"Kami juga tidak ingin seperti ini," sahut Vania dengan sendu. "Tapi lagi-lagi kita semua tak bisa menghindari takdir, 'kan?" tambahnya dengan pandangan mata kosong."Ya, dan mungkin kehadiran Kaira ke dalam keluarga kita agar ….""Ssssstt … kita pasti bisa melewati ini semua, Pa. Semoga saja Kaira bisa mengerti," potong Vania cepat.Melihat perdebatan kedua orangtuanya yang masih saja ingin benar sendiri membuat Dipta memilih pamit pergi.Pria itu kembali menuju ke dalam kamar. Melihat istrinya yang tengah terlelap dalam damainya.Dielusnya kening milik Kaira dengan lembut penuh kasih sayang oleh Dipta. "Jangan pernah tinggalkan aku, Kaira," bisik Dipta setelah mengecup kening istrinya itu.Merasa jika tubuhnya juga butuh istirahat, Dipta memilih pergi ke dalam kamar mandi sebentar untuk bersih-bersih sebelum ikut tidur di samping tubuh istrinya.***"Morning Kaira, Dipta," sapa Vania dengan wajah ceria yang membuat Kaira menoleh ke arah samping, melihat Dipta, karena merasa aneh de
"Kenapa tiba-tiba datang ke sini? Ada apa, ha!?" sentak Dipta menatap tajam ke arah Bagas."Gue kayaknya harus ketemu sama Selly.""Ck! Emang ada apalagi? Mau bahas soal burung lo yang murahan itu!?" dengkus Dipta mendecak sebal."Ya, gue mau bilang kalau dia telat datang bulan ngabarin gue gitu," balas Bagas santai tanpa beban sedikit pun."Lo tolol apa gimana, sih! Dia pasti malu ketemu sama lo! Mending lo beri waktu dia sendiri dulu. Kalau lo ngebet gini, yang ada dia ilfil sama lo!" cerocos Dipta panjang lebar mengomeli Bagas."Gitu, Dip?" tanya Bagas dengan wajah tanpa dosanya."Ck! Pakai nanya lagi! Ya iya lah gitu!" Dipta yang merasa kesal dengan sahabatnya memilih duduk di kursi kebesarannya.Menghadapi Bagas dan ketololannya membuat emosinya meningkat.Sedangkan Bagas hanya diam sambil mengusap-usap dagunya sendiri, seakan-akan sedang menyerap nasihat dari Dipta."Gue juga lagi bimbang," celetuk Dipta tiba-tiba yang membuat Bagas menoleh ke arahnya sambil menaikkan sebelah a
"Kamu kemana, sih, Kaira!?" geram Dipta yang gelisah mencari istrinya di sekitar kantor, namun tak menemukan batang hidungnya.Pria itu menyusuri bahu jalanan sampai rela bertanya kepada beberapa orang yang berada di sekitar sana."Maaf, permisi, apakah tadi melihat orang ini di sekitar sini?" tanya Dipta memperlihatkan foto istrinya kepada pedagang asongan."Tadi berjalan ke arah sana sambil menangis," jawabnya menjelaskan. Tak lupa menunjuk arah ke mana Kaira pergi."Oke, kalau begitu terima kasih banyak, Pak," balas Dipta sambil membungkuk sedikit sebagai tanda pamitnya.Pria itu lantas berjalan pergi menuju ke arah yang ditunjukkan oleh bapak tadi.Keningnya mengerut saat jalan yang ditunjukkan ternyata menuju ke sebuah taman.Sengaja Dipta mengurangi gerak langkah kakinya. Debaran jantungnya pun mulai tak karuan saat gendang telinganya menangkap suara tangis yang tak asing.Jujur saja mendengar suara isak tangis milik Kaira membuat hatinya pilu sendiri."Maafkan aku sayang," bati
“Ya, Dip, aku sakit.”Dipta masih memilih diam, mencoba memperhatikan gelagat dan ekspresi dari Salsa. Dipta takut jika wanita itu hanya akting saja.Apalagi sudah berulang kali jika Salsa nekat melakukan apapun demi keinginannya tercapai. Dipta tidak ingin terjebak di keadaan yang sama, yang membuat hidupnya justru lebih hancur dan terpuruk.“Aku kena kanker kelenjar getah bening. Dokter bilang sudah stadium empat. Untuk itu, sebelum aku pergi meninggalkan dunia ini, aku ingin dikenang sebagai orang baik bukan jahat lagi,” lanjutnya menjelaskan dengan suara serak karena habis menangis.“Kamu serius?” tanya Dipta menatap Salsa dengan intens, mencoba menelisik ucapannya karena takut ada kebohongan di sana. “Kapan?”“Apanya?” Salsa balik bertanya karena pertanyaan yang dilontarkan Dipta sangat ambigu.“Kamu tahu ini? Kenapa bisa sampai sudah tahap akhir begini?”“Sebenarnya aku sudah tahu lama, Dip, tapi aku selalu denial soal keadaanku. Parahnya kemarin saat aku menjalani pengobatan me
