Habiba melipat tangan di dada. Tatapannya tegas ke Qizha."Benarkah kau berniat maling?" tanya Habiba."Sebelumnya, apakah boleh aku bertanya, Ma?""Apa?""Apakah mama percaya aku memiliki niat maling?"Jika bukan kepada Habiba, Qizha tentu tak akan bersedia menanyakannya. Namun, ia sadar sedang berhadapan dengan wanita berhati baik, maka ia berani mengutarakannya. "Tidak. Aku tidak yakin kamu melakukannya. Rasanya hati busuk itu tidak tercermin dalam dirimu." Habiba mengangkat alis. "Benarkah begitu?"Qizha tersenyum. Betapa beruntung memiliki.mertua sebaik Habiba."Aku pulang bareng sama Qasam. Tapi aku ketiduran di mobil. Jam segini aku baru terjaga karena merasa kehabisan oksigen." Qizha menjelaskan dengan detil. "Pintu mobil terkunci saat aku terjaga, dan mama pasti tahu sendiri apa yang terjadi saat pintu mobil dibuka dari dalam saat dalam keadaan terkunci. Alarmnya bunyi. Akhirnya aku dipergoki sebagai maling."Habiba menatap satpam. "Sudah, Pak. Biar aku yang urus. Bapak kemb
Qizha tersenyum lebar menatap wajah sangar Qasam. Biarkan saja Qasam tak menyukai tingkahnya. Qizha tak akan berhenti berusaha mengubah keadaan. Entah keadaan itu akan berubah atau tidak, namun Qizha tak akan putus asa untuk berikhtiar.“Jangan marah padaku, sebab keadaannya memang sulit. Kamu meninggalkan aku dalam keadaan aku sedang tidur pulas. Semuanya nggak akan terjadi kalau kamu…”“Diamlah! Tidur sana!” Qasam melempar bantal ke wajah Qizha, membuat wanita itu spontan menangkapnya.Ya Allah… begini amat menjadi istri yang dibenci suami sendiri. Qizha meletakkan bantal ke lantai. Seperti biasa, ia menggelar selimut untuk dijadikan alas badannya.Tubuhnya direbahkan di atas selimut, tak lupa menyelimuti badan dengan selimut pula. Setengah jam berbaring, ia tak bisa tidur. Gelisah.“Qasam, kamu udah tidur?” Qizha menatap cermin di depannya, wajah Qasam terpantul di sana. Pria tu berbaring menghadap ke arah cermin hingga Qizha dengan mudah menatapnya.“Jangan berisik!”
Tak mau terus mengobrol dengan Qizha, Qasam melenggang keluar. Ingin menjauh dari Qizha supaya telinganya tak lagi mendengar suara wanita itu.Namun, bukannya terlepas dari Qizha, Qasam malah diikuti oleh wanita itu. Istrinya itu bahkan kini mengiringi langkahnya. Dengan cepat, tangan mungil Qizha membukakan pintu kamar untuk suaminya. Senyum Qizha mengembang lebar menatap Qasam yang malah berhenti. Pria itu menoleh. Kemudian melenggang keluar bersamaan dengan Qizha yang juga melangkah keluar kamar.Mereka terkejut saat berpapasan dengan seorang wanita asing. Dipastikan wanita itu adalah pembantu, mengenakan pakaian seragam warna hitam khas pembantu di rumah itu. Bukan karena ada pembantu baru yang membuat keduanya terkejut saat bertemu dengan pembantu baru, tapi wajah pembantu itulah yang membuat mereka merasa kaget. Mereka sangat mengenali wajah itu. “Sina?” Qizha menyebut nama adiknya. Tak lain adik tiri yang selama ini selalu menguji kesabarannya. “Kamu?”Sama terk
