Kaira merasa bingung sendiri dengan keadaan yang dialaminya. Entah keputusannya salah atau bagaimana? Yang pasti Kaira hanya ingin melakukan yang terbaik demi keluarganya yang sudah tiada. Kaira hanya ingin memperjuangkan keadilan serta hak mendiang kedua orang tuanya saja tidak lebih.Namun, lagi-lagi langkah yang diambil membuat hati orang yang dicintainya terluka seperti itu. Haruskah Kaira memaafkan? Tapi sungguh hatinya terasa berat dan sulit jika mengingat kejadian belasan tahun lalu, yang mana keluarga suaminya sangat tega kepada kedua orang tuanya.“Bu Kaira, kok ngelamun terus dari tadi? Terus kenapa makan siangnya masih utuh?” tanya Selly saat melihat Kaira tampak diam terbengong sambil memandangi layar komputernya.Parahnya menu makan siang yang sudah diorder untuk dua orang juga masih utuh tak tersentuh sama sekali. Pikiran Kaira berkelana soal ucapan Dipta yang mengobrol dengan Vania di telepon.Mengingat sifat dan karakter Kaira yang gampang kepikiran membuat wanita itu
“Jadi ceritanya begitu, Wan. Menurut lo tindakan yang gue ambil itu benar apa salah?” tanya Kaira yang sudah tidak tahu lagi harus meminta pendapat siapa di dunia ini.Wawan, sahabat dari Kaira masih memilih diam, mencerna setiap kata yang diucapkan oleh Kaira barusan.Bagi Wawan sendiri, masalah yang dihadapi oleh Kaira sangat komplit. Bahkan cenderung membuat psikis Kaira terganggu jika terus-terusan didiamkan saja.“Masalah lo berat banget. Gue dengernya aja sampai ngefreeze beberapa kali,” akui Wawan dengan jujur.“Makanya gue bingung banget, Wan. Menurut lo gue harus gimana? Apa tindakan yang gue ambil salah?”“Menurut gue pribadi tindakan yang lo ambil nggak salah sama sekali. Lo berhak perjuangin apa yang menjadi hak lo. Cuma, ya itu resikonya lo tahu sendiri.”“Terus gue kudu gimana? Sumpah otak gue buntu banget mikirin masalah ini.”“Kalau lo pengin hidup tenang, coba lo pelan-pelan buka hati dan maafin semua kesalahan dari mertua lo itu. Apalagi lo sekarang sedang mengandung
“Emm … itu, Mas, aku bisa jelaskan semuanya nanti,” cicit Kaira pelan karena merasa bersalah sudah ketahuan berbohong.Dipta tak menjawab ucapan Kaira melainkan memberikan kode melalui kepalanya agar istrinya masuk ke dalam rumah.Paham dengan kode yang diberikan oleh Dipta, Kaira langsung menurut masuk ke dalam menuju ke lantai atas. Dipta sendiri mengekori langkah kaki istrinya dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana samping.Tepat saat Kaira baru masuk ke dalam kamar, Dipta yang memang dibelakangnya langsung menutup pintu dengan sedikit kencang. Tak lupa langsung mengunci pintu yang membuat Kaira mengerut heran.“Kenapa dikunci?” tanya Kaira dengan dahi mengerut ke atas.“Ada hubungan apa kamu sama Wawan?”“Kenapa kamu tahu nama itu?” Kaira tak menjawab pertanyaan dari Dipta, tapi ia justru memberikan pertanyaan yang membuatnya penasaran dari tadi.“Jangan mengalihkan pertanyaan dengan memberikan pertanyaan baru, Kaira,” jawab Dipta menggeram menahan kesal.Kaira y
“Kenapa rasanya sesakit ini merindukan orang yang telah tiada. Apalagi hanya bisa membayangkan saja tanpa bisa melihat secara nyata,” rancau Kaira dengan sisa tangisnya.Dipta yang tahu bagaimana perasaan Kaira mencoba mengusapi punggung istrinya pelan-pelan. Apalagi deru napas milik istrinya terdengar tak beraturan.Melihat sudah mulai tenang, Dipta mengambilkan air minum yang berada di sampingnya, di atas meja nakas.“Minum dulu biar rileks,” ujar Dipta memberikan perhatian kepada istrinya. “Papa sama Mama mungkin senang melihat kamu bisa bertahan kuat sampai sejauh ini dengan baik. Makanya mereka kasih senyum ke kamu,” lanjutnya memberikan pengertian kepada Kaira agar tidak usah berpikiran yang macam-macam.Kaira yang mendengar segala bentuk ucapan dari Dipta hanya bisa terdiam mencerna saja setiap kata.Sampai akhirnya mereka berdua kembali melanjutkan tidur yang sempat terganggu akibat mimpi dari Kaira.Waktu terus berjalan, matahari mulai muncul dari ufuk timur, suara kicauan bu
