"Ah maaf, apa saya terlambat ?" tanya Fiona ketika melihat pemuda dengan setelan jas berwarna hitam duduk di salah bangku paling ujung.
"Tidak, saya datang lebih cepat. Ada keperluan di sekitar sini" jelasnya, Fiona melihat jam kulit yang melingkar di pergelangan tangannya. Masih sekitar tiga puluh menit lagi dari waktu yang di janjikan.
"Mau pesan apa ?" tanya Aris sambil memanggil pelayan dengan lambaian tangannya.
"saya belum pernah ke sini. Apakah anda bisa merekomendasikannya ?" ucap Fiona jujur. Ini sebuah kafe yang sangat nyaman. Fiona bertanya-tanya, bagaimana bisa ia tidak tahu tempat sebagus ini.
Aris tersenyum mendengar pertanyaan Fiona. Ia sudah cukup sering mengunjungi kafe ini sehingga tahu menu-menu andalan mereka.
"Kalau saya biasanya memesan Chicken Pesto Pasta di sini. Pastanya dimasak al dente dengan saus pesto yang segar dan potongan ayam yang empuk. Porsinya juga pas, tidak terlalu banyak tapi cukup mengenyangkan," jelas Aris.
"Selain itu, Anda juga bisa mencoba Smoked Beef Sandwich. Roti panininya renyah dengan isian daging sapi asap, keju, dan sayuran segar. Rasanya gurih dan teksturnya pas."
"Untuk minuman, saya rekomendasikan mencoba Iced Caramel Macchiato mereka. Paduan espresso, susu, dan sirup karamel yang manis cocok untuk cuaca yang agak panas seperti sekarang ini," lanjut Aris.
"Bagaimana? Apa ada yang menarik minat Anda?" tanya Aris ramah, memberi kesempatan bagi Fiona untuk memilih. Ia senang bisa berbagi rekomendasi menu favoritnya di kafe yang nyaman ini.
"Sepertinya saya akan memesan Smoked Beef Sandwich dan Iced Caramel Macchiato" ucap FIona.
"Saya pesan Smoked beef Sandwich dan Iced Caramel Macchiato, untuk dua orang" ucapnya pada pelayan wanita yang sibuk menuliskan pesanannya. Setelah pelayan itu mengulangi pesanannya, ia kemudian permisi untuk pergi mengambilkan pesanannya.
Berikut adalah perbaikan kalimat supaya lebih baik:
"Sepertinya Anda sering mengunjungi tempat ini, ya?" tanya Fiona sambil memperhatikan sekeliling dengan seksama.
"Ya, suasana di sini cukup nyaman, bukan?" Aris balik bertanya, yang dijawab dengan anggukan singkat oleh Fiona yang masih sibuk mengamati interior ruangan.
"Baiklah, mari kita kembali ke topik bisnis kita. Sebelumnya, meskipun kita sudah berkenalan, izinkan saya memperkenalkan diri sekali lagi. Perkenalkan, nama saya Fiona Gunawan, pemilik Bargainbay" ucapnya dengan nada profesional sambil mengulurkan tangan.
"Senang bertemu dengan Anda, Fiona. Saya Aris Wijaya, pemilik Mingle," balasnya sembari menjabat tangan Fiona dengan mantap.
"Bagaimana Anda bisa mengetahui bahwa saya adalah pemiliknya?" tanya Fiona dengan nada heran. Ia merasa sangat yakin bahwa identitasnya sebagai pemilik Bargainbay tidak akan mudah ditebak, karena Putra telah melakukan pekerjaannya dengan sangat baik. Bahkan, sebagian besar orang mengira Putra adalah CEO sekaligus pemilik Bargainbay.
Aris tertawa renyah sebelum menjawab, "Anda tidak boleh meremehkan jaringan informasi kami."
Fiona pun ikut tertawa dengan anggun, "Memang, Mingle tidak bisa dipandang sebelah mata."
Aris melanjutkan pembicaraan, "Jadi, bagaimana? Sebelumnya, saya sudah menjelaskan kepada Pak Putra mengenai potensi kolaborasi antara Bargainbay dan Mingle. Anda bisa mempelajari proposal ini terlebih dahulu," ucapnya sambil menyodorkan sebuah bundel kertas yang cukup tebal.
"Silakan pelajari dengan teliti. Saya akan menunggu Anda selesai membacanya."
Fiona sedikit ragu, "Tidakkah sebaiknya saya membawanya pulang? Proposal ini cukup tebal, saya khawatir Anda akan merasa bosan menunggu."
"Anda bisa menjelaskan garis besarnya saja, nanti saya akan..."
Aris memotong ucapan Fiona, "Tidak, saya akan menunggu Anda selesai membacanya."
Fiona mengernyitkan dahi, bingung dengan sikap Aris, namun ia mengangguk pelan.
"Sepertinya Anda sudah tidak sabar menanti kolaborasi kita, ya?" ucap Fiona dengan senyum canggung.
Aris menatap Fiona dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kerinduan yang terpancar dari matanya, namun ia dengan cepat mengalihkan pandangannya, berusaha menyembunyikan perasaan yang telah dipendamnya selama belasan tahun. Cinta yang bertepuk sebelah tangan, hanya ia yang tahu.
"Sejujurnya, saya sangat menantikan kolaborasi ini. Bukan hanya karena potensi bisnis yang menjanjikan, tetapi juga karena..." Aris menggantung kalimatnya, seolah ragu untuk melanjutkan. Ia menarik napas panjang sebelum melanjutkan, "...karena saya akhirnya memiliki kesempatan untuk bekerja sama dengan Anda, Fiona."
Fiona sedikit terkejut mendengar pernyataan Aris. Ia merasakan ada sesuatu yang berbeda dari nada bicara Aris, namun ia tidak dapat menyimpulkan dengan pasti. Fiona memutuskan untuk tidak terlalu memusingkannya dan kembali fokus pada proposal di hadapannya.
Sementara Fiona membaca proposal, Aris diam-diam mencuri pandang ke arahnya. Ia mengagumi bagaimana Fiona telah tumbuh menjadi wanita yang tangguh dan sukses. Aris teringat masa-masa kecil mereka dulu, ketika ia pertama kali jatuh hati pada Fiona. Namun, ia tidak pernah memiliki keberanian untuk mengungkapkan perasaannya.
Aris mendengarkan dengan seksama saat Fiona mulai menjelaskan visinya untuk kolaborasi mereka. Matanya berbinar-binar, menunjukkan antusiasme yang tulus.
"Saya sangat antusias dengan prospek kolaborasi kita, Fiona. Bargainbay di kenal sebagai marketpalce terbesar di negara ini, bahkan sudah merambah ke negara-negara tetangga. Ini adalah peluang yang luar biasa," ucap Aris dengan senyum mengembang.
Fiona melanjutkan, "Jika Anda berkenan, saya ingin mengusulkan kolaborasi yang melibatkan lini produk perawatan wajah dari merek Celestial yang merupakan anak produk dari Mingle. Saya ingin meluncurkan rangkaian terbaru yang disebut Celestial X BaBa. Saya tertarik untuk membuat tabir surya"
Dengan penuh semangat, Fiona menguraikan setiap detail dari produk yang dimaksud. Aris mengangguk-angguk, mencatat poin-poin penting dalam benaknya. Ia kagum dengan pengetahuan mendalam Fiona tentang tren kecantikan terkini dan kemampuannya untuk mengidentifikasi produk yang berpotensi menjadi bestseller.
"Celestial X BaBa nantinya akan memiliki formula tabir surya yang ringan, tidak lengket, dan memberikan perlindungan spektrum luas. Produk ini juga diperkaya dengan antioksidan dan bahan-bahan botanis yang merawat kulit. Saya yakin ini akan menjadi daya tarik utama bagi pelanggan Bargainbay karena produk yang paling laris di Bargainbay adalah tabir surya" jelas Fiona dengan rinci, matanya berbinar oleh prospek yang menjanjikan.
Aris tidak dapat menahan senyumnya melihat antusiasme Fiona. Ia selalu mengagumi kecerdasan dan visi bisnisnya yang tajam. Kolaborasi ini tidak hanya akan menguntungkan kedua belah pihak, tetapi juga memberi Aris kesempatan berharga untuk bekerja lebih dekat dengan wanita yang telah lama mencuri hatinya.
"Saya benar-benar menyukainya" ucapnya sambil menatap wajah wanita di hadapannya yang sedang sibuk mempelajari proposalnya.
"Iya, saya juga. Ini akan menjadi kolaborasi yang luar biasa" ucapnya masih terpaku dengan proposalnya.
Waktu seolah berlalu dalam sekejap mata, tanpa terasa jarum jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Kafe yang tadinya ramai pengunjung pun mulai lengang, hanya menyisakan beberapa orang yang masih menikmati hidangan dan obrolan.
Aris menutup proposal di hadapannya dan menatap Fiona dengan senyum hangat. "Sebelum kita mengakhiri pertemuan ini, maukah Anda menemaniku makan malam? Ada restoran yang sangat ingin saya rekomendasikan kepada Anda," ajaknya dengan nada penuh harap.
Fiona, yang baru menyadari bahwa mereka telah menghabiskan berjam-jam larut dalam diskusi bisnis, mengangguk dengan antusias. "Tentu saja, saya dengan senang hati menerima undangan Anda. Apakah tidak bisa makan malam disini saja ?" tanyanya, mengingat betapa tepatnya rekomendasi Aris untuk hidangan di kafe ini.
Aris tertawa kecil. "Sayangnya, kita tidak bisa makan malam di sini. Kafe ini lebih berfokus pada kudapan ringan dan minuman saja," jelasnya. "Tapi jangan khawatir, restoran yang akan kita kunjungi memiliki hidangan yang tidak kalah menggugah selera. Saya jamin Anda akan menyukainya."
Aris berdiri dan merapikan jasnya, sebelum mengulurkan tangan untuk membantu Fiona bangkit dari kursinya. Gestur kecil itu mengandung kehangatan dan perhatian yang tulus, membuat jantung Fiona berdegup sedikit lebih cepat.
Mereka berjalan bersama menuju pintu keluar, dengan Aris membukakan pintu untuk Fiona layaknya seorang gentleman sejati. Udara malam yang sejuk menyambut mereka, dihiasi cahaya lampu jalan yang berpendar lembut.
Saat melangkah menuju mobil Aris, Fiona tidak bisa menahan diri untuk merasa sedikit berdebar. Makan malam bersama setelah pertemuan bisnis bukanlah hal yang biasa ia lakukan, terlebih lagi dengan seorang pria seperti Aris yang begitu mempesona dan penuh perhatian.
Namun, Fiona meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia harus fokus dengan pekerjaannya. Ia sudah memiliki suami di rumah, meskipun suaminya seperti sampah, tapi ia saat ini tidak ingin terlibat drama percintaan dengan pria lain karena hanya akan membuatnya sakit kepala saja.
-TBC-
Restoran yang dipilih Aris terletak tidak jauh dari kafe tempat mereka bertemu sebelumnya. Dengan desain minimalis yang elegan, restoran ini memancarkan aura keanggunan dan kehangatan. Dinding-dinding kaca yang membentang dari lantai hingga langit-langit memberikan pemandangan menakjubkan ke arah kota yang bermandikan cahaya di malam hari. Seorang pelayan dengan senyum ramah menyambut kedatangan mereka dan mengantar ke meja yang telah dipesan Aris. Meja itu terletak di dekat jendela, memberikan privasi yang sempurna untuk melanjutkan obrolan mereka. Fiona tidak bisa menahan diri untuk terkagum-kagum dengan pilihan tempat Aris. "Tempat ini luar biasa indah, Aris. Saya bisa melihat mengapa Anda sangat merekomendasikannya," ucapnya tulus. Aris tersenyum, merasa senang dengan pujian Fiona. "Saya senang Anda menyukainya. Restoran ini adalah salah satu favorit saya. Makanan di sini tidak hanya lezat, tetapi juga disajikan dengan presentasi yang memukau," jelasnya. Mereka membuka menu da
"Sayang, bolehkah aku ikut ke tempat kerjamu hari ini?" tanya Diana dengan nada manja, sembari meringkuk dalam pelukan Edgar yang matanya masih setengah terpejam. "Untuk apa?" gumam Edgar, suaranya masih serak oleh kantuk. "Wanita itu, istrimu, katanya sudah mulai bekerja, bukan? Aku juga ingin merasakan pengalaman bekerja, meski aku sadar kemampuanku terbatas. Setidaknya, izinkan aku melihat seperti apa suasana kantor, bagaimana kesibukan orang-orang di dalamnya," rengek Diana, berusaha membujuk Edgar dengan suaranya yang mendayu-dayu. Edgar menghela napas, lalu berkata dengan lembut namun tegas, "Sayang, kantor bukanlah tempat untuk bermain-main. Kau mungkin akan merasa bosan dan tidak nyaman di sana. Lagipula, hari ini agendaku sangat padat. Ada pertemuan penting dengan rekan bisnis yang harus kuhadiri." Mendengar kata 'rekan bisnis', Diana menegang. Dengan ragu, ia bertanya, "Apakah rekan bisnis yang kau maksud adalah orang yang sangat penting?" Edgar mengangguk. "Ya, rekan b
Pintu ruang kerja Edgar tiba-tiba terbuