“Mmmmh—apa sekarang kita lagi di akhirat, Mas?” tanya Kaira yang masih terus mencoba mengerjap-ngerjapkan kedua matanya untuk dibuka karena yang Kaira rasakan tadi, banyak sekali debu bertebaran di sekelilingnya dan yang pasti suara ledakan.“Kamu ngomong apa, sih? Kita masih di dunia, Sayang.”Berhasil membuka kedua kelopak matanya, Kaira menatap manik hitam milik Dipta. Apalagi jarak wajah keduanya sangat dekat hingga Kaira bisa merasakan embusan napas milik suaminya yang selalu menjadi candu.“Kita masih hidup?” tanya Kaira dengan polosnya.Dipta mengangguk sebagai jawaban. “Hm.”Kaira berusaha ingin bangun dari posisi terlentangnya, namun seluruh tubuhnya terasa sakit juga kaku. Apalagi bagian telapak kaki yang mendadak terasa perih.Tak kuat menahan rasa sakitnya, Kaira meringis yang membuat Dipta buru-buru bangun dari posisi menindihi istrinya, meski kedua siku tangan menahan beban berat tubuhnya.Saat sudah duduk, Dipta terkejut melihat bagian bawah sepatu yang terlihat mengali
“Nggak dibunuh, hanya saja ditabrak oleh orang yang entah siapa. Orang yang menabrak bahkan hanya keluar sebentar tanpa menolong kedua orangtuaku, Bang.”“Astaga! Jadi semacam tabrak lari gitu?” Bagas baru tahu kalau orangtua Kaira meninggal karena korban tabrak lari. “Apa pelakunya tertangkap?”Kaira menggelengkan kepalanya pelan, wajahnya tampak muram jika mengingat kejadian itu. Yang mana dirinya masih kecil dan tak tahu apa-apa.“Aku nggak tahu siapa pelakunya, Bang. Yang aku ingat, dia pakai jas keren dan sepatunya sangat mengkilat. Orang itu keluar melihat kedua orangtua saja, tapi langsung masuk mobil lagi dan pergi.”“Apa polisi nggak menemukan pelakunya!?” tanya Bagas mengerut heran.Kaira mengangkat kedua bahunya tak tahu. “Polisi menutup kasusnya. Mungkin karena aku orang miskin jadi malas memperpanjang masalah ini.”“Kalau belum tertangkap pelakunya, tandanya dia masih hidup bebas berkeliaran dong,” komentar Bagas masuk akal.“Ya, mungkin dia sedang hidup bahagia bersama k
“Lho, Abang Bagas kemana?” tanya Kaira saat keluar dari toilet, tapi tak melihat Bagas di sana. Hanya ada Dipta seorang diri yang sedang diam melamun.“Lagi keluar beli makan.”Selesai dibantu oleh perawat, baik Kaira maupun Dipta mengucapkan terima kasih dengan sopan. Setelah sudah berdua saja, Kaira melirik ke sebelah, brankar suaminya.“Nggak nyangka kalau kita bakalan sakit bareng kayak begini. Aku jadi nggak bisa ngerawat kamu sebagai istri deh,” keluh Kaira merasa sedih karena tidak bisa merawat suaminya yang sedang sakit. Padahal jarang sekali Dipta sakit, yang sering sakit justru dirinya ini.Melihat ekspresi sedih istrinya, Dipta mengulurkan tangan sebelah kirinya untuk menggenggam tangan istrinya yang sebelah kanan. Untungnya, brankar mereka tidak ada penghalang meja atau apapun itu hingga jarak ranjang milik Dipta maupun Kaira sangat berdekatan. Tiang infus pun dipasang di sebelah ranjang satunya.Tak lama pintu kamar rawat inap mereka terbuka, menampilkan sesosok Bagas yan
“Kenapa, sih, pria itu kalau ada masalah memilih diam dibanding cerita?” gumam Kaira di depan cermin sambil menyisir rambut panjangnya setelah mandi tadi.Setelah kepulangan dari rumah sakit enam hari yang lalu, Dipta semakin banyak diam yang membuat Kaira kesal sendiri. Setiap diajak diskusi soal Salsa, pria itu selalu mengalihkan pembicaraan bahkan kadang langsung menyosor mengendus-ngendus lehernya. Entahlah apa maksudnya.Kondisi kaki Kaira pun semakin baik, meski masih pakai alat bantu tongkat untuk segala aktifitasnya di rumah. Dipta pun bekerja normal seperti biasa, berangkat pagi pulang sore.Untuk intensitas hubungan suami istri pun sedikit meningkat karena Dipta selalu meminta jatah setiap pagi. Katanya supaya kerjanya semangat. Tapi giliran dibahas soal masalah perjanjian itu, wajahnya langsung badmood. Hal ini membuat Kaira ingin sekali teriak di depan wajah suaminya, namun masih ditahan-tahan oleh Kaira.“Besok Papa sama Mama pulang dari German, kamu mau ikut jemput di ba
