Rainer termenung. Sesekali mengembuskan napas berat. Ia tak sadar seseoang sudah duduk di sampingnya.“Aku berharap kamu tidak lama di luar negeri.”Suara wanita menyadarkan Rainer dari lamunannya. Lelaki itu menoleh dan menahan napas beberapa detik saat tau Stella sudah berada di sisinya.“Tidak tau.” Rainer menjawab singkat.“Sebenarnya aku ingin ikut, tetapi Papa minta aku menjaga perusahaan di sini.”Lelaki itu mendengus kesal dalam hati. Menjaga yang dimaksud Stella mungkin berbuat lebih banyak kelicikan. Sayang, saat ini ia harus berpura-pura tidak ada masalah yang ia temukan pada perusahaannya.“Papa benar.” Rainer membalas pelan.“Aku rela melakukannya bertahun-tahun demi kamu, King.”“Dan aku memintanya secara profesional. Kamu dibayar cukup besar untuk jabatan yang kamu dapatkan di perusahaan Conrad di sini.”Terdengar hembusan napas panjang dari hidung Stella. Ia mulai meracau, mengatakan selalu merindukan Rainer. Hadirnya ia di rumah ini merupakan caranya untuk melampiaska
Maya memeluk Claire. Mengusap lembut punggungnya. Lalu, mencium dahi sang menantu.“Tidurlah, Claire. Besok, kalian berangkat dini hari.” Maya Menggandeng lengan Claire, membawanya keluar dari ruang keluarga.Di dalam kamar, Claire sendirian. Rainer belum selesai berbincang dengan Adam. Atau entah ke mana suaminya tersebut.Koper-koper di depan pintu sudah siap diangkut. Rainer yang membereskan semuanya. Claire menggeleng samar mengingat bagaimana lelaki itu selalu membantunya.Saat Claire sudah berbaring di ranjang, ia mendengar pintu kamar dibuka perlahan. Seseorang, pasti Rainer, terdengar mendorong koper-koper keluar. Setelah itu ia mendengar suara Rainer memerintahkan sesuatu.Setelah itu, pintu kembali tertutup. Claire merasakan ranjang bergerak sedikit saat Rianer naik ke atasnya. Lelaki itu terdengar mengembuskan napas panjang.Dini hari, saat alarm berbunyi, Claire bangun. Perlahan ia menoleh ke samping tempat tidur dan tidak menemukan Rainer di sana. Wanita cantik itu segera
Claire merasa Rainer menatapnya aneh. Ia memang seperti sedang bergumam sendiri. Namun, ia yakin Rainer mengerti maksudnya.“Terus-terang saja setelah menjalaninya, aku sama sekali tidak menyesal.” Rainer akhirnya menjawab.Wanita itu menyandarkan kepalanya. Matanya menatap langit-langit pesawat. Sama seperti Rainer, ia merasa pernah menikmati hari-hari kebersamaannya bersama Rainer.“Apa rencanamu setelah ini?” tanya Claire tanpa menatap Rainer.“Masih sama. Menjalankan bisnis keluarga. Kamu?”Bahu Claire naik dan turun. “Entahlah. Rasanya aku ingin pergi jauh dari kesibukan sebagai pebisnis.”Sontak, kepala Rainer menoleh cepat pada Claire. Dengan nada khawatir bertanya apa maksud dari perkataannya. Claire hanya menggeleng samar.“Konsekuensi yang akan aku dapatkan jelas, Rainer. Lunar akan menjadi pemimpin perusahaan setelah aku mengakui sandiwara ini.” Claire berkata pelan.“Aku tidak setuju!” Rainer berkata dengan nada tinggi.“Sssttt.” Claire mengingatkan Rainer bahwa mereka tid
