๐ Happy Reading ๐
Langit seolah ikut bersedih ketika orang-orang mengantarkan Kakek Latief ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Nampak di sana tamu-tamu dari berbagai macam kalangan ikut menyaksikan bagaimana pria pendiri dari Group Latief itu disemayamkan. Sementara keluarga dan sanak saudara berbaris rapi di samping makam sembari menabur bunga beserta doa untuk mengiringi kepergian sang Kakek menuju pangkuan Sang Khalik.
Sellandra, gadis itu menjadi sangat pendiam sejak dokter menyatakan kalau kakeknya sudah meninggal dunia. Dia kembali kehilangan satu orang yang begitu menyayanginya setelah kepergian ayahnya sepuluh tahun yang lalu. Di samping Sellandra berdiri ibunya yang masih terisak lirih sambil menatap sendu ke arah makam yang masih basah. Nadia, dia kehilangan sosok pahlawan yang selalu mengayomi dan melindungi dia dan juga putrinya selama ini.
"Sell....
"Iya Bu," sahut Sellandra lirih.
"Bagaimana nasib kita ke depannya nanti. Ayah dan Kakekmu sudah meninggal, Ibu rasa kita sudah tak pantas lagi berada di rumah itu," ucap Nadia sedih. "Mereka pasti akan langsung mengusir kita setelah ini."
Sellandra menghela nafas. Ini juga yang mengusik pikirannya sejak tadi. Nenek dan anggota keluarga yang lain begitu membenci dia dan ibunya, sudah pasti mereka akan menggunakan kesempatan ini untuk berbuat semena-mena terhadap mereka berdua.
"Kalau benar kita diusir ya sudah kita pergi saja, Bu. Uang tabunganku sudah lumayan banyak, itu bisa kita gunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ibu tenang saja, aku yang akan bertanggung jawab ke depannya nanti."
Nadia mengeratkan pelukan ke lengan putrinya. Terlahir sebagai gadis dari keluarga sederhana membuat Nadia tak mempunyai kemampuan apapun dalam hal berbisnis. Juga selama ini dia memang tak pernah diizinkan untuk terlibat dalam bisnis keluarga suaminya yang bergerak di bidang kecantikan. Sebenarnya suami dan ayah mertuanya tidak masalah kalau dia ikut bergabung, hanya saja ibu mertua dan juga adik iparnya terus melarang dengan mengatakan kalau dia tak pantas maju di dunia bisnis. Hanya membuat malu, pikir mereka. Karena tak ngin ada keributan di keluarga suaminya, Nadia memutuskan untuk mengalah saja. Dia cukup tahu diri dengan statusnya sebelum masuk ke keluarga Latief.
"Ciih, lihat kedua wanita itu. Mereka terus saja berbisik-bisik di saat semua orang sedang berkabung," sindir Kasturi sambil melirik sinis kearah cucu dan menantunya. "Mereka pasti sedang sibuk membahas seberapa banyak harta yang akan mereka dapatkan dari suamiku nanti."
Ziko dan Feli pun menoleh ke arah kakak ipar mereka. Keduanya nampak tersenyum sinis.
"Wajarlah Bu. Namanya juga orang susah, ya pasti mereka harus memikirkan jalan lain agar tetap bisa hidup mewah seperti kita," sahut Ziko penuh ejek.
"Yang dibilang Mas Ziko benar, Bu. Aku sangat hafal dengan trik-trik murahan yang biasa dilakukan orang miskin seperti Kak Nadia dan juga Sellandra. Lihat saja, begitu kita kembali mereka pasti akan langsung menangis tersedu-sedu untuk mengambil simpatik dari semua orang supaya tidak di usir dari rumah," tambah Feli ikut memanaskan keadaan.
"Jangan harap aku akan merasa simpatik pada mereka berdua. Cihh," decih Kasturi. "Ziko, apa kau sudah memanggil pengacara pribadi keluarga kita?"
