"Pria itu tidak pulang?"
Jam sudah menunjukkan pukul 2 dini hari, tetapi suami barunya belum juga memperlihatkan batang hidungnya. Walaupun sudah tahu Leon tak akan pulang ke apartemen, Riri tetap saja menunggunya dengan harapan setidaknya laki-laki itu bisa menemaninya. Tidurnya sampai tak tenang.
Kesulitan beradaptasi dengan lingkungan baru menambah kesulitan tidur yang dialami Riri. Ia yang sulit merasa nyaman di tempat baru, terlebih kali ini sendirian ... membuat matanya enggan terpejam. Akhirnya, karena kantuk tak kunjung datang, Riri memutuskan pergi ke balkon untuk melihat pemandangan kota Jakarta di pagi dini hari. Cahaya dari berbagai gedung membuat pemandangannya menjadi sangat indah, apa lagi dengan banyaknya kendaraan yang berlalu lalang. Sedikit ramai dan bising memang untuk ukuran pemandangan di pagi dini hari. Namun apalah daya, yang saat ini ada di depannya adalah kota yang mendapatkan julukan sebagai kota metropolitan. “Nggak papa! Aku kan selama ini udah hidup serba pas-pasan. Tempat tinggal yang mewah dan uang yang bisa aku dapatkan dengan mudah bukanlah hal yang menyedihkan bukan?" Riri menghibur dirinya sendiri. "Aku bisa membeli semua hal yang aku mau tanpa harus bekerja dulu. Aku bisa melakukan hal yang aku mau tanpa adanya larangan dari siapapun, toh meski dia suamiku, dia juga nggak bakal peduli kok sama apa yang udah aku lakuin.” Merasa pikirannya mulai kondusif, Riri memutuskan untuk kembali ke kamar. Namun, saat dia memasuki kamar, pemandangan yang ada di depannya membuat Riri tak bisa berkata-kata. “Leon?!" Riri terdiam sembari terus-terusan menggosok matanya karena tak percaya dengan apa yang telah dia lihat. "Ini serius? Dia bukan arwahnya kan?” Dengan perasaan takut Riri berjalan mendekat ke arah tempat tidur di mana laki-laki itu terlihat sedang tertidur pulas. Riri menyentuh dahi Leon dan mengecek apakah Leon yang ada di depannya itu masih bernapas atau tidak. “Badannya hangat kok. Napasnya juga normal.” Untuk memastikannya sekali lagi, Riri mendekatkan telinganya ke arah jantung Leon. Matanya terbelalak tak percaya saat telinganya mendengar suara detak jantung Leon yang sangat cepat. “Dia ... nggak punya riwayat penyakit jantung kan?” Riri mencoba melakukannya sekali lagi, hasilnya tetap sama seperti sebelumnya, detak jantung Leon terdengar sangat cepat. Wanita itu kemudian melamun sebentar memikirkan suatu hal. Saat itu, tiba-tiba saja Leon bergerak mengganti posisi tidurnya. Buru-buru ia menghindar sebelum tubuh mereka berbenturan. Namun demikian, Riri tak langsung menghindar. Dia justru mencondongkan tubuh guna memperhatikan Leon lebih intens lagi. Setelah memastikan tak ada tanda kegawatan, dia pun memilih untuk kembali ke tempat tidur. Setelah memperhatikan beberapa menit Riri menganggukkan kepalanya dengan yakin kalau Leon sudah baik-baik saja. Namun saat Riri mengangkat selimutnya, dia berpikir sejenak. ‘Apa aku tidur di sofa lagi ya? Masa iya aku harus tidur satu ranjang sama dia, bisa-bisa aku diledekin habis-habisan.’ Riri meletakkan kembali selimutnya dan memutar badanya untuk kembali ke sofa yang ada di ruang tengah. Namun, baru juga selangkah, gadis itu kembali mengurungkan niatnya. “Bisa remuk tulangku kalau tidur di sofa lagi,” gumamnya sembari mengangkat selimut yang ada di sisi lain ranjang yang juga ditiduri oleh Leon. Riri menutup matanya untuk pergi ke alam mimpi, tanpa dia sadari sudut bibir Leon terangkat. ** “Harusnya aku dengerin aja apa kata Leon!” sesal Riri karna tak mendengarkan perkataan suaminya. Sebelum pergi dari apartemen, Leon menitipkan pesan ke Riri kalau tidak boleh membukakan pintu dan tidak boleh membiarkan siapa saja masuk kecuali kedua orang tuanya dan kedua adiknya. Sekarang Riri tahu apa makna dari perkataannya suaminya sebelum pergi menghilang tadi saat melihat pamannya tengah membuatkan kopi untuk teman-temannya. Riri mencoba menelepon Leon, berniat meminta pertolongan pria itu untuk mengusir mereka. Namun, teleponnya tak kunjung dijawab oleh sang suami. Dia begitu jengkel karena pamannya benar-benar bertindak seperti tuan rumah di sini.Membawa banyak orang asing, mengambil makanan di kulkas sepenuh hati. Kakinya dia hentak-hentakkan karena rasa kesal yang sudah membumbung tinggi.
