"Ma, ayo kita pulang," ajak Dipta kepada Mamanya yang masih saja terus menangis tergugu di samping pusaran makam sang suami."Papa, Dip, Papa.""Iya, aku tahu. Papa pasti udah bahagia di sana. Papa udah nggak ngerasain sakit lagi sekarang."Vania tampak diam saja ketika Dipta terus merayunya untuk pulang ke rumah. Yang dilakukan Vania terus mengusapi batu nisan yang tertulis atas nama suaminya dengan lembut.Sungguh Vania masih tak menyangka kalau waktu kebersamaan dengan sang suami akan sesingkat dan secepat ini. Rasanya baru kemarin saling mengungkapkan rasa cinta, dan diberi kado terindah, melahirkan Dipta, namun kini mereka harus berpisah karena sebuah takdir.Yang membuat lebih sakit lagi, Vania tidak bisa menemani saat-saat terakhir suaminya hidup di dunia ini."Maafin Mama, Pa, maaf," lirih Vania penuh dengan rasa penyesalan. "Maaf nggak bisa nemenin Papa saat terakhir," lanjutnya sambil mencium nama suaminya yang tertera di batu nisan.Dipta yang melihat kesedihan Mamanya iku
"Baju kamu basah," ucap Kaira sembari melihat Dipta dengan tatapan pilu."Hm, tadi di sana ujan gede banget.""Sebaiknya kamu mandi biar nggak masuk angin.""Iya, tapi kamu juga ikut basah gara-gara aku." Dipta menunjuk dengan dagunya ke arah pakaian Kaira yang ikut basah akibat adegan pelukan tadi.Kaira sendiri ikut melihat ke arah pakaiannya sendiri, melihat ke arah perut buncitnya.Sampai akhirnya mereka berdua pun kini sama-sama membersihkan diri dengan air hangat. Dipta mengajak Kaira untuk berendam di bathtube. Sesekali pria itu mengusapi perut milik Kaira dengan lembut. Posisi Dipta yang di belakang dengan tubuh Kaira di depannya sambil menyandar di dada bidangnya, membuat gejolak panas dalam tubuh Dipta kian meronta.Namun, pria itu sebisa mungkin menahan keinginannya. Apalagi kondisi istrinya sedang lelah. Lagipula Dipta mengajak berendam bersama untuk merilekskan badan bukan untuk maksud lain, bercinta.Kurang lebih tiga puluh menitan mereka berendam, kini keduanya members
"Mengingat semuanya sudah berkumpul di sini, saya akan menyampaikan beberapa hal soal isi surat wasiat dari mendiang Bapak Wisnu Kertakusuma," jelas notaris yang sudah duduk di depan Vania, Dipta, juga Kaira.Kaira yang takut mendengar isi surat wasiat itu merasa gugup sendiri. Kedua telapak tangannya terasa dingin.Dipta yang memang duduk di tengah-tengah antara Mama dan istrinya, kini menoleh sekilas ke arah Kaira dengan senyuman manis.Tak lupa juga sebelah tangannya meraih telapak tangan milik Kaira yang saat ini sedang memilin-milin ujung pakaiannya.Digenggam erat membuat Kaira menoleh, membalas tatapan dari suaminya dengan pandangan sendu.Lain hal dengan Vania yang masih saja duduk tegak dengan ekspresi wajah angkuh sekaligus jutek. Apalagi wanita paruh baya ini masih belum ikhlas menerima kepergian suaminya, dan terus saja menyalahkan sekaligus menyudutkan Kaira."Saya, Wisnu Kertakusuma membuat surat wasiat ini dalam keadaan sadar dan tidak terpaksa sama sekali. Jika kalian
"Kenapa sekarang jadi kamu yang mengancam saya!?" dengkus Vania menatap Kaira sebal.Sedangkan Kaira sendiri memilih tetap tenang dengan menampilkan ekspresi wajah tidak pedulinya.Ternyata setelah berkonsultasi dengan Wawan lewat telepon soal Mama mertuanya, memang harus bertindak tegas seperti ini karena pada dasarnya mereka sedang mencari perhatian saja dan kini benar terbukti.Kaira berhasil mencegah aksi nekat dari Vania dengan sedikit memberikan ancaman."Kalau Mama masih mau nekat terjun silakan saja. Habis itu Klan Kertakusuma juga musnah!" ucap Kaira dengan nada suara tegas juga lugas."Oke, fine! Mama nggak jadi terjun bukan karena kamu, tapi mikirin nasib Dipta dan calon cucu saya pastinya!" jawabnya sedikit lantang agar Kaira bisa mendengar.Kaira mencoba menahan kuluman senyumnya. Setidaknya ia sudah memegang kartu kelemahan dari Vania.Hal ini bisa buat jaga-jaga jika Vania kembali kambuh lagi. Semoga saja setelah ini wanita paruh baya itu bisa menerima dengan lapang apa