Qasam bangkit berdiri meninggalkan meja makan.Lagi- lagi ia diikuti oleh Qizha. "Stay di rumah!" titah Qasam."Loh, kenapa? Bukannya aku nggak dikasih ijin buat mangkir? Kok malah disuruh stay di rumah?" Qizha bingung."Aku muak diikuti olehmu. Aku tidak mau sampai khilaf dan memukulmu," sahut Qasam sambil berjalan menuju ke ruang tamu. "Biar aku berangkat ke kantor sendiri. Aku tidak mau melihat mukamu hari ini.""Oh... Baiklah. Meski sebenarnya aslinya kamu itu kasihan padaku dan memberiku ijin dengan alasan nggak mau lihat mukaku lagi, aku bersyukur akhirnya bisa berdiam dan istirahat di rumah. Makasih ya."Qasam rasanya ingin menjitak wanita yang terus mengikutinya itu. Muak sekali. "Aku akan ada pekerjaan khusus dan aku harus fokus. Ini menyangkut dengan prestasiku di mata papa. Jika aku berhasil dalam tugas khusus hingga mempresentasikannya dengan sempurna, maka aku akan bisa memegang jabatan penting di perusahaan lain milik papa. Ini demi prestasiku, dan aku harus mendapatk
Di kantor, Qizha tengah fokus menatap laptop ketika para Gafar masuk ruangan dengan tergesa- gesa dibalut wajah panik.Qizha mengernyit heran. Kenapa Gafar datang seperti dikejar setan begitu?“Di sini nggak ada yang namanya kuntilanak kan?”Pertanyaan Qizha membuat Gafar bingung.“Itu? Kok kayak dikejar kuntilanak?” tanya Qizha.“Ooh… Bu Qizha bisa saja. Ini Bu, saya mau tanya jadwal Pak Qasam hari ini apa ya? Aduuuh… soalnya gini, ada klien yang ngamuk di telepon tadi, katanya mau ketemu Pak Qasam. Saya takut Pak Qasam tidak ada di tempat. Klien minta ketemu sama Pak Qasam.”Qizha menatap memo dan membacanya. “Kalau melihat jadwal kerjanya, Pak Qasam nggak akan masuk kantor hari ini, ada kunjungan penting di sebuah hotel.”“Haduh… Bagaimana ini? bisakah Pak Qasam diminta membatalkan jadwal kunjungan dan hadir ke kantor untuk menemui klien?”“Memangnya ada masalah apa?” tanya Qizha.“Pak Qasam salah kirim barang. Klien marah.”“Apa Pak Qasam sudah tahu soal ini? ada yang m
“Selamat siang, bapak- bapak! Mohon maaf, Pak Qasam sedang ada kegiatan penting sehingga tidak bisa menemui bapak- bapak,” ucap Qizha dengan gayanya yang dibikin seperti SPG yang sedang menawarkan barang yang dipasarkan. Senyumnya lebar, ramah, tangannya bahkan menangkup satu sama lain layaknya model.“Tidak bisa!” panggil dia kemari.Waduh! Akting Qizha yang sudah maksimal itu ternyata tidak mempan. Si pria garang ini tetap saja mengamuk. “Maaf, Bapak! Pak Qasam benar- benar tidak bisa dihubungi untuk saat ini, mohon bersabar menunggu esok hari. Akan saya hubungkan Anda dengan beliau,” ucap Qizha masih berusaha ramah sekali. Pipinya terasa kebas akibat senyum yang tak putus.“Aku dirugikan ini. milyaran uang sudah dia terima tapi barang tidak dikirim., seharusnya kemarin barang sampai, tapi sampai detik ini barang tidak datang. Dia malah kirim ke tempat lain,” kesal pria berkemeja maroon yang disebut dengan nama Khazim.“Oh, jadi ini masalahnya adalah barang yang dikiri
Fahri berdiri di dekat pintu ruangan yang beberapa menit lalu dimasuki oleh Qizha dan Khazim. Mereka tengah menunggu dengan gelisah. Berpikir apa yang sedang dilakukan Qizha dan Khazim di dalam.Di jarak sekitar tujuh meter, para bodyguard dan staf yang dibawa oleh Khazim berkerumun. Sesekali menatap garang ke arah Fahri.Setiap kali pandangan fahri bertukar dengan si body guard, dengan cepat Fahri mengalihkannya.“Qizha sedang apa di dalam sana?” bisik Fahri cemas.“Entahlah.” Gafar bingung sembari mengusap keringat di kening. “Apa Ac di sini mati? Panas sekali.”“Kelihatannya kau sedang tidak normal, suhu dingin begini jadi panas.” Fahri sendiri tidakmerasa gerah.“Sebenarnya kita tidak begitu dekat dengan Qizha, bahkan tidak begitu mengenalinya. Tapi setelah masalah ini, aku merasa seperti berteman dengannya,” ungkap Gafar.“Ya, aku juga. Aku tidak menyangka Qizha memiliki keberanian senekat itu.”“Sepertinya dia tidak nekat.”“Lantas? Apa namanya kalau bukan nekat?”“Ent
Qizha malah terbengong melihat keresahan Gafar dan Fahri. “Okey, aku anggap wajar kalian merasa khawatir denganku. Tapi kenapa aku merasa seolah kalian ini tidak sedang mengkhawatirkan aku? Tapi lebih kepada rasa penasaran. Benarkah begitu?” tanya Qizha.Gafar menggaruk kepalanya yang tak gatal. Lalu kembali merapikan rambut yang agak berantakan akibat garukan.Fahri tersenyum simpul. “Aku salut dengan keberanianmu. Baiklah, aku akan mengganti pertanyaanku. “Kenapa kau senekat tadi?”“Aku bekerja di sini, maka sudah seharusnya aku membela perusahaan ini bukan?” jawab Qizha.“Bukan itu alasannya,” sahut Fahri dengan kedikkan pundak kecil. “Kau jatuh cinta pada Qasam?”“Kalau sudah punya opini sendiri dari pertanyaanmu, kenapa bertanya?” Qizha geleng- geleng kepala. “Bukan rahasia lagi kalau kau bukanlah istri yang sesungguhnya. Kau istri yang disembunyikan oleh Qasam selama ini. semua orang tahu drama rumah tanggamu. Dan sekarang, Qasam seolah terpaksa menerimamu sebaga
Qizha bermain dengan Zein di ruang main yang sengaja di desain khusus untuk anak bermain. Di sana lengkap ada berbagai macam jenis mainan, muali dari mobil-mobilan, bola, tempat mandi bola, perosotan, bahkan permainan untuk lompat-lompatan pun ada.Qizha mengawasi dari jarak beberapa meter, duduk sambil minum jus. Di sisinya ada Arini yang selalu stand by, memberikan apa saja keperluan Qizha.Si kecil mandi bila bersana dengan baby sitter yang tak pernah lepas dari posisi Zein kemana pun pergi. Qizha menatap layar ponselnya yang menunjuk tanggal dua belas, artinya tiga hari lagi Qasam pulang. Lama sekali rasanya menghitung hari. Serindu itu ternyata Qizha pada Qasam? Qizha malu jika mengingat dirinya yang nyaris seperti orang kasmaran dan jatuh cinta. Benda pipih itu kemudian berdering, nama Qasam tertera di layar. Qasam menelepon? Qizha tersenyum senang. Ia langsung menjawab telepon dan mengucap salam.“Kenapa sudah meneleponku? Kangen?” tanya Qizha.“Ha haa… tidak. Aku sama seka
Sudah tiga minggu Qasam pergi ke Jepang sejak terakhir kali Qizha mengantarnya ke bandara, pria itu belum kembali. Kemarin mengaku hanya akan perhi selama dua minggu, tapi ternyata sudah tiga minggu berlalu, Qasam belum kembali.Qizha mengerjakan aktivitas seperti biasanya, menghabiskan waktu dengan bermain bersama Zein, putra semata wayangnya. Kini, Zein sudah tumbuh makin besar. Usianya satu tahun. Di usia sembilan bulan, Zein sudah bisa berjalan. Sekarang, bocah itu sudah bisa berlari meski belum kencang.Qizha merindukan Qasam. Pria itu memang ngangenin. Sebentar tak ketemu, rasa rindu sudah sampai ke ubun- ubun. Sikap Qasam yang setahun belakangan terlihat memuliakan wanita, membuat Qizha merasa kalau Qasam itu seperti candu. Bayangkan saja, setiap saat, Qizha selalu saja mendapat kelembutan dan perhatian khusus dari suaminya. Lalu beberapa minggu, ia harus berpisah. Tentu saja ia rindu. Qizha baru saja meletakkan tubuh Zein ke kasur tidur khusus balita, berdekatan dengan kas
