Ranjang yang terbuat dari papan itu berderit saat Qasam menaikinya. Suaranya jelek dan menyebalkan.Apakah mungkin orang- orang di luar mendengar suara ranjang reot itu berderit?Bisa- bisa mereka mengira yang tidak - tidak meski memang aslinya tidak- tidak.Kasur terbuat dari busa yang ditiduri Qizha itu terayun. Di bagian kiri dan kanan, pertanda ada yang merangkak di sisi kiri kanan Qizha. Krieet krieeet…Ranjang sialan itu terus saja berderit. Bikin rame dan telinga keriting.“Sialan! Kenapa ranjang jelek ini terus saja berbunyi?” kesal Qasam. “Jika ranjang ini terus saja berbunyi, aku akan merobohkannya sekalian.”Perkataan Qasam membuat Qizha membuka mata. Dan ternyata pria itu sudah ada di atasnya, posisi merangkak dengan kaki dan tangan berada di sisi kiri dan kanan badan Qizha.Qizha menelan saliva. Gemetaran menatap wajah Qasam di atasnya.Apa yang akan dilakukan pria ini?“Kita malam pertama,” bisik Qasam.Qizha makin deg- degan. Bukan deg- degan karena jatuh cinta
"Lemari jelek itu akan kupakai. Hanya boleh digunakan oleh pakaianku saja, jangan dicampur dengan pakaianmu!" sambung Qasam.Qizha mematuhinya. Dia mengeluarkan pakaian dari lemari, lalu menaruh ke lantai. Untuk sementara biarkan saja dulu begitu. Besok akan dipikirkan harus disusun dimana."Apa aku udah boleh tidur nih?" tanya Qizha."Belum. Satu hal yang perlu kau ingat, jangan tidur menghadap aku. Kau itu buruk sekali. Mukamu jelek dan tidak enak dilihat.""Wajahku nggak perlu kuubah, kalau kamu melihatku jelek, buang aja matamu!"Loh, kok Qizha berani menjawab perkataan Qasam? Bahkan kalimatnya tidak enak begitu?Qasam sontak mengambil botol air mineral di atas meja, kemudian menyiramkan airnya ke kerudung Qizha.Seketika Qizha gelagapan dan menjerit kaget, "Qasam gepeng!"Duh, mulut malah mengeluarkan kata- kata tak enak saat kaget.Qizha mengusap wajahnya yang basah oleh aliran air. Dingin sekali pundaknya terkena tetesan air.Terpaksa ia menukar pakaian meski harus bersembunyi
Qasam mendorong motor matic tersebut mendekat ke arah warung. Dia usap keringat dengan lengan baju.“Mampir sini, Mas. Ngopi saja dulu!” pemilik warung tua ramah sekali.Inilah pertama kalinya Qasam mendorong motor di bawah terik matahari sampai berkeringat. Ia memasuki warung yang terbuat dari papan itu. Warung itu merupakan kedai kopi yang menjual berbagai macam menu sarapan, menyatu dengan warung sembako dan berbagai jenis sayur mayur mentah. Biasanya kedai kopi tutup jam tiga sore. Hanya warung sembako yang buka sampai malam.Beberapa orang pria sudah lebih dulu duduk di mengelilingi salah satu meja. Kelihatannya mereka adalah para suami takut istri, yang pergi meninggalkan rumah dengan alasan bekerja, tapi malah ngopi di warung.“Kopi satu!” pinta Qasam pada pak Senen, pemilik warung.“Baik, Mas.” Pak Senen mengangguk. “Bu, kopi satu untuk Nak Qasam.” Lelaki tua itu memerintah istrinya.Hampir semua orang mengenal Qasam. Sejak namanya naik daun gara- gara mengalahkan banyak prem
