“Kenapa sikap Mama sekarang berubah, ya? Kenapa dia nggak ngebolehin aku menjenguk Papa di rumah sakit?”Kaira terus bergumam sambil melamun ketika mendapat pesan chat yang dikirimkan oleh Vania, Mama mertuanya.Bahkan tidak ada alasan yang jelas disampaikan oleh Vania di dalam chatnya tadi. Mama mertuanya hanya mengatakan mulai sekarang jangan menjenguk Papa Wisnu terlebih dahulu.“Bu Kaira, mau pesan makan siang apa?” tanya Selly yang memperhatikan Ibu Bosnya selalu melamun dari pagi.Kaira yang kaget langsung terkesiap saat mendengar suara dari Selly. Kaira pun memilih akan makan sendiri ke restoran bersama sang suami. Apalagi tadi saat berangkat kerja bareng, Dipta sudah berjanji kepadanya akan mengajaknya makan di warung padang.Pasalnya tadi malam saat jam dua dini hari, Kaira terbangun dari tidurnya dan mendadak kepengen makan nasi padang. Alhasil Dipta akan menuruti keinginan ngidamnya nanti di jam makan siang.Saat kemarin setelah diusir dari rumah sakit, Kaira langsung pulan
“Kalung ini merupakan hadiah ulang tahunku dari Papa,” jawab Kaira sambil memandangi kalung yang dipegangnya.Tak bisa dipungkiri jika kedua bola matanya kini menghangat tiba-tiba. Senyum yang tampak pun terasa begitu pedih jika mengingat kejadian belasan tahun lalu.Merasa rindu dengan mendiang kedua orangtuanya, Kaira membawa kalung itu ke dalam dekapan dadanya. Matanya terpejam, menyalurkan perasaannya yang sakit merindukan orang yang telah tiada. Air mata yang sudah ditahannya sejak tadi kini akhirnya luruh pecah membasahi pipi mulusnya.Dipta, yang sama-sama terkejut mendengar fakta ini merasa bingung sendiri. Kepalanya mendadak sakit. Kenapa bisa takdir sekejam ini kepada keluarganya? Kenapa harus Kaira, istrinya, yang menjadi anak korban tabrak lari itu? Kenapa tidak orang lain saja!?“Mas Dipta sudah tahu, ‘kan, kalau kedua orangtuaku ditabrak sama orang tak bertanggung jawab? Aku ingin tahu kejadian itu, siapa tahu Papa Wisnu mengetahuinya,” ucap Kaira lirih sambil membuka ke
"Soal ini nanti kita bahas kalau sudah di rumah, ya. Aku masih di jalan soalnya," kata Dipta mencoba mengalihkan pembicaraan dengan Kaira.Mendengar suara bising jalanan membuat Kaira mengiyakan ucapan suaminya.Wanita itu akhirnya berpamitan kepada Dipta di telepon. Setelah terputus, Dipta menghela napas begitu kasar.Tiba di rumah sakit, Dipta buru-buru masuk ke dalam ruang rawat inap papanya. Ternyata mereka sedang beres-beres mau pulang."Lho, udah boleh pulang emangnya?" tanya Dipta menatap wajah kedua orangtuanya secara bergantian."Iya, tadi pagi dokter visit ke sini dan bilang kalau Papa sudah boleh pulang," jawab Vania sibuk membereskan beberapa pakaian milik Wisnu.Dipta melihat kondisi Papanya membaik, merasa lega. Tapi memperhatikan ekspresinya sejak tadi yang diam saja membuat Dipta bertanya-tanya sendiri dalam hati."Memikirkan ucapan Kaira?" singgung Dipta yang berhasil membuat Wisnu bereaksi dengan menatapnya. "Dia bahkan ingin membuka kasus belasan tahun itu kembali,"
"Pak Dipta yakin kita berdua aja yang pergi?" Kedua manik cokelat itu tampak terlihat gelisah. Merasa tidak enak dengan Kaira, yang notabene adalah Ibu Bosnya."Ya, tidak mungkin saya bawa istri ke acara seperti itu. Dia lagi hamil muda dan butuh istirahat yang cukup," jawab Dipta masuk akal."Tapi saya nggak enak sama Ibu Kaira, Pak.""Kenapa harus tidak enak? Memangnya saya mau ajak kamu ngapain? Tugas kita di sana itu mencari investor sebanyak-banyaknya mumpung ada acara pesta begini," jelas Dipta santai, bahkan terlihat tidak memikirkan perasaan Selly yang tidak enakan itu.Dijawab sarkas begitu membuat Selly menelan ludahnya berkali-kali. Lagipula bukan itu maksud Selly. Dia hanya tidak enak dengan Ibu Bosnya. Takut berpikiran macam-macam nanti.Ya, meski kalau dipikir-pikir dia juga tidak akan berani melakukan hal aneh. Apalagi sampai melakukan hal zina sama pria beristri.Tiba di Bali, Dipta maupun Selly dijemput mobil yang sudah disiapkan oleh Bagas. Mereka langsung melaju ke