Saat dia tengah kebingungan, Riri melihat seorang resepsionis yang kemarin membantunya menyelesaikan kasus password kamarnya. Dia pun tak ragu meminta tolong meski nyaris dicurigai. Setelah mendapatkan nomor telepon Leon, Riri pergi dengan beberapa pikiran yang berkecamuk di otaknya. ‘Kok beda ya?!’ batin Riri tak tenang.
Dengan gelisah Riri menelepon ke nomor yang baru saja dia dapatkan. Dan benar saja, dari sebelah sana terdengar suara Leon yang menyahuti panggilannya.
Tangan Riri mengepal kuat karna merasa sudah dibohongi. “Dasar tukang bohong!!!”Riri langsung menutup teleponnya lalu berjalan ke pintu keluar apartemen. Namun langkahnya terhenti saat ada seseorang yang memanggilnya dari belakang.
“Riri? Beneran Riri ya?”
Riri memutar badannya untuk melihat siapa orang yang memanggilnya, dan alangkah terkejutnya Riri saat mengetahui orang yang memanggilnya adalah teman satu kelasnya dulu.
‘Sialan! Lagi bad mood malah ketemu sama orang yang nggak tahu diri!’Riri menatap tajam ke arah mantan teman sekelasnya yang ternyata datang dengan mantan ketua kelas.
“Wah... Akur nih? Udah jadian ya?” tanya Riri dengan wajah mengejek.
Dengan bangga wanita bernama Zahra itu memeluk lengan laki-laki di sampingnya yang bernama Adi.
Iya dong. Baru empat minggu sih aku sama Adi pacarana. Kamu gimana, udah ada gandengan? Atau jangan-jangan belum ya?” ejek wanita yang bernama Zahra. “Nggak penasaran rasanya pegangan tangan gini?”
Riri tertawa meremehkan dua sejoli yang ada di depannya. ‘Ck belum tahu dia kalau aku udah pernah tidur bareng sama cowok. Jangankan pegangan, aku bahkan udah pernah pelukan sama dia.’ Batin Riri saat mengingat tentang posisi tidurnya dan Leon tadi pagi.
Sebenarnya Riri juga penasaran bagaimana bisa dirinya tidur dalam pelukan Leon.
“Aku pernah pegang tangan bapak sama adek cowokku,” balas Riri sekadarnya. Zahra berdecih mendengar jawaban dari Riri yang terdengar seperti orang yang tak kenal laki-laki lain selain Ayah dan adiknya. “Cih, dasar nggak laku! Saranku, cepetan deh kamu cari cowok. Selain ke mana-mana digandeng, ada yang ingetin buat makan dan shalat, loh.”Riri menghela napas kesal melihat kebucinan sepasang kekasih di depannya. Dia dan Leon saja yang sudah menikah tak sampai semesra itu. Apa dunia sudah akan kiamat, ya?
