Rainer terpaku menatap Papa-nya. Bagaimana Papa bisa tau? Jangan sampai Stella jadi curiga dan menutup kebohongannya.Dengan cepat, Adam menceritakan bagaimana ia bisa mengetahui tentang bibit-bibit dan pupuk yang hilang. Selama ini ia telah memperhitungkan penggunaan bibit dan pupuk yang ia buat.Sambil mondar-mandir, Adam berkata, “Harusnya kita masih memiliki persediaan sekitar enam bulan ke depan. Tetapi, setelah dicek bagian gudang, persediannya hanya tinggal tiga bulan.”“Oke. Papa sabar dulu.” Rainer berusaha menenangkan Adam.“Tidak. Kita harus segera menemukan pencurinya, King. Papa tidak mau hasil kerja keras Papa hilang begitu saja!” Adam berdiri menghadap putranya dengan mata berair.Baru sekarang Rainer melihat Adam kacau seperti ini. Lelaki yang selalu dapat mengontrol emosinya kini gundah. Rainer sampai memegangi tubuh Papanya yang bergetar marah.Rainer menatap sekeliling. Mereka masih berada di dapur yang menyatu dengan ruang makan. Perlahan, Rainer menyeret Adam untu
Selesai dari apoteker, Dion menju sebuah restoran. Ia sengaja memilih tempat makan tertutup agar bisa bicara leluasa. Seorang lelaki berperawakan pendek sudah menunggunya.“Ardin,” sapa Dion.“Tuan Dion,” balas lelaki yang dipanggil Ardin.Mereka bersalaman. Dion duduk berhadapan dengan Ardin. Keduanya memesan makanan dan minuman.Sambil menunggu, Dion berbasa-basi. Ia bercerita tentang cuaca yang saat ini tidak menentu dan membuat istrinya terkena flu berat.“Semoga istri Anda lekas pulih.” Ardin mengucapkan kalimat prihatinnya.“Aamiin. Terima kasih.”Setelah itu, Dion memperhatikan sekelilingnya. Tidak ada yang mencurigakan. Ia memberi kode pada Ardin dengan menganggukan kepalanya.Ardin memberikan sebuah flashdisc. Dion segera membuka data dengan laptopnya. Mata lelaki itu membulat sempurna melihat apa yang tersimpan di sana.Dengan santai, Ardin meminum minuman sodanya. Sesungguhnya, Ardin adalah seorang detektif dari luar kota. Ia datang ke daerah Conrad karena Dion menyewa jasa
Stella semakin terlihat bahagia. Matanya berbinar antusias. Hatinya penuh dengan bunga-bunga indah."Bo-Boleh undang semuanya?" ulang Stella."Tentu. Aku ingin semua penduduk Conrad menyaksikan hari bersejarah itu."Wanita itu mengucapkan terima kasih. Ia berkata dengan nada manis bahwa pernikahan mereka memang akan menjadi sejarah di daerah Conrad.“Oh ya, bagaimana laporan keuangannya? Ada yang perlu aku bantu?” tanya Stella penuh perhatian.“Tidak. Sudah selesai. Aku akan memberikan Claire seperempat dari harta pribadiku.” Rainer berkata santai.“Apa?” Stella mendelik tak suka. “Itu banyak sekali, King. Sudah kuduga, wanita kota itu hanya menginginkan hartamu saja.”“Sebenarnya, Claire tidak menuntut apa-apa. Aku hanya memberikan penghargaan moril selama menjadi istriku,” jawab Rainer tegas.“Apa maksudmu penghargaan moril?” Stella mengangkat kedua alisnya.“Asal kamu tau, Claire masih suci saat kami menikah. Aku adalah lelaki pertama untuknya. Anggaplah itu merupakan penghargaan m
Rainer menatap Stella yang kini lengan kiri dan kanannya dipegang erat oleh petugas kepolisian. Ia tak perduli, Stella meronta-ronta dan bersimbah air mata. Dengan tatapan sinis, Rainer turun dari panggung dan melenggang santai masuk ke dalam manornya.Para tamu masih terkejut. Sementara layar lebar di seluruh daerah Conrad masih menayangkan bukti-bukti kecurangan dan pengkhianatan Stella pada keluarga Conrad. Rainer memilih tidak mau terlibat dalam proses pengadilan Stella.Dion yang melihat sahabatnya berjalan masuk ke manor, bergegas mengikuti. Ia merangkul bahu Rainer saat mereka telah bersisian.“Gila. Aku suka sekali rencanamu ini,” puji Dion.“Maaf, tidak memberitahumu. Aku harus memikirkannya masak-masak sendiri. Lagipula, terus-terang saja aku takut rencana itu bocor,” aku Rainer.“Aku mengerti, walaupun rasanya kesal juga karena kau terkesan tidak percaya padaku.”Rainer menyeringai. “Mempercayai penggosip sepertimu? Yang benar saja!”Akhirnya Dion terkekeh. Mereka masuk ke
Rainer pulang dengan dada berbalut perban. Rasa sakit masih sangat terasa di kulit. Namun begitu, ia bertahan untuk tidak meminum obat penghilang nyeri.“Sakit di kulit ini tidak sebanding dengan rasa sakit di hatiku, Claire. Kau membuatku tidak waras,” gumam Rainer mengusap pelan perban di dadanya.Lelaki itu mengelap tubuhnya. Setidaknya dalam kurun waktu satu minggu ia belum bisa mandi. Luka tatonya akan rentan infeksi jika terkena air.Setelah mengelap tubuh, Rainer mengoleskan krim tato. Ia mengusap pelan tulisan nama Claire di dadanya. Tidak besar, tetapi cukup untuk mengingatkannya terus pada kenangan dengan wanita cantik itu.Selesai berpakaian, Rainer keluar dari kamar. Ia kini berada di rumah orang tuanya. Manor masih dalam pembersihan sehabis pesta besar-besaran di halamannya.“Mama,” sapa Rainer.“Hai, King.” Maya hanya membalas tanpa menoleh pada sang putra.Rainer mengamati sekeliling. Maya sedang membereskan dapur. Ia mengeluarka seluruh perabotan dan menatanya kembali.
