Claire menyesali pertengkarannya dengan Rainer. Ia membolak-balik tubuh di ranjang. Sulit sekali untuk tertidur. Padahal besok, ia berencana untuk bekerja.Akhirnya, Claire keluar dari kamar. Ia menuju dapur dan mengambil kotak obat-obatan. Berniat meminum sebutir obat tidur agar ia bisa segera terlelap.“Kenapa harus minum obat itu?”Claire berjengit kaget. Obat itu sampai meluncur jatuh dari tangannya. Ia membalik tubuh dan melihat Rainer berdiri sambil memegang gelas.“Kamu mengagetkanku!” desis Claire sambil mengatur napasnya.Lelaki itu tidak menjawab. Ia memungut pil dari lantai lalu membuangnya ke tempat sampah. Kemudian, Rainer mendekati Claire.“Tidak bisa tidur?”Claire mundur teratur. Ia tidak menjawab. Hingga akhirnya tubuhnya menabrak pelan meja di belakangnya.Rainer tidak berhenti. Lelaki itu tetap mendekat. Hingga tubuh mereka kini rapat tanpa ada jarak sama sekali.Gelas yang dipegang Rainer ditaruh di meja. Kedua tangan Rainer kini memegang ujung meja, seolah mengunc
“Kenapa?” Rainer menepuk paha Claire saat melihat istrinya termenung seusai membaca pesan dari Papa.Claire menggeleng. “Nggak papa. Hanya aku bingung ternyata Daddy dan Papa sudah terlihat dekat begini.”Claire mengembalikan telepon genggam Rainer. Namun lelaki itu meminta Claire menyimpannya karena ia masih sibuk menyetir.“Saat kamu sakit dan Tuan Brandon menjenguk ke manor, aku lihat dalam satu hari mereka memang sudah mulai dekat, kok.” Rainer memberikan pendapatnya. “Jadi, aku tidak heran.”“Oh ya? Bukannya saat Daddy datang ke manor, ia sangat marah?”“Iya. Memang Tuan Brandon marah sekali padaku. Tetapi, setelah itu Papa kelihatannya berhasil menenangkan Tuan Brandon.”Wajah Claire merengut. Brandon bukan tipe lelaki yang senang bersosialita kecuali untuk berbisnis. Atau mungkin kedekatan itu karena mereka berbesan?Mobil mewah Claire akhirnya sampai di gedung mewah milik keluarga Clarence. Perusahaan Rischmont menempati lantai lima hingga duapuluh. Sementara di lantai bawah t
"Tentu. Lunar juga mengajak Matt, suaminya.""Ah, oke. Kita double date."Dengan santai, Rainer meraih tangan Claire untuk ia genggam. Claire pasrah menerima perhatian dari suaminya."Lunar." Rainer mengetuk pintu ruang adik iparnya."Masuk, Kak." Suara Lunar terdengar hingga Rainer melebarkan pintu untuk Claire.Claire masuk dan melihat Lunar sedang berbicara dengan telepon. Wanita itu tampak sigap. Menelepon sambil membereskan mejanya.Lunar memberi kode untuk menunggu sebentar. Claire mengangguk.Sambil menunggu, Claire mengamati sekeliling. Untuk ukuran jabatan wakil pemimpin perusahaan, ruangan ini terbilang kecil. Bahkan tidak ada sofa untuk menerima tamu."Ruangan ini sedikit mirip dengan ruanganku. Hanya saja ruangan ini lebih feminim," bisik Rainer."Iya." Claire berkomentar singkat.Claire berjanji dalam hati untuk membicarakan tentang hal ini pada Daddy Brandon. Lunar mungkin akan bertambah semangat jika diberi apresiasi lebih."Maaf membuat kalian menunggu," ucap Lunar sam
Pernyataan Adam membuat yang mendengar menatap lelaki itu dengan pandangan bingung. Namun, Adam hanya menyikapinya dengan senyum penuh arti pada sang putra.Sementara Rainer berpikir Papa-nya menyindir karena masalah dengan Stella di kampung halaman.Untung saja Brandon mulai membicarakan tentang bisnis. Ia sangat tertarik dengan cara Adam berbisnis di daerah Conrad. Hingga kemudian mereka terlibat perbincangan tentang daerah kelahiran Rainer tersebut.“Maaf, semuanya. Jam istirahatku sebentar lagi selesai. Aku izin pergi lebih dulu.” Matt berpamitan pada semuanya.“Kak Claire, aku ikut Matt saja. Kantor kami satu arah, kok.” Lunar pun berpamitan.Semuanya mengangguk. Mereka melambai pada Matt dan Lunar yang berjalan keluar restoran.“Apa Matt tidak kau berikan jabatan di perusahaanmu?” tanya Adam pada Brandon. “Kasihan, menantumu itu masih terikat jam kerja.”“Matt tidak mau. Mungkin suatu saat bisa aku rayu. Keahliannya hampir setara dengan Claire.” Brandon beralasan.“Ah, iya. Aku