"Kami nggak sekongkol kok, Ma. Lagian Dipta tanya gitu sama Kaira karena penasaran juga pengen tau," kilah Dipta mencoba menutupi rasa gengsi dari Vania."Ohhhh, kirain!"Kaira yang mendengar interaksi Ibu dan anak itu hanya bisa mesam-mesem tanpa banyak berkomentar.Lagipula Kaira takut jika ingin menimbrung ucapan mereka lebih dalam lagi, justru membuat Vania tidak nyaman dan akan semakin membenci dirinya."Besok ke mana sayang?" tanya Dipta sekali lagi kepada Kaira."Niatnya mau datang ziarah ke makam Papa dan Mama sekalian ke makam Papa Wisnu," jawab Kaira penuh hati-hati.Dan, kali ini tumben sekali Vania tidak melarang Kaira agar tak berkunjung ke makam Papa Wisnu. Jika kemarin, wanita paruh baya ini selalu saja marah-marah melarang Kaira ziarah.Dipta yang tidak bisa mengantar istrinya merasa sangat sedih. Alhasil pria itu meminta maaf kepada Kaira karena belum bisa menjadi suami siaga.Tentu saja Kaira tidak masalah soal Dipta tidak bisa menemaninya. Lagipula yang dilakukan su
"Kenapa kamu tanya begitu?" Kedua bola mata tuanya menatap Kaira yang tampak tengah kebingungan sendiri. "Apa saya sejahat itu di matamu?"Kaira yang merasa tidak enak hati langsung menggelengkan kepala, tidak bermaksud seperti itu.Lagipula Kaira pikir kalau Mama mertuanya tidak akan sudi berkunjung ke makam kedua orang tuanya karena kejadian belasan tahun lalu.Namun, dugaannya salah. Mama mertuanya ternyata tidak setega itu. Ya, meski terkadang masih suka kumat-kumatan juteknya.Kini keduanya berjalan sama-sama menuju ke makam kedua orang tua Kaira. Keduanya berjongkok di samping batu nisan yang tertulis atas nama ke orang tua Kaira."Dulu, Papa Wisnu sebulan sekali pasti datang ke sini. Ziarah ke makam ini, menangis meminta maaf selama bertahun-tahun. Dia bahkan berjanji akan melakukan apapun untuk menebus segala dosanya di masa lalu. Mungkin ini jawaban atas ucapannya yang dulu."Tiba-tiba saja Vania mengatakan hal itu di depan makam kedua orang tua Kaira dengan tatapan kosong.K
Setelah ziarah bersama, bahkan hubungan antara mertua dan menantu itu sudah sangat membaik. Kaira yang menginginkan es durian pun sudah dipenuhi oleh Vania, Ibu mertuanya.Dan, mereka berdua kini tengah menghabiskan waktu bersama di teras samping rumah sambil mengobrol banyak hal. Lebih tepatnya soal janin dalam kandungan Kaira, yang mana Vania sudah tidak sabar menanti calon cucunya itu.“Dipta hari ini sudah Mama kasih tahu agar tidak lembur.”“Terus Mas Dipta jawab apa, Ma?” tanya Kaira penasaran.“Ya, jawab iya. Soalnya Mama ancam bakalan pisahin kalian berdua.”Kaira tersentak kaget saat Vania mengatakan hal seperti itu. Semoga saja itu hanya ucapan bohongan saja tidak betulan.Sampai akhirnya terdengar suara dari pintu utama yang membuat Vania tersenyum bangga karena ancamannya ternyata berhasil.“Ma, Kaira, kalian di mana? Kok rumah sepi?” teriak Dipta yang mencari-cari keberadaan Mama dan istrinya.“Ada apa cari kita berdua, ha!?” sahut Vania dengan suara lantangnya.Mendengar
"Lho, Kai, belum tidur?" tanya Vania saat sudah masuk ke dalam kamar, melihat Kaira yang tampak gugup."Be-be-belum, Ma.""Iya, Mama juga nggak bisa tidur jadi pengen ngobrol sebentar sama kamu di sini boleh, 'kan?""Bo-boleh kok, Ma."Vania yang merasa aneh dengan sikap Kaira mendadak curiga. Apalagi dari tadi pergerakan bola mata cokelatnya terus-terusan memandang ke arah kamar mandi. Hal ini membuat Vania penasaran.Dengan gerakan santai, Vania pun menekan handle pintu kamar mandi."Mama kebelet?" tanya Kaira dengan nada suara yang terdengar ketakutan."Hm."Saat sudah dibuka full, Vania tidak melihat siapa-siapa. Hal ini membuat Vania tersenyum kecut.Wanita paruh baya itu lantas berbalik badan sembari menelisik kedua netra mata menantunya.Apalagi tadi telinga Vania mendengar helaan napas panjang dari Kaira, yang justru semakin membuat jiwanya penasaran luar biasa."Nggak jadi ke kamar mandi, Ma?" tanya Kaira mengerut heran.Apalagi sekarang mertuanya tampak jalan-jalan mengitari