“Claire, tunggu!”Wanita itu berhenti. Tangannya dicekal Rainer hingga menghentikan langkah. Dengan cepat, Claire menepis genggaman lelaki itu dari tangannya.“Kita akan mengakhiri semua ini, Rainer.”“Kenapa?”“Karena ini tidak benar. Kita menikah bukan karena cinta.”“Kita telah mengaku saling mencintai. Kamu ingat?”Claire terkesiap sejenak. Iya, ia ingat pernah mengucapkan kalimat itu pada Rainer. Wanita itu mengembuskan napas panjang.“Tetapi, saat itu aku sedang kehilangan ingatan,” ucap Claire pelan.“Maksudmu? Saat ini kamu tidak merasakan apa yang aku rasakan?” desak Rainer.Mata Claire menatap mata emerald itu. Kepalanya menggeleng.“Tidak, aku rasa tidak.”Melihat Rainer terpaku mendengar pernyataannya, Claire langsung berlari masuk ke dalam kamar. Ia mengunci pintu dan langsung menjatuhkan diri ke ranjang besarnya.Tak terasa air mata mengalir dari mata. Dadanya terasa sesak sekarang. Apa yang pernah ia lakukan bersama Rainer terbayang di pikirannya.Batin Claire bertanya,
Selesai makan malam, tiga rombongan membubarkan diri. Brandon, Andrea dan Lunar pergi lebih dulu dengan satu mobil. Adam dijemput Paman Neil menyusul beberapa saat kemudian.Claire memperhatikan Rainer yang berbicara pada petugas valet parking. Lelaki itu benar-benar mengacuhkan dirinya. Tidak seperti biasa, yang selalu perhatian.Perlakuan Rainer membuat Claire semakin yakin ia harus segera menghentikan sandiwara ini. Ia sudah tidak perduli dengan karir dan nama baiknya yang mungkin akan tercemar. Apalagi, Rainer sudah terlihat acuh padanya.Mobil mereka datang saat Claire sedang termenung. Rainer menyentuh lengan Claire untuk menyadarkannya. Wanita itu tersentak dan mengangguk saat Rainer memintanya masuk ke dalam mobil yang sudah dibukakan pintunya oleh petugas valet.“Kamu baik-baik saja?” Rainer berkata sambil menoleh sekilas pada Claire.“Iya. Aku baik-baik saja.” Claire membalas singkat.Wanita itu memang banyak termenung hari ini. Rainer pasti menyadarinya. Apalagi sebenarnya,
Rainer tidak fokus bekerja. Anthony menyadari itu. Pemilik perusahaan yang duduk di kursi besarnya tampak sangat murung."Ehm ... aku turut prihatin pada masalah kantor di Conrad. Dion menceritakannya kepadaku." Anthony memilih topik yang membuat Rainer tertarik.Benar saja. Rainer langsung menegakkan tubuh dan menatap Anthony."Apa Dion cerita sampai di mana perkembangan kasus itu?""Belum sampai mana-mana. Ia bergerak sendiri. Agak sulit. Dion harus mengetahui siapa yang berada di barisanmu atau sebaliknya."Rainer mengangguk setuju. Ia berkata memang meminta Dion untuk hati-hati."Sejujurnya, aku memiliki masalah pribadi yang berat," aku Rainer.Anthony memberikan perhatiannya. "Mau berbagi kesulitan itu padaku?""Maaf. Mungkin sebentar lagi akan terungkap. Jadi, ya, aku tidak bisa mengatakannya sekarang." Rainer mengembuskan napas beratnya."Paling tidak, perusahaan ini baik-baik saja. Bahkan semakin jauh berkembang setelah Perusahaan Rischmont menandatangani kerjasama dengan peru
"Papa mau membeli rumah di sini?""Aku belum bicara pada Papa. Agaknya ide itu tercetus begitu saja saat mereka berbincang berdua."Claire tidak bertanya lagi. Percuma. Mereka hanya bisa menerka-nerka.Rainer menepikan kendaraannya di sisi jalan sebuah restoran. Seorang pegawai membukakan pintu Claire. Rainer dengan sigap kembali mengulurkan tangan.Setelah mengucapkan terima kasih, Rainer juga menyelipkan uang tips pada pegawai tersebut. Kemudian, dengan santai mengenggam tangan Claire."Kamu mau makan lagi? Salad buah?" tawar Rainer sambil melihat menu."Boleh. Salad buah saja."Rainer mengangguk. Selain salad, ia juga memesan puding untuk Claire. Sementara ia sendiri memesan makanan berat karena akhirnya merasa lapar.Claire menatap Rainer yang makan dengan lahap. Sepertinya lelaki itu benar-benar kelaparan. Perlahan, ia makan puding dan salad buahnya.“Aku mau ke mall sebentar untuk membeli kosmetik. Sepertinya pouch kosmetik dan vitaminku tertinggal di rumah Papa.” Claire berkata