"Sudah Bu,"
"Bagus. Setelah pulang dari sini aku akan langsung mengusir mereka dari rumah. Enak saja ingin menikmati harta keluarga kita, memangnya mereka pikir mereka itu siapa!"
Bima dan Kintan menyeringai senang saat mendengar perkataan nenek mereka yang ingin mengusir Sellandra dan juga ibunya dari rumah utama keluarga Latief. Karena dengan diusirnya Sellandra dari rumah, itu berarti sepupunya itu juga akan ditendang keluar dari perusahaan. Dengan begini Bima dan Kintan akan semakin mudah menguras habis harta milik almarhum sang kakek karena selama ini Sellandralah yang memegang kendali penuh di Latief Group sejak Paman Riandi meninggal.
"Selamat siang Nyonya Kasturi. Selamat siang Tuan Ziko, Nyonya Feli," sapa Ibrahim, pengacara pribadi keluarga Latief. "Maaf saya terlambat datang ke pemakaman. Ada beberapa berkas penting yang harus saya urus dulu sebelum datang kemari."
"Selamat siang juga, Ibrahim. Tidak apa-apa, aku maklum dengan kesibukanmu," sahut Kasturi sambil tersenyum ramah. "Oh ya, apa mendiang suamiku meninggalkan surat wasiat kepadamu?"
"Iya, Nyonya. Almarhum Tuan Latief menitipkan dua surat wasiat kepada saya. Kita akan membahasnya setelah pemakaman ini selesai," jawab Ibrahim kemudian menoleh kearah dua orang wanita yang sedang mengelus nisan milik Tuan Latief. Dia tersenyum.
Bima yang menyadari senyum tak biasa di bibir Tuan Ibrahim langsung merasa curiga. Tak ingin kecolongan, dia segera mendekati pengacara tersebut untuk mencari tahu sesuatu.
"Ekhmm permisi Tuan Ibrahim. Apa aku boleh bertanya sesuatu padamu?"
"Oh Tuan Bima. Maaf lupa menyapa," jawab Ibrahim.
"Tidak masalah. Tuan Ibrahim, apa aku boleh bertanya sesuatu mengenai surat wasiat yang ditinggalkan oleh almarhum Kakek?" sahut Bima mengulang pertanyaannya.
Sadar kalau pria ini mencoba untuk menjilatnya, Ibrahim dengan santai menolak keinginan pria tersebut.
"Maaf Tuan Bima, seperti yang saya sampaikan pada Nyonya Kasturi tadi kalau masalah surat wasiat ini akan kita bahas setelah sampai di rumah. Saya rasa sangat tidak etis jika kita membahasnya di atas makam Tuan Latief yang bahkan tanahnya saja masih basah. Mohon anda bisa bersabar sebentar lagi."
Bima mengeratkan gigi saat keinginannya di tolak oleh mentah-mentah oleh Tuan Ibrahim. Padahal dia sangat penasaran tentang siapa yang akan menggantikan posisi kakeknya sebagai direktur utama di Group Latief.
"Baiklah, terima kasih untuk waktunya, Tuan Ibrahim."
"Sama-sama, Tuan Bima. Kalau begitu saya pamit menyapa Nyonya Nadia dan Nona Sellandra dulu. Permisi."
Bima mengangguk. Dia terus memperhatikan Tuan Ibrahim yang sedang berjalan ke arah sepupunya. Bima kemudian menoleh saat bahunya ditepuk dari arah samping.
"Bagaimana? Kakak mendapatkan sesuatu tidak dari pengacara itu?" tanya Kintan penasaran.
"Dia benar-benar orang yang setia pada Kakek. Mulutnya sangat rapat," jawab Bima sembari menghela nafas.
"Huhh, sudah aku duga. Ya sudahlah, lebih baik kita tunggu di rumah saja. Ayo pulang....
"Dimana Ayah dan Ibu?" tanya Bima celingukan mencari keberadaan orangtuanya.
"Mereka sudah ke mobil bersama Nenek. Ayo!" jawab Kintan kemudian menarik tangan kakaknya untuk pergi dari pemakaman.