“Kalo nggak diingetin sama Adi kamu nggak bakal makan?” tanya Riri Kesal. “Lagian memangnya kamu nggak takut dosa? Kalian kan belum menikah,” lanjutnya. Zahra bersedekap dada tak terima dengan ucapan Riri. “Kamu nggak usah terlalu kuno, deh. Sekarang kan banyak anak pondok yang pacaran, nyatanya mereka baik-baik aja tuh.” Riri hanya bisa menggelengkan kepalanya saja, di zaman sekarang memang banyak orang yang beranggapan bahwa pacaran dosa itu kuno atau ketinggalan zaman. Contohnya seperti Zahra sekarang, padahal kalau Riri ingat-ingat lagi, Zahra adalah orang yang paling bersemangat mengatakan bahwa pacaran itu dosa. “Yakin kamu? Dulu yang koar-koar kalau pacaran itu dosa siapa? Sekarang mau jilat ludah sendiri?”Zahra berjalan mendekat ke arah Riri lalu berbisik.“Udahlah, kalau iri bilang aja, lagian yang ngajak pacaran kan Adi, mana bisaditolak. Kamu tahu sendiri kan kalau Adi itu banyak duitnya?!”Dengan perasaan kesal campur kasihan, Riri memegang bahu Zahra lalu membalasbisikan Zahra. “Gws deh. Hati-hati, Adi punya banyak cewek.”Setelah membisikkan itu Riri berjalan melewati Zahra dan Adi untuk pergi keapartemennya.“Dasar nyebelin!!...” teriak Zahra saat melihat Riri sudah berjalan menjauh. “Ohiya!! Besok anniversary aku sama Adi!! Datang ya ke hotel Arjuna!” lanjutnya.Riri hanya bisa menggelengkan kepalanya dan tetap berjalan. Ketika Riri sampaidi depan pintu unit apartemennya, Riri baru saja mengingat kalau dirinya sedangmarah dan ingin pergi ke orang tuanya yang masih berada di rumah budenya.“Sial! Aku lupa lagi.”Di sepanjang lorong berbagai sumpah-serapah keluar dari mulut Riri, entah ituuntuk Leon, Zahra, ataupun pamanya.Di tengah-tengah kekesalan Riri, tiba-tiba saja a
“Dia ayahnya Adi.” Bisik Riri yang berhasil membuat Zahra berteriak.“Serius kamu?!!” Tanya Zahra tak percaya.Mata Zahra kini tertuju pada Adi yang sudah menatapnya dengan wajah kebingungan. “Kamu nggak lagi ngawur kan?” Bisik Zahra takut-takut.Riri menggeleng karna yakin sekali dengan penglihatannya, matanya memang rabun tapi Riri tidak buta, apa lagi waktu itu Nafi dan Ayah Adi berjalan secara terang-terangan."Kalau kamu nggak percaya, tanya saja langsung sama calon ayah mertua kamu. Di jamin langsung dapat jawaban yang pasti.""Jawaban kapan hancurnya hubungan aku sama Adi maksudnya?! Bisa hilang sumber penghasilan ku."Mata Riri terbelalak tak percaya, walaupun sudah mendapatkan tamparan dulu sepertinya Zahra masih belum sadar juga."Hati-hati, nanti kena karma lagi baru tahu rasa kamu." Kesal Riri yang sudah berdiri dari duduknya. "Aku pergi dulu ya, ada urusan.""Cih urusan dia bilang, emang pengangguran sepertimu punya acara apa? Paling juga rebahan di kasur." Ejek Farikha.S
“Riri!!...” Suara teriakan Leon yang menggema terdengar sangat menyeramkan yang membuat nyali Riri menciut seketika.Dengan emosi yang meledak-ledak, Leon yang baru saja kembali ke apartemen langsung menarik Riri dengan kasar saat melihat Riri yang ingin melompat dari gedung apartemennya.“Kamu gila ya?!! Bisa gak sih kalau punya otak itu di pakai!! Kamu kira bakal selamat setelah lompat dari lantai 19?!!”Sepertinya takdir tak menginginkan Riri pergi begitu cepat. Leon memarahi Riri habis-habisan yang membuat Riri tak memiliki niat untuk bunuh diri lagi.“Kalau ada masalah itu bilang baik-baik!! Kamu kira setelah lompat semuanya akan baik-baik saja?!!”“Maaf.” Cicit Riri pelan.“Ayo masuk!!” Bentak Leon dengan suara tingginya, tak lupa Leon juga menarik tangan Riri dengan kasar.“Ya kamu kalau bicara juga pelan-pelan, sakit tau tangan aku.”Leon melepaskan tangan Riri lalu duduk di sofa dengan tatapan menyeramkan. “Cerita!!”Air mata Riri menetes satu demi persatu, ternyata rasa takut
