Pipi milik Alle langsung bersemu merah saat Raffa menawarkan hal yang menurutnya sangat tabu jika ditanyakan. Harusnya langsung eksekusi saja tanpa harus bertanya terlebih dahulu. Kalau begini Alle malu menjawabnya.“Gimana?” ulang Raffa memastikan jawaban Alle sekali lagi.Bingung cara menjawabnya, Alle membuang muka ke samping sambil mengangguk pelan. Lain hal dengan Raffa yang justru tersenyum lebar.“Yaudah ayo,” ajak Raffa tanpa malu sedikit pun.“Kamu duluan lah, masa aku dulu, sih,” jawab Alle gengsi.Raffa pun langsung memiringkan kepalanya saat mendekati wajah milik Alle. Laki-laki itu menahan tengkuk milik Alle agar tidak melepaskan pagutan mereka berdua nantinya.Dan, adegan selanjutnya mereka berdua sudah saling beradu bibir. Saling mencecap bibir satu sama lain sampai terdengar bunyi decapan mereka di penjuru kamar.Saking asyik menikmati ciuman, keduanya tidak sadar kalau pintu kamar mereka terbuka sedikit yang membuat Januar tengah mengintip di celah-celah pintu.“Woi l
Ditanya soal tamu bulanan membuat Yupi terdiam. Seakan berpikir kapan terakhir kali dirinya mendapat tamu bulanan.“Jawab!” desak Alle, menatap tajam ke arah adiknya itu. “Kalian saat melakukan nggak pakai pengaman, ‘kan!?”Tak suka didesak dan terlalu diikut campuri membuat Yupi menatap ke arah Alle dengan pandangan sengit.“Kalau iya memangnya kenapa? Apa Kak Alle akan mengira kalau mualnya aku karena hamil!?” seru Yupi sambil menatap kesal ke arah Alle.“Karena apapun bisa terjadi,” jawab Alle tak kalah tegasnya. “Selama ini Kakak selalu berkorban buat kamu, bahkan rela dijodohkan di saat usia masih muda seperti ini. Semoga kamu bisa bijak dalam mengambil sebuah keputusan jika memang nanti dalam sana ada nyawa yang tak bersalah,” lanjutnya sedikit membuat Yupi merasa tercubit hatinya.Seakan tidak percaya apa yang sudah Alle ucapkan, Yupi menatap remeh ke arah kakak pertamanya yang selalu saja ikut campur bahkan merebut cowok yang sangat dicintainya itu.“Berkorban demi aku!? Kak A
Raffa menggeram kesal kala suara Januar begitu nyaring memanggil nama kakaknya. Wajahnya langsung kusut, namun berbeda dengan Alle yang justru cengar-cengir saat melihat wajah kecewa dari Raffa.“Sabar ya, aku keluar dulu,” pamit Alle sambil mengelus lembut rahang tegas milik Raffa.“Hmmm.”Alle memilih keluar untuk menemui adiknya. Jangan sampai Januar melihat adegan ciumannya lagi seperti tadi sore.Saat sudah berada di luar, Januar tampak menyengir lebar.“Ada apa teriak-teriak?”“Kakak Alle mau nggak anterin aku beli jagung rebus? Di Puncak nggak afdol kalau nggak makan jagung,” selorohnya dengan wajah tanpa dosa.“Harus sekarang banget!? Inikah udah malam. Besok aja mendingan.”“Penginnya sekarang, Kak. Kak Oky nggak mau nganterin. Kak Ben juga diam aja sibuk belajar mulu! Kak Yupi katanya nggak enak badan. Jadi Kak Ale mau,’kan?” Januar menaik turunkan alisnya, seakan menggoda Alle agar mau menuruti keinginannya.Alle membuang napas kasar mendengar penjelasan adiknya.Ingin meno
Niat ingin pergi mencari pedagang jagung mereka urungkan. Apalagi ada hal yang harus mereka selesaikan.“Aku minta tolong gendong Januar ke kamarnya, ya,” kata Alle, masih sedikit risih kepada Raffa untuk meminta pertolongan meski statusnya sudah suami istri.Raffa hanya tersenyum saja saat melihat wajah Alle tampak tersipu malu-malu. Cowok itu pun membopong Januar menuju ke dalam kamar.Setelah selesai membaringkan Januar, Raffa dan Alle sama-sama berjalan menuju ke dalam kamarnya sendiri.Ini pertama kali bagi mereka berdua harus tidur satu kamar. Jika di apartemen, Raffa seringnya tidur di sofa.“Aku bisa tidur di lantai,” kata Raffa yang paham kalau Alle masih malu untuk tidur bersama dengannya.Alle melirik ke arah kasur king size-nya. Rasanya tidak adil kalau dirinya tidur di ranjang, tapi Raffa tidurnya di lantai. Apalagi cuaca Puncak sangatlah dingin jika malam seperti ini.“Tidur di kasur aja.”“Nggak usah.”“Kenapa? Di lantai dingin. Kamu nanti sakit. Ujian sekolah kita suda
