu?” tanya Stella penuh perhatian.“Tidak. Sudah selesai. Aku akan memberikan Claire seperempat dari harta pribadiku.” Rainer berkata santai.“Apa?” Stella mendelik tak suka. “Itu banyak sekali, King. Sudah kuduga, wanita kota itu hanya menginginkan hartamu saja.”“Sebenarnya, Claire tidak menuntut apa-apa. Aku hanya memberikan penghargaan moril selama menjadi istriku,” jawab Rainer tegas.“Apa maksudmu penghargaan moril?” Stella mengangkat kedua alisnya.“Asal kamu tau, Claire masih suci saat kami menikah. Aku adalah lelaki pertama untuknya. Anggaplah itu merupakan penghargaan m
Rainer menatap Stella yang kini lengan kiri dan kanannya dipegang erat oleh petugas kepolisian. Ia tak perduli, Stella meronta-ronta dan bersimbah air mata. Dengan tatapan sinis, Rainer turun dari panggung dan melenggang santai masuk ke dalam manornya.Para tamu masih terkejut. Sementara layar lebar di seluruh daerah Conrad masih menayangkan bukti-bukti kecurangan dan pengkhianatan Stella pada keluarga Conrad. Rainer memilih tidak mau terlibat dalam proses pengadilan Stella.Dion yang melihat sahabatnya berjalan masuk ke manor, bergegas mengikuti. Ia merangkul bahu Rainer saat mereka telah bersisian.“Gila. Aku suka sekali rencanamu ini,” puji Dion.“Maaf, tidak memberitahumu. Aku harus memikirkannya masak-masak sendiri. Lagipula, terus-terang saja aku takut rencana itu bocor,” aku Rainer.“Aku mengerti, walaupun rasanya kesal juga karena kau terkesan tidak percaya padaku.”Rainer menyeringai. “Mempercayai penggosip sepertimu? Yang benar saja!”Akhirnya Dion terkekeh. Mereka masuk ke
Rainer pulang dengan dada berbalut perban. Rasa sakit masih sangat terasa di kulit. Namun begitu, ia bertahan untuk tidak meminum obat penghilang nyeri.“Sakit di kulit ini tidak sebanding dengan rasa sakit di hatiku, Claire. Kau membuatku tidak waras,” gumam Rainer mengusap pelan perban di dadanya.Lelaki itu mengelap tubuhnya. Setidaknya dalam kurun waktu satu minggu ia belum bisa mandi. Luka tatonya akan rentan infeksi jika terkena air.Setelah mengelap tubuh, Rainer mengoleskan krim tato. Ia mengusap pelan tulisan nama Claire di dadanya. Tidak besar, tetapi cukup untuk mengingatkannya terus pada kenangan dengan wanita cantik itu.Selesai berpakaian, Rainer keluar dari kamar. Ia kini berada di rumah orang tuanya. Manor masih dalam pembersihan sehabis pesta besar-besaran di halamannya.“Mama,” sapa Rainer.“Hai, King.” Maya hanya membalas tanpa menoleh pada sang putra.Rainer mengamati sekeliling. Maya sedang membereskan dapur. Ia mengeluarka seluruh perabotan dan menatanya kembali.
