“Ulu-ulu masa ngancamnya gitu?” goda Dipta yang justru semakin meledek istrinya hingga kian makin cemberut.Sebal karena diledek terus menerus membuat Kaira mengambek, enggan berbicara dengan Dipta sampai ke tempat tujuan, rumah utama keluarga Kertakusuma.“Masih ngambek terus, eh?” tanya Dipta sambil menjawil dagu milik Kaira. “Kalau ngambek terus aku cium nanti,” tambah Dipta yang justru membuat Kaira semakin kesal.Marah dengan ucapan Dipta membuat Kaira memukuli suaminya sedikit brutal. Akan tetapi Dipta membalas dengan pelukan.Kaira yang dipeluk dari belakang langsung tersipu malu. Pipinya mendadak merah seperti kepiting rebus.Tahu kalau istrinya sudah mulai blusing, Dipta mencium pipi milik Kaira dengan gemas. Mengajak Kaira masuk ke dalam rumah.“Mobil kamu yang warna putih ke mana? Kok nggak pernah kelihatan di mana-mana?” tanya Kaira yang merasa tak pernah melihat mobil putih milik suaminya lagi.“Rusak, terus udah aku jual, sayang. Kenapa? Kamu kepengen mobil kayak gitu la
“Kotak hitam apa itu?” lirih Kaira bermonolog sendiri. Netra cokelatnya menatap ke arah benda berwarna hitam yang terjatuh.Mengingat tujuannya mencari map berwarna kuning, Kaira kembali melanjutkan tujuannya. Ternyata saat sudah dicari-cari tidak ada di dalam jejeran rak buku.Alhasil Kaira memilih buru-buru turun dari atas kursi putar karena takut terjatuh. Kaira mendorong kursi putar itu ke tempat semula, di belakang meja kerja.Netra matanya kembali melihat ke arah kotak hitam yang terjatuh. Dilihatnya lekat-lekat oleh Kaira. Saat baru mengambil dan akan membuka kotak hitam itu, telinganya mendengar suara deritan pintu terbuka.Cklek!“Kaira?”“Eh, Papa,” balas Kaira merasa gugup sendiri. Ekspresi wajahnya pun sangat terlihat tegang ketika Wisnu berjalan masuk mendekat ke arahnya.Sebelah alis milik Wisnu terangkat sebelah ketika melihat kotak hitam itu berada di tangan Kaira. Wisnu tersenyum tipis, penuh makna tersirat.“Kamu sudah buka kotak itu?” tanya Wisnu menunjuk ke arah ko
“Ya, Kaira, ada apa?” tanya Wisnu di seberang telepon.“Pa, Kaira boleh pinjam laptop atau komputer Papa di ruang kerja nggak? Soalnya Kaira mau bantu-bantu dikit pekerjaan Mas Dipta,” jelas Kaira soal tujuannya ingin meminjam laptop milik mertuanya.“Oh, tentu saja boleh sayang. Kamu pakai aja laptop Papa sesuka hati kamu, ya. Kamu juga boleh pakai ruangan itu untuk bekerja kok.”Kaira tersenyum lebar saat mendengar Papa mertuanya yang justru membebaskan dirinya menggunakan ruang kerja pribadinya itu.Tak lupa Kaira mengucapkan makasih kepada Papa Wisnu. Bibirnya bahkan mesam-mesem sendiri saat mendengar ucapan Papa mertuanya yang penuh perhatian kepadanya.Sudah mendapatkan izin dari orang yang bersangkutan, Kaira buru-buru berjalan menuju ke ruang kerja itu kembali. Membuka pintu itu dengan kunci yang dimilikinya.Klek!Wanita itu mendorong masuk daun pintu ke dalam. Tujuan pertama Kaira, membuka seluruh hordeng agar terasa terang. Tak lupa menyalakan AC agar tak merasa gerah.Seme
“A-a-apa maksud dari semua ini? Kenapa foto keluargaku ada di dalam liontin kalung milik Papa Wisnu? Terus kenapa desainnya juga sama dengan punyaku? Apa jangan-jangan ini kalung Mama yang hilang saat kecelakaan?”Rasanya Kaira tidak mengerti dengan keadaan yang dialaminya saat ini. Apalagi jika disebut sebuah kebetulan rasanya sangat mustahil.Lagipula mana ada kebetulan buat perhiasan dengan foto keluarganya? Kenapa tidak dengan foto keluarga Papa Wisnu saja?Pusing memikirkan ini membuat tubuh Kaira hampir limbung. Untung saja ia berpegangan kuat ke tiang rak buku.Perutnya bahkan mendadak mual, yang membuat Kaira buru-buru pergi dari dalam ruang kerja pribadi mertuanya. Kaira berjalan cepat menuju ke kamar mandi yang berada di lantai bawah.Hoek! Hoek!Makanan yang sudah dimakan tadi, semuanya keluar. Tubuh Kaira langsung lemas tak bertenaga. Kepalanya juga pusing, pandangan matanya mulai menguning hingga lama-kelamaan gelap.Bruk!Tubuhnya yang limbung pingsan di dekat lantai was