“Iya aku tahu kok, wajahku ini memang terlalu tampan sampai-sampai bisa buat orang normal jadi stres.” Ucap Leon dengan bangganya.Mulut dan hati Riri ingin sekali menyangkalnya, namun tak bisa karna apa tang di ucapkan Leon benar adanya. Wajahnya yang rupawan memang mampu membuat orang yang awalnya waras menjadi stres, bahkan wajahnya yang garang saja mampu menarik perhatian kaum hawa, apa lagi jika wajah Leon terlihat sangat tenang seperti sekarang.“Udah, awas aja nanti kalau di garuk lagi!” Ancam Leon sambil memukul meja di sampingnya hingga hancur. “Nanti kamu ikut aku.” Lanjutnya.Riri memiringkan kepalanya dengan wajah bertanya-tanya.“Ikut aku kerja!!” Jawab Leon yang mengetahui isi pikiran dan hati Riri.Perasaan yang tak tenang kini menyelimuti hati Riri, pikirannya kini sudah melayang kemana-mana ketika membahas tentang pekerjaan suaminya. “Ayo tidur”Walaupun sedang kebingungan, Riri memutuskan untuk mengikuti ajakan Leon.Riri menatap tak percaya dengan pemandangan di de
“Masih muda udah pikun aja.”Leon berjalan menuju meja kerjanya lalu menekan sebuah tombol merah di dekat sana. “Masuk.” Ucap Leon saat menekan tombol tersebut.Seorang laki-laki masuk kedalam ruangan dengan beberapa map di tangannya.Mata Riri terbelalak tak percaya dengan orang yang baru saja memasuki ruangan di mana dia berada. Dengan secepat kilat Riri menutupi wajahnya dengan tangan dan dompet yang dia bawa.‘Alden?... Aku kira Alden siapa, ternyata mantanku!... Semoga aja dia nggak lihat aku di sini!’ Harap Riri dalam hati.Riri mengintip dari cela-cela jarinya untuk mengetahui apa yang sedang terjadi, namun satu detik kemudian, Riri merasakan ada sesuatu yang panas menusuk badannya.Perlahan-lahan Riri menyingkirkan tasnya dan melirik kearah Leon. Badan Riri kaku saat mendapati tatapan dan wajah Leon yang berkali-lali lipat lebih menyeramkan dari biasanya.‘Kok mukanya serem banget sih?... Memangnya aku salah apa sampai di lihatin gitu?’“Taruh dokumennya di meja! Kamu bisa perg
Alden memiringkan kepalanya dengan senyuman aneh di wajahnya.Mengenal Riri dari kelas sepuluh membuat Alden tahu betul bagaimana tabiat Riri yang sesungguhnya. Apa lagi ketika mengingat kalau banyak rahasia Riri yang di ketahui oleh Alden dari sumber yang terpercaya.“Kamu yakin bisa cari sendiri? Kamu baru pertama kali ke sini kan? Apa kamu bisa menemukannya dalam waktu satu hari?” Senyum meremehkan yang terlihat jelas di wajah Alden mampu membuat Riri kehabisan kesabarannya.“Kamu tau apa? Jangan kira hanya karna kita dekat selama hampir dua tahun, kamu bisa berbuat seenaknya seperti itu pada ku. Asal kamu tahu, orang yang mengetahui sesuatu itu bukan kamu, tapi aku!”Setelah mengatakan itu Riri berjalan menjauh dari Alden dan pergi entah kemana.Riri berjalan sembari menendang-nendang dinding di sepanjang perjalanannya. Berbagai umpatan terus menerus keluar dari mulut Riri.“Sok banget dia, kalau aja dulu aku nggak kasihan sama dia, pasti udah langsung aku buang!”Langkah Riri te