Kedua tangan Rainer berada di pinggang. Ia menatap Papanya dengan galak. Sementara Adam hanya pasrah sambil melirik kesal pada Maya."Sudah kukatakan jangan katakan apa pun dulu pada King. Kenapa kamu tidak sabar sekali?" Adam memprotes Maya yang membocorkan rahasia mereka."Aku sebagai ibunya tak tahan melihat putraku menderita. Aku takut ia bunuh diri." Maya mencebik pada Adam."Apa kau gila? Mana mungkin putra kita memiliki pikiran seperti itu?""Tapi banyak kasus terjadi seperti itu. Patah hati hingga rasanya tak ingin hidup lagi."Sahut-sahutan antara Mama dan Papanya baru terjadi kali ini sepanjang hidup Rainer. Maya biasanya adalah istri penurut dan jarang membantah. Adam adalah lelaki yang menghargai pendapat istrinya."Ehm!" Rainer berdehem keras untuk menghentikan debat kedua orang tuanya.Akhirnya Adam dan Maya kini terdiam dan menatap Rainer."Jadi benar? Aku dan Claire tidak bercerai?" Rainer menuntut jawaban pada sang Papa.Adam menggeleng. "Tidak .... ""Yes!" pekik Rai
Segera, Rainer menatap televisi. Latar belakang drama itu sedang berada di sebuah pulau pribadi yang cantik. Laut yang terlihat jernir dan pasir yang halus.Pulau Seju. Rainer tersenyum pada Granny. Lalu menggeleng lemah."Claire tidak di sana, Granny. Dia tidak mungkin ke sana tanpa passportnya." Rainer kembali menatap pulau itu.Bahkan, Rainer tau, Claire pernah berkunjung ke sana. Ia diundang salah satu peluncuran film terbaru. Claire juga banyak berfoto dengan para selebriti di sana."Tidak ada yang istimewa hingga Claire harus ke sana," gumam Rainer.Esok harinya, Rainer kembali tidak berselera makan. Bahkan tanpa sadar ia makan makanan yang ia kurang suka. Sayuran hijau, misalnya.Maya mengamati Rainer yang makan tanpa ekspresi. Tangannya mengacak-acak makanan di piring tanpa memakannya. Lelaki itu juga sangat sering mengembuskan napas berat.Kemudian, Rainer sadar saat ia mengunyah. Rasa sayuran hijau membuatnya berhenti makan. Menelan semua yang ada di mulut dan minum air puti
Daerah ini adalah kampung halaman Mila. Setelah beberapa waktu, Claire dan Mila kerap berbincang. Office girl itu lalu bercerita tentang rencananya untuk cuti pulang kampung setelah Arden di operasi.Dengan mobil sewaan, Claire ikut bersama Mila, Arden dan Wilma. Mila yang mengatur akomodasi dan memberikan uang kepada Mila. Tentu saja office girl itu merasa tidak enak hati jika memesan mobil yang kurang nyaman untuk sang bos.Mila juga yang memesan hotel terbaik di daerahnya untuk Claire. Setelah memastikan Claire telah nyaman, ia dan keluarganya pulang ke rumah.Laut indah di depannya membuat Claire tersenyum. Bertelanjang kaki, Ia berjalan-jalan sendirian di pantai berpasir putih halus. Baru kali ini ia menyusuri pantai dengan sangat santai.“Kakak, mau beli kalung?” tawar seorang anak kecil perempuan membawa manik-manik yang diuntai panjang.Claire tersenyum. Anak itu cukup manis. Kulitnya coklat terbakar matahari pantai.“Boleh. Berapa harganya?”Anak itu sangat manis. Mereka dudu