Sementara itu, Nadia dan Sellandra saat ini masih terus berbincang dengan Tuan Ibrahim di samping makam. Keduanya terasa enggan untuk pergi dari sana meskipun para pelayat sudah mulai kembali ke rumah masing-masing, termasuk juga para anggota keluarga yang lain.
"Selamat siang....
Ibrahim, Nadia, dan Sellandra menoleh. Ketiganya menatap bingung ke arah pria asing yang tengah tersenyum ke arah mereka.
"Selamat siang. Maaf, anda siapa ya?" tanya Nadia ramah.
"Aku Ero, cucu dari teman lama almarhum Kakek Latief," jawab Ero sambil melirik ke arah wanita cantik yang tengah memperhatikannya.
"Mungkinkah ini adalah pria yang dimaksud oleh Kakek? Akan tetapi kenapa penampilannya kumal sekali? Apa iya Kakek ingin aku menikah dengan pria seperti ini?" batin Sellandra.
Nadia dan Ibrahim memperhatikan dengan seksama penampilan dari pria bernama Ero ini. Kumal dan berantakan. Jelas sekali kalau pria ini bukan berasal dari kalangan berada.
"Apa kau datang dengan surat wasiat yang dititipkan oleh almarhum Kakekku?" tanya Sellandra memastikan.
"Iya," jawab Ero kemudian menunjukkan satu surat ke hadapan semua orang.
"Sell, kau mengenal pria ini?" tanya Nadia bingung.
"Tidak Bu," jawab Sellandra. "Akan tetapi sebelum Kakek meninggal beliau bilang akan ada pria yang datang untuk menemuiku. Jika tidak salah mungkin Tuan Ero adalah pria yang dimaksud oleh Kakek,"
"Lalu apa hubungannya denganmu Nak?"
Sellandra menghela nafas dalam-dalam sebelum menjawab pertanyaan ibunya.
"Pria ini adalah calon suami yang sudah dipilihkan Kakek untukku, Bu."
"APA!"
Nadia syok.
"Bu, kita bicarakan masalah ini di rumah saja ya. Langit semakin mendung,sebaiknya kita semua segera pulang," ajak Sellandra sambil menahan rasasesak di dada. "Tuan Ero, bisakah kau ikut pulang bersama kami? Kita akan bahas masalah ini di rumah nanti."
Ero mengangguk. Dia kemudian mengikuti langkah ketiga orang tersebut. Sambil berjalan menuju tempat parkir, Ero terus memperhatikan punggung Sellandra. Berbagai macam pertanyaan mulai berkecamuk di benaknya tentang apakah wanita ini akan bersedia menikah dengan pria sepertinya atau tidak. Sellandra terlihat begitu cantik dan anggun, sangat berbeda sekali dengannya yang jauh dari kata layak. Biarlah semua ini menjadi urusan Tuhan saja, begitu pikir Ero.