Raffa sedikit gelagapan sendiri ketika ditanya seperti itu oleh Alle. Takut istrinya berpikir yang tidak-tidak.“Emm … tidur di kamar Januar,” jawab Raffa lirih.“Kenapa?”“Kenapa gimana, All?”“Kenapa di kamar Januar? Kamu nggak mau tidur sama aku, Raff? Kita sudah resmi suami istri lho.”Kening Raffa mendadak berkeringat. Padahal suasana dalam mobilnya sangat dingin.“Kok diam? Jadi kamu emang nggak mau tidur sama aku!?” lanjut Alle saat melihat Raffa tak menjawab pertanyaannya.“Bukan gitu, All.”“Terus?”“Aku takut nggak bisa kontrol diri.”“Kalaupun terjadi aku sudah siap. Lagipula itu sebagian tugas istri untuk melayani suami.”Entah kenapa kalau melihat sikap agresif Alle seperti ini justru membuat Raffa takut.Raffa bahkan menjadi tak bisa berkutik jika Alle terlalu frontal mengatakan soal hubungan suami istri.Bukan sok alim atau gimana, Raffa hanya takut nanti tidak bisa menahan diri hingga selalu membawa Alle ke atas ranjang terus menerus.“Raff, kok diem lagi?” Alle menata
Semua orang yang berada di ruang itu terkaget-kaget mendengar pernyataan dari Yupi, terutama Dipta dan Kaira sebagai orang tua.Sedangkan untuk Alle memilih diam saja karena memang sudah mengetahui siapa cowok berengsek yang menghamili adiknya.“Siapa tadi kamu bilang!? Tian!?” Dipta menatap serius ke arah putri nomor tiganya.Yupi yang dicecar seperti itu mengangguk pelan. Ini sudah menjadi konsekuensinya.“Shit! Bagaimana bisa!? Bukannya Tian pacarnya Alle!?” seru Dipta menatap Yupi dan Alle secara bergantian, tidak menyangka dengan semua ini. Dipta merasa dipermainkan oleh para anak bocil ini.Frustrasi mendengar fakta yang membingungkan, Dipta mengusap wajahnya dengan kasar di depan Alle.“Jelaskan semuanya di depan Papa!” titah Dipta tegas.Kini Alle menatap ke arah Yupi yang tengah terdiam, seolah-olah tengah berpikir.Merasa menjadi anak tertua, Alle pun mau tak mau harus menjelaskan secara gamblang supaya Papa dan Mamanya bisa memahami keadaan Yupi dan dirinya.“A-aku—”“Sejuj
Saking kesal dan emosinya karena kedua putrinya menjadi permainan seorang cowok berengsek bernama Tian, kini Dipta tak segan-segan mendatangi ke alamat rumah cowok itu.Dan, seakan semesta tengah berpihak kepada Dipta saat ini. Tian sedang ada di rumah. Dipta yang memang enggan masuk memilih untuk menunggu di teras depan rumah.Saat orang yang menjadi sumber masalah keluarganya muncul. Emosi Dipta semakin memuncak meski hanya melihat wajahnya saja.“Lho, Om Dipta!? Apa ka—“BUG!Tubuh milik Tian terhuyung ke belakang saat mendapatkan pukulan keras dari Dipta. Tian merasakan nyeri di bagian sudut bibirnya, dan mengusapi bagian ujung bibir yang terlihat mengeluarkan darah segar.Sambil menahan rasa sakit, Tian mencoba tetap tenang melihat calon mertuanya yang tampak menatap kesal kepadanya.“Om, ada apa ini?” tanya Tian masih dengan suara pelan, namun berbeda dengan Dipta yang sudah mirip serigala ingin memangsa musuhnya.“Kamu harus tanggung jawab, Tian!” tembak Dipta tanpa basa basi t
Dipta menyambut keluarganya dengan senyuman masam. Hatinya masih kesal dan dongkol. Meski sudah memukuli Tian, tetap saja rasa sakit hati sebagai seorang Ayah tidak bisa langsung hilang.Apalagi putri kecil yang selalu ditimang-timang kini ternodai oleh cowok brengsek seperti Tian.“Mas.” Kaira paham kalau suaminya masih menyimpan perasaan emosi yang begitu besar. Sebagai istri yang sudah hidup bersama selama 20 tahun lamanya, paham betul bagaimana harus menenangkannya.Kaira mengajak Dipta untuk masuk ke dalam kamar. Mengajak istirahat.“Kalian semua sebaiknya istirahat. Untuk Abbi, Mama ucapin makasih, ya. Titip Alle, dia anaknya memang rada-rada keras kepala,” kata Kaira kepada Raffa.Raffa yang mendapatkan pesan amanat itu hanya cengar-cengir saja.Raffa pun pamit pulang ke apartemen kepada Kaira juga Dipta. “Hati-hati di jalan. Mobil kamu jangan lupa dicek di bengkel,” ujar Dipta sebelum pergi ke dalam kamarnya untuk istirahat.“Iya, Pa. Kita berdua pulang dulu.”Kini Raffa men