“Itu di sana masih kotor! Bisa bersih-bersih nggak, sih!? Sudahlah hentikan, nanti perabotan rumah ini pecah gara-gara kamu nggak bisa bersih-bersih lagi!” komentar Vania melihat hasil kerja Kaira, yang sejak tadi bersih-bersih hiasan bufet.Dikomentar pedas seperti itu membuat Kaira lesu. Apalagi, menurut matanya sangat bersih, tapi kenapa Mama mertuanya mengatakan masih kotor? Sungguh aneh.Kaira yang penasaran, ingin mengeceknya kembali dengan mengelapi lagi, tapi justru ocehan dari Vania yang terdengar begitu cetar di telinga.“Sudah dibilang jangan bersih-bersih nanti perabotan saya rusak! Kamu tahu, kan, itu harganya mahal semua.”“Iya, Ma, maaf.”“Kamu ini minta maaf terus kerjaannya. Lawan kalau ada yang nindas dong!” geram Vania yang kesal dengan sikap pasrah dari Kaira. “Ah, sudahlah! Tadi Dipta buat roti, udah dimakan belum!?” tanya Vania jutek.“Hehe, lupa, Ma. Tadi bangun cuci muka terus turun ke sini.”“Yaudah sana mandi terus sarapan. Kalau sakit sama pingsan, nanti say
“Sudahlah tidak usah didengarkan ucapan orang gila. Biasanya banyak ngawur dan ngarangnya,” jawab Vania, langsung membawa Kaira keluar dari ruangan Melodi.Entah kenapa hati Kaira masih ingin berlama-lama di sini, ingin mengobrol dengan Melodi meski sekarang sahabatnya sekarang menjadi gila seperti ini.Melihat Melodi yang tertawa sendiri sambil menggulung-gulung rambut ke atas membuat hati Kaira merasakan miris. Apalagi dulu Melodi sangat cantik dan semampai, tapi sekarang? Fisik wanita itu bahkan sangat kotor tak terurus.Kaira merasakan jika hukum tabur tuai itu memang ada di dunia ini. Tinggal menunggu waktu yang tepat kapan kita akan mendapatkan hal itu. Jika kita rajin menabur kebaikan, suatu saat akan mendapat balasan kebaikan berlipat ganda, begitu juga sebaliknya. Saat kita menabur sebuah kejahatan, kita hanya menunggu waktu kejahatan itu akan tiba kepada dirinya kita.Contoh nyata dalam diri Kaira, dulu Melodi dan Mas Bayu sangat jahat kepadanya. Bahkan selalu menghina, memf
“Jadi nanti—““Bisa diam nggak!?” potong Dipta kesal dengan sekretarisnya ini yang dari tadi menerocos terus sepanjang jalan menuju ke tempat meeting. Bahkan mood Dipta sudah ancur semenjak acara enak-enaknya diganggu oleh manusia di sampingnya ini.Bukan hanya sekali, tapi sudah keseringan sekretarisnya ini sering sekali memergokinya sedang asoy-asoy bersama Kaira. Ingin rasanya Dipta celupkan ke dalam kolam renang manusia di sampingnya ini yang tengah sibuk menonton anime.“Demen banget lihatin manusia gepeng begitu,” sindir Dipta berkomentar soal kebiasaan sekretarisnya yang suka berbau Jepang.Bisa dibilang, Dipta ini tipe bos yang tidak terlalu otoriter dan dictator. Dipta akan membebaskan bawahannya selama pekerjaan mereka beres dengan baik. Contoh nyata sekretarisnya ini yang setiap pergi bersamanya pasti selalu sibuk menonton anime di dalam mobil setelah selesai menerocos soal meeting, dan Dipta tidak keberatan. Prinsip dalam hidup Dipta, ingin membuat orang yang bekerja denga
“Memang apa yang Papa Wisnu perbuat dulu?” gumam Kaira yang tak sengaja mendengar pembicaraan suami istri itu. Setelah menunggu beberapa menit, menunggu kedua mertuanya sudah tak mengobrol lagi, Kaira baru berani mengetuk pintu pelan, dan mendorong pintu itu masuk. Kaira tersenyum tipis yang membuat Vania menghela napas panjang. “Dipta mana, Kai!?” tanya Vania yang tak melihat putranya ikut masuk ke dalam. “Mas Dipta lagi nyari angin sebentar, Ma,” jawab Kaira berbohong. Vania kembali mendengkus kasar saat tahu jika Dipta justru pergi keluar mencari angin. Padahal Papanya sudah sadar. Vania yang lagi kesal dengan Dipta, kini melampiaskan kepada Kaira yang ada di depan mata. Menggerutu soal Dipta, dan menyalahkan Kaira karena tidak bisa mencegah suaminya pergi. “Sudah biarkan saja, Ma. Jangan marahi Kaira terus, kasihan dia,” timbrung Wisnu dengan suara yang sangat pelan. Merasa sangat kasihan dengan menantunya ini. “Mama lagi kesel aja, Pa. Yasudahlah kalau begitu. Kamu sebaiknya