๐ Happy Reading ๐ Semua keluarga Latief memperhatikan Ero yang sedang duduk sambil menundukkan kepala. Kedua tangannya saling bertaut, seolah menunjukkan kalau dirinya merasa cukup terintimidasi oleh tatapan orang-orang ini. "Sellandra, gembel mana yang kau bawa pulang kemari, hah!" tanya Kasturi dengan nada menyentak. "Dia bukan gembel, Nek. Namanya Ero," jawab Sellandra tak enak hati. "Dia adalah pria yang dipilih almarhum Kakek untuk menjadi suamiku." Ero langsung menatap Sellandra dengan raut wajah terkejut. Dia tidak menyangka kalau calon istrinya akan bicara dengan begitu jujur di hadapan semua orang. "Apa? Calon suamimu?" kaget Kasturi. "Dia? Aku tidak percaya. Kau jangan merendahkan selera suamiku, Sellandra. Kakekmu tidak mungkin memilih pria sembarangan untuk masuk ke keluarga ini. Kau pasti berkata bohong agar aku merasa iba padamu kan?" Dituduh seperti itu oleh sang nenek membuat dada Sellandra terasa semakin sesak. Susah payah dia menata hati untuk menerima keha
๐ Happy Reading ๐ Kepala Sellandra tertunduk memandangi dua buah buku yang ada di tangannya. Matanya memanas, ingin sekali dia menjerit, tapi tidak bisa. Pernikahan ini dia sendiri yang memutuskan, tapi kenapa dia tidak merasa bahagia seperti pengantin-pengantin lainnya? Batin Sellandra bergejolak, dia kecewa, tapi tidak tahu pada siapa. Pada almarhum kakeknyakah? Atau pada Ero, pria asing yang kini menjelma jadi suaminya. Pantaskah? Ero tidak tahu apapun, dia sama sepertinya yang tidak bisa menolak surat wasiat itu. Ero tidak salah. Lalu siapa yang salah? "Nona Sellandra.... Mendengar namanya disebut, Sellandra akhirnya mengangkat kepala. Manik matanya berpapasan dengan manik mata Ero yang sedang menatapnya. Dia lalu membuang muka ke arah lain. "Kita sudah menikah, jangan memanggilku Nona" jawab Sellandra berusaha untuk tabah. Ero canggung. Dia tahu kalau gadis ini merasa sangat tersiksa dengan pernikahan mereka. "Kita bercerai saja. Aku tidak tega melihatmu terluka begini
๐ Happy Reading ๐ Plaakk! "Nyonya!" teriak Ero kaget saat istrinya ditampar hingga jatuh terduduk di lantai. "Diam kau gembel tidak berguna!" maki Kasturi meneriaki pria kumuh yang baru saja menikah dengan cucu sulungnya. "Sellandra, kau ini benar-benar j*lang murahan. Aku sudah memperingatkanmu untuk tidak menikahi gembel ini, tapi kenapa kau tidak mau mendengarkan aku? Kehadiran Ibumu saja sudah mencoreng darah ningrat di keluarga Latief, kenapa kau juga ikut-ikutan melakukan hal bodoh seperti Ayahmu hah? Dasar tidak tahu diri. Anak dan Ibu sama-sama tidak ada yang mempunyai rasa malu. Cihh!" Nadia menangis tertahan. Meskipun sudah berulang kali direndahkan oleh ibu mertuanya, dia tetap saja merasa sakit. Apalagi sekarang dia harus menyaksikan putrinya mendapat perlakuan kasar hanya karena menikah dengan pria yang telah diwasiatkan oleh almarhum ayah mertuanya. Semakin sakitlah hati Nadia. "Pria itu bukan gembel, Nek. Dia suamiku," sahut Sellandra sembari terisak lirih. "Er
๐ Happy Reading ๐ "Sell, kau mau pergi kemana?" tanya Nadia seraya memperhatikan penampilan putrinya yang sudah terlihat rapi. Lesu, itu yang terlihat di wajah Sellandra. Jika biasanya dia akan merasa begitu bersemangat setiap kali akan bertemu dengan Davis, kali ini dia tidak merasakan hal itu. Langkahnya terasa berat, tapi dia harus tetap pergi untuk menjelaskan apa yang sudah terjadi dengan hubungan mereka. Awalnya Sellandra enggan untuk menemui kekasihnya itu, tapi setelah melihat Ero yang sedang terlelap di sofa dengan punggung terluka parah membuat Sellandra berubah pikiran. Ya, sekarang dia sudah menjadi seorang istri. Akan sangat tidak pantas jika Sellandra masih memiliki hubungan dengan pria yang bukan suaminya. Meski tak siap, Sellandra harus rela untuk melepaskan Davis, pria yang sudah lima tahun menjalin hubungan dengannya. "Davis sedang menungguku, Bu." Nadia menghela nafas. Dia tahu hal ini sangatlah sulit untuk putrinya. Karenanya dia segera memberi pelukan hanga