“Siapa, sih, yang ganggu orang tidur,” dengkus Dipta ketika mendengar suara bel, ketukan, bahkan panggilan lirih namanya.Tidak mungkin hantu, ‘kan? Suaranya seperti tidak asing di telinga Dipta. Alhasil, ia bangun dari posisi tengkurepnya.Dipta berjalan menuju ke arah pintu dengan muka ngantuknya. Sebelum membuka pintu, Dipta menyempatkan diri mengintip lubang kecil yang memang tersedia di daun pintu.“Selly,” gumam Dipta lirih, ia buru-buru membukakan pintu. Dipta terkejut saat gadis itu langsung memeluknya erat sambil menangis. “Kamu kenapa nangis?” tanya Dipta kebingungan sendiri.Gadis itu tidak menjawab melainkan terus memeluk Dipta erat. Tangisnya semakin pecah yang membuat Dipta kebingungan sendiri.Tidak ingin mengundang kecurigaan kepada petugas dan penghuni hotel lainnya, Dipta mengajak Selly masuk ke dalam kamarnya. Mempersilakan Selly untuk duduk di pinggiran ranjang.Setelah gadis itu duduk, Dipta menatap ke arah Selly sambil melipat kedua tangan di depan dada. Ada yang
“Kayaknya, sih, enggak, Dip,” jawabnya sok berpikir, bahkan ekspresinya dibuat polos yang justru membuat Dipta semakin meradang.“Bego! Lo tolol banget, Gas! Lo rusak anak orang, dan lo lupa pakai pengaman? Pikiran lo di mana, ha!?” semprot Dipta meluapkan emosinya yang terbendung sejak semalam.Tidak hanya menyemprot dengan makian dan omelan kepada Bagas. Dipta bahkan sudah memiting leher milik Bagas, karena saking gregetannya.Bagas yang merasa kehabisan napas, langsung membalas Dipta dengan umpatan yang tak kalah kasarnya.“Bego gue bisa mati kalau gini!” keluhnya sambil berusaha melawan Dipta.“Biarin aja lo mati sekalian! Lagian lo tolol banget ngerusak anak orang sampai segitunya! Kalau dia hamil gimana, ha!? Lo udah rusak masa depan dia tahu nggak!” omel Dipta yang masih saja diliputi rasa emosi yang sangat tinggi.“Kalau dia sampai hamil, gue bakalan tanggung jawab nanti. Gue bakalan nikahin dia, Dip.”Dipta yang lelah berkelahi dengan Bagas, memilih duduk kembali. Menyeruput
"Kenapa sekarang kamu ingin tahu orang itu, Kaira? Bukannya kasus itu udah lama, hm?" Dipta mencoba bersikap lembut, meski dalam hatinya tak bisa dipungkiri kalau jantungnya berdegup kencang. Bingung sekaligus dilema berada di posisi seperti ini.“Ya, emang sudah lama, tapi aku merasa harus mengusut kasus ini lagi, Mas.”“Tapi untuk apa? Mereka udah tenang di surga, Kaira.”“Kata siapa? Buktinya, mendiang kedua orang tuaku terus hadir dalam mimpi. Mereka tuh seolah-olah kasih petunjuk buat aku gitu,” debat Kaira yang masih bersikukuh dengan pendapatnya.“Lagian mimpi tuh hanya bunga tidur aja.”Mendengar tanggapan suaminya seperti ini membuat Kaira merasa tak dibela sama sekali. Wajahnya langsung muram. Bibirnya cemberut, manyun ke depan.Hal ini sontak mencuri perhatian dari Dipta. Pria itu seakan sadar jika ucapannya menyakiti hati Kaira. Saat ingin memegang wajahnya, Kaira langsung menepis kasar telapak tangan milik Dipta.“Kamu tuh sebenernya mau bantu aku apa enggak, sih!?” deng
"Sabar, sayang. Tenangkan pikiranmu dulu. Redakan emosimu baru kita bahas soal ini," lerai Dipta mengalah."Gimana aku bisa tenang kalau suamiku saja membela bajingan itu! Padahal kamu nggak kenal dan tau dia! Bisa-bisanya kamu bela dia!" cerocos Kaira meledak-ledak.Deru napas Kaira bahkan sedikit tersengal-sengal akibat teriak terus menerus.Emosinya pun kurang stabil yang membuat kepalanya sakit. Ditambah perutnya menjadi keram.Merasa keras di bagian perut, Kaira meringis kesakitan."Awwwh!" rintihnya sambil memegangi lengan kekar milik suaminya."Nah Kan, apa yang sakit, hm? Aku bilang sabar tuh biar kamu nggak gini," nasihat Dipta, yang menolong istrinya dengan mengubah posisi jok mobil menjadi rebahan."Aku mau pulang," pinta Kaira dengan suara lirih, bibirnya masih mencoba menahan sakit di bagian perut.Dipta yang melihat kondisi istrinya seperti itu, tentu saja langsung melaju pulang.Selama di jalan, sebelah tangan kiri milik Dipta dibuat mengusap-usap bagian perut milik Kai