“Siapa, sih, yang ganggu orang tidur,” dengkus Dipta ketika mendengar suara bel, ketukan, bahkan panggilan lirih namanya.Tidak mungkin hantu, ‘kan? Suaranya seperti tidak asing di telinga Dipta. Alhasil, ia bangun dari posisi tengkurepnya.Dipta berjalan menuju ke arah pintu dengan muka ngantuknya. Sebelum membuka pintu, Dipta menyempatkan diri mengintip lubang kecil yang memang tersedia di daun pintu.“Selly,” gumam Dipta lirih, ia buru-buru membukakan pintu. Dipta terkejut saat gadis itu langsung memeluknya erat sambil menangis. “Kamu kenapa nangis?” tanya Dipta kebingungan sendiri.Gadis itu tidak menjawab melainkan terus memeluk Dipta erat. Tangisnya semakin pecah yang membuat Dipta kebingungan sendiri.Tidak ingin mengundang kecurigaan kepada petugas dan penghuni hotel lainnya, Dipta mengajak Selly masuk ke dalam kamarnya. Mempersilakan Selly untuk duduk di pinggiran ranjang.Setelah gadis itu duduk, Dipta menatap ke arah Selly sambil melipat kedua tangan di depan dada. Ada yang
“Kayaknya, sih, enggak, Dip,” jawabnya sok berpikir, bahkan ekspresinya dibuat polos yang justru membuat Dipta semakin meradang.“Bego! Lo tolol banget, Gas! Lo rusak anak orang, dan lo lupa pakai pengaman? Pikiran lo di mana, ha!?” semprot Dipta meluapkan emosinya yang terbendung sejak semalam.Tidak hanya menyemprot dengan makian dan omelan kepada Bagas. Dipta bahkan sudah memiting leher milik Bagas, karena saking gregetannya.Bagas yang merasa kehabisan napas, langsung membalas Dipta dengan umpatan yang tak kalah kasarnya.“Bego gue bisa mati kalau gini!” keluhnya sambil berusaha melawan Dipta.“Biarin aja lo mati sekalian! Lagian lo tolol banget ngerusak anak orang sampai segitunya! Kalau dia hamil gimana, ha!? Lo udah rusak masa depan dia tahu nggak!” omel Dipta yang masih saja diliputi rasa emosi yang sangat tinggi.“Kalau dia sampai hamil, gue bakalan tanggung jawab nanti. Gue bakalan nikahin dia, Dip.”Dipta yang lelah berkelahi dengan Bagas, memilih duduk kembali. Menyeruput
"Kenapa sekarang kamu ingin tahu orang itu, Kaira? Bukannya kasus itu udah lama, hm?" Dipta mencoba bersikap lembut, meski dalam hatinya tak bisa dipungkiri kalau jantungnya berdegup kencang. Bingung sekaligus dilema berada di posisi seperti ini.“Ya, emang sudah lama, tapi aku merasa harus mengusut kasus ini lagi, Mas.”“Tapi untuk apa? Mereka udah tenang di surga, Kaira.”“Kata siapa? Buktinya, mendiang kedua orang tuaku terus hadir dalam mimpi. Mereka tuh seolah-olah kasih petunjuk buat aku gitu,” debat Kaira yang masih bersikukuh dengan pendapatnya.“Lagian mimpi tuh hanya bunga tidur aja.”Mendengar tanggapan suaminya seperti ini membuat Kaira merasa tak dibela sama sekali. Wajahnya langsung muram. Bibirnya cemberut, manyun ke depan.Hal ini sontak mencuri perhatian dari Dipta. Pria itu seakan sadar jika ucapannya menyakiti hati Kaira. Saat ingin memegang wajahnya, Kaira langsung menepis kasar telapak tangan milik Dipta.“Kamu tuh sebenernya mau bantu aku apa enggak, sih!?” deng
"Sabar, sayang. Tenangkan pikiranmu dulu. Redakan emosimu baru kita bahas soal ini," lerai Dipta mengalah."Gimana aku bisa tenang kalau suamiku saja membela bajingan itu! Padahal kamu nggak kenal dan tau dia! Bisa-bisanya kamu bela dia!" cerocos Kaira meledak-ledak.Deru napas Kaira bahkan sedikit tersengal-sengal akibat teriak terus menerus.Emosinya pun kurang stabil yang membuat kepalanya sakit. Ditambah perutnya menjadi keram.Merasa keras di bagian perut, Kaira meringis kesakitan."Awwwh!" rintihnya sambil memegangi lengan kekar milik suaminya."Nah Kan, apa yang sakit, hm? Aku bilang sabar tuh biar kamu nggak gini," nasihat Dipta, yang menolong istrinya dengan mengubah posisi jok mobil menjadi rebahan."Aku mau pulang," pinta Kaira dengan suara lirih, bibirnya masih mencoba menahan sakit di bagian perut.Dipta yang melihat kondisi istrinya seperti itu, tentu saja langsung melaju pulang.Selama di jalan, sebelah tangan kiri milik Dipta dibuat mengusap-usap bagian perut milik Kai