Kedua tangan Rainer berada di pinggang. Ia menatap Papanya dengan galak. Sementara Adam hanya pasrah sambil melirik kesal pada Maya."Sudah kukatakan jangan katakan apa pun dulu pada King. Kenapa kamu tidak sabar sekali?" Adam memprotes Maya yang membocorkan rahasia mereka."Aku sebagai ibunya tak tahan melihat putraku menderita. Aku takut ia bunuh diri." Maya mencebik pada Adam."Apa kau gila? Mana mungkin putra kita memiliki pikiran seperti itu?""Tapi banyak kasus terjadi seperti itu. Patah hati hingga rasanya tak ingin hidup lagi."Sahut-sahutan antara Mama dan Papanya baru terjadi kali ini sepanjang hidup Rainer. Maya biasanya adalah istri penurut dan jarang membantah. Adam adalah lelaki yang menghargai pendapat istrinya."Ehm!" Rainer berdehem keras untuk menghentikan debat kedua orang tuanya.Akhirnya Adam dan Maya kini terdiam dan menatap Rainer."Jadi benar? Aku dan Claire tidak bercerai?" Rainer menuntut jawaban pada sang Papa.Adam menggeleng. "Tidak .... ""Yes!" pekik Rai
Segera, Rainer menatap televisi. Latar belakang drama itu sedang berada di sebuah pulau pribadi yang cantik. Laut yang terlihat jernir dan pasir yang halus.Pulau Seju. Rainer tersenyum pada Granny. Lalu menggeleng lemah."Claire tidak di sana, Granny. Dia tidak mungkin ke sana tanpa passportnya." Rainer kembali menatap pulau itu.Bahkan, Rainer tau, Claire pernah berkunjung ke sana. Ia diundang salah satu peluncuran film terbaru. Claire juga banyak berfoto dengan para selebriti di sana."Tidak ada yang istimewa hingga Claire harus ke sana," gumam Rainer.Esok harinya, Rainer kembali tidak berselera makan. Bahkan tanpa sadar ia makan makanan yang ia kurang suka. Sayuran hijau, misalnya.Maya mengamati Rainer yang makan tanpa ekspresi. Tangannya mengacak-acak makanan di piring tanpa memakannya. Lelaki itu juga sangat sering mengembuskan napas berat.Kemudian, Rainer sadar saat ia mengunyah. Rasa sayuran hijau membuatnya berhenti makan. Menelan semua yang ada di mulut dan minum air puti
Daerah ini adalah kampung halaman Mila. Setelah beberapa waktu, Claire dan Mila kerap berbincang. Office girl itu lalu bercerita tentang rencananya untuk cuti pulang kampung setelah Arden di operasi.Dengan mobil sewaan, Claire ikut bersama Mila, Arden dan Wilma. Mila yang mengatur akomodasi dan memberikan uang kepada Mila. Tentu saja office girl itu merasa tidak enak hati jika memesan mobil yang kurang nyaman untuk sang bos.Mila juga yang memesan hotel terbaik di daerahnya untuk Claire. Setelah memastikan Claire telah nyaman, ia dan keluarganya pulang ke rumah.Laut indah di depannya membuat Claire tersenyum. Bertelanjang kaki, Ia berjalan-jalan sendirian di pantai berpasir putih halus. Baru kali ini ia menyusuri pantai dengan sangat santai.“Kakak, mau beli kalung?” tawar seorang anak kecil perempuan membawa manik-manik yang diuntai panjang.Claire tersenyum. Anak itu cukup manis. Kulitnya coklat terbakar matahari pantai.“Boleh. Berapa harganya?”Anak itu sangat manis. Mereka dudu
Salah seorang berandalan mendengus kasar. Ia menghampiri Claire yang masih menginjak dada temannya. Dengan sigap, Claire memasang kuda-kuda."Kita lihat kemampuan bela dirimu, Nona cantik."Claire mencebik. "Hati-hati, harga dirimu bisa jatuh ke dasar lautan.""Sombong! Aku tak sabar ingin menyentuhmu nona cantik."“Kak!” pekik Jaden. “Hati-hati.”“Jaden, menjauhlah dulu sebentar,” pinta Claire sambil menunjuk arah untuk bersembunyi.Si lelaki menghampiri dan mulai menyerang Claire. Wanita cantik itu tersenyum melihat tehnik serangan lawan yang kemampuannya jauh dibanding dirinya.Claire hidup di kota besar dengan tingkat kejahatan yang cukup tinggi. Sejak kecil, Brandon sudah meminta putrinya menguasai salah satu jenis bela diri.Dan ternyata hari ini Claire bisa memanfaatkan ilmunya. Wanita itu tersenyum penuh arti. Ia sangat percaya diri dapat mengalahkan lelaki berandalan itu.Claire menendang kuat menggunakan punggung kaki. Lelaki itu meringis. Sebelum berdiri tegak, Claire sudah
