Qasam duduk di sofa ruang tamu, kaki naik ke meja. Mata terpejam dan bibir tersenyum membayangkan Qizha tengah dikerjain dua pria sekaligus. Inilah akibat wanita yang dengan buadab telah membunuh adiknya. Entah niat apa yang ada di kepala Qizha hingga bisa- bisanya wanita yang tampilannya alim itu berbuat hal yang terkutuk. Anehnya, kenapa Qizha tak juga tertidur setelah Qasam membubuhkan obat tidur di ayam bakar kesukaan Qizha. Padahal jelas ia menaburkan obat tidur ke makanan itu. Qasam tak tahu kalau ayam bakar sudah diganti. Dia pun tak tahu kalau konsumen yang telah menyantap ayam bakar terkantuk- kantuk saat pulang dari warung makan naik motor. Suara pintu dibuka membuat Qasam membuka mata dan menatap Qizha yang melangkah masuk.Qasam menautkan dahi. Bagaimana bisa wanita ini kembali secepat ini? Bukankah seharusnya dia sedang meraung- raung meratapi kenyataan pahit setelah mahkotanya direnggut paksa dan digilir okeh dua lelaki? "Kau sudah kembali? Sudah selesai main kuda d
Qizha merasakan kepalanya pusing sekali, tubuh pun makin gemetaran. Nyawa seperti terbang entah kemana. Tidak. Qizha tidak boleh mati sebelum bisa melawan kezaliman Qasam. Pria zalim ini harus mendapatkan jawaban atas kezalimannya.Semangat dalam dirinya kembali tumbuh. Ia menggeser tubuhnya mendekati nasi. Dan berhasil. Qizha memakan nasi di lantai langsung menggunakan mulut."Luar biasa! Masih punya tenaga juga!" Qasam geleng kepala. Ia kembali berjongkok di sisi Qizha. "Seperti anjing, dia makan juga begitu." Qasam melenggang keluar kamar, membiarkan Qizha memakan nasi yang berserakan di lantai dengan menggunakan mulut tanpa bantuan tangan.Suami biadab! Pikir Qizha. Tak hanya itu saja yang dilakukan oleh Qasam, keesokan hari, pria itu datang lagi dan kembali menyerakkan nasi ke lantai. Disebabkan lapar, Qizha terpaksa menyantap nasi yang berserakan itu langsung menggunakan mulut, sama seperti kucing saat makan, begitulah yang dia lakukan. Sial, nasi itu ternyata basi. Namun ta
"Pisah? Dia... Bersikap nggak baik ya sama kamu?""Aku nggak kuat. Aku benar- benar nggak kuat." Mata Qizha berembun mengenang sikap Qasam yang bertubi- tubi menyakitinya, baik fisik maupun batin.Hana mengelus punggung tangan Qizha. Tak perlu bertanya, Hana sudah tahu seberat apa penderitaan Qizha. Melihat kondisi Qizha yang kacau saja, ia sudah tahu seberat apa beban yang dipikul sahabatnya itu.Mulai hari itu, Qizha akhirnya tinggal di kontrakan bersama dengan Hana dan Ica.Seperti biasa, mereka selalu berbagi, bercerita dan mengadu apa saja yang perlu diceritakan. Persahabatan mereka begitu kental. Di sini, Qizha merasa tidak sendiri. Ia memiliki alasan untuk bersemangat hidup, bahwa ada manusia lain yang masih menyayangi dan mengharapkan kehadirannya.Beberapa hari tinggal di rumah itu, Qizha merasa bahagia bisa bercanda, makan besama, mengobrol dan melakukan banyak hal dengan ceria bersama kedua sahabatnya. Selama kedua temannya bekerja, Qizha menghabiskan waktu seharian di ko
"Balik ke perusahaan? Jadi Office girl?" tanya Qizha tercekat."Tapi itu kan hanya sementara. Anggap sebagai batu loncatan, setelah itu kamu bisa menduduki jabatan lain, kan?" sahut Vina.Qizha berpikir. Mungkinkah ini merupakan tawaran bagus?"Setelah kamu membantuku mendapatkan kontrakan ini, aku merasa ingin membantumu juga. Anggap ini adalah balas budiku," imbuh Vina."Bukankah aku udah mangkir cukup lama di sana? Memangnya aku bisa balik ke sana lagi?" tanya Qizha ragu."Itu mah gampang. Kamu mangkir belum genap dua bulan, kok. Aku yang atur absensi mu. Itu gampang. Semua pekerjaan di bawahku, akulah yang kendalikan. Jadi itu mudah banget bagiku.”“Tapi bukankah di perusahaan itu menggunakan absensi sidik jari? Aku nggak pakai itu.”“Qizha, itu adalah persoalan gampang. Kalau urusan ke atasan aja bisa aku handle, kenapa untuk urusan itu nggak bisa? Atasanku bisa diajak runding kok. Semua bisa diatur. Pokoknya yang penting kamu masuk kerja, urusan administrasi absensimu biar
“Yang sebelah sana itu. agak kuat dong ngelapnya! Ya ampun, ini malah membekas nih. Sebelah sana lagi!” Wanita berjilbab biru yang dipanggil dengan nama Weni itu terus saja memerintah.Qizha menurut saja. Jika begini kondisinya, Qizha berniat minta pindah tempat saja pada Vina. Setidaknya jangan membersihkan ruangan itu lagi. Penghuninya galak semua, tidak ada yang bernurani.“Nih, bersihin ya!” salah seorang membuang kulit apel ke lantai. Padahal lantai sudah dipel. “Aku malas jalan ke tong sampah. Mumpung ada kamu, bersihkan sekalian!” Qizha membersihkan kulit apel.“Qziha, nanti sore jam lima kamu temui aku di lobi ya!” titah Weni.“Maaf, Bu. Itu udah jam pulang kerja. Dan saya nggak di kantor lagi,” sahut Qizha.“Hei, kamu itu OB. Harus nurut. Aku mau suruh kamu rapikan file milikku. Kamu kerjanya mesti di luar jam kerjaku, sebab aku fokus kerja saat di jam kerja begini. paham?”“Baik,” jawab Qizha tak bisa mengelak lagi. Apa lagi ia menjadi pusat perhatian semu
Qasam menekan bel pintu rumah besar dengan corak warna putih. Tak lain rumah milik Ameena.Tangan di belakangnya menyembunyikan sebuket bunga.Pintu dibuka. Pembantu dengan seragam biru putih tersenyum menyapa. “Selamat malam, Tuan Qasam!” pembantu menganggukkan kepala.“Ameena ada?”“Ada di kamar. Perlu saya panggil?”“Biar aku temui saja.” Qasam melangkah masuk dan langsung naik ke lantai dua. Ia sudah tahu letak kamar gadisnya. Beberapa kali mengetuk, pintu tak kunjung dibuka. Qasam akhirnya masuk.Kamar sepi. Rapi sekali. Harum.“Ameena!” Mata Qasam menatap ke segala penjuru. Pintu balkon terbuka. Qasam melangkah menuju ke balkon, ternyata Ameena berdiri di balkon. Wanita itu tengah menatap pemandangan indah di luar, menikmati sepoi- speoi angin malam.Piyama tidur lengan pendek membalut tubuhnya. Rambutnya beterbangan dimainkan angin. Sekilas saja Ameena menatap Qasam, kemudian pandangannya kembali ke depan dengan kedua tangan berpegangan pagar balkon.“Ngapain
“Apa yang kau lakukan?” Suara itu memuat Qizha mendongak, menatap Qasam yang sudah berdiri di ambang pintu. “Saya membersihkan ruangan ini, Pak!” jawab Qizha dengan enggan.“OB yang lama kemana?”“Rolling tugas, Pak.”Tatapan Qasam tertuju pada bingkai foto yang terjatuh di lantai. Segera ia memungut benda itu dan membiarkannya dalam posisi menelungkup. Kemudian dengan suara tegas ditambah tatapan lekat, ia berkata, “Apa yang kau lakukan dengan foto ini?”“Maaf, tadi sepertinya tersenggol. Biar saya betulkan posisinya.”“Kau sudah melihat foto ini?” tanya Qasam tegas. Jika wanita ini sudah melihat foto itu, tentunya dia tahu kalau Qansha satu keluarga dengan Qasam.Qizha menggeleng. “Belum, Pak. Mari saya susun kembalike meja.” “Tidak usah!” Qasam meletakkan bingkai foto ke laci.“Saya sudah selesai bekerja. Permisi.” Qizha melangkah menuju pintu. Tatapan Qasam tajm sekali menatap punggung Qizha yang berlalu ke pintu. Wanita itu berhenti, punggungnya berputar dan me
“Qizha, kamu dipanggil Bu Weni, tuh.”Suara itu membuat Qizha mengangkat wajah dan menatap sosok yang memanggilnya. Staf itu berdiri di ujung koridor.“Maaf, aku nggak kerja di bagian ruangan Bu Weni lagi. Jadi Bu Weni nggak bisa menyuruh- nyuruh aku,” balas Qizha berushaa untuk tegas. Dia menang telak saat ini. jangan harap mau disuruh-suruh oleh mereka yang tak punya perasaan.“Bu Weni Cuma mau ketemu saja kok. Bukan mau menyuruhmu. Temui saja dia dulu.”“Maaf. saya nggak punya urusan lagi sama Bu Weni.” Qizha berjalan mendekati wanita itu. “Sampaikan saja ke beliau kalau saya nggak bisa menemuinya. Dia bisa memanggil OB yang berkepentingan dengan beliau. Bukan saya. Permisi.” Qizha berlalu pergi.Masih ingat di pikiran Qizha bagaimana perlakuan Bu weni terhadapnya, yang dengan semena- mena memerintah Qizha, bahkan mengatur- ngatur dengan suara keras, tatapan bengis, bahkan sok berkuasa. Terakhir kali, Weni memintanya menyusun file di gudang di luar jam kerja, namun j
Qizha bermain dengan Zein di ruang main yang sengaja di desain khusus untuk anak bermain. Di sana lengkap ada berbagai macam jenis mainan, muali dari mobil-mobilan, bola, tempat mandi bola, perosotan, bahkan permainan untuk lompat-lompatan pun ada.Qizha mengawasi dari jarak beberapa meter, duduk sambil minum jus. Di sisinya ada Arini yang selalu stand by, memberikan apa saja keperluan Qizha.Si kecil mandi bila bersana dengan baby sitter yang tak pernah lepas dari posisi Zein kemana pun pergi. Qizha menatap layar ponselnya yang menunjuk tanggal dua belas, artinya tiga hari lagi Qasam pulang. Lama sekali rasanya menghitung hari. Serindu itu ternyata Qizha pada Qasam? Qizha malu jika mengingat dirinya yang nyaris seperti orang kasmaran dan jatuh cinta. Benda pipih itu kemudian berdering, nama Qasam tertera di layar. Qasam menelepon? Qizha tersenyum senang. Ia langsung menjawab telepon dan mengucap salam.“Kenapa sudah meneleponku? Kangen?” tanya Qizha.“Ha haa… tidak. Aku sama seka
Sudah tiga minggu Qasam pergi ke Jepang sejak terakhir kali Qizha mengantarnya ke bandara, pria itu belum kembali. Kemarin mengaku hanya akan perhi selama dua minggu, tapi ternyata sudah tiga minggu berlalu, Qasam belum kembali.Qizha mengerjakan aktivitas seperti biasanya, menghabiskan waktu dengan bermain bersama Zein, putra semata wayangnya. Kini, Zein sudah tumbuh makin besar. Usianya satu tahun. Di usia sembilan bulan, Zein sudah bisa berjalan. Sekarang, bocah itu sudah bisa berlari meski belum kencang.Qizha merindukan Qasam. Pria itu memang ngangenin. Sebentar tak ketemu, rasa rindu sudah sampai ke ubun- ubun. Sikap Qasam yang setahun belakangan terlihat memuliakan wanita, membuat Qizha merasa kalau Qasam itu seperti candu. Bayangkan saja, setiap saat, Qizha selalu saja mendapat kelembutan dan perhatian khusus dari suaminya. Lalu beberapa minggu, ia harus berpisah. Tentu saja ia rindu. Qizha baru saja meletakkan tubuh Zein ke kasur tidur khusus balita, berdekatan dengan kas