“Seharusnya yang jauhi Leon itu kamu!!”Wanita itu melotot lalu berlari melewati Riri sambil menangis tersedu.“Leon!... Dia pukul aku!”Riri refleks memutar badanya kebelakang, dan betapa terkejutnya dia saat melihat Leon sudah berada di belakangnya.Leon berjalan kearah Riri yang sedang ketakutan, tangan kekar Leon mengusap pucuk kepala Riri dengan lembut.“Kamu beneran pukul dia?”Riri melihat ke segala arah untuk menghindari tatapan mata Leon yang tajam, di dalam hati Riri kini sedang bimbang karna berpikir alasan apa yang tepat untuk di berikan sebagai penjelasan.“Coba pukul lagi, tadi aku nggak lihat jelas.”Wajah Riri berseri-seri, matanya berbinar tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Hatinya terasa sangat lega karna ketakutannya tak terjadi.“Serius?! Boleh?!"Leon mengaguk dengan senyum manis di wajahnya.Melihat anggukan Leon, Riri bergegas menghampiri wanita itu dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Namun sialnya wanita itu sudah terlebih dahulu berlari mengh
“Ini, di sini ada sepuluh miliar, ambil ini dan pergi sekarang juga!”Riri menatap kartu yang di pegang oleh mamah mertuanya, tatapan jijik terlihat di wajah Riri. Kini Riri berpikir bahwa paman dan budenya lebih baik dari pada mamah mertuanya. Walaupun mereka suka nyinyir dan mengejek, setidaknya mereka tak akan rerendakan harga diri orang lain menggunakan uang.‘Aku kira mereka parah banget, ternyata ada yang lebih parah.’Riri tersenyum manis, walau saat ini hatinya sedang terluka, Riri tak bisa membalas perbuatan menyebalkan mamah mertuanya sekarang.“Maaf ya TANTE, saya tidak membutuhkan uang itu, saya bukan wanita murah yang harga dirinya bisa di beli oleh uang.”Kaki Riri melangkah menuju pintu yang mengantarkannya untuk keluar dari sana, hatinya yang tercabik-cabik membuat Riri melupakan pesan yang sudah di wanti-wanti oleh suaminya.Riri tak memperdulikan apapun selain keluar dari ruangan yang sangat menyesakkan itu. Air mata Riri satu persatu menetes jatuh tanpa dia minta, ra
Kabar menghilangnya Ariza membuat heboh keluarga besar bu Khansa, Riri yang tidak memiliki hubungan baik dengan Ariza terpaksa ikut mencari keberadaan sepupunya itu. “Nak Leon, tolong paman, dia anak perempuan paman satu-satunya, bagaimana kalau sampai terjadi sesuatu dengannya.” Ujar pak Abdul dengan wajah melasnya. Tentu saja orang yang paling di sasar pertama adalah Leon, koneksi dan anak buah Leon yang tersebar di seluruh Indonesia menjadi modal utama pak Abdul untuk mencari putrinya. Riri yang melihat pamannya seperti itu menjadi tak tega. Walaupun tidak memiliki hubungan yang baik, bagaimana pun Ariza adalah sepupu Riri, sejahat apa pun dia tentu saja Riri harus membantu untuk mencarinya. “Bantu saja mas, aku tidak tega melihatnya.” Bisik Riri tepat di samping telinga Leon. Bagi Leon yang mengetahui niat buruk Ariza kepada Riri sangat sulit untuk melepaskannya, terlebih lagi kejadian beberapa hari yang lalu bisa terulang kembali. “Kita bicarakan nanti di kamar.