๐ Happy Reading ๐ Davis diam termenung di dalam mobil. Sungguh, dia tidak percaya dengan apa yang dia dengar di dalam cafe tadi. Sellandra, gadis yang lima tahun ini menjalin hubungan dengannya tiba-tiba berkata kalau dia sudah menikah. Kenyataan ini terlalu sulit dicerna dengan akal fikiran Davis. Dia hanya pergi selama dua bulan untuk menyelesaikan urusan pekerjaan di negara lain dan konsekuensi yang harus dia terima adalah kehilangan cintanya dalam sekejap. Benarkah ini nyata? "Tidak, aku yakin Sellandra mengatakan itu semua hanya untuk memberiku kejutan saja. Dia dan aku saling mencintai, mana mungkin Sellandra mau menikah dengan pria lain," ucap Davis bermonolog sendiri. "Iya, ini pasti hanya akal-akalannya saja. Sellandra tidak mungkin mengkhianati aku, dia mencintaiku. Ya, begini baru benar. Lebih baik sekarang aku kembali lagi ke dalam, aku harus segera memberi gadis nakal itu sebuah hukuman. Beraninya dia membuat aku hampir mati jantungan," ucap Davis sambil terkekeh luc
๐ Happy Reading ๐ "Bu...Ibu, kau dimana?" teriak Kintan dengan penuh semangat. Kasturi yang sedang duduk sambil membaca majalah bisnis menoleh. Keningnya mengerut melihat cucunya berjalan dengan terburu-buru. "Kintan, ada apa? Kenapa kau berteriak seperti itu di dalam rumah?" tegur Kasturi. Langkah Kintan terhenti. "Oh, Nenek. Dimana Ibuku Nek? Ada sesuatu yang ingin aku sampaikan padanya," "Ibumu sedang di dalam kamar mengurus Ayahmu," jawab Kasturi kemudian kembali membaca majalah. "Memangnya apa yang ingin kau sampaikan padanya?" Kintan segera duduk di sebelah neneknya untuk memberitahukan kabar penting yang baru saja dia terima. "Nenek tahu kan kalau Sellandra itu sudah lama menjalin hubungan dengan Davis?" tanya Kintan sambil mengotak-atik ponselnya. "Si pria miskin itu?" Kintan mengangguk. Tangannya masih asik mencari sesuatu di dalam galeri ponsel. Yang mana hal itu membuat sang nenek menjadi kesal. "Kalau sedang bicara dengan orangtua itu yang sopan, Kintan.
๐ Happy Reading ๐ Mungkin untuk ukuran orang dewasa seperti Sellandra akan sangat memalukan jika menyebut kata patah hati. Akan tetapi, keadaan yang sedang dialaminya membuat Sellandra terpaksa harus mengurung diri di dalam kamar untuk menjernihkan pikiran. Hati siapa yang tidak hancur saat harus mengucapkan kata perpisahan tepat ketika akan dilamar oleh pria yang kita cintai. Sebenarnya di sini bukan hanya Davis saja yang terluka, tetapi Sellandra jauh lebih terluka lagi. Pria yang kini resmi menjadi mantan kekasihnya itu pasti merasa sangat hancur, Davis pasti beranggapan kalau Sellandra telah mengkhianatinya. Namun, semua ini di luar kehendak Sellandra. Perjodohan dan pernikahan ini bukan dia yang menginginkan. "Davis, maafkan aku. Aku tahu ini salah, tetapi aku tidak bisa menolak keinginan Kakek. Aku sama terlukanya sepertimu. Hatiku hancur," Sebutir cairan bening meluncur cepat dari sudut mata Sellandra. Wajahnya yang sayu terlihat semakin menyedihkan saat isakan kecil mulai
๐ Happy Reading ๐ Meski hatinya sedang terluka, Sellandra memutuskan untuk tetap pergi ke perusahaan. Tugasnya sebagai direktur keuangan di Group Latief mengharuskan Sellandra untuk selalu bersikap profesional dengan tidak membawa masalah pribadi ke dalam pekerjaannya. Sebelum pergi, tak lupa Sellandra membawa serta bekal sarapan sederhana yang dibuatkan oleh suaminya. Di bibirnya ada senyum, tetapi itu adalah senyum getir dimana dia harus memaksakan hati untuk menerima kehadiran Ero. "Sayang, kau mau ke kantor?" tanya Nadia lembut sembari memperhatikan penampilan putrinya yang sudah rapi dengan setelan formal. Sambil menutup pintu kamar, Sellandra menjawab pertanyaan sang ibu. "Iya Bu. Setumpuk pekerjaan sudah menantiku di sana," "Apa kau baik-baik saja?" Nadia begitu mengkhawatirkan kondisi putrinya sejak semalam. Dia begitu takut kalau-kalau Sellandra nekat melakukan hal buruk tanpa sepengetahuannya. "Jangan khawatir, Bu. Aku pasti bisa melewati semua ini dengan tabah.