Meski dalam keadaan letih, senyum di wajah Qizha tetap tampil. Langkahnya tersendat saat melihat keberadaan Qasam di warung yang akan dia tuju. Satu- satunya warung yang paling dekat hanya itu. Jika ia harus berjalan lebih jauh lagi menuju warung di depan, maka ia pasti akan lebih lelah. Tenaganya sudah terkuras berjalan di bawah terik matahari. Maka lebih baik ia berbelanja di warung itu saja. Ia kembali melanjutkan langkah memasuki warung sembako yang menyatu dengan kedai kopi.Semoga saja Qasam tidak membuat ulah lagi."Beli apa, Zha?" tanya Bu Senen menyambut kedatangan Qizha dengan ramah.Qizha menyebut daftar belanjaan yang ia butuhkan sesuai catatan di kertas.Bu Senen mengambilkan barang- barang yang disebutkan. "Pulangnya barengan sama suami aja, Zha. Pasti capek jalan kaki kan? Tuh, suamimu kebetulan ada di sini," ucap Bu Senen.Qizha menoleh pada Qasam, mendadak bulu kuduknya merinding. Takut akan mendapati tatapan sangar suami. Namun dugaannya keliru, ia tidak mendapati
Motor yang tadinya mogok, sudah baikan setelah diotak- atik oleh Qasam. Bruk!Tubuh Arsen terserempet motor Qasam, ia terhuyung. Untungnya masih bisa mempertahankan tubuh supaya tetap tegak berdiri.Qasam segera turun dari motor dan menghampiri Arsen.Bugh!Kepalan tinjunya menghantam wajah Arsen, membuat tubuh Arsen langsung jatuh ke tanah.“Apa yang kau lakukan dengan istriku? Kenapa kau pegang tangannya, hm?” Qasam menunjuk- nunjuk ke arah Arsen.Qizha takut melihat aksi pemukulan itu. Ia tak bisa berbuat apa- apa kecuali menatap panik.Arsen memegangi pipinya, keluar darah segar dari salah satu sudut bibirnya yang pecah.“Sekali pukul saja, kau pasti merasakan sakit yang luar biasa. Mau ditambah sekali lagi?” Qasam mengangkat dagunya dengan angkuh.“Maaf aku sudah membuatmu salah paham!” ucap Arsen sambil mengusap darah yang menetes. Ia bangkit berdiri dengan sudah payah.“Jangan bicara apa pun! Aku tidak butuh penjelasan apa- apa! Apa pun alasannya, kau dilarang menyentuh istriku
Muka Agata langsung memucat. Ia pun pergi ngibrit meninggalkan Qasam.Qizha tersenyum melihat ibunya seperti terpental begitu. Kayak orang kena setrum, langsung mental. Senyum Qizha mendadak hilang saat melihat sosok pria yang berdiri di sisinya. Muncul ketegangan. Entah kenapa selalu saja muncul ketegangan setiap kali berdekatan dengan Qasam. Pria ini memiliki aura ketegasan yang tak dimiliki oleh siapa pun. Qizha langsung mengalihkan pandangan saat matanya bertemu dengan mata Qasam. Ia selalu saja kalah tatap jika bertukar pandang."Aku mau memasak di dapur." Qizha bergerak hendak melangkah pergi. Namun lengan Qasam menghadang tepat di depan mukanya, melintang dan menapakkan telapak tangan di dinding. "Kamu mau apa lagi? Mau dibuatin kopi?" tanya Qizha. "Jangan memasak apa pun!" "Loh, ibu bisa ngamuk kalau aku nggak masak. Salah- salah dia ngereog dan ngomel sampai pagi." "Kau lebih takut padaku atau dia?" "Keduanya. Sama- sama nyeremin." Qasam terkesiap. Sialan nih oran
"Bicara aja sama ibu. Aku merasa nggak ada yang perlu dibahas lagi. Maaf," sahut Qizha berusaha untuk tetap bersikap sopan."Tunggu, Qizha. Ini tidak akan selesai jika kau terus menghindar!" pinta Arsen.Terpaksa Qizha mengalah dari pada masalah ini tidak kelar- kelar. "Bu Agata, Pak Bily, sejak dulu aku dan Qizha sudah memiliki rencana pernikahan. Kami ingin hidup bersama," ungkap Arsen. "Aku berharap ibu dan bapak bisa memberikan pemahaman pada Qizha dan Qasam supaya mereka tidak melanjutkan pernikahan mereka. Sebab pernikahan mereka itu terjadi karena sebuah alasan yang buruk."Muka Agata sontak memerah. "Sejak dulu aku nggak restui kamu nikah sama Qizha. Aku justru maunya kamu nikahin Sina. Kalian itu serasi. Kamu adalah pria mapan yang sepantasnya menikahi wanita selevel seperti Sina. Jadi sekarang ini aku nggak mau misahin Qizha dan Qasam. Biarin aja mereka hidup bersama. Toh mereka itu cocok kok."Arsen menoleh pada kedua orang tuanya. Yang langsung dibalas dengan tatapan pa
