Zahra berjalan mendekat ke arah Riri lalu berbisik. “Udahlah, kalau iri bilang aja, lagian yang ngajak pacaran kan Adi, mana bisa ditolak. Kamu tahu sendiri kan kalau Adi itu banyak duitnya?!”
Dengan perasaan kesal campur kasihan, Riri memegang bahu Zahra lalu membalas bisikan Zahra. “Gws deh. Hati-hati, Adi punya banyak cewek.” Setelah membisikkan itu Riri berjalan melewati Zahra dan Adi untuk pergi ke apartemennya. “Dasar nyebelin!!...” teriak Zahra saat melihat Riri sudah berjalan menjauh. “Oh iya!! Besok anniversary aku sama Adi!! Datang ya ke hotel Arjuna!” lanjutnya. Riri hanya bisa menggelengkan kepalanya dan tetap berjalan. Ketika Riri sampai di depan pintu unit apartemennya, Riri baru saja mengingat kalau dirinya sedang marah dan ingin pergi ke orang tuanya yang masih berada di rumah budenya. “Sial! Aku lupa lagi.” Di sepanjang lorong berbagai sumpah-serapah keluar dari mulut Riri, entah itu untuk Leon, Zahra, ataupun pamanya. Di tengah-tengah kekesalan Riri, tiba-tiba saja ada suara seseorang yang sangat dia kenal. “Mau ke mana kamu!!” Suara yang tinggi dengan nada menyolot, Riri kenal sekali siapa pemilik dari suara itu. Dengan kesal Riri menengok samping kanan untuk melihat orang yang baru saja memanggilnya. Riri menatap tajam kearah suaminya yang berdiri dengan keringat bercucuran. “Bukan urusanmu!” Kesal karna mendapatkan seperti itu Leon berjalan menghampiri Riri lalu menarik jaketnya. “Mau dibawa ke mana?!!” teriak Riri kencang namun tak mendapatkan sahutan dari Leon. Leon tetap diam dengan wajah seramnya sambil menyeret Riri menuju lift. Di sepanjang perjalanan Riri terus meronta dan Leon hanya diam saja. “Aku nggak mau balik ke sana!! Di sana ada orang nyebelin!!” teriak Riri lagi. “Kamu di sini? Om dari tadi cari kamu loh.” Riri berdecih sebal saat melihat wajah pamannya keluar dari balik pintu apartemennya. “Halo tuan Ganada, selamat siang,” sapa salah satu teman paman Abdul.Tak hanya satu saja, semua teman paman Abdul langsung mengerumuni Leon dan Riri.
Alis Leon mengkerut melihat ada banyak sekali orang-orang di apartemennya. Riri yang melihat itu langsung berbisik pelan. “Aku nggak sengaja buka pintunya. Tapi bukan aku kok yang kasih tahu alamatnya." Leon melirik Riri sebentar lalu menatap tajam ke arah paman iparnya. “Kamu masuk dulu, ini urusanku.” Riri menatap Leon bingung. “Aku maksudnya??” tanya Riri sambil menunjuk dirinya sendiri. Leon hanya diam dan mengangguk sebagai jawabannya. Walaupun bingung Riri tetap menuruti agar tidak mendapat masalah.Entah apa yang Leon bicarakan pada paman dan teman-teman berandalnya itu, Riri tak tahu. Yang jelas, suaminya itu bisa mengusir mereka dengan mudah.
Keesokan harinya, Riri penasaran dengan undangan yang dilontarkan Zahra padanya. Memikirkan mungkin ada keuntungan yang bisa dia dapatkan saat menghadiri undangan tersebut, seperti bertemu teman yang bisa memberikannya lowongan pekerjaan, mungkin … akhirnya Riri memutuskan untuk datang.
Tentu, setelah mendapatkan izin dari Leon, dan bahkan pria itu sendiri yang mengantarnya ke hotel tempat acara tersebut diadakan.
“Kamu belum pernah kan datang ke hotel bintang 5?”Sesampainya di tempat acara, kalimat cemoohan langsung diterimanya dari salah satu temannya.
