“Memang apa yang Papa Wisnu perbuat dulu?” gumam Kaira yang tak sengaja mendengar pembicaraan suami istri itu. Setelah menunggu beberapa menit, menunggu kedua mertuanya sudah tak mengobrol lagi, Kaira baru berani mengetuk pintu pelan, dan mendorong pintu itu masuk. Kaira tersenyum tipis yang membuat Vania menghela napas panjang. “Dipta mana, Kai!?” tanya Vania yang tak melihat putranya ikut masuk ke dalam. “Mas Dipta lagi nyari angin sebentar, Ma,” jawab Kaira berbohong. Vania kembali mendengkus kasar saat tahu jika Dipta justru pergi keluar mencari angin. Padahal Papanya sudah sadar. Vania yang lagi kesal dengan Dipta, kini melampiaskan kepada Kaira yang ada di depan mata. Menggerutu soal Dipta, dan menyalahkan Kaira karena tidak bisa mencegah suaminya pergi. “Sudah biarkan saja, Ma. Jangan marahi Kaira terus, kasihan dia,” timbrung Wisnu dengan suara yang sangat pelan. Merasa sangat kasihan dengan menantunya ini. “Mama lagi kesel aja, Pa. Yasudahlah kalau begitu. Kamu sebaiknya
“Kaira,” cicit Dipta lirih, kaget melihat kedatangan istrinya ke apartemen. Sengaja Dipta tak memberitahukan jika dia sudah pulang ke Indonesia karena masih banyak yang harus diurus dan selesaikan.Kaira yang ingin marah, meluapkan semua kekesalan hatinya kepada Dipta, kini cuma bisa menangis saja tanpa berkata apapun. Terlebih melihat wajah serta tubuh suaminya yang tampak tak terurus membuat hati Kaira tak tega mengomeli suaminya.Cukup lama saling diam-diaman dengan hati yang sama-sama sakit, Dipta mempersilakan Kaira masuk ke dalam apartemennya. Kaira pun ikut masuk, bibirnya masih terkatup rapat.Dipta memilih duduk di sofa ruang tv, Kaira pun ikut duduk di samping suaminya dengan sama-sama saling diam satu sama lain. Kaira merasakan sudah tak mengenal Dipta saat ini, rasanya seperti orang asing.“Gimana kabar Papa Wisnu?” Kaira akhirnya memutus aksi saling diam-diamannya dengan Dipta. Kedua netra cokelatnya menatap sendu ke arah Dipta, yang nama rambut dari suaminya sudah panjan
“Kaira.”“Iya, Pak.”“Emm … kita, ‘kan, udah nggak ada hubungan pekerjaan lagi, jadi kamu bisa panggil aku dengan nama aja. Jangan panggil saya dengan sebutan ‘Bapak’, karena gimanapun saya belum Bapak-Bapak,” keluh Bagas yang risih dipanggil Bapak oleh Kaira, padahal di luar kantor.Kaira terdiam cukup lama, mencerna ucapan dari Bagas. “Terus Pak Bagas minta dipanggil apa?” tanya Kaira dengan polosnya.Bagas juga bingung ingin dipanggil apa oleh Kaira. Selama menyetir pun, pria itu sering menggaruk keningnya yang tak gatal sama sekali, karena efek berusaha mikir ingin dipanggil dengan sebutan apa yang enak.“Em … apa, ya, enaknya? Mas boleh kali, ya,” seloroh Bagas sambil menyengir lebar yang membuat Kaira menoleh, menatap Bagas dengan tatapan horor. Merasa ditatap horor oleh Kaira membuat Bagas langsung berdeham kecil. “Kalau nggak mau juga gapapa, sih, aku nggak maksa kok,” tambah Bagas cengar-cengir.“Maaf banget, Pak, tapi panggilan ‘Mas’ bagi saya itu merupakan panggilan spesial
“Tapi aku nggak tega lihat Mas Dipta stres, Bang,” keluh Kaira yang tak bisa tega sama orang yang dicintainya. “Kita harus lakukan ini supaya kamu melihat apakah Dipta masih pantas kamu pertahankan atau tidak. Keputusan akhir ada di tangan kamu nanti. Aku sebagai sahabatnya Dipta, tidak mau dia menyesal di kemudian hari karena sudah bertindak bodoh seperti ini.” “Kalau gitu terserah Abang Bagas aja. Aku bingung harus berbuat apa soalnya.” Bagas yang memiliki adik perempuan dulu, tapi meninggal karena bunuh diri akibat diputuskan oleh pacarnya membuat Bagas kembali teringat saat memandangi kasus dari Kaira. Entah kenapa, Bagas menjadi takut kalau Kaira akan bertindak bodoh seperti adiknya dulu. “Untuk sementara kamu di sini dulu. Semua kebutuhan makan atau apapun ada di dapur. Kamu bisa tidur di kamar tamu sebelah sana. Aku banyak menghabiskan waktu di kantor, jadi tenang aja.” “Makasih banyak, Bang.” Bagas tersenyum tipis, Kaira pun pamit pergi menuju ke kamar tamu karena merasa