Baby sitter terlihat terampil ketika memandikan Zein, bayi yang baru berusia dua minggu. Qizha mengawasi di samping baby sitter. Selama ini, Qizha sendiri yang memandikan bayinya. Baru kali ini ia mengijinkan baby sitter memandikan bayinya, itu pun diawasi olehnya.“Kamu keliahtan terbiasa memandikan bayi,” komentar Qizha.“Iya, Non. Soalnya saya khusus mengurus bayi merah kan dulu sewaktu dip anti asuhan. Dan setelah masuk yayasan, saya juga jadi baby sitter,” sahut wanita yang usianya sekitar empat puluh limaan tahun itu.“Pantesan cekatan. Sini, biar aku yang pakaikan bajunya. Baju dan peralatan untuk si kecil sudah disiapkan?” Qizha mengambil alih bayinya setelah diangkat dari bak mandi.“Sudah, Non.” Qizha melangkah keluar dan segera memasang baju bayi yang sudah disediakan. Termasuk minyak kayu putih dan bedak juga sudah disediakan. Di kamar bayi itu, aroma minyam telon menguar, harum. Arini mendampingi Qizha. Dia bertugas untuk melayani Qizha. Sedangkan baby sit
Qasam membawa air hangat kuku dari pemanas air di sudut kamar sesuai permintaan Qizha dan menyerahkannya kepada istrinya itu. “Ayo minum!”Qasam membantu mendekatkan gelas ke bibir Qizha.“Aku bisa sendiri, Mas,” ucap Qizha dan mengambil alih gelas tersebut lalu meminumnya “Terima kasih, Mas.”Pandangan Qasam kemudian tertuju ke bayi kecil yang ada di samping Qizha. Pipinya tebem, kulitnya putih kemerahan. Hidungnya mancung. Menggemaskan dan lucu sekali. Ini adalah hari pertama Qizha dibawa pulang ke rumah setelah menjalani perawatan selama tiga hari di rumah sakit. Padahal sebenarnya di hari kedua Qizha sudah diijinkan pulang karena kondisinya sehat dan baik-baik saja, namun seperti biasa, Qasam melarang Qizha pulang dan dia diminta untuk dirawat di rumah sakit dengan pantauan dokter. Rumah sakit milik ayahnya, jadi mudah saja baginya mengatur kondisi di rumah sakit.Bahkan, kini Qasam meminta dokter keluarga untuk mengecek kondisi ibu dan bayi ke rumah di tiga hari perta
“Pinggangku sakit banget, Mas!” ucap Qizha sambil memegangi pinggang. Mulutnya meringis. Sebenarnya sudah sejak di perjalanan tadi Qizha merasakan ngilu, namun ia menahannya karena rasa ngilu itu datang dan hilang begitu saja. dia mengira hal itu biasa terjadi seiring kehamilannya yang semakin membesar.Namun, kini rasa ngilu itu makin parah, hampir setiap lima belas menit sekali muncul dan rasanya melilit sampai ke perut bagian bawah. Habiba memegang perut Qizha, rasanya keras menggumpal ke satu titik. Kemudian gumpalan keras itu bergerak menuju ke titik lain. Begitu seterusnya.“Ini Qizha sudah mau melahirkan. Ayo cepat bawa ke rumah sakit,” seru Habiba, membuat Qasam langsung gerak cepat menggendong tubuh Qizha dan membawanya ke mobil.Supir menyetir dnegan kelajuan tinggi mendengar suara ritihan Qizha di belakang. Qasam menggenggam tangan Qizha sambil terus mengatakan kata-kata motifasi.Qizha berkeringat, mukanya makin memucat, lemas sekali. Sesekali meringis menahan s
Semenjak Qizha tahu kalau Sina rujuk dengan Arsen, ia menjadi jauh lebih lega. Kini adiknya itu sudah ada yang menanggung jawabi. Hidupnya tidak lagi mengenaskan, Qizha pun tak perlu mencemaskan keadaannya lagi. Sina kini tinggal bersama sang suami. Setelah balitanya keluar dari rumah sakit, Sina mengunjungi rumah Qasam, menemui Qizha dan Qasam untuk mengucapkan rasa terima kasih. Arsen pun menunjukkan sikap layaknya sebagai saudara ipar. Qizha memberikan beberapa helai pakaian dan jilbab baru kepada Sina seperti yang dia janjikan. Qasam pun mulai membuka hati pada Sina. Dia tidak ketus lagi melihat sikap Sina yang jelas sudah jauh berubah. Penampilan Sina pun sudah tidak lusuh lagi seperti saat dia menjanda. Sepeninggalan Sina dan Arsen, tinggal lah Qizha dan Qasam yang duduk di ruang tamu berdua. “Mas, kamu udah nggak benci lagi sama Sina, kan?” tanya Qizha sambil.memegang tangan suaminya.“Tidak.” Tatapan Qasam tertuju pada mata bulat istrinya yang menggemaskan. “Dia seperti
Qizha menatap ekspresi wajah adik tirinya yang tak pernah dia lihat selama ini, wajah itu tampak jajh lebih menyedihkan, penuh penyesalan, dan tatapan iba. Ini adalah pemandangan pertama kalinya. Wajah Sina benar-benar tampak sangat mengenaskan. Bahkan tampilannya pun berbada, dia memakai kerudung untuk menutup auratnya. Apakah ini adalah awal bagi Sina untuk taubat? Dari mata adiknya, Qizha tidak melihat dendam dan tatapan kebencian seperti dulu. Setiap manusia memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri.Qizha meraih pundak Sina. “Bawa anakmu ke rumah sakit sekarang. Aku akan mengantarmu.”Sina mengangguk dengan senyum dan air matanya langsung berurai. “Iya, Kak. Makasih.”***Di rumah sakit itu, Qizha dan Sina duduk di depan balita yang terbujur dengan selang infus menusuk di kaki. Si kecil tidur pulas. Qizha didampingi oleh Arini, asisten rumah tangga yang satu itu tak diijinkan jauh dari Qizha. Selalu diminta Qasam untuk mendampingi Qizha. Wajah Sina yang tadinya murung, kini
“Mas, becandanya nggak lucu. Masak ngintip sih?” tanya Qizha yang tak terima suaminya mengucapkan kata-kata konyol tadi. “Ya, kalau aku lagi nganu sama kamu kan itu kepala bawah lagi ngintip ke dalam. He hee…” Qasam makin konyol. Ia kembali mengelus permukaan perut Qizha. Ia merasakan sensasi saat janin di dalam bergerak-gerak. “Dia bergerak. Setiap kali aku memancing dengan elusan, pasti dia bergerak-gerak.” Qasam tersenyum.“Iya, kalau ada pancingan dari luar, bayi kita pasti merespon. Dia tahu ada yang perhatian kepadanya.”“Tendangannya makin hari makin kuat.”“Namanya juga sudah sembilan bulan. Tinggal menunggu hari, ya tentu makin kuat dong.”“Hah? Sudah sembilan bulan?” Qasam kaget. “Cepat sekali rasanya? Aku bakalam punya anak nih sebentar lagi?”Qizha tersenyum. “Kamu kok jam segini udah pulang, Mas? Biasanya pulangnya agak malam atau lebih sore. Ini baru jam tiga sore loh.”“Aku kangen sama kamu, makanya cepet- cepet pulang.”“Sekarang sudah mulai bisa gombalin ya? Receh l
Tujuh bulan sudah berlalu. Kini Qizha menghabiskan waktu di rumah saja, menikmati kehamilannya yang sudah membuncit. Dia menghabsikan waktu dengan berjalan santai di sekitar rumah. Pemandangan di sekitar rumah besar yang dikelilingi pagar beton setinggi dua meter itu sangat asri. Ada banyak tanaman hijau yang menyejukkan mata, pancuran air pun ada. Qizha ditemani asisten rumah tangga yang setia mengikutinya. Menyediakan apa saja keperluannya. Ah, Qizha benar-benar merasa speerti ratu. Iya, diratukan oleh suaminya.Saat bosan, Qizha pergi ke salon. Menikmati creambath dan berbagai jenis perawatan lainnya.Qizha juga sesekali jalan-jalan ke mall untuk melihat-lihat suasana baru. Dikawal oleh asisten rumah tangga yang ditugaskan menemani. Namanya Arini, asisten rumah tangga yang sopan dan ramah. Dia melayani Qizha mulai dari A sampai Z. dia hafal kapan Qizha harus makan, minum susu, makan buah, dan minum jus. Dia juga mengambilkan handuk saat Qizha mau mandi, menyiapkan p