Bukannya norak atau kampungan, namun Riri benar-benar takjub dengan tatanan, hiasan, dan interior hotelnya. Hotel yang saat ini dia datangi benar-benar lebih bagus dan lebih indah dari hotel yang sebelumnya dia datangi dengan Leon. Riri memutar badannya dan menatap tajam ke arah tiga perempuan dan satu laki-laki yang berdiri dengan angkuh di hadapannya. ‘Niatnya mau healing malah ketemu masalah di sini. Ya salah aku juga sih karena nekat datang ke sini.’ “Kok dia bisa sampai di sini sih? Rusak pemandangan aja!” kesal Wulan yang merupakan salah satu teman satu kelas Riri dulu. “Aku kok yang mengundang dia ke sini, lagian dulu kan kita pernah deket,” ucap Zahra sambil bergelayutan manja di lengan Adi. Riri memilih untuk mengabaikannya saja karena tak mau membuat masalah dengan mantan teman dekatnya. “Ayo kita masuk!” ucap Zahra lagi mengajak mereka untuk memasuki sebuah ruangan yang sudah dipesan oleh Adi dan Zahra. “Hati-hati ya kalau senggol barang di sini, harganya mahal tau!” sindir Farikha—wanita yang tak suka dengan kehadiran Riri, dengan wajah juteknya. Lagi-lagi Riri tak menggubris dan merespon ejekan dan sindiran teman-temannya, Riri memilih untuk tetap diam dan mengikuti Zahra. Tanpa Riri sadari dari balik tembok ada seseorang yang menatapnya dengan tajam. Bersenang-senang adalah rencana Riri hari ini sebelum mengunjungi pernikahan sepupunya yang tentunya akan menguras tenaganya karena nyinyiran dari mulut saudara ibunya. Namun rencana Riri telah hancur karena sebelum mendapatkan nyinyiran dari tante-tantenya, Riri sudah mendapatkan nyinyiran terlebih dahulu dari mantan teman sekelasnya. “Minimal kalau nggak kuliah ya kerja sih … dari pada nganggur di rumah nggak ngapa-ngapain?” “Iya tuh. Kalau aku jadi kamu udah pasti langsung loncat deh dari gedung lantai 14, biar mati sekalian!” “Dulu aja sok-sokan mau kuliah, dan sekarang? Jangankan kuliah, kerja aja nggak ada yang mau terima.” “Namanya juga orang bodoh, mau ngapain aja ya tetap bakal gagal. Mana sok banget lagi mau merubah nasib keluarga.” “Kalau mau ubah nasib keluarga ya kerja. Kalau kuliah mah nggak bakal merubah apapun, bukannya kaya malah makin tambah miskin.” Riri menutup matanya sambil mengepalkan tangannya kuat-kuat, sindiran teman-temannya ternyata tak kalah pedas dari sindiran tante dan tetangganya. ‘Kalau tahu gini mending aku tidur aja di rumah!’ sesal Riri dalam hati. “Kalau nggak mau kerja minimal cari aja suami orang yang kaya, kan bisa diporoti hartanya.” Sudut bibir Riri terangkat yang menciptakan senyum licik penuh misteri. “Wah... Makasih ya atas sarannya, kayaknya boleh dicoba deh. Kan udah ada yang pernah coba, bahkan sampai check-in di hotel berdua lagi,” ucap Riri yang tengah sibuk memotong steik di depannya. “Maksud kamu apa?!! Kamu lagi sindir aku?!!” teriak Nafi tak terima. Kepala Riri terangkat lalu menatap wanita di depannya penuh kemenangan. “Merasa tersindir ya? Padahal aku asal bicara loh.” Tentu saja itu bohong, sebenarnya waktu cek in di hotel bersama Leon, Riri tak sengaja melihat Nafi sedang berjalan dengan seorang pejabat yang cukup terkenal. Riri tahu sekali siapa pejabat itu dan apa hubungannya dengan Nafi. Namun karena tak mau membuat masalah Riri memilih untuk diam. “Dasar sialan!! Memangnya kamu punya bukti kalau aku check-in di hotel sama pejabat itu!” pekik Nafi menantang. Riri memasang wajah polosnya yang seolah-olah tak tahu apa-apa. “Loh kamu check in sama pejabat?” tanya Riri dengan wajahnya yang sok kaget. Wajah Nafi langsung pucat dan bergegas meninggalkan ruangan itu. Zahra mendekatkan kepalanya ke Riri lalu berbisik. “Nafi beneran check-in di hotel sama pejabat? Emang dia siapa?” Riri melirik ke arah Adi sebentar lalu membalas bisikan Zahra. “Dia...”