Claire menggeleng mendengar pernyataan Rainer. Kebohogan apa lagi yang dilakukan lelaki ini. Padahal ia sudah muak berbohong dan bersandiwara.Tangan Rainer meraih lengan atas Claire dan menyeretnya perlahan untuk kembali berjalan.“Kita bicara di hotel saja.”Mereka berjalan bersisian tanpa bicara lagi. Claire terkesiap saat sadar ternyata Rainer mengetahui hotel dan kamar yang ia tempati.Telapak tangan Rainer terbuka ke arah Claire. “Berikan kartu akses kamarmu padaku.”Claire menggeleng. Ia sungguh tidak mengerti apa maunya Rainer. Mereka sudah selesai. Tak ada lagi yang perlu dibicarakan. Terutama di dalam kamar hotel.Rainer mendekati Claire dan menatap tajam mata wanita cantik itu. “Aku sudah bilang bahwa kita masih suami istri. Jadi, tak masalah berada di dalam kamar yang sama!”“Baik. Kita bicarakan ini. Aku sungguh tidak mengerti apa yang kamu utarakan barusan.”Dengan cepat Claire menempelkan kartu akses ke alat pemindai hingga pintu kamar hotelnya terbuka. Ia masuk lebih d
Mansion ramai dengan tamu-tamu kecil. Mereka berlarian di taman yang di sulap menjadi halaman playground anak-anak. Berbagai macam mainan dan hidangan tersedia di sana.Karakter-karakter dari berbagai film anak-anak muncul di taman. Mahluk-mahluk kecil itu menjerit senang. Kelakuan mereka tentu saja membuat senyum tak hentinya terukir dari wajah para orang tua.Begitu pula dengan Claire dan Rainer. Pasangan suami istri itu duduk bersama Brandon, Adam, Maya dan Granny. Meskipun ramai, mata mereka tak pernah lepas dari empat sosok tak jauh dari mereka.Rinna dan Linda sedang menemani adik-adiknya. Xavian dan Azran, anak lelaki kembar yang tampan itu kini sedang merayakan ulang tahun pertama mereka."Ternyata Rinna dan Linda sangat telaten menemani adik-adik mereka, ya." Maya menatap bangga pada cucu-cucunya yang rupawan."Kalian mendidik mereka dengan tepat. Kami bangga sekali." Adam menimpali ucapan istrinya."Betul. Aku pun sangat bangga pada cucu-cucuku. Aku senang sekali pamer merek
Rinna dan Linda terlihat saling menatap. Ditunggu beberapa saat pun, tetap saja keduanya diam sambil menundukkan kepala. Hingga akhirnya Rainer berjongkok di depan putri-putrinya.“Papi tau sebenarnya kalian belum mengerti bagaimana memiliki adik. Kalian hanya merasa telah memiliki satu sama lain hingga tidak memerlukan adik.” Rainer mengungkapkan pikirannya.Lelaki itu lalu menjulurkan tangan kepada sang istri. Claire segera menggenggam tangan Rainer. Mereka saling bertatapan dengan senyum di wajah masing-masing.Tangan Rainer lalu mengusap lembut perut Claire. Rinna dan Linda memperhatikan apa yang dilakukan Papi mereka.“Tetapi, di dalam perut Mommy ini sudah ada bayi. Adik kalian. Tuhan yang memberikannya kepada kita, seperti kalian.”“Kita tidak boleh menolaknya karena ini merupakan anugrah,” imbuh Rainer lagi.Lalu, Claire pun ikut berjongkok dan menatap kedua putrinya.“Jadi, jangan membenci sesuatu yang diberikan Tuhan. Apalagi kalian belum melihat dan merasakan bagaimana menj