Claire menyesali pertengkarannya dengan Rainer. Ia membolak-balik tubuh di ranjang. Sulit sekali untuk tertidur. Padahal besok, ia berencana untuk bekerja.Akhirnya, Claire keluar dari kamar. Ia menuju dapur dan mengambil kotak obat-obatan. Berniat meminum sebutir obat tidur agar ia bisa segera terlelap.“Kenapa harus minum obat itu?”Claire berjengit kaget. Obat itu sampai meluncur jatuh dari tangannya. Ia membalik tubuh dan melihat Rainer berdiri sambil memegang gelas.“Kamu mengagetkanku!” desis Claire sambil mengatur napasnya.Lelaki itu tidak menjawab. Ia memungut pil dari lantai lalu membuangnya ke tempat sampah. Kemudian, Rainer mendekati Claire.“Tidak bisa tidur?”Claire mundur teratur. Ia tidak menjawab. Hingga akhirnya tubuhnya menabrak pelan meja di belakangnya.Rainer tidak berhenti. Lelaki itu tetap mendekat. Hingga tubuh mereka kini rapat tanpa ada jarak sama sekali.Gelas yang dipegang Rainer ditaruh di meja. Kedua tangan Rainer kini memegang ujung meja, seolah mengunc
Mansion ramai dengan tamu-tamu kecil. Mereka berlarian di taman yang di sulap menjadi halaman playground anak-anak. Berbagai macam mainan dan hidangan tersedia di sana.Karakter-karakter dari berbagai film anak-anak muncul di taman. Mahluk-mahluk kecil itu menjerit senang. Kelakuan mereka tentu saja membuat senyum tak hentinya terukir dari wajah para orang tua.Begitu pula dengan Claire dan Rainer. Pasangan suami istri itu duduk bersama Brandon, Adam, Maya dan Granny. Meskipun ramai, mata mereka tak pernah lepas dari empat sosok tak jauh dari mereka.Rinna dan Linda sedang menemani adik-adiknya. Xavian dan Azran, anak lelaki kembar yang tampan itu kini sedang merayakan ulang tahun pertama mereka."Ternyata Rinna dan Linda sangat telaten menemani adik-adik mereka, ya." Maya menatap bangga pada cucu-cucunya yang rupawan."Kalian mendidik mereka dengan tepat. Kami bangga sekali." Adam menimpali ucapan istrinya."Betul. Aku pun sangat bangga pada cucu-cucuku. Aku senang sekali pamer merek
Rinna dan Linda terlihat saling menatap. Ditunggu beberapa saat pun, tetap saja keduanya diam sambil menundukkan kepala. Hingga akhirnya Rainer berjongkok di depan putri-putrinya.“Papi tau sebenarnya kalian belum mengerti bagaimana memiliki adik. Kalian hanya merasa telah memiliki satu sama lain hingga tidak memerlukan adik.” Rainer mengungkapkan pikirannya.Lelaki itu lalu menjulurkan tangan kepada sang istri. Claire segera menggenggam tangan Rainer. Mereka saling bertatapan dengan senyum di wajah masing-masing.Tangan Rainer lalu mengusap lembut perut Claire. Rinna dan Linda memperhatikan apa yang dilakukan Papi mereka.“Tetapi, di dalam perut Mommy ini sudah ada bayi. Adik kalian. Tuhan yang memberikannya kepada kita, seperti kalian.”“Kita tidak boleh menolaknya karena ini merupakan anugrah,” imbuh Rainer lagi.Lalu, Claire pun ikut berjongkok dan menatap kedua putrinya.“Jadi, jangan membenci sesuatu yang diberikan Tuhan. Apalagi kalian belum melihat dan merasakan bagaimana menj