Baby sitter terlihat terampil ketika memandikan Zein, bayi yang baru berusia dua minggu. Qizha mengawasi di samping baby sitter. Selama ini, Qizha sendiri yang memandikan bayinya. Baru kali ini ia mengijinkan baby sitter memandikan bayinya, itu pun diawasi olehnya.“Kamu keliahtan terbiasa memandikan bayi,” komentar Qizha.“Iya, Non. Soalnya saya khusus mengurus bayi merah kan dulu sewaktu dip anti asuhan. Dan setelah masuk yayasan, saya juga jadi baby sitter,” sahut wanita yang usianya sekitar empat puluh limaan tahun itu.“Pantesan cekatan. Sini, biar aku yang pakaikan bajunya. Baju dan peralatan untuk si kecil sudah disiapkan?” Qizha mengambil alih bayinya setelah diangkat dari bak mandi.“Sudah, Non.” Qizha melangkah keluar dan segera memasang baju bayi yang sudah disediakan. Termasuk minyak kayu putih dan bedak juga sudah disediakan. Di kamar bayi itu, aroma minyam telon menguar, harum. Arini mendampingi Qizha. Dia bertugas untuk melayani Qizha. Sedangkan baby sit
Qasam membawa air hangat kuku dari pemanas air di sudut kamar sesuai permintaan Qizha dan menyerahkannya kepada istrinya itu. “Ayo minum!”Qasam membantu mendekatkan gelas ke bibir Qizha.“Aku bisa sendiri, Mas,” ucap Qizha dan mengambil alih gelas tersebut lalu meminumnya “Terima kasih, Mas.”Pandangan Qasam kemudian tertuju ke bayi kecil yang ada di samping Qizha. Pipinya tebem, kulitnya putih kemerahan. Hidungnya mancung. Menggemaskan dan lucu sekali. Ini adalah hari pertama Qizha dibawa pulang ke rumah setelah menjalani perawatan selama tiga hari di rumah sakit. Padahal sebenarnya di hari kedua Qizha sudah diijinkan pulang karena kondisinya sehat dan baik-baik saja, namun seperti biasa, Qasam melarang Qizha pulang dan dia diminta untuk dirawat di rumah sakit dengan pantauan dokter. Rumah sakit milik ayahnya, jadi mudah saja baginya mengatur kondisi di rumah sakit.Bahkan, kini Qasam meminta dokter keluarga untuk mengecek kondisi ibu dan bayi ke rumah di tiga hari perta
“Pinggangku sakit banget, Mas!” ucap Qizha sambil memegangi pinggang. Mulutnya meringis. Sebenarnya sudah sejak di perjalanan tadi Qizha merasakan ngilu, namun ia menahannya karena rasa ngilu itu datang dan hilang begitu saja. dia mengira hal itu biasa terjadi seiring kehamilannya yang semakin membesar.Namun, kini rasa ngilu itu makin parah, hampir setiap lima belas menit sekali muncul dan rasanya melilit sampai ke perut bagian bawah. Habiba memegang perut Qizha, rasanya keras menggumpal ke satu titik. Kemudian gumpalan keras itu bergerak menuju ke titik lain. Begitu seterusnya.“Ini Qizha sudah mau melahirkan. Ayo cepat bawa ke rumah sakit,” seru Habiba, membuat Qasam langsung gerak cepat menggendong tubuh Qizha dan membawanya ke mobil.Supir menyetir dnegan kelajuan tinggi mendengar suara ritihan Qizha di belakang. Qasam menggenggam tangan Qizha sambil terus mengatakan kata-kata motifasi.Qizha berkeringat, mukanya makin memucat, lemas sekali. Sesekali meringis menahan s
Semenjak Qizha tahu kalau Sina rujuk dengan Arsen, ia menjadi jauh lebih lega. Kini adiknya itu sudah ada yang menanggung jawabi. Hidupnya tidak lagi mengenaskan, Qizha pun tak perlu mencemaskan keadaannya lagi. Sina kini tinggal bersama sang suami. Setelah balitanya keluar dari rumah sakit, Sina mengunjungi rumah Qasam, menemui Qizha dan Qasam untuk mengucapkan rasa terima kasih. Arsen pun menunjukkan sikap layaknya sebagai saudara ipar. Qizha memberikan beberapa helai pakaian dan jilbab baru kepada Sina seperti yang dia janjikan. Qasam pun mulai membuka hati pada Sina. Dia tidak ketus lagi melihat sikap Sina yang jelas sudah jauh berubah. Penampilan Sina pun sudah tidak lusuh lagi seperti saat dia menjanda. Sepeninggalan Sina dan Arsen, tinggal lah Qizha dan Qasam yang duduk di ruang tamu berdua. “Mas, kamu udah nggak benci lagi sama Sina, kan?” tanya Qizha sambil.memegang tangan suaminya.“Tidak.” Tatapan Qasam tertuju pada mata bulat istrinya yang menggemaskan. “Dia seperti