“Mommy dan Papi ‘kan setiap hari bertemu dengan kalian. Jika kalian mau berlibur sebentar bersama Grandpa, Kakek, Nenek dan Gangan, pasti kami izinkan,” ucap Rainer pada putri-putrinya.“Memangnya Mommy dan Papi tidak kangen kami nanti?” Rinna bertanya dan menatap kedua orang tuanya.“Iya. Kami saja baru berpisah sebentar, kangen,” timpal Linda sambil memeluk saudara kembarnya.Claire mengamati putri kembarnya yang kini berpelukan. Sungguh sulit memisahkan mereka berdua. Padahal psikolog anak sudah mengingatkan bahwa mereka harus paham bahwa mereka adalah dua individu.Selama ini, Rinna dan Linda bertindak layaknya mereka adalah satu orang. Semua harus sama. Pakaian, mainan, juga berkegiatan.Pernah suatu ketika Claire dan Rainer membawa masing-masing satu anak. Hebatnya, keduanya tetap melakukan kegiatan yang sama meski berbeda jarak.Saat Rinna makan spaghetti, ternyata Linda pun meminta makanan yang sama. Saat Linda tidur, termyata Rinna pun tidur. Hingga akhirnya Claire dan Rainer
“Ada apa dengan menantu cantikku?” Maya bertanya pada Brandon.“Beberapa hari yang lalu, Claire sempat terlambat makan karena sibuk meeting. Aku pikir, sakitnya sudah membaik. Entahlah.” Brandon mencoba menjelaskan.Di dalam kamar, Rainer mengumpulkan rambut Claire dan memeganginya. Tangannya yang bebas mengusap-usap lembut punggung sang istri. Claire sedang memuntahkan makanan yang baru saja ia makan.Rainer yang membersihkan bekas muntahan di wastafel kamar mandi. Claire keluar dan segera berbaring. Rasanya ia mual sekali.“Aku ambilkan jeruk dingin mau?”Claire menggeleng pada tawaran Rainer. “Aku mau lemon hangat saja.”“Oke. Sebentar, ya.”Sebelum keluar kamar, Rainer mengusap sayang kepala sang istri. Mencium dahinya dalam-dalam. Lalu, membuka pintu untuk kembali ke dapur.Namun, ia segera tertegun. Di depan pintu, Brandon, Adam menggendong Rinna, Maya menggendong Linda hingga Granny berdiri sambil menatapnya. Mereka menuntut penjelasan.“Kenapa putriku muntah-muntah?” Brandon m
Si kembar berlarian di dalam pesawat pribadi milik Rainer. Mereka hanya duduk manis selama makan. Setelah itu kembali aktif hingga akhirnya tertidur.“Pantas saja kamu sering meringis saat mereka di dalam perut, My Lady.” Rainer menggeleng sambil mengusap sayang kepala kedua putrinya.“Iya, mereka memang aktif sejak embrio.” Claire terkekeh.Rainer tersenyum. Ia menciumi wajah putri-putrinya. Kemudian kembali duduk di samping Claire.Rinna dan Linda tidur di kursi yang berhadapan dengan kursi Claire dan Rainer. Sementara Brandon telah beristirahat di kamar pesawat.“Bagaimana kalau yang ini?” Rainer bertanya pelan sambil mengusap perut Claire. “Apa ia juga seaktif kakak-kakaknya?”Tangan Claire melapisi tangan Rainer, lalu menggeleng. “Janin ini belum bergerak. Tetapi, karena kehamilan pertama sudah merasakan gerakan aktif, aku tidak akan kaget kalau kali ini pun janinnya setipe.”Kekehan keluar dari tenggorokan Rainer. Ia merentangkan tangan dan merangkul sang istri. Kepala Claire ki