“Lebih baik kamu jauhkan sapu tangan itu sebelum nyawamu melayang!.” Mendengar ada suara yang menghentikannya, tanpa menoleh sedikit pun, wanita itu mengeluarkan sebuah pisau dari tasnya menggunakan salah satu tangannya yang lain. Sebelum berhasil melancarkan aksinya, Leon melempar sepatu yang di pakainya hingga membuat pisau itu terjatuh di lantai. Dua orang bergegas berlari dan menangkap wanita itu, namun naasnya sapu tangan yang di bawa wanita itu terjatuh tepat di atas wajah salah satu anak Leon. Leon berlari menghampiri putranya, untung saja dia tidak apa-apa. Leon melirik sinis kearah wanita itu setelah memastikan kondisi ketiga putranya baik-baik saja. “Aku akan menghancurkan hidup anakmu!!...” Teriak wanita itu dengan di iringi tawanya yang menggelegar. Arga masuk ke dalam kamar Leon sembari membawa sapu tangan yang persis seperti milik wanita itu. “Di sapu tangannya terdapat air keras, kalau menetes di kulit sedikit saja, wajahnya pasti akan rusak.” Wanita itu
“Mereka semua pergi dengan keinginan mereka sendiri. Tapi kalau kamu mau, aku bisa bawa mereka kembali ke sini.” Riri kembali terdiam, sudah banyak hal yang dia lewatkan setelah berada di Villa selama tiga bulan, dan segalanya kini menjadi rumit. Bagi Riri yang telah lama merasa bosan dan kesepian, dia pasti akan tetap memilih untuk membawa keluarganya kembali pulang ke rumah, namun hati nurani Riti tidak mengizinkannya untuk bersikap egois, karna bagaimana pun semua berhak untuk hidup sesuai dengan keinginannya masing-masing. “Lalu Satria bagaimana?.” Tanya Riri yang melewatkan satu orang. “Dia memilih untuk melanjutkan pendidikan kedokterannya dan meninggalkan jurusan bisnis seperti yang dia inginkan. Sekarang dia berada di Inggris bersama tiga bocah kematian itu, jadi kamu tidak perlu khawatir.” ***** Leon mengeluarkan sebuah bungkus rokok dari sakunya. Sudah sangat lama sekali dia tidak merokok, terakhir kali pun Leon merokok ketika mendapatkan kabar kalau mertuanya terk
Kedua mata Riri perlahan-lahan terbuka, hal yang pertama kali di lihat oleh Riri adalah sebuah langit-langit putih berhiaskan emas yang berkilauan. “Akhirnya kamu sadar juga nak, Ibu khawatir kalau terjadi sesuatu sama kamu, untung saja dokter bilang tidak apa-apa.” ‘Ada apa ini, apa yang sudah terjadi kepadaku?.’ Tanya Riri dalam hati. Riri menoleh kearah Ibunya yang dengan khawatir memegang salah satu tangannya erat-erat. Kepalanya yang terasa sangat sakit membuat Riri kesulitan untuk berpikir. Berbagai pertanyaan mengenai kondisinya berkecamuk di pikiran Riri yang membuat rasa sakit di kepalanya bertambah semakin menjadi-jadi. Riri merintih kesakitan, telinganya juga tiba-tiba berdenging sangat nyaring, tubuh Riri meringkuk ketika kepalanya terserang rasa sakit yang luar biasa. Melihat putrinya yang merintih kesakitan, bu Khansa berteriak memanggil nama Leon. Mendengar teriakan dari Ibu mertuanya, Leon bergegas menghampiri sumber suara. Ketika sudah berada di depan kamar
“Malu kamu bilang?! Kalau kamu masih memiliki rasa malu! Ganti rugi atas kematian anakku! Kalian harus membayarnya!.”“Benar! Kamu harus membayar empat triliun kepada kami!. Kalau kamu tidak membayarnya, kami akan menghancurkan rumah ini!.”Tangan Riri mengepal kuat dan akan bersiap untuk menghantam wajah empat orang yang berada di depan matanya. Di saat Karina sedang di kabarkan sakit bahkan sampai sekarat di rumah sakit, bukannya menjenguk mereka malah datang meminta sejumlah uang ganti rugi.“Anak yang mana? Kalau maksud tante itu kak Karina, sampai saat ini dia masih hidup dan masih bisa bernafas!.”“Tapi kak Karina sekarat karna kalian! Kalian sudah menaruh racun ke dalam makanannya!. Kalau kalian tidak suka setidaknya jangan membunuh kak Karina!.”Riri mengelus dadanya sembari mengatur nafas agar tidak terbawa emosi, cerita tentang kekejaman mereka yang di ceritakan oleh Leon melekat jelas di ingatan Riri. Peran saudara dan ibu tiri yang mereka lakukan sangat baik hingga me