Saat ini Claire menggunakan lingerie tipis. Bahkan dadanya setengah terbuka. Hampir seluruh kulit mulusnya terpampang.Dengan gerakan pelan, Claire mengenakan kimono tidur. Berusaha tidak menghiraukan tatapan bergairah dari Rainer. Namun, ia tidak sempat menghindar saat lelaki itu mendekatinya.“Kenapa ditutup?” Rainer memprotes kimono yang menutup tubuh istrinya.“Malu!” Claire menjawab asal.Rainer terkekeh geli. “Aku sudah lihat semuanya. Kenapa mesti malu.”Claire hanya mencebik sebagai jawaban. Rainer menuntunnya ke ruang makan. Lelaki itu sudah menyiapkan makanan.“Tadi chef aku suruh datang dan memasak sup ginseng untukmu. Makanlah dulu. Setelah itu baru tidur.” Rainer berkata sambil mendorong satu kursi untuk diduduki Claire.“Aku malas makan.” Claire menolak sambil mengerutkan kening menatap mangkuknya yang telah diisi sup oleh Rainer.Hembusan napas panjang terdengar dari hidung Rainer. Lelaki itu akhirnya duduk menyamping kemudian mengambil mangkuk milik istrinya. Perlahan
Jantung Rainer berdebar kencang. Menyesali setiap ucapan yang keluar dari bibir Claire. Akhirnya, kekesalannya timbul juga."Oh, begitu? Jadi, kamu ingin sekali melihatku menikah dengan Stella?" Rainer menantang Claire dengan mata nyalang menatap wajah cantik di hadapannya.Claire tentu saja menjadi terkejut melihat perubahan sikap Rainer. Lelaki itu memandangnya dingin. Rasanya Claire jadi membeku melihat tatapan tersebut."Itu juga impian adikmu, Nita, bukan? Dan kamu sangat ingin mewujudkan apa yang Nita inginkan sebagai bentuk rasa bersalahmu padanya." Claire membalas dengan suara pelan namun masih jelas terdengar.Rainer mendekati Claire. Berlama-lama memandang wajah yang selalu terbayang di pelupuk matanya. Menatap bibir yang selalu ia rindukan untuk dikecup.Tapi kali ini wajah itu membuat harga dirinya sebagai lelaki tercoreng. Ditolak berkali-kali, dilabeli pembual, penggombal bahkan buaya. Rasanya semua itu sudah cukup. "Baik. Jika itu maumu. Aku akan menikahi Stella," desi
Sesaat mereka bertatapan. Wajah keduanya serius tanpa senyum. Hingga akhirnya ketukan di pintu memutuskan tatapan tersebut.Rainer berdiri dan membuka pintu. Mila mengungkapkan kedatangannya pada sang asisten. Rainer mengangguk dan melebarkan pintu untuk Mila.Claire bangkit dari kursinya dan pindah ke sofa agar Mila bisa leluasa membersihkan meja. Wanita itu melirik Rainer yang mengikutinya.“Berkas ini yang harus kamu periksa. Ini yang harus ditanda-tangani.” Rainer memberikan berkas serta pulpen kepada Claire.“Oke. Aku periksa sebentar.”Keduanya lalu terlihat sibuk mendiskusikan berkas. Pernyataan terakhir Rainer terpaksa tertunda pembahasannya karena ada Mila.“Maaf, Nyonya Claire, Tuan Rainer, sudah selesai.” Mila menunduk santun.Rainer berdiri dan menghampiri meja. Mengamatinya sejenak, kemudian meminta Mila membawakan air mineral untuk Claire. Wanita muda itu mengangguk dan segera pergi.Sambil menunggu Mila, Claire kembali menandatangani berkas. Rainer mengambil dua botol a
“Iya. Aku lihat Mila keluar dari sini sambil menangis. Ada apa?” tanya Rainer sambil membereskan berkas di meja Claire.“Tidak tau. Aku tadi membelikannya makanan. Ia memang terlihat terharu.” Claire membalas. “Tangannya sampai gemetaran saat makan.”Kemudian, Claire bercerita bahwa Mila menyisakan makanannya. Office girl itu meminta sisa makanan untuk dibawa pulang. Setelah diizinkan ia terlihat semakin terharu.Claire berbicara sambil menatap layar laptopnya. Ia tak tau Rainer memandanginya dengan senyum bangga. Baru kali ini, Claire berinteraksi langsung dengan seorang office girl.“Mila gadis miskin yang baik. Ia makan dengan gemetaran mungkin karena sejak pagi perutnya belum terisi.” Rainer menjelaskan.Claire mengangkat kepalanya. Ia menatap Rainer dengan tatapan penuh tanya akan pernyataannya barusan.“Bagaimana kamu tau?”“Aku pernah mengobrol dengannya di pantry. Saat itu jam istirahat. Mila hanya makan biskuit.”“Ya Tuhan.”“Aku senang kamu berderma kepadanya. Ia memang butu