“Mommy dan Papi ‘kan setiap hari bertemu dengan kalian. Jika kalian mau berlibur sebentar bersama Grandpa, Kakek, Nenek dan Gangan, pasti kami izinkan,” ucap Rainer pada putri-putrinya.“Memangnya Mommy dan Papi tidak kangen kami nanti?” Rinna bertanya dan menatap kedua orang tuanya.“Iya. Kami saja baru berpisah sebentar, kangen,” timpal Linda sambil memeluk saudara kembarnya.Claire mengamati putri kembarnya yang kini berpelukan. Sungguh sulit memisahkan mereka berdua. Padahal psikolog anak sudah mengingatkan bahwa mereka harus paham bahwa mereka adalah dua individu.Selama ini, Rinna dan Linda bertindak layaknya mereka adalah satu orang. Semua harus sama. Pakaian, mainan, juga berkegiatan.Pernah suatu ketika Claire dan Rainer membawa masing-masing satu anak. Hebatnya, keduanya tetap melakukan kegiatan yang sama meski berbeda jarak.Saat Rinna makan spaghetti, ternyata Linda pun meminta makanan yang sama. Saat Linda tidur, termyata Rinna pun tidur. Hingga akhirnya Claire dan Rainer
“Ada apa dengan menantu cantikku?” Maya bertanya pada Brandon.“Beberapa hari yang lalu, Claire sempat terlambat makan karena sibuk meeting. Aku pikir, sakitnya sudah membaik. Entahlah.” Brandon mencoba menjelaskan.Di dalam kamar, Rainer mengumpulkan rambut Claire dan memeganginya. Tangannya yang bebas mengusap-usap lembut punggung sang istri. Claire sedang memuntahkan makanan yang baru saja ia makan.Rainer yang membersihkan bekas muntahan di wastafel kamar mandi. Claire keluar dan segera berbaring. Rasanya ia mual sekali.“Aku ambilkan jeruk dingin mau?”Claire menggeleng pada tawaran Rainer. “Aku mau lemon hangat saja.”“Oke. Sebentar, ya.”Sebelum keluar kamar, Rainer mengusap sayang kepala sang istri. Mencium dahinya dalam-dalam. Lalu, membuka pintu untuk kembali ke dapur.Namun, ia segera tertegun. Di depan pintu, Brandon, Adam menggendong Rinna, Maya menggendong Linda hingga Granny berdiri sambil menatapnya. Mereka menuntut penjelasan.“Kenapa putriku muntah-muntah?” Brandon m
Si kembar berlarian di dalam pesawat pribadi milik Rainer. Mereka hanya duduk manis selama makan. Setelah itu kembali aktif hingga akhirnya tertidur.“Pantas saja kamu sering meringis saat mereka di dalam perut, My Lady.” Rainer menggeleng sambil mengusap sayang kepala kedua putrinya.“Iya, mereka memang aktif sejak embrio.” Claire terkekeh.Rainer tersenyum. Ia menciumi wajah putri-putrinya. Kemudian kembali duduk di samping Claire.Rinna dan Linda tidur di kursi yang berhadapan dengan kursi Claire dan Rainer. Sementara Brandon telah beristirahat di kamar pesawat.“Bagaimana kalau yang ini?” Rainer bertanya pelan sambil mengusap perut Claire. “Apa ia juga seaktif kakak-kakaknya?”Tangan Claire melapisi tangan Rainer, lalu menggeleng. “Janin ini belum bergerak. Tetapi, karena kehamilan pertama sudah merasakan gerakan aktif, aku tidak akan kaget kalau kali ini pun janinnya setipe.”Kekehan keluar dari tenggorokan Rainer. Ia merentangkan tangan dan merangkul sang istri. Kepala Claire ki
Sampai di kafe, Rainer langsung memesan segelas jus buah. Ia memberikannya kepada Claire sambil menunggu makanan datang. Claire perlahan meminumnya jusnya.“Enak? Gulanya cukup?”Claire hanya mengangguk lalu memegangi kepalanya yang terasa berat.Akhirnya, Rainer berinisiatif memijat tengkuk sang istri. Merasa tidak bertambah baik, Claire menepis tangan Rainer dan menggeleng untuk memberi kode agar berhenti memijatnya.Kemudian, Rainer hanya mengusap-usap pelan punggung sang istri.Makanan mereka datang. Rainer menawarkan untuk menyuapi Claire, namun istrinya menggeleng. Claire makan sedikit demi sedikit.“Mungkin seharusnya aku minum obat lambung dulu, ya.” Claire berkata saat ia kesulitan menelan makanannya.“Mau aku belikan obat lambung di apotik dulu?”“Tidak usah. Aku sudah terlanjur makan.”Rainer mengangguk. Ia kembali memperhatikan Claire makan. Hanya setengah porsi yang berhasil dihabiskan.“Apa masih terasa pusing?”Claire mengangguk. “Sekarang malah tambah mual.”“Hmm … mun