“Dia ayahnya Adi.” Bisik Riri yang berhasil membuat Zahra berteriak.“Serius kamu?!!” Tanya Zahra tak percaya.Mata Zahra kini tertuju pada Adi yang sudah menatapnya dengan wajah kebingungan. “Kamu nggak lagi ngawur kan?” Bisik Zahra takut-takut.Riri menggeleng karna yakin sekali dengan penglihatannya, matanya memang rabun tapi Riri tidak buta, apa lagi waktu itu Nafi dan Ayah Adi berjalan secara terang-terangan."Kalau kamu nggak percaya, tanya saja langsung sama calon ayah mertua kamu. Di jamin langsung dapat jawaban yang pasti.""Jawaban kapan hancurnya hubungan aku sama Adi maksudnya?! Bisa hilang sumber penghasilan ku."Mata Riri terbelalak tak percaya, walaupun sudah mendapatkan tamparan dulu sepertinya Zahra masih belum sadar juga."Hati-hati, nanti kena karma lagi baru tahu rasa kamu." Kesal Riri yang sudah berdiri dari duduknya. "Aku pergi dulu ya, ada urusan.""Cih urusan dia bilang, emang pengangguran sepertimu punya acara apa? Paling juga rebahan di kasur." Ejek Farikha.S
“Riri!!...” Suara teriakan Leon yang menggema terdengar sangat menyeramkan yang membuat nyali Riri menciut seketika.Dengan emosi yang meledak-ledak, Leon yang baru saja kembali ke apartemen langsung menarik Riri dengan kasar saat melihat Riri yang ingin melompat dari gedung apartemennya.“Kamu gila ya?!! Bisa gak sih kalau punya otak itu di pakai!! Kamu kira bakal selamat setelah lompat dari lantai 19?!!”Sepertinya takdir tak menginginkan Riri pergi begitu cepat. Leon memarahi Riri habis-habisan yang membuat Riri tak memiliki niat untuk bunuh diri lagi.“Kalau ada masalah itu bilang baik-baik!! Kamu kira setelah lompat semuanya akan baik-baik saja?!!”“Maaf.” Cicit Riri pelan.“Ayo masuk!!” Bentak Leon dengan suara tingginya, tak lupa Leon juga menarik tangan Riri dengan kasar.“Ya kamu kalau bicara juga pelan-pelan, sakit tau tangan aku.”Leon melepaskan tangan Riri lalu duduk di sofa dengan tatapan menyeramkan. “Cerita!!”Air mata Riri menetes satu demi persatu, ternyata rasa takut
“Iya aku tahu kok, wajahku ini memang terlalu tampan sampai-sampai bisa buat orang normal jadi stres.” Ucap Leon dengan bangganya.Mulut dan hati Riri ingin sekali menyangkalnya, namun tak bisa karna apa tang di ucapkan Leon benar adanya. Wajahnya yang rupawan memang mampu membuat orang yang awalnya waras menjadi stres, bahkan wajahnya yang garang saja mampu menarik perhatian kaum hawa, apa lagi jika wajah Leon terlihat sangat tenang seperti sekarang.“Udah, awas aja nanti kalau di garuk lagi!” Ancam Leon sambil memukul meja di sampingnya hingga hancur. “Nanti kamu ikut aku.” Lanjutnya.Riri memiringkan kepalanya dengan wajah bertanya-tanya.“Ikut aku kerja!!” Jawab Leon yang mengetahui isi pikiran dan hati Riri.Perasaan yang tak tenang kini menyelimuti hati Riri, pikirannya kini sudah melayang kemana-mana ketika membahas tentang pekerjaan suaminya. “Ayo tidur”Walaupun sedang kebingungan, Riri memutuskan untuk mengikuti ajakan Leon.Riri menatap tak percaya dengan pemandangan di de