Qizha menatap ekspresi wajah adik tirinya yang tak pernah dia lihat selama ini, wajah itu tampak jajh lebih menyedihkan, penuh penyesalan, dan tatapan iba. Ini adalah pemandangan pertama kalinya. Wajah Sina benar-benar tampak sangat mengenaskan. Bahkan tampilannya pun berbada, dia memakai kerudung untuk menutup auratnya. Apakah ini adalah awal bagi Sina untuk taubat? Dari mata adiknya, Qizha tidak melihat dendam dan tatapan kebencian seperti dulu. Setiap manusia memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri.Qizha meraih pundak Sina. “Bawa anakmu ke rumah sakit sekarang. Aku akan mengantarmu.”Sina mengangguk dengan senyum dan air matanya langsung berurai. “Iya, Kak. Makasih.”***Di rumah sakit itu, Qizha dan Sina duduk di depan balita yang terbujur dengan selang infus menusuk di kaki. Si kecil tidur pulas. Qizha didampingi oleh Arini, asisten rumah tangga yang satu itu tak diijinkan jauh dari Qizha. Selalu diminta Qasam untuk mendampingi Qizha. Wajah Sina yang tadinya murung, kini
“Mas, becandanya nggak lucu. Masak ngintip sih?” tanya Qizha yang tak terima suaminya mengucapkan kata-kata konyol tadi. “Ya, kalau aku lagi nganu sama kamu kan itu kepala bawah lagi ngintip ke dalam. He hee…” Qasam makin konyol. Ia kembali mengelus permukaan perut Qizha. Ia merasakan sensasi saat janin di dalam bergerak-gerak. “Dia bergerak. Setiap kali aku memancing dengan elusan, pasti dia bergerak-gerak.” Qasam tersenyum.“Iya, kalau ada pancingan dari luar, bayi kita pasti merespon. Dia tahu ada yang perhatian kepadanya.”“Tendangannya makin hari makin kuat.”“Namanya juga sudah sembilan bulan. Tinggal menunggu hari, ya tentu makin kuat dong.”“Hah? Sudah sembilan bulan?” Qasam kaget. “Cepat sekali rasanya? Aku bakalam punya anak nih sebentar lagi?”Qizha tersenyum. “Kamu kok jam segini udah pulang, Mas? Biasanya pulangnya agak malam atau lebih sore. Ini baru jam tiga sore loh.”“Aku kangen sama kamu, makanya cepet- cepet pulang.”“Sekarang sudah mulai bisa gombalin ya? Receh l
Tujuh bulan sudah berlalu. Kini Qizha menghabiskan waktu di rumah saja, menikmati kehamilannya yang sudah membuncit. Dia menghabsikan waktu dengan berjalan santai di sekitar rumah. Pemandangan di sekitar rumah besar yang dikelilingi pagar beton setinggi dua meter itu sangat asri. Ada banyak tanaman hijau yang menyejukkan mata, pancuran air pun ada. Qizha ditemani asisten rumah tangga yang setia mengikutinya. Menyediakan apa saja keperluannya. Ah, Qizha benar-benar merasa speerti ratu. Iya, diratukan oleh suaminya.Saat bosan, Qizha pergi ke salon. Menikmati creambath dan berbagai jenis perawatan lainnya.Qizha juga sesekali jalan-jalan ke mall untuk melihat-lihat suasana baru. Dikawal oleh asisten rumah tangga yang ditugaskan menemani. Namanya Arini, asisten rumah tangga yang sopan dan ramah. Dia melayani Qizha mulai dari A sampai Z. dia hafal kapan Qizha harus makan, minum susu, makan buah, dan minum jus. Dia juga mengambilkan handuk saat Qizha mau mandi, menyiapkan p