“Kamu ngomong apa, sih, sayang? Kamu tadi nggak kejedot benda tajam, ‘kan?”Dipta memegang dahi milik Kaira dengan punggung telapak tangannya. Memastikan suhu tubuh istrinya, takutnya panas hingga berbicara ngelantur.Sebal karena Dipta menganggap ucapannya hanya haluan saja, Kaira menyingkirkan telapak tangan milik Dipta dengan cepat.“Aku baik-baik aja,” dengkus Kaira menatap jutek ke arah Dipta.Tahu jika istrinya mengambek, Dipta mencoba merayu Kaira dengan memegang kedua telapak tangannya.“Lagian kamu kenapa tiba-tiba tanya begini, sih?” Dipta kini bertanya dengan nada suara yang begitu lembut. Dan, benar saja reaksi Kaira langsung berubah, meski ekspresi wajahnya masih saja jutek.“Lagian aku cuma andai-andai,” ujar Kaira masih dengan suara sedikit ngegas. “Kalau itu terjadi gimana? Berarti kita … sudahlah!” Kaira tak melanjutkan ucapannya karena sudah terlanjur keburu badmood.“Kalau kita saudara ya bagus dong. Tali darah kita nggak akan pernah terputus.”“Dih! Tapi ini calon
“Nggak ngomong apa-apa kok. Itu bibir kamu kayak ada bekas minyak gitu,” tunjuk Dipta dengan dagunya ke arah bibir milik Kaira yang memang penuh dengan bekas minyak.Maklum saja, Kaira tadi di kantor makan banyak gorengan cireng. Wanita itu lupa mengusapi bibirnya dengan tisu karena buru-buru mengejar langkah kaki suaminya.Sambil mengusapi bibirnya sendiri, Kaira mencoba mencari alasan yang logis agar Dipta percaya.“Ini kebanyakan pakai lip gloss.”“Ha!? Apaan tuh?” tanya Dipta yang tidak paham dengan segala produk kecantikan wanita. Kaira pun menjelaskan sedikit, dan tentu saja Dipta hanya manggut-manggut kecil saja meski sejujurnya tetap tak paham.Sampai akhirnya mereka tiba di tempat tujuan. Mereka berdua langsung berjalan menuju ke tempat ICU.Meski tak boleh masuk, Dipta ingin melihat keadaan Mamanya yang sejak kemarin belum bertemu dengannya.“Dipta.”“Ma, gimana keadaan Papa?” tanya Dipta sambil membalas pelukan dari Mamanya. Vania menangis tersendu-sendu di pelukan putranya
"Kemana kita harus mencarinya? Kejadian itu sudah belasan tahun yang lalu," jawab Vania menatap sendu ke arah sang suami."Ke tempat tinggal terakhirnya," balas Wisnu dengan suara serak dan pelan. Napasnya bahkan terdengar seperti akan putus."Oke, Mama sama Dipta akan berusaha mencari dia demi Papa. Tapi kalau dia tidak memaafkan bagaimana? Nggak semua orang bisa menerima hal ini," jelas Vania yang justru merasa takut sendiri.Wisnu tampak tersenyum getir, Vania pun ikut merasa resah.Namun jam kunjungan sudah habis yang membuat Vania harus segera keluar.Yang dilakukan Vania, menyuruh orang kepercayaannya mencari tahu informasi yang dikirimkan.Sambil menunggu kabar, Vania menelepon Dipta tapi panggilannya belum juga diangkat. Vania berpikir kalau Dipta masih sibuk mengurusi masalah kantor.Alhasil Vania kembali duduk sambil mengingat kejadian belasan tahun lalu yang mana ia sekeluarga telah menabrak sepasang suami istri hingga tewas.Saat itu kondisi jalanan licin karena habis huja
“Sialan! Endru, berengsek! Beraninya dia mengacaukan semua proyek yang sudah kujalani!” seru Dipta mengamuk di dalam ruang kerjanya.Kaira yang melihat suaminya mengamuk hanya bisa diam saja tanpa berbuat apapun. Apalagi suaminya sedang diliputi emosi yang meledak-ledak membuat Kaira tak berani menegur ataupun mengajaknya berbicara.Yang dilakukan Kaira saat ini hanya menonton Dipta yang sedang mengobrak-abrik dokumen file di atas mejanya.Jujur, ini pertama kalinya Kaira melihat Dipta sekesal dan sejengkel ini kepada orang. Wajahnya bahkan terlihat merah padam. Tatapan matanya pun sangat menakutkan, tampak begitu bengis.“Dia berani sekali meracuni otak klienku, Kai! Endru keparat!” umpat Dipta yang kembali mengusap wajahnya begitu kasar.Penampilan pria itu sungguh sangat acak-acakan sekali. Tatanan rambutnya bahkan sudah tak karuan. Kalau diumpamakan sudah seperti sangkar burung.Dipta yang duduk kini berdiri dan berjalan mendekati ke arah kaca besar yang menampilkan pemandangan ko