Sampai di kafe, Rainer langsung memesan segelas jus buah. Ia memberikannya kepada Claire sambil menunggu makanan datang. Claire perlahan meminumnya jusnya.“Enak? Gulanya cukup?”Claire hanya mengangguk lalu memegangi kepalanya yang terasa berat.Akhirnya, Rainer berinisiatif memijat tengkuk sang istri. Merasa tidak bertambah baik, Claire menepis tangan Rainer dan menggeleng untuk memberi kode agar berhenti memijatnya.Kemudian, Rainer hanya mengusap-usap pelan punggung sang istri.Makanan mereka datang. Rainer menawarkan untuk menyuapi Claire, namun istrinya menggeleng. Claire makan sedikit demi sedikit.“Mungkin seharusnya aku minum obat lambung dulu, ya.” Claire berkata saat ia kesulitan menelan makanannya.“Mau aku belikan obat lambung di apotik dulu?”“Tidak usah. Aku sudah terlanjur makan.”Rainer mengangguk. Ia kembali memperhatikan Claire makan. Hanya setengah porsi yang berhasil dihabiskan.“Apa masih terasa pusing?”Claire mengangguk. “Sekarang malah tambah mual.”“Hmm … mun
Rainer datang saat ke perusahaan Rischmont untuk menjemput putri-putrinya. Dari jauh ia sudah melihat si kembar yang berlarian di lobi. Sedikit kekacauan mereka buat saat berbagai kertas, alat tulis atau bahkan kabel komputer menjadi mainan.“Nona, nanti kesetrum. Letakkan kabelnya, ya.” Pengasuh Linda melarang nona mudanya menarik-narik kabel.“Kabelnya lucu. Warnanya ungu.” Linda beralasan saat pengasuh bertanya kenapa ia senang sekali pada kabel tersebut.“Nona Rinna, itu kertas penting. Gambar di kertas lain saja, ya.” Kini pengasuh memohon pada nona mudanya agar kertas-kertas yang ia ambil diletakkan ke tempat semula.Kedua pengasuh bernapas lega, saat melihat Rainer masuk. Lelaki dengan kemeja lengan panjang yang digulung hingga sikunya itu tersenyum pada kedua anak perempuan yang menunjuk-nunjuk dirinya.“Papi.” Keduanya lalu berlarian menghampiri Rainer.Kedua tangan Rainer terentang lebar. Ia memeluk kedua putrinya sekaligus kemudian menciuminya satu persatu. Setelah itu ia m
“Grandpa tidak mengerti. Coba ceritakan apa yang terjadi.”Claire membiarkan si kembar bercerita. Bibir mungil kedua putrinya bergerak-gerak tak henti. Cerita mereka sungguh random.Dari kesal karena mereka akan dipisahkan di kelas berbeda. Kemudian melihat Papi mencium Mammy di bibir. Lalu, permainan menarik di playground sekolah. Hingga mereka kemudian kembali pada cerita saat bertemu guru pertama kali di sekolah.“Aku tidak suka gurunya!” Si kembar berkata berbarengan.“Guru itu tidak melakukan apa pun pada kalian.” Claire menimpali ucapan si kembar.“Memangnya kalau memisahkan anak berarti tidak melakukan apa pun?”Umur mereka baru dua tahun. Namun, sungguh, terkadang Claire sampai bingung menjawab pertanyaan atau bahkan terpana dengan ucapan yang meluncur dari bibir putri-putrinya.“Sekolah melakukannya agar kalian bisa mandiri tanpa ketergantungan satu sama lain.”Sejenak si kembar saling menatap wajah masing-masing. Tiba-tiba dua anak kecil perempuan itu saling berpelukan erat.
Dua Tahun Berikutnya.“Erinna Rainclare Conrad dan Erlinda Rainclare Conrad.”Dua anak perempuan berlarian menghampiri seorang wanita yang memanggil nama lengkap mereka. Rainer dan Claire hanya terkekeh dan mengikuti putri-putri mereka.“Yang mana Rinna dan yang mana Linda?” Wanita yang berprofesi guru sekolah itu bertanya pada dua anak cantik di depannya.“Aku Rinna.”“Aku Linda.”Bergantian anak kecil itu menjawab. Wanita di depan mereka melirik Rainer dan Claire yang mengangguk membenarkan. Maklum wajah kedua kembar itu sangat mirip.Rinna dan Linda saat ini sedang trial untuk masuk sekolah playgroup. Keduanya sangat bersemangat. Meskipun menurut Rainer keduanya masih sangat kecil untuk bersekolah, tetapi akhirnya ia menyetujui saat putri-putrinya itu terus merengek.“Rinna di kelas A, dan Linda di kelas B,” ucap guru tersebut.Kedua anak perempuan itu lalu menatap guru mereka. Kemudian menatap Rainer dan Claire. Rinna dan Linda mundur teratur sambil menggelengkan kepala.“Rinna ma