Tujuh tahun kemudian .... "Ayaahhh!"Suara teriakan lucu langsung menyambut kepulangan Almero yang baru saja kembali dari melakukan perjalanan bisnis keluar negeri. Melihat kedua anaknya berlarian ke arahnya membuat Almero tampak kegirangan. Segera dia berjongkok di lantai lalu merentangkan kedua tangannya untuk menyambut pelukan dari Rogert dan Adriana. "Aduhh anak-anak Ayah yang cantik dan tampan. Apa kabar, hm? Rindu Ayah tidak?" tanya Almero sambil mencium pipi kedua anaknya secara bergantian. Dia gemas sekali melihat kedua bocah ini. Sungguh. "Kabar kami sangat baik, Ayah. Ibu juga baik," jawab Rogert dengan lancar. Dia lalu mengelus rambut adiknya yang sedang merebah manja di bahu sang ayah. "Sekarang kau sudah tidak sedih lagi, kan? Ayah sudah kembali ke rumah. Jangan menangis lagi ya?""Iya, Kak," sahut Adriana patuh. "Lho, kenapa adikmu bisa menangis? Apa yang terjadi?""Adriana bilang dia sangat merindukan Ayah. Jadi setiap mau tidur dia akan selalu menangis dan bertanya
"Hati-hati, sayang," ucap Almero sambil membantu mengantarkan Sellandra ke dalam kamar mandi. "Ughhh, begah sekali perutku. Aku sampai sulit bernafas, Ero," sahut Sellandra terengah. "Apa yang harus aku lakukan agar kau bisa merasa lebih nyaman? Rasanya sakit melihatmu kesulitan seperti ini, sayang."Sellandra tertawa. Suaminya selalu saja berkata manis. Dan sialnya Sellandra sangat suka itu. "Kau hanya perlu terus berada di sisiku. Dengan begitu kau sudah membantu membuatku merasa nyaman. Sungguh.""Hmmm,"Usia kandungan Sellandra sudah mencapai bulan kelahiran sekarang. Hal itu membuat semua orang menjadi sangat waspada. Terutama Almero. Setengah dia tak bisa tidur saat di malam hari karena takut Sellandra mulas mendadak. Agak berlebihan memang. Tapi Almero memang seantusias itu menyambut kelahiran anak pertama mereka. Dan setelah melewati perdebatan panjang, akhirnya di ketahui kalau Sellandra hamil kembar. Ini dilakukan karena Almero merasa panik melihat ukuran perut Sellandra
Di bandara, terlihat Kintan berjalan sendirian sambil menarik koper yang tidak terlalu besar. Di matanya bertengger sebuah kaca mata hitam yang dia pakai untuk menyembunyikan matanya yang membengkak. Ya, semalaman penuh dia menangis menunggu Davis menghubunginya. Tapi nihil. Pria itu benar-benar tak peduli dengan kehamilannya. Akhirnya dengan sangat berat hati dia menghubungi Ero dan mengatakan kalau bersedia untuk tinggal di luar negeri. "Tidak apa-apa ya Nak kita hanya hidup berdua. Ibu janji nanti di sana Ibu akan merawatmu dengan baik. Maaf ya karena sudah membuatmu hadir dengar kondisi keluarga yang tidak lengkap," ucap Kintan lirih sambil mengelus-elus perutnya. Pagi tadi saat Kintan berpamitan pada semua keluarganya, Bima sempat melarangnya pergi ke luar negeri. Bahkan ibunya sampai menangis dan memohon agar dirinya tetap tinggal di kota ini. Meski sedih melihat keadaan itu, Kintan tetap memaksakan diri untuk pergi. Terlalu sakit jika harus bernafas di satu kota yang sama de