“Cih! Mau apa kamu datang ke sini!?” tanya Bayu dengan tatapan sinis. Sebelum duduk di kursi depan Kaira, Bayu menatap wajah muram mantan kekasihnya itu.Kaira yang disambut sinis tetap diam tak memberikan reaksi apapun. Bagi Kaira sendiri, Bayu sudah bukan prioritas di hidupnya lagi hingga tak ada tempat bagi pria itu memenuhi pemikiran otaknya.“Gimana kabar Mas Bayu?” tanya Kaira selalu lembut nada bicaranya, yang justru membuat Bayu mendecak sebal, bukan benci, hanya saja bikin susah move on jika terus diperlakukan seperti ini.“Nggak usah basa-basi deh! Mending bilang cepet tujuan kamu ke sini mau apa!? Pasti disuruh sama sopir gadungan itu, ‘kan!?” tuduh Bayu membuang wajah ke samping, tak kuat jika harus berlama-lama menatap wajah Kaira yang lugu itu.“Mas Dipta bahkan nggak tahu aku datang ke sini. Aku ke sini mau minta maaf sama Mas Bayu. Mungkin selama aku menjadi pacar sering menyakiti hati Mas Bayu. Untuk itu aku kepengin kita berdua damai dan saling memaafkan agar kehidup
“Surat perjanjian itu ada di apartemenku,” ujar Dipta pada akhirnya, yang membuat Kaira langsung menarik lengan suaminya untuk buru-buru masuk mobil.Saat sudah sama-sama di dalam mobil, Dipta sedikit merasakan keanehan dengan sifat Kaira yang mendadak sedikit lebih berani dibanding sebelumnya yang selalu menurut dan diam.“Buruan jalan ke apartemen,” titah Kaira menyuruh Dipta yang dari tadi malahan diam terbengong.“Ini kamu, ‘kan?” tanya Dipta sebelum menyalakan mesin mobilnya. Menatap aneh ke arah Kaira.“Ya iyalah ini aku memang siapa lagi!? Setan!?” balasnya ngegas yang membuat Dipta semakin merasa jika istrinya berubah.“Kamu berubah jadi nggak kayak dulu lagi. Kamu berguru di mana jadi bar-bar begini?” tanya Dipta masih keheranan.Ditanya seperti itu, Kaira merespon dengan desisan kasar saja. Ia kembali menatap ke depan, menyuruh Dipta untuk segera menjalankan mobilnya.Selama di jalan, Dipta beberapa kali melirik ke samping untuk melihat istrinya yang tampak berubah drastis d
"Jangan marah sama cuek lagi setelah ini, ya, Mas," pinta Kaira sambil mengusapi dada bidang suaminya, membentuk coretan-coretan abstrak."Hm."Kaira mendongak, menatap wajah suaminya yang lebih bersahabat daripada kemarin. Meski ekspresinya masih seperti menanggung banyak beban pikiran.Tak mau menambah pusing suaminya, Kaira pun mencob memahami posisi Dipta, meski dalam hati Kaira bertekad akan melawan Salsa apapun resikonya. Peduli setan soal Salsa yang memiliki penyakit mental itu. Lagipula Kaira melakukan perlawanan ini demi keutuhan rumah tangganya.Drrrt! Drrrt! Drrrt!"Hape kamu dari tadi berisik banget, sih!" gerutu Dipta sebal karena lagi asik bercinta, ponsel milik istrinya ganggu banget karena berisik terus."Punya kamu juga sama. Getar terus dari tadi," timpal Kaira yang tak mau salah sendirian di sini. Pasalnya, bukan hanya ponsel milik Kaira saja yang berisik melainkan milik Dipta juga sama berisik.Sama-sama penasaran, Dipta mengambil ponsel miliknya di atas meja naka
"Seriusan Salsa mau bunuh diri?" celetuk Kaira yang membuat Dipta sekaligus Bagas menoleh, menatap ke arah Kaira secara bersamaan."Kamu dikirimin juga!?" tanya Dipta dan Bagas kompak.Kaira mengangguk sebagai jawaban. Ia memperlihatkan ponselnya, yang tengah memperlihatkan video Salsa yang sedang mengoceh, mengancam ingin bunuh diri."Aku nggak tau dia dapat nomorku dari siapa. Padahal yang tau aja cuma empat orang. Kedua mertuaku aja nggak tau nomor ponselku yang ini," seloroh Kaira sekaligus memancing siapa yang sudah memberikan nomornya kepada Salsa.Dipta yang baru tahu justru tampak heran. Berbeda dengan Bagas yang terlihat sangat tak nyaman saat duduk."Iya, ini aneh banget," dukung Dipta memperkuat istrinya. "Kira-kira siapa yang berani nyebarin nomor istriku!" lanjut Dipta sambil memukul-mukul kedua telapak tangannya, seperti orang yang siap tinju.Bagas yang semakin gelisah menambah keyakinan Kaira. Dipta juga sudah tahu dan menebak kalau yang memberikan nomor istrinya pasti