“Masih muda udah pikun aja.”Leon berjalan menuju meja kerjanya lalu menekan sebuah tombol merah di dekat sana. “Masuk.” Ucap Leon saat menekan tombol tersebut.Seorang laki-laki masuk kedalam ruangan dengan beberapa map di tangannya.Mata Riri terbelalak tak percaya dengan orang yang baru saja memasuki ruangan di mana dia berada. Dengan secepat kilat Riri menutupi wajahnya dengan tangan dan dompet yang dia bawa.‘Alden?... Aku kira Alden siapa, ternyata mantanku!... Semoga aja dia nggak lihat aku di sini!’ Harap Riri dalam hati.Riri mengintip dari cela-cela jarinya untuk mengetahui apa yang sedang terjadi, namun satu detik kemudian, Riri merasakan ada sesuatu yang panas menusuk badannya.Perlahan-lahan Riri menyingkirkan tasnya dan melirik kearah Leon. Badan Riri kaku saat mendapati tatapan dan wajah Leon yang berkali-lali lipat lebih menyeramkan dari biasanya.‘Kok mukanya serem banget sih?... Memangnya aku salah apa sampai di lihatin gitu?’“Taruh dokumennya di meja! Kamu bisa perg
Alden memiringkan kepalanya dengan senyuman aneh di wajahnya.Mengenal Riri dari kelas sepuluh membuat Alden tahu betul bagaimana tabiat Riri yang sesungguhnya. Apa lagi ketika mengingat kalau banyak rahasia Riri yang di ketahui oleh Alden dari sumber yang terpercaya.“Kamu yakin bisa cari sendiri? Kamu baru pertama kali ke sini kan? Apa kamu bisa menemukannya dalam waktu satu hari?” Senyum meremehkan yang terlihat jelas di wajah Alden mampu membuat Riri kehabisan kesabarannya.“Kamu tau apa? Jangan kira hanya karna kita dekat selama hampir dua tahun, kamu bisa berbuat seenaknya seperti itu pada ku. Asal kamu tahu, orang yang mengetahui sesuatu itu bukan kamu, tapi aku!”Setelah mengatakan itu Riri berjalan menjauh dari Alden dan pergi entah kemana.Riri berjalan sembari menendang-nendang dinding di sepanjang perjalanannya. Berbagai umpatan terus menerus keluar dari mulut Riri.“Sok banget dia, kalau aja dulu aku nggak kasihan sama dia, pasti udah langsung aku buang!”Langkah Riri te
“Seharusnya yang jauhi Leon itu kamu!!”Wanita itu melotot lalu berlari melewati Riri sambil menangis tersedu.“Leon!... Dia pukul aku!”Riri refleks memutar badanya kebelakang, dan betapa terkejutnya dia saat melihat Leon sudah berada di belakangnya.Leon berjalan kearah Riri yang sedang ketakutan, tangan kekar Leon mengusap pucuk kepala Riri dengan lembut.“Kamu beneran pukul dia?”Riri melihat ke segala arah untuk menghindari tatapan mata Leon yang tajam, di dalam hati Riri kini sedang bimbang karna berpikir alasan apa yang tepat untuk di berikan sebagai penjelasan.“Coba pukul lagi, tadi aku nggak lihat jelas.”Wajah Riri berseri-seri, matanya berbinar tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Hatinya terasa sangat lega karna ketakutannya tak terjadi.“Serius?! Boleh?!"Leon mengaguk dengan senyum manis di wajahnya.Melihat anggukan Leon, Riri bergegas menghampiri wanita itu dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Namun sialnya wanita itu sudah terlebih dahulu berlari mengh