โSelamat pagi, Nyonya. Ada yang bisa kami bantu?โโDi mana ruangan Davis?โ tanya Sellandra. Raut wajahnya terlihat seperti orang yang sedang menyimpan amarah.โRuangan Tuan Davis ada di lantai sembilan. Mau saya antarkan?โโTidak usah. Terima kasih,โโSama-sama, Nyonya.โKedatangan Sellandra yang begitu tiba-tiba membuat heboh semua karyawan Aeron Group. Para karyawan itu saling berbisik, bertanya-tanya gerangan apa yang terjadi sehingga membuat wanita kesayangan bos mereka datang hanya dengan memakai daster saja. Pagi tadi saat Sellandra bangun, dia tak sengaja mendengar percakapan Ero dan Kai yang sedang membahas soal Kintan. Awalnya Sellandra ingin menimbrung, tapi setelah mengetahui apa yang terjadi diapun mengurungkan niatnya. Beralasan ingin pergi jalan-jalan sebentar dengan kepala pelayan, Sellandra nekad datang ke Aeron Group guna menemui Davis. Ya. Sellandra sudah mengetahui tentang kehamilan Kintan. Termasuk juga dengan penolakan Davis yang malah meminta Kintan agar menggug
Flashback"Aku hamil,".... Kintan meremas baju bagian bawahnya setelah memberitahu Davis kalau dirinya hamil. Gugup, dia gugup sekali. Kintan begitu takut pria ini akan menolak mengakui janin yang ada di dalam perutnya. "Kau yakin itu adalah anakku?" tanya Davis. Jujur dia syok sekali setelah Kintan memberitahu kalau dirinya sedang hamil. Setelah hati Davis langsung bereaksi keras dengan meminta untuk tidak menerima kehadiran janin tersebut. Bayi itu bukan miliknya."Dav, hanya denganmu aku pernah melakukan hal seperti itu. Bukankah kau juga tahu kalau itu adalah yang pertama untukku?" sahut Kintan resah menyadari adanya penolakan di diri pria ini. "Aku memang yang pertama, tapi setelah itu aku mana tahu kau melakukannya dengan pria lain atau tidak. Kemungkinan seperti itu bisa saja terjadi, bukan?"Kintan tersentak kaget mendengar tuduhan keji yang dilayangkan oleh Davis. Sungguh, dia benar-benar tidak menyangka kalau Davis akan sekejam ini padanya. Kejam sekali. "Berhenti memper
Senyum Sellandra langsung mengembang begitu melihat wajah ibunya. Karena merindu, dia merengek meminta Ero agar mengantarkannya pulang ke rumah. Dia rindu sekali pada ibu dan juga neneknya. "Halo sayang, apa kabar?" tanya Nadia sembari berjalan cepat menghampiri putrinya yang baru saja keluar dari mobil. Begitu sampai di dekatnya dia langsung memeluknya penuh sayang. "Ibu rindu sekali padamu, Nak. Bagaimana? Kandunganmu sehat-sehat saja, kan?""Kami sangat sehat, Ibu. Ero menjagaku dengan begitu baik. Dia sangat siaga," jawab Sellandra. "Syukurlah kalau kalian sehat. Ibu lega mendengarnya,"Nadia mengurai pelukan. Dia lalu berganti memeluk menantunya yang begitu membanggakan. "Terima kasih sudah menjaga Sellandra dengan baik, Ero. Mungkinkah ini alasan kenapa Kakek menjodohkan kalian berdua. Beliau tahu kalau kau adalah suami yang paling tepat untuk Sellandra. Sekali lagi terima kasih banyak ya," ucap Nadia penuh haru. "Jangan berterima kasih seperti ini, Ibu. Menjaga Sellandra da