Rainer datang saat ke perusahaan Rischmont untuk menjemput putri-putrinya. Dari jauh ia sudah melihat si kembar yang berlarian di lobi. Sedikit kekacauan mereka buat saat berbagai kertas, alat tulis atau bahkan kabel komputer menjadi mainan.“Nona, nanti kesetrum. Letakkan kabelnya, ya.” Pengasuh Linda melarang nona mudanya menarik-narik kabel.“Kabelnya lucu. Warnanya ungu.” Linda beralasan saat pengasuh bertanya kenapa ia senang sekali pada kabel tersebut.“Nona Rinna, itu kertas penting. Gambar di kertas lain saja, ya.” Kini pengasuh memohon pada nona mudanya agar kertas-kertas yang ia ambil diletakkan ke tempat semula.Kedua pengasuh bernapas lega, saat melihat Rainer masuk. Lelaki dengan kemeja lengan panjang yang digulung hingga sikunya itu tersenyum pada kedua anak perempuan yang menunjuk-nunjuk dirinya.“Papi.” Keduanya lalu berlarian menghampiri Rainer.Kedua tangan Rainer terentang lebar. Ia memeluk kedua putrinya sekaligus kemudian menciuminya satu persatu. Setelah itu ia m
“Grandpa tidak mengerti. Coba ceritakan apa yang terjadi.”Claire membiarkan si kembar bercerita. Bibir mungil kedua putrinya bergerak-gerak tak henti. Cerita mereka sungguh random.Dari kesal karena mereka akan dipisahkan di kelas berbeda. Kemudian melihat Papi mencium Mammy di bibir. Lalu, permainan menarik di playground sekolah. Hingga mereka kemudian kembali pada cerita saat bertemu guru pertama kali di sekolah.“Aku tidak suka gurunya!” Si kembar berkata berbarengan.“Guru itu tidak melakukan apa pun pada kalian.” Claire menimpali ucapan si kembar.“Memangnya kalau memisahkan anak berarti tidak melakukan apa pun?”Umur mereka baru dua tahun. Namun, sungguh, terkadang Claire sampai bingung menjawab pertanyaan atau bahkan terpana dengan ucapan yang meluncur dari bibir putri-putrinya.“Sekolah melakukannya agar kalian bisa mandiri tanpa ketergantungan satu sama lain.”Sejenak si kembar saling menatap wajah masing-masing. Tiba-tiba dua anak kecil perempuan itu saling berpelukan erat.
Dua Tahun Berikutnya.“Erinna Rainclare Conrad dan Erlinda Rainclare Conrad.”Dua anak perempuan berlarian menghampiri seorang wanita yang memanggil nama lengkap mereka. Rainer dan Claire hanya terkekeh dan mengikuti putri-putri mereka.“Yang mana Rinna dan yang mana Linda?” Wanita yang berprofesi guru sekolah itu bertanya pada dua anak cantik di depannya.“Aku Rinna.”“Aku Linda.”Bergantian anak kecil itu menjawab. Wanita di depan mereka melirik Rainer dan Claire yang mengangguk membenarkan. Maklum wajah kedua kembar itu sangat mirip.Rinna dan Linda saat ini sedang trial untuk masuk sekolah playgroup. Keduanya sangat bersemangat. Meskipun menurut Rainer keduanya masih sangat kecil untuk bersekolah, tetapi akhirnya ia menyetujui saat putri-putrinya itu terus merengek.“Rinna di kelas A, dan Linda di kelas B,” ucap guru tersebut.Kedua anak perempuan itu lalu menatap guru mereka. Kemudian menatap Rainer dan Claire. Rinna dan Linda mundur teratur sambil menggelengkan kepala.“Rinna ma