Setelah menjenguk Wisnu di penjara, baik Kaira maupun Dipta kini melanjutkan tujuannya untuk pergi ke kantor.Selama di perjalanan, Kaira tampak terbengong menatap ke arah jalanan, yang membuat Dipta sesekali melirik ke samping untuk memastikan jika istrinya baik-baik saja.“Kamu mikirin apa?” tanya Dipta sambil fokus menyetir, namun sesekali tatapannya melirik ke samping, memperhatikan Kaira yang dari tadi menghela napas terus-terusan.“Nggak mikirin apa-apa,” jawabnya berbohong, namun Dipta bisa memaklumi jika istrinya belum mau terbuka saat ini, mungkin Dipta harus sabar dulu agar Kaira mau bercerita dengannya.Tak mau membuat istrinya tidak nyaman, Dipta kembali fokus ke jalanan tanpa bertanya apa-apa lagi.Lain hal dengan Kaira yang tampak duduk dengan gelisah. Bahkan beberapa kali wanita itu mengubah posisi duduknya, namun tetap saja ujung-ujungnya menyandarkan kepala ke arah jendela mobil.Tak terasa perjalanan mereka akhirnya sampai di gedung kantor Archery Group, Dipta sebelu
“Papa drop, dan saat sedang dilarikan ke rumah sakit, ditengah perjalanan Papa mengembuskan napas terakhirnya.”Kalimat itu masih saja terngiang-ngiang di kepala Kaira. Tidak menyangka apa yang didengarnya barusan. Sungguh Kaira masih tidak percaya dengan ucapan Dipta.Kenapa bisa hal ini terjadi begitu cepat? Bukankah tadi kondisi Papa Wisnu sehat? Kenapa sekarang tiba-tiba ia mendapat kabar kurang enak seperti ini.Sepertinya Dipta sedang berbohong, atau dia sedang ngeprank!? Tapi dari nada suaranya tidak mungkin kalau suaminya bercanda.“Pa, kenapa di saat aku sudah memaafkan Papa dan ingin mencabut tuntutan itu malah seperti ini yang terjadi!?” lirih Kaira yang mulai kembali marah kepada takdir yang menimpanya.Kaira merasa jika takdir selalu saja mengajaknya bercanda seperti ini. Padahal Kaira sudah membayangkan akan hidup bahagia dengan lembaran baru nantinya. Tapi semuanya hancur dalam waktu seketika.Yang dilakukan Kaira hanya melamun dengan kondisi tubuh kaku karena saking sy
"Ma, ayo kita pulang," ajak Dipta kepada Mamanya yang masih saja terus menangis tergugu di samping pusaran makam sang suami."Papa, Dip, Papa.""Iya, aku tahu. Papa pasti udah bahagia di sana. Papa udah nggak ngerasain sakit lagi sekarang."Vania tampak diam saja ketika Dipta terus merayunya untuk pulang ke rumah. Yang dilakukan Vania terus mengusapi batu nisan yang tertulis atas nama suaminya dengan lembut.Sungguh Vania masih tak menyangka kalau waktu kebersamaan dengan sang suami akan sesingkat dan secepat ini. Rasanya baru kemarin saling mengungkapkan rasa cinta, dan diberi kado terindah, melahirkan Dipta, namun kini mereka harus berpisah karena sebuah takdir.Yang membuat lebih sakit lagi, Vania tidak bisa menemani saat-saat terakhir suaminya hidup di dunia ini."Maafin Mama, Pa, maaf," lirih Vania penuh dengan rasa penyesalan. "Maaf nggak bisa nemenin Papa saat terakhir," lanjutnya sambil mencium nama suaminya yang tertera di batu nisan.Dipta yang melihat kesedihan Mamanya iku
"Baju kamu basah," ucap Kaira sembari melihat Dipta dengan tatapan pilu."Hm, tadi di sana ujan gede banget.""Sebaiknya kamu mandi biar nggak masuk angin.""Iya, tapi kamu juga ikut basah gara-gara aku." Dipta menunjuk dengan dagunya ke arah pakaian Kaira yang ikut basah akibat adegan pelukan tadi.Kaira sendiri ikut melihat ke arah pakaiannya sendiri, melihat ke arah perut buncitnya.Sampai akhirnya mereka berdua pun kini sama-sama membersihkan diri dengan air hangat. Dipta mengajak Kaira untuk berendam di bathtube. Sesekali pria itu mengusapi perut milik Kaira dengan lembut. Posisi Dipta yang di belakang dengan tubuh Kaira di depannya sambil menyandar di dada bidangnya, membuat gejolak panas dalam tubuh Dipta kian meronta.Namun, pria itu sebisa mungkin menahan keinginannya. Apalagi kondisi istrinya sedang lelah. Lagipula Dipta mengajak berendam bersama untuk merilekskan badan bukan untuk maksud lain, bercinta.Kurang lebih tiga puluh menitan mereka berendam, kini keduanya members