"Kami juga tidak ingin seperti ini," sahut Vania dengan sendu. "Tapi lagi-lagi kita semua tak bisa menghindari takdir, 'kan?" tambahnya dengan pandangan mata kosong."Ya, dan mungkin kehadiran Kaira ke dalam keluarga kita agar ….""Ssssstt … kita pasti bisa melewati ini semua, Pa. Semoga saja Kaira bisa mengerti," potong Vania cepat.Melihat perdebatan kedua orangtuanya yang masih saja ingin benar sendiri membuat Dipta memilih pamit pergi.Pria itu kembali menuju ke dalam kamar. Melihat istrinya yang tengah terlelap dalam damainya.Dielusnya kening milik Kaira dengan lembut penuh kasih sayang oleh Dipta. "Jangan pernah tinggalkan aku, Kaira," bisik Dipta setelah mengecup kening istrinya itu.Merasa jika tubuhnya juga butuh istirahat, Dipta memilih pergi ke dalam kamar mandi sebentar untuk bersih-bersih sebelum ikut tidur di samping tubuh istrinya.***"Morning Kaira, Dipta," sapa Vania dengan wajah ceria yang membuat Kaira menoleh ke arah samping, melihat Dipta, karena merasa aneh de
"Kenapa tiba-tiba datang ke sini? Ada apa, ha!?" sentak Dipta menatap tajam ke arah Bagas."Gue kayaknya harus ketemu sama Selly.""Ck! Emang ada apalagi? Mau bahas soal burung lo yang murahan itu!?" dengkus Dipta mendecak sebal."Ya, gue mau bilang kalau dia telat datang bulan ngabarin gue gitu," balas Bagas santai tanpa beban sedikit pun."Lo tolol apa gimana, sih! Dia pasti malu ketemu sama lo! Mending lo beri waktu dia sendiri dulu. Kalau lo ngebet gini, yang ada dia ilfil sama lo!" cerocos Dipta panjang lebar mengomeli Bagas."Gitu, Dip?" tanya Bagas dengan wajah tanpa dosanya."Ck! Pakai nanya lagi! Ya iya lah gitu!" Dipta yang merasa kesal dengan sahabatnya memilih duduk di kursi kebesarannya.Menghadapi Bagas dan ketololannya membuat emosinya meningkat.Sedangkan Bagas hanya diam sambil mengusap-usap dagunya sendiri, seakan-akan sedang menyerap nasihat dari Dipta."Gue juga lagi bimbang," celetuk Dipta tiba-tiba yang membuat Bagas menoleh ke arahnya sambil menaikkan sebelah a
"Kamu kemana, sih, Kaira!?" geram Dipta yang gelisah mencari istrinya di sekitar kantor, namun tak menemukan batang hidungnya.Pria itu menyusuri bahu jalanan sampai rela bertanya kepada beberapa orang yang berada di sekitar sana."Maaf, permisi, apakah tadi melihat orang ini di sekitar sini?" tanya Dipta memperlihatkan foto istrinya kepada pedagang asongan."Tadi berjalan ke arah sana sambil menangis," jawabnya menjelaskan. Tak lupa menunjuk arah ke mana Kaira pergi."Oke, kalau begitu terima kasih banyak, Pak," balas Dipta sambil membungkuk sedikit sebagai tanda pamitnya.Pria itu lantas berjalan pergi menuju ke arah yang ditunjukkan oleh bapak tadi.Keningnya mengerut saat jalan yang ditunjukkan ternyata menuju ke sebuah taman.Sengaja Dipta mengurangi gerak langkah kakinya. Debaran jantungnya pun mulai tak karuan saat gendang telinganya menangkap suara tangis yang tak asing.Jujur saja mendengar suara isak tangis milik Kaira membuat hatinya pilu sendiri."Maafkan aku sayang," bati
“Ya, Dip, aku sakit.”Dipta masih memilih diam, mencoba memperhatikan gelagat dan ekspresi dari Salsa. Dipta takut jika wanita itu hanya akting saja.Apalagi sudah berulang kali jika Salsa nekat melakukan apapun demi keinginannya tercapai. Dipta tidak ingin terjebak di keadaan yang sama, yang membuat hidupnya justru lebih hancur dan terpuruk.“Aku kena kanker kelenjar getah bening. Dokter bilang sudah stadium empat. Untuk itu, sebelum aku pergi meninggalkan dunia ini, aku ingin dikenang sebagai orang baik bukan jahat lagi,” lanjutnya menjelaskan dengan suara serak karena habis menangis.“Kamu serius?” tanya Dipta menatap Salsa dengan intens, mencoba menelisik ucapannya karena takut ada kebohongan di sana. “Kapan?”“Apanya?” Salsa balik bertanya karena pertanyaan yang dilontarkan Dipta sangat ambigu.“Kamu tahu ini? Kenapa bisa sampai sudah tahap akhir begini?”“Sebenarnya aku sudah tahu lama, Dip, tapi aku selalu denial soal keadaanku. Parahnya kemarin saat aku menjalani pengobatan me