Suara ketukan terdengar di pintu kamar pengantin yang akan menghabiskan waktu bersama setelah serangkaian acara yang melelahkan. Suara ketukan itu tak kunjung berhenti sampai salah satu dari kedua orang yang berada di kamar itu membuka pintu. “Kenapa Leon? Apa kamu tidak akan membiarkan aku beristirahat dengan tenang malam ini?.” Leon menatap wajah pamannya lalu mengintip ke dalam kamar. Di sana sudah terdapat sebuah meja dengan berbagai makanan yang di hidangkan. Di salah satu sisi meja sudah ada seorang wanita yang mengenakan sebuah gaun putih yang cantik, jika di lihat dari posisinya wanita itu terlihat akan segera menyantap hidangan di depannya. “Jangan makan apa pun sampai besok siang.” Asrof menatap heran kearah Leon, dan seketika ekspresi wajah Asrof berubah menjadi panik. Asrof menoleh ke belakang dan menatap istrinya yang akan memasukkan sesendok makanan ke dalam mulutnya. Tanpa berpikir lama Asrof langsung berlari dan menepis tangan Karina dengan kasar. Sendok
“Asal kamu tahu ya, aku berhasil menggoda suamimu dan membuatnya menerimaku." Bagi orang yang tidak tahu apa-apa pasti akan berpikiran negatif, tapi bagi Riri yang sudah mendengar semua ceritanya dari Leon, itu bukanlah sesuatu hal yang mengejutkan. “Iya, aku sudah mendengar semuanya dari yang bersangkutan kok. Padahal hanya bisa duduk di pangkuan suamiku dengan telanjang tanpa di usir, tapi kamu membanggakannya seolah-olah pernah tidur berdua saja dengan suamiku. Ya setidaknya sekarang aku tahu betapa murahnya dirimu yang bangga karna menjadi bahan tontonan orang lain ketika telanjang.” Mereka berdua meninggalkan tempat pelaminan dengan wajah memerah. Melihat mereka berdua pergi dengan kesal, Riri tersenyum puas walaupun sedikit menyimpan kekesalan karna mereka mengungkit tentang kelakuan busuk suaminya. Riri kembali menatap Karina yang sudah bisa mengangkat kepalanya. “Jangan di pikirkan lagi, kakak lebih baik dari pada mereka kok.” “Tapi apakah yang kamu katakan itu
“Mah, aku tidak mau menikah dengan dia. Aku tidak suka dengan dia mah.”“Diam kamu! Kalau bisa di ganti dengan adikmu, mamah akan dengan suka rela menggantimu!. Seharusnya kamu bersyukur karna ada orang yang mau menikahimu dengan mahar tinggi, apa lagi sampai mengadakan pesta di hotel begini.”Riri memperhatikan anak dan ibu yang berada di depannya, bisik-bisik yang mereka lakukan membuat Riri penasaran tentang apa yang mereka bicarakan sampai serius begitu.Semuanya sudah siap, kedua pengantin telah duduk berdampingan dan siap mengikat diri dengan janji suci pernikahan.Dari awal sampai akhir raut wajah sang pengantin wanita berhasil menyita perhatian Riri. Riri merasa dia pasti terpaksa seperti yang pernah terjadi padanya dulu, tapi Riri merasa kali ini hubungannya sedikit rumit dari yang pernah dulu dirinya alami.“Kenapa merasa seperti melihat diri sendiri ya? Kalau dulu kamu tidak menuruti apa yang Ibu katakan, cerita hidupmu pasti tidak akan seperti ini.”Bu Khansa kembali
“Lihatkan, akulah pemenangnya, sekarang jangan ganggu istriku lagi.” ‘Dasar menyebalkan!.’ Kesal Dion dalam hati. Kedatangan Leon dan Riri di sambut hangat oleh orang-orang yang ada di dalam rumah, terutama orang-orang yang mengetahui kehamilan Riri. Tentu saja di antara orang-orang yang berbahagia itu ada beberapa orang yang tidak senang dengan kedatangan Leon dan Riri. Salah satunya adalah paman Riri yang sering membuat masalah di mana-mana menggunakan nama Leon sebagai tamengnya. “Leon, di mana bude dan sepupumu? Kenapa mereka tidak datang bersama kalian?.” Tanya paman Abdul yang tidak melihat keberadaan adik, istri, anak, serta keponakannya. “Sepupu? Mana mungkin aku memiliki sepupu, paman kandungku satu-satunya baru menikah, bagaimana bisa aku memiliki sepupu.” Sindiran yang di ucapkan Leon berhasil mengenai tiga orang sekaligus. Pak Abdul, Asrof dan juga Dimas terdiam tak berkutik saat mendapatkan kata-kata menohok dari Leon. Pak Abdul sebisa mungkin mengontrol