“Apaan, sih, kasih pilihan seperti itu!?”Dipta tak menanggapi respon dari istrinya. Pria itu lebih memilih terus melanjutkan niatnya untuk segera menyelesaikan masalah yang ada.Kaira yang merasa ditarik paksa oleh Dipta, hanya bisa pasrah saja saat ini. Pasalnya ekspresi dari Dipta saat ini sangat menakutkan.Kaira bahkan terus melihat ke arah pergelangan tangan miliknya yang sudah ikut berlumur darah.“Pak Dipta, tadi—“ kata salah satu karyawan yang ingin menyampaikan sesuatu, namun langsung diberi kode oleh Dipta untuk berhenti berbicara.Karyawan itu bahkan merasa syok saat melihat ke arah lantai lobby yang penuh dengan tetesan darah milik Dipta.Merasa jadi pusat perhatian oleh para karyawan, Kaira mencoba berontak minta dilepaskan. Akan tetapi Dipta tetaplah Dipta, pria yang sulit untuk diruntuhkan keinginannya.Ting!“Lepas, Mas! Kamu tahu nggak kita jadi pusat perhatian tadi di lobby!” seru Kaira saat sudah berdua di dalam lift.Dipta tidak merespon protesan dari istrinya. Ke
“Kenapa tangan kamu berdarah?” tanya Kaira sambil menatap telapak tangan milik Dipta yang sudah tertutup perban.“Tadi nonjokin pohon di taman.”“Cih! Mau jadi sok jagoan?” dengkus Kaira merasa kesal sendiri dengan tindakan bodoh suaminya.“Ya, aku kesel soalnya lihat kamu nangis terus di taman.”“Jadi kamu kesel sama aku?”“Bukan, aku kesel sama diriku sendiri sayang. Masa kita habis bercinta panas membara mau berantem lagi, sih!?” sungut Dipta merasa capek sendiri mengimbangi mood swing istrinya yang gampang sekali naik turun.“Cih! Lagian kamu sok banget mukulin pohon segala! Udah tahu kalau pohon itu keras, malahan dipukul!” omel Kaira panjang lebar. “Dan, satu lagi, kita emang lagi musuhan!”Dipta yang mendengar ucapan istrinya hanya memutarkan kedua bola matanya malas. Musuhan tapi minta bercinta berkali-kali bahkan Kaira merengek minta Dipta memompa sangat cepat.Parahnya tadi suara desahan Kaira sangat kencang. Tidak seperti biasanya yang suka malu-malu. Kali ini Kaira sedikit
“Kenapa mukanya cemberut gitu, sih?” tanya Dipta yang masih saja bertanya seperti ini setelah apa yang dilakukannya. Tidak memberikan permainan yang diinginkan oleh Kaira dengan dalih harus segera ke rumah sakit.“Ya, pikir aja sendiri,” jawabnya jutek, bahkan enggan menatap ke arah Dipta, lebih suka menatap ke arah jendela melihat pemandangan di jalanan.“Yaudah aku minta maaf. Nanti aku kasih berkali lipat deh buat istriku tercinta,” rayu Dipta memberikan janji yang membuat Kaira sedikit mesam-mesem tapi masih gengsi untuk menatap ke arahnya. “Pengen berapa ronde?” tanya Dipta menawarkan diri.“Beronde-ronde!” jawabnya tegas sambil menutup wajahnya dengan telapak tangan karena malu. “Ini permintaan anakmu bukan aku, Mas! Kamu jangan mikir kalau aku yang kepengen lho!” lanjutnya mencoba membersihkan namanya karena gengsi.“Iya, iya.”Dipta menyengir saja ketika istrinya masih saja malu dan gengsi kalau dia memang doyan ena-ena. Padahal jujur juga tidak apa-apa. Ia sebagai pria justru
Plak!“Jaga mulutmu, Kaira!?”Kaira terkejut saat pipi mulusnya mendapat tamparan keras dari Vania. Ia merasa dejavu dengan perasaan ini, yang mana dulu juga pernah mendapat tamparan keras dari Widya karena kasusnya dengan Mas Bayu.Tak pernah menyangka bagi Kaira kalau ia akan mendapat perlakuan yang sama seperti dulu. Bahkan kini rasanya jauh lebih sakit dibanding dengan Widya, yang notabene masih calon belum resmi menjadi mertua seperti Vania.Masih dengan memegangi pipinya, Kaira menatap sengit ke arah Vania juga Wisnu. Tak lama Dipta baru muncul dari belakang tubuh Kaira dengan deru napas yang masih terdengar ngos-ngosan.“Sayang.”Dipta tampak diam saat melihat keadaan istri dan kedua orang tuanya yang tampak sedang saling menatap satu sama lain dengan tatapan yang begitu tegang.“Ada apa ini?” tanya Dipta pelan penuh hati-hati.“Kekacauan ini gara-gara Papa,” celetuk Wisnu yang tiba-tiba jatuh bersimpuh di atas tanah yang membuat Vania tidak terima. “Saya mengaku salah karena d