Muka Agata memerah, menahan rasa marah dan malu bersamaan.“Oh eh… ini… Aduh, kenapa malah sepatu bau ini di sini?” Agata meraih sepatu itu dan melemparnya ke arah sudut ruangan. Keplak!Sepatu yang terbang malah menghantam muka Sina.“Aduh!” Sina memegangi wajahnya.“Eh, maafin ibu.” Agata merasa bersalah. Mata Sina kelilipan. Sepatu jelek itu membawa tanah yang kemudian nyolok matanya. Bikin mata pedas dan berair.Qizha sedikit merasa terhibur dengan hiburan di depan matanya. Iya, sepatu terbang yang menabok mata Sina cukup menghiburnya hingga ia tertawa sambil menutup mulut supaya tawanya tidak didengar oleh siapa pun. Kalau Agata mendengar tawanya, ia pasti akan diamuk oleh wanita itu.Perhatian kembali ke meja yang kosong dan malah terlihat tanah bekas alas sepatu yang rontok mengotori meja.“Maaf, ini sepertinya ada kesalahan tekhnis. Jj jadinya masakan belum disiapkan,” ucap Agata plintat plintut, malu sekali. Orang tua Arsen mulai kelihatan resah."Bagaimana ini
Qizha bermain dengan Zein di ruang main yang sengaja di desain khusus untuk anak bermain. Di sana lengkap ada berbagai macam jenis mainan, muali dari mobil-mobilan, bola, tempat mandi bola, perosotan, bahkan permainan untuk lompat-lompatan pun ada.Qizha mengawasi dari jarak beberapa meter, duduk sambil minum jus. Di sisinya ada Arini yang selalu stand by, memberikan apa saja keperluan Qizha.Si kecil mandi bila bersana dengan baby sitter yang tak pernah lepas dari posisi Zein kemana pun pergi. Qizha menatap layar ponselnya yang menunjuk tanggal dua belas, artinya tiga hari lagi Qasam pulang. Lama sekali rasanya menghitung hari. Serindu itu ternyata Qizha pada Qasam? Qizha malu jika mengingat dirinya yang nyaris seperti orang kasmaran dan jatuh cinta. Benda pipih itu kemudian berdering, nama Qasam tertera di layar. Qasam menelepon? Qizha tersenyum senang. Ia langsung menjawab telepon dan mengucap salam.“Kenapa sudah meneleponku? Kangen?” tanya Qizha.“Ha haa… tidak. Aku sama seka
Sudah tiga minggu Qasam pergi ke Jepang sejak terakhir kali Qizha mengantarnya ke bandara, pria itu belum kembali. Kemarin mengaku hanya akan perhi selama dua minggu, tapi ternyata sudah tiga minggu berlalu, Qasam belum kembali.Qizha mengerjakan aktivitas seperti biasanya, menghabiskan waktu dengan bermain bersama Zein, putra semata wayangnya. Kini, Zein sudah tumbuh makin besar. Usianya satu tahun. Di usia sembilan bulan, Zein sudah bisa berjalan. Sekarang, bocah itu sudah bisa berlari meski belum kencang.Qizha merindukan Qasam. Pria itu memang ngangenin. Sebentar tak ketemu, rasa rindu sudah sampai ke ubun- ubun. Sikap Qasam yang setahun belakangan terlihat memuliakan wanita, membuat Qizha merasa kalau Qasam itu seperti candu. Bayangkan saja, setiap saat, Qizha selalu saja mendapat kelembutan dan perhatian khusus dari suaminya. Lalu beberapa minggu, ia harus berpisah. Tentu saja ia rindu. Qizha baru saja meletakkan tubuh Zein ke kasur tidur khusus balita, berdekatan dengan kas