Hoeekk hoeekkTubuh Sellandra sampai terbungkuk-bungkuk saat dia kembali memuntahkan isi perutnya. Dia lalu berpegangan ke dinding saat kakinya bergetar karena lemas. "E-Ero," .... Suara Sellandra begitu lirih. Almero yang sedang terlelap pun tak bisa mendengarnya. Sekarang waktu menunjukkan pukul setengah tiga pagi. Dan tiba-tiba saja perut Sellandra bergejolak. Dia yang tidak tega membangunkan Almero memutuskan untuk pergi ke kamar mandi seorang diri. Awalnya Sellandra pikir rasa mual itu hanya sebentar. Tapi siapa sangka kalau dia tak henti mengeluarkan seluruh sisa makanan yang ada di perutnya yang mana membuat sekujur tubuhnya menjadi gemetaran dan juga lemas. "Ero, tolong aku," ucap Sellandra masih berusaha memanggil Ero dengan suaranya yang begitu kecil. Matanya sudah berkunang-kunang sekarang. Almero yang sedang terlelap samar-samar seperti mendengar ada orang yang memanggilnya. Dia lalu berusaha membuka mata sambil meraba kasur di sebelahnya. (Kosong) Tak butuh waktu la
FlashbackKintan buru-buru keluar dari dalam mobil begitu melihat Davis muncul. Dia kemudian berlari mengejarnya. "Davis, tunggu. Aku ingin bicara padamu!" teriak Kintan ketika melihat Davis hendak masuk ke dalam lift. Mendengar suara teriakan memanggil namanya Davis akhirnya berbalik. Dia yang sedang kelelahan setelah seharian berkutat dengan pekerjaan merasa bebannya semakin bertambah saja begitu mengetahui siapa yang memanggilnya. Kintan, mantan tunangannya. Wanita itu tengah berlari menuju padanya. Entah apa yang di inginkan. Hmmmm. "Beri aku kesempatan untuk bicara. Please?" ucap Kintan begitu sampai di hadapan Davis. Dia memohon dengan tatapan memelas. "Apalagi yang ingin kau bicarakan, Kintan? Semuanya sudah selesai. Kau dan aku tidak lagi terikat tali pertunangan," sahut Davis dengan dinginnya. Dia enggan sekali bicara dengan mantannya ini. Membuat hati jadi berdenyut nyeri. "Dav, aku tahu aku salah. Tapi tidak bisakah kau memberiku kesempatan untuk memperbaikinya?"Kinta
FlashbackโBima, akhirnya kau pulang juga, Nak!โ seru Felita sembari berjalan cepat menghampiri putranya yang sudah beberapa bulan hilang tak berkabar. Seketika air matanya mengalir deras begitu mereka saling memeluk. โKau kemana saja, Bim. Ayahmu bilang kau berada di panti rehabilitasi, tapi kenapa Ibu dan yang lain tak bisa mengunjungimu? Apa yang sebenarnya terjadi?โSebelum menjawab pertanyaan sang ibu, Bima terlebih dahulu melepas pelukan mereka kemudian mencium keningnya penuh sayang. Rindu sekali dia pada wanita ini. Sungguh.โCeritanya panjang sekali, Bu. Mungkin tidak bisa selesai diceritakan seabad lamanya,โ ucap Bima berseloroh.โEi kau ini. Ibu serius, Bima. Tolong jangan bercanda!โโHehe, baiklah.โ Bima berdehem. โIbu tahu tidak saat Sellandra mengalami lebam di lehernya?โโIya Ibu tahu. Kenapa memangnya?โ tanya Felita sambil mengerutkan kening. Agak bingung dia dengan yang sedang dibicarakan oleh putranya.โItu aku yang menyerangnya,โ jawab Bima. โSaat itu aku tidak tahu