“Kaira,” cicit Dipta lirih, kaget melihat kedatangan istrinya ke apartemen. Sengaja Dipta tak memberitahukan jika dia sudah pulang ke Indonesia karena masih banyak yang harus diurus dan selesaikan.Kaira yang ingin marah, meluapkan semua kekesalan hatinya kepada Dipta, kini cuma bisa menangis saja tanpa berkata apapun. Terlebih melihat wajah serta tubuh suaminya yang tampak tak terurus membuat hati Kaira tak tega mengomeli suaminya.Cukup lama saling diam-diaman dengan hati yang sama-sama sakit, Dipta mempersilakan Kaira masuk ke dalam apartemennya. Kaira pun ikut masuk, bibirnya masih terkatup rapat.Dipta memilih duduk di sofa ruang tv, Kaira pun ikut duduk di samping suaminya dengan sama-sama saling diam satu sama lain. Kaira merasakan sudah tak mengenal Dipta saat ini, rasanya seperti orang asing.“Gimana kabar Papa Wisnu?” Kaira akhirnya memutus aksi saling diam-diamannya dengan Dipta. Kedua netra cokelatnya menatap sendu ke arah Dipta, yang nama rambut dari suaminya sudah panjan
“Kaira.”“Iya, Pak.”“Emm … kita, ‘kan, udah nggak ada hubungan pekerjaan lagi, jadi kamu bisa panggil aku dengan nama aja. Jangan panggil saya dengan sebutan ‘Bapak’, karena gimanapun saya belum Bapak-Bapak,” keluh Bagas yang risih dipanggil Bapak oleh Kaira, padahal di luar kantor.Kaira terdiam cukup lama, mencerna ucapan dari Bagas. “Terus Pak Bagas minta dipanggil apa?” tanya Kaira dengan polosnya.Bagas juga bingung ingin dipanggil apa oleh Kaira. Selama menyetir pun, pria itu sering menggaruk keningnya yang tak gatal sama sekali, karena efek berusaha mikir ingin dipanggil dengan sebutan apa yang enak.“Em … apa, ya, enaknya? Mas boleh kali, ya,” seloroh Bagas sambil menyengir lebar yang membuat Kaira menoleh, menatap Bagas dengan tatapan horor. Merasa ditatap horor oleh Kaira membuat Bagas langsung berdeham kecil. “Kalau nggak mau juga gapapa, sih, aku nggak maksa kok,” tambah Bagas cengar-cengir.“Maaf banget, Pak, tapi panggilan ‘Mas’ bagi saya itu merupakan panggilan spesial
“Tapi aku nggak tega lihat Mas Dipta stres, Bang,” keluh Kaira yang tak bisa tega sama orang yang dicintainya. “Kita harus lakukan ini supaya kamu melihat apakah Dipta masih pantas kamu pertahankan atau tidak. Keputusan akhir ada di tangan kamu nanti. Aku sebagai sahabatnya Dipta, tidak mau dia menyesal di kemudian hari karena sudah bertindak bodoh seperti ini.” “Kalau gitu terserah Abang Bagas aja. Aku bingung harus berbuat apa soalnya.” Bagas yang memiliki adik perempuan dulu, tapi meninggal karena bunuh diri akibat diputuskan oleh pacarnya membuat Bagas kembali teringat saat memandangi kasus dari Kaira. Entah kenapa, Bagas menjadi takut kalau Kaira akan bertindak bodoh seperti adiknya dulu. “Untuk sementara kamu di sini dulu. Semua kebutuhan makan atau apapun ada di dapur. Kamu bisa tidur di kamar tamu sebelah sana. Aku banyak menghabiskan waktu di kantor, jadi tenang aja.” “Makasih banyak, Bang.” Bagas tersenyum tipis, Kaira pun pamit pergi menuju ke kamar tamu karena merasa
“Cih! Mau apa kamu datang ke sini!?” tanya Bayu dengan tatapan sinis. Sebelum duduk di kursi depan Kaira, Bayu menatap wajah muram mantan kekasihnya itu.Kaira yang disambut sinis tetap diam tak memberikan reaksi apapun. Bagi Kaira sendiri, Bayu sudah bukan prioritas di hidupnya lagi hingga tak ada tempat bagi pria itu memenuhi pemikiran otaknya.“Gimana kabar Mas Bayu?” tanya Kaira selalu lembut nada bicaranya, yang justru membuat Bayu mendecak sebal, bukan benci, hanya saja bikin susah move on jika terus diperlakukan seperti ini.“Nggak usah basa-basi deh! Mending bilang cepet tujuan kamu ke sini mau apa!? Pasti disuruh sama sopir gadungan itu, ‘kan!?” tuduh Bayu membuang wajah ke samping, tak kuat jika harus berlama-lama menatap wajah Kaira yang lugu itu.“Mas Dipta bahkan nggak tahu aku datang ke sini. Aku ke sini mau minta maaf sama Mas Bayu. Mungkin selama aku menjadi pacar sering menyakiti hati Mas Bayu. Untuk itu aku kepengin kita berdua damai dan saling memaafkan agar kehidup