Baby sitter terlihat terampil ketika memandikan Zein, bayi yang baru berusia dua minggu. Qizha mengawasi di samping baby sitter. Selama ini, Qizha sendiri yang memandikan bayinya. Baru kali ini ia mengijinkan baby sitter memandikan bayinya, itu pun diawasi olehnya.“Kamu keliahtan terbiasa memandikan bayi,” komentar Qizha.“Iya, Non. Soalnya saya khusus mengurus bayi merah kan dulu sewaktu dip anti asuhan. Dan setelah masuk yayasan, saya juga jadi baby sitter,” sahut wanita yang usianya sekitar empat puluh limaan tahun itu.“Pantesan cekatan. Sini, biar aku yang pakaikan bajunya. Baju dan peralatan untuk si kecil sudah disiapkan?” Qizha mengambil alih bayinya setelah diangkat dari bak mandi.“Sudah, Non.” Qizha melangkah keluar dan segera memasang baju bayi yang sudah disediakan. Termasuk minyak kayu putih dan bedak juga sudah disediakan. Di kamar bayi itu, aroma minyam telon menguar, harum. Arini mendampingi Qizha. Dia bertugas untuk melayani Qizha. Sedangkan baby sit
Qasam membawa air hangat kuku dari pemanas air di sudut kamar sesuai permintaan Qizha dan menyerahkannya kepada istrinya itu. “Ayo minum!”Qasam membantu mendekatkan gelas ke bibir Qizha.“Aku bisa sendiri, Mas,” ucap Qizha dan mengambil alih gelas tersebut lalu meminumnya “Terima kasih, Mas.”Pandangan Qasam kemudian tertuju ke bayi kecil yang ada di samping Qizha. Pipinya tebem, kulitnya putih kemerahan. Hidungnya mancung. Menggemaskan dan lucu sekali. Ini adalah hari pertama Qizha dibawa pulang ke rumah setelah menjalani perawatan selama tiga hari di rumah sakit. Padahal sebenarnya di hari kedua Qizha sudah diijinkan pulang karena kondisinya sehat dan baik-baik saja, namun seperti biasa, Qasam melarang Qizha pulang dan dia diminta untuk dirawat di rumah sakit dengan pantauan dokter. Rumah sakit milik ayahnya, jadi mudah saja baginya mengatur kondisi di rumah sakit.Bahkan, kini Qasam meminta dokter keluarga untuk mengecek kondisi ibu dan bayi ke rumah di tiga hari perta
“Pinggangku sakit banget, Mas!” ucap Qizha sambil memegangi pinggang. Mulutnya meringis. Sebenarnya sudah sejak di perjalanan tadi Qizha merasakan ngilu, namun ia menahannya karena rasa ngilu itu datang dan hilang begitu saja. dia mengira hal itu biasa terjadi seiring kehamilannya yang semakin membesar.Namun, kini rasa ngilu itu makin parah, hampir setiap lima belas menit sekali muncul dan rasanya melilit sampai ke perut bagian bawah. Habiba memegang perut Qizha, rasanya keras menggumpal ke satu titik. Kemudian gumpalan keras itu bergerak menuju ke titik lain. Begitu seterusnya.“Ini Qizha sudah mau melahirkan. Ayo cepat bawa ke rumah sakit,” seru Habiba, membuat Qasam langsung gerak cepat menggendong tubuh Qizha dan membawanya ke mobil.Supir menyetir dnegan kelajuan tinggi mendengar suara ritihan Qizha di belakang. Qasam menggenggam tangan Qizha sambil terus mengatakan kata-kata motifasi.Qizha berkeringat, mukanya makin memucat, lemas sekali. Sesekali meringis menahan s
Semenjak Qizha tahu kalau Sina rujuk dengan Arsen, ia menjadi jauh lebih lega. Kini adiknya itu sudah ada yang menanggung jawabi. Hidupnya tidak lagi mengenaskan, Qizha pun tak perlu mencemaskan keadaannya lagi. Sina kini tinggal bersama sang suami. Setelah balitanya keluar dari rumah sakit, Sina mengunjungi rumah Qasam, menemui Qizha dan Qasam untuk mengucapkan rasa terima kasih. Arsen pun menunjukkan sikap layaknya sebagai saudara ipar. Qizha memberikan beberapa helai pakaian dan jilbab baru kepada Sina seperti yang dia janjikan. Qasam pun mulai membuka hati pada Sina. Dia tidak ketus lagi melihat sikap Sina yang jelas sudah jauh berubah. Penampilan Sina pun sudah tidak lusuh lagi seperti saat dia menjanda. Sepeninggalan Sina dan Arsen, tinggal lah Qizha dan Qasam yang duduk di ruang tamu berdua. “Mas, kamu udah nggak benci lagi sama Sina, kan?” tanya Qizha sambil.memegang tangan suaminya.“Tidak.” Tatapan Qasam tertuju pada mata bulat istrinya yang menggemaskan. “Dia seperti