"Soal itu tidak Mama pikirkan. Hanya saja Mama merasa bersalah saat melihat kamu begitu mencintai Kaira, bahkan tak mau kehilangan wanita itu tapi Mama menyuruh kamu buat ceraikan dia saat di Jerman. Kegigihan kamu membuat Mama teringat akan perjuangan Papa kamu dulu. Dia gigih mendapatkan Mama karena Kakek kamu dulu tak merestui kami," jelas Vania panjang lebar. Bibirnya tersenyum manis. Tangannya mengusap bekas air matanya dengan kasar."Om Endru ancam Mama apa emangnya?" tanya Dipta yang lebih penasaran soal ini dibanding kisah masa lalu orangtuanya.Vania tersenyum getir, orang yang dianggap bisa jadi saudara ternyata mulai kelihatan busuknya. Bahkan sangat tega terhadap keluarganya ini.Tak mau menambah beban pikiran Dipta, Vania menggelengkan kepalanya, tidak siap bercerita."Gapapa, biar ini menjadi urusan Mama nanti.""Nggak, Ma! Dipta harus terlibat karena yang diincar Om Endru itu aku! Bahkan aku dan Kaira kemarin hampir mati gara-gara ulah Salsa!" adu Dipta yang tak tahan u
“Gimana? Udah tahu bakalan ambil keputusan apa?”Dipta mengendikkan kedua bahunya tidak tahu. Ia pergi keluar dari ruangan Bagas karena harus kembali ke kantor.“Sialan lo! Udah kenyang langsung pergi aja!” maki Bagas yang melihat kepergian Dipta dari dalam kantornya.Dipta yang sudah berada di dalam mobil, mencoba menghubungi nomor istrinya kembali. Kali ini nomornya sudah aktif, dan tersambung.Sambil menunggu panggilan teleponnya diangkat, Dipta mengetuk-ngetukkan jemarinya di setir mobil.“Halo, Mas.”“Sayang, kamu lagi di mana? Aku telepon nggak aktif! Aku pulang ke rumah juga katanya lagi pergi sama Mama! Emang kamu pergi kemana, hm!? Kok enggak izin dulu sama aku!?” cerocos Dipta panjang lebar meluapkan keresahannya.Kaira justru terkekeh geli mendengar kecerewetan suaminya di seberang telepon. Padahal Kaira pergi juga diajak oleh mama mertuanya.Saat baru akan menjawab pertanyaan Dipta, ponselnya direbut oleh Mama Vania. Mertuanya langsung menerocos panjang, mengomeli Dipta.“
“Dipta, kamu ke sini? Ayo, silakan masuk,” ajak Endro, mempersilakan Dipta untuk masuk ke dalam rumahnya.Mengingat Dipta sangat menghormati Om Endro, ia pun masuk dan duduk di ruang tamu rumah yang memiliki gaya mediterania itu.Om Endru yang tahu tujuan Dipta datang ke rumahnya langsung disambut dengan senyuman lebar. Sudah pasti, pria muda ini lebih takut kehilangan saham perusahaan orangtuanya, bukan? Lagian memang sebesar apa harga wanita miskin itu.“Tujuan saya datang ke sini ingin memberikan keputusan soal perjanjian yang pernah disepakati oleh keluarga kita kemarin. Saya akan menyerahkan setengah saham perusahaan milik Archery kepada Om Endru,” ucap Dipta tegas, lugas, dan tertata.Mendengar keputusan Dipta membuat pria paruh baya itu menatap heran. Tidak menyangka kalau Dipta akan mengambil keputusan bodoh seperti ini.Merasa jika harga diri putrinya terlalu rendah dan tak berharga di mata seorang Dipta, Endru tersenyum masam.“Apa kamu yakin dengan keputusan ini?” tanya End
"Apa maksud dari semua ini, Pak Wisnu!? Kenapa di meeting tadi tidak dibahas!?" bentak salah satu pemegang saham di perusahaan Archery Group."Iya! Apa maksud dari berita ini!?" dukung pemegang saham lainnya."Lalu jika pemegang saham ada dua yang sama kuatnya, pemimpin Archery Group siapa!? Kami berharap masih Pak Wisnu yang memimpin!" debat pemegang saham dua puluh persen."Ya! Kami setuju! Siapa yang akan memimpin!? Sedangkan Pak Endru sudah berkoar-koar ke email kita kalau dia juga pemilik saham di Archery Group, yang mana dia memiliki investasi yang sama dengan Pak Wisnu," jelas pemegang saham lima persen.Wisnu yang digerebek ke rumah pribadinya oleh para pemegang saham di perusahaannya merasa pusing tujuh keliling. Mereka semua pasti syok ketika setengah saham dari Archery Group ternyata milik dari Endru karena keinginan Dipta yang tetap mempertahankan rumah tangganya.Sedih, kecewa? Sudah pasti. Tapi Wisnu sudah berjanji kepada dirinya sendiri, akan mendukung apapun keputusan