“Ini, di sini ada sepuluh miliar, ambil ini dan pergi sekarang juga!”Riri menatap kartu yang di pegang oleh mamah mertuanya, tatapan jijik terlihat di wajah Riri. Kini Riri berpikir bahwa paman dan budenya lebih baik dari pada mamah mertuanya. Walaupun mereka suka nyinyir dan mengejek, setidaknya mereka tak akan rerendakan harga diri orang lain menggunakan uang.‘Aku kira mereka parah banget, ternyata ada yang lebih parah.’Riri tersenyum manis, walau saat ini hatinya sedang terluka, Riri tak bisa membalas perbuatan menyebalkan mamah mertuanya sekarang.“Maaf ya TANTE, saya tidak membutuhkan uang itu, saya bukan wanita murah yang harga dirinya bisa di beli oleh uang.”Kaki Riri melangkah menuju pintu yang mengantarkannya untuk keluar dari sana, hatinya yang tercabik-cabik membuat Riri melupakan pesan yang sudah di wanti-wanti oleh suaminya.Riri tak memperdulikan apapun selain keluar dari ruangan yang sangat menyesakkan itu. Air mata Riri satu persatu menetes jatuh tanpa dia minta, ra
“Tarik lagi ucapanmu!!...” Teriak Riri tepat di samping telinga Leon.Bukanya marah apa lagi membalas, Leon justru terkekeh geli saat melihat ekspresi wajah istrinya.“Kok marah gitu? Kan memang benar.”Riri melempar tasnya kearah Leon dan jauh hingga terselip entah di mana, di dalam lubuk hati Riri yang paling dalam sebenarnya dia mengharapkan sebuah kalimat yang mampu membuat dirinya tenang kembali, namun sepertinya kalimat itu tak akan pernah dia dapatkan dari mulut Leon.Riri turun dari mobil dan menuju ke unit apartemennya dengan sumpah serapah sebagai melodi perjalanannya, semakin banyak umpatan yang keluar dari mulutnya semakin banyak pula amarah yang hilang dari hatinya.Namun sepertinya tadir tak membiarkan Riri menjalani hari-harinya dengan tenang, baru saja Riri berhasil menghilangkan kemarahan akibat ulah para wanita ular tadi, kini Riri kembali di buat marah oleh kedatangan paman dan budenya yang sedang menunggu di depan pintu.“Sialan! Kenapa dia di sini sih? Mau aku mati
Kabar menghilangnya Ariza membuat heboh keluarga besar bu Khansa, Riri yang tidak memiliki hubungan baik dengan Ariza terpaksa ikut mencari keberadaan sepupunya itu. “Nak Leon, tolong paman, dia anak perempuan paman satu-satunya, bagaimana kalau sampai terjadi sesuatu dengannya.” Ujar pak Abdul dengan wajah melasnya. Tentu saja orang yang paling di sasar pertama adalah Leon, koneksi dan anak buah Leon yang tersebar di seluruh Indonesia menjadi modal utama pak Abdul untuk mencari putrinya. Riri yang melihat pamannya seperti itu menjadi tak tega. Walaupun tidak memiliki hubungan yang baik, bagaimana pun Ariza adalah sepupu Riri, sejahat apa pun dia tentu saja Riri harus membantu untuk mencarinya. “Bantu saja mas, aku tidak tega melihatnya.” Bisik Riri tepat di samping telinga Leon. Bagi Leon yang mengetahui niat buruk Ariza kepada Riri sangat sulit untuk melepaskannya, terlebih lagi kejadian beberapa hari yang lalu bisa terulang kembali. “Kita bicarakan nanti di kamar.
“Lebih baik kamu jauhkan sapu tangan itu sebelum nyawamu melayang!.” Mendengar ada suara yang menghentikannya, tanpa menoleh sedikit pun, wanita itu mengeluarkan sebuah pisau dari tasnya menggunakan salah satu tangannya yang lain. Sebelum berhasil melancarkan aksinya, Leon melempar sepatu yang di pakainya hingga membuat pisau itu terjatuh di lantai. Dua orang bergegas berlari dan menangkap wanita itu, namun naasnya sapu tangan yang di bawa wanita itu terjatuh tepat di atas wajah salah satu anak Leon. Leon berlari menghampiri putranya, untung saja dia tidak apa-apa. Leon melirik sinis kearah wanita itu setelah memastikan kondisi ketiga putranya baik-baik saja. “Aku akan menghancurkan hidup anakmu!!...” Teriak wanita itu dengan di iringi tawanya yang menggelegar. Arga masuk ke dalam kamar Leon sembari membawa sapu tangan yang persis seperti milik wanita itu. “Di sapu tangannya terdapat air keras, kalau menetes di kulit sedikit saja, wajahnya pasti akan rusak.” Wanita itu
“Mereka semua pergi dengan keinginan mereka sendiri. Tapi kalau kamu mau, aku bisa bawa mereka kembali ke sini.” Riri kembali terdiam, sudah banyak hal yang dia lewatkan setelah berada di Villa selama tiga bulan, dan segalanya kini menjadi rumit. Bagi Riri yang telah lama merasa bosan dan kesepian, dia pasti akan tetap memilih untuk membawa keluarganya kembali pulang ke rumah, namun hati nurani Riti tidak mengizinkannya untuk bersikap egois, karna bagaimana pun semua berhak untuk hidup sesuai dengan keinginannya masing-masing. “Lalu Satria bagaimana?.” Tanya Riri yang melewatkan satu orang. “Dia memilih untuk melanjutkan pendidikan kedokterannya dan meninggalkan jurusan bisnis seperti yang dia inginkan. Sekarang dia berada di Inggris bersama tiga bocah kematian itu, jadi kamu tidak perlu khawatir.” ***** Leon mengeluarkan sebuah bungkus rokok dari sakunya. Sudah sangat lama sekali dia tidak merokok, terakhir kali pun Leon merokok ketika mendapatkan kabar kalau mertuanya terk
Kedua mata Riri perlahan-lahan terbuka, hal yang pertama kali di lihat oleh Riri adalah sebuah langit-langit putih berhiaskan emas yang berkilauan. “Akhirnya kamu sadar juga nak, Ibu khawatir kalau terjadi sesuatu sama kamu, untung saja dokter bilang tidak apa-apa.” ‘Ada apa ini, apa yang sudah terjadi kepadaku?.’ Tanya Riri dalam hati. Riri menoleh kearah Ibunya yang dengan khawatir memegang salah satu tangannya erat-erat. Kepalanya yang terasa sangat sakit membuat Riri kesulitan untuk berpikir. Berbagai pertanyaan mengenai kondisinya berkecamuk di pikiran Riri yang membuat rasa sakit di kepalanya bertambah semakin menjadi-jadi. Riri merintih kesakitan, telinganya juga tiba-tiba berdenging sangat nyaring, tubuh Riri meringkuk ketika kepalanya terserang rasa sakit yang luar biasa. Melihat putrinya yang merintih kesakitan, bu Khansa berteriak memanggil nama Leon. Mendengar teriakan dari Ibu mertuanya, Leon bergegas menghampiri sumber suara. Ketika sudah berada di depan kamar
“Malu kamu bilang?! Kalau kamu masih memiliki rasa malu! Ganti rugi atas kematian anakku! Kalian harus membayarnya!.”“Benar! Kamu harus membayar empat triliun kepada kami!. Kalau kamu tidak membayarnya, kami akan menghancurkan rumah ini!.”Tangan Riri mengepal kuat dan akan bersiap untuk menghantam wajah empat orang yang berada di depan matanya. Di saat Karina sedang di kabarkan sakit bahkan sampai sekarat di rumah sakit, bukannya menjenguk mereka malah datang meminta sejumlah uang ganti rugi.“Anak yang mana? Kalau maksud tante itu kak Karina, sampai saat ini dia masih hidup dan masih bisa bernafas!.”“Tapi kak Karina sekarat karna kalian! Kalian sudah menaruh racun ke dalam makanannya!. Kalau kalian tidak suka setidaknya jangan membunuh kak Karina!.”Riri mengelus dadanya sembari mengatur nafas agar tidak terbawa emosi, cerita tentang kekejaman mereka yang di ceritakan oleh Leon melekat jelas di ingatan Riri. Peran saudara dan ibu tiri yang mereka lakukan sangat baik hingga me
Suara ketukan terdengar di pintu kamar pengantin yang akan menghabiskan waktu bersama setelah serangkaian acara yang melelahkan. Suara ketukan itu tak kunjung berhenti sampai salah satu dari kedua orang yang berada di kamar itu membuka pintu. “Kenapa Leon? Apa kamu tidak akan membiarkan aku beristirahat dengan tenang malam ini?.” Leon menatap wajah pamannya lalu mengintip ke dalam kamar. Di sana sudah terdapat sebuah meja dengan berbagai makanan yang di hidangkan. Di salah satu sisi meja sudah ada seorang wanita yang mengenakan sebuah gaun putih yang cantik, jika di lihat dari posisinya wanita itu terlihat akan segera menyantap hidangan di depannya. “Jangan makan apa pun sampai besok siang.” Asrof menatap heran kearah Leon, dan seketika ekspresi wajah Asrof berubah menjadi panik. Asrof menoleh ke belakang dan menatap istrinya yang akan memasukkan sesendok makanan ke dalam mulutnya. Tanpa berpikir lama Asrof langsung berlari dan menepis tangan Karina dengan kasar. Sendok
“Asal kamu tahu ya, aku berhasil menggoda suamimu dan membuatnya menerimaku." Bagi orang yang tidak tahu apa-apa pasti akan berpikiran negatif, tapi bagi Riri yang sudah mendengar semua ceritanya dari Leon, itu bukanlah sesuatu hal yang mengejutkan. “Iya, aku sudah mendengar semuanya dari yang bersangkutan kok. Padahal hanya bisa duduk di pangkuan suamiku dengan telanjang tanpa di usir, tapi kamu membanggakannya seolah-olah pernah tidur berdua saja dengan suamiku. Ya setidaknya sekarang aku tahu betapa murahnya dirimu yang bangga karna menjadi bahan tontonan orang lain ketika telanjang.” Mereka berdua meninggalkan tempat pelaminan dengan wajah memerah. Melihat mereka berdua pergi dengan kesal, Riri tersenyum puas walaupun sedikit menyimpan kekesalan karna mereka mengungkit tentang kelakuan busuk suaminya. Riri kembali menatap Karina yang sudah bisa mengangkat kepalanya. “Jangan di pikirkan lagi, kakak lebih baik dari pada mereka kok.” “Tapi apakah yang kamu katakan itu
“Mah, aku tidak mau menikah dengan dia. Aku tidak suka dengan dia mah.”“Diam kamu! Kalau bisa di ganti dengan adikmu, mamah akan dengan suka rela menggantimu!. Seharusnya kamu bersyukur karna ada orang yang mau menikahimu dengan mahar tinggi, apa lagi sampai mengadakan pesta di hotel begini.”Riri memperhatikan anak dan ibu yang berada di depannya, bisik-bisik yang mereka lakukan membuat Riri penasaran tentang apa yang mereka bicarakan sampai serius begitu.Semuanya sudah siap, kedua pengantin telah duduk berdampingan dan siap mengikat diri dengan janji suci pernikahan.Dari awal sampai akhir raut wajah sang pengantin wanita berhasil menyita perhatian Riri. Riri merasa dia pasti terpaksa seperti yang pernah terjadi padanya dulu, tapi Riri merasa kali ini hubungannya sedikit rumit dari yang pernah dulu dirinya alami.“Kenapa merasa seperti melihat diri sendiri ya? Kalau dulu kamu tidak menuruti apa yang Ibu katakan, cerita hidupmu pasti tidak akan seperti ini.”Bu Khansa kembali
“Lihatkan, akulah pemenangnya, sekarang jangan ganggu istriku lagi.” ‘Dasar menyebalkan!.’ Kesal Dion dalam hati. Kedatangan Leon dan Riri di sambut hangat oleh orang-orang yang ada di dalam rumah, terutama orang-orang yang mengetahui kehamilan Riri. Tentu saja di antara orang-orang yang berbahagia itu ada beberapa orang yang tidak senang dengan kedatangan Leon dan Riri. Salah satunya adalah paman Riri yang sering membuat masalah di mana-mana menggunakan nama Leon sebagai tamengnya. “Leon, di mana bude dan sepupumu? Kenapa mereka tidak datang bersama kalian?.” Tanya paman Abdul yang tidak melihat keberadaan adik, istri, anak, serta keponakannya. “Sepupu? Mana mungkin aku memiliki sepupu, paman kandungku satu-satunya baru menikah, bagaimana bisa aku memiliki sepupu.” Sindiran yang di ucapkan Leon berhasil mengenai tiga orang sekaligus. Pak Abdul, Asrof dan juga Dimas terdiam tak berkutik saat mendapatkan kata-kata menohok dari Leon. Pak Abdul sebisa mungkin mengontrol