Qizha menatap ekspresi wajah adik tirinya yang tak pernah dia lihat selama ini, wajah itu tampak jajh lebih menyedihkan, penuh penyesalan, dan tatapan iba. Ini adalah pemandangan pertama kalinya. Wajah Sina benar-benar tampak sangat mengenaskan. Bahkan tampilannya pun berbada, dia memakai kerudung untuk menutup auratnya. Apakah ini adalah awal bagi Sina untuk taubat? Dari mata adiknya, Qizha tidak melihat dendam dan tatapan kebencian seperti dulu. Setiap manusia memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri.Qizha meraih pundak Sina. “Bawa anakmu ke rumah sakit sekarang. Aku akan mengantarmu.”Sina mengangguk dengan senyum dan air matanya langsung berurai. “Iya, Kak. Makasih.”***Di rumah sakit itu, Qizha dan Sina duduk di depan balita yang terbujur dengan selang infus menusuk di kaki. Si kecil tidur pulas. Qizha didampingi oleh Arini, asisten rumah tangga yang satu itu tak diijinkan jauh dari Qizha. Selalu diminta Qasam untuk mendampingi Qizha. Wajah Sina yang tadinya murung, kini
“Mas, becandanya nggak lucu. Masak ngintip sih?” tanya Qizha yang tak terima suaminya mengucapkan kata-kata konyol tadi. “Ya, kalau aku lagi nganu sama kamu kan itu kepala bawah lagi ngintip ke dalam. He hee…” Qasam makin konyol. Ia kembali mengelus permukaan perut Qizha. Ia merasakan sensasi saat janin di dalam bergerak-gerak. “Dia bergerak. Setiap kali aku memancing dengan elusan, pasti dia bergerak-gerak.” Qasam tersenyum.“Iya, kalau ada pancingan dari luar, bayi kita pasti merespon. Dia tahu ada yang perhatian kepadanya.”“Tendangannya makin hari makin kuat.”“Namanya juga sudah sembilan bulan. Tinggal menunggu hari, ya tentu makin kuat dong.”“Hah? Sudah sembilan bulan?” Qasam kaget. “Cepat sekali rasanya? Aku bakalam punya anak nih sebentar lagi?”Qizha tersenyum. “Kamu kok jam segini udah pulang, Mas? Biasanya pulangnya agak malam atau lebih sore. Ini baru jam tiga sore loh.”“Aku kangen sama kamu, makanya cepet- cepet pulang.”“Sekarang sudah mulai bisa gombalin ya? Receh l
Tujuh bulan sudah berlalu. Kini Qizha menghabiskan waktu di rumah saja, menikmati kehamilannya yang sudah membuncit. Dia menghabsikan waktu dengan berjalan santai di sekitar rumah. Pemandangan di sekitar rumah besar yang dikelilingi pagar beton setinggi dua meter itu sangat asri. Ada banyak tanaman hijau yang menyejukkan mata, pancuran air pun ada. Qizha ditemani asisten rumah tangga yang setia mengikutinya. Menyediakan apa saja keperluannya. Ah, Qizha benar-benar merasa speerti ratu. Iya, diratukan oleh suaminya.Saat bosan, Qizha pergi ke salon. Menikmati creambath dan berbagai jenis perawatan lainnya.Qizha juga sesekali jalan-jalan ke mall untuk melihat-lihat suasana baru. Dikawal oleh asisten rumah tangga yang ditugaskan menemani. Namanya Arini, asisten rumah tangga yang sopan dan ramah. Dia melayani Qizha mulai dari A sampai Z. dia hafal kapan Qizha harus makan, minum susu, makan buah, dan minum jus. Dia juga mengambilkan handuk saat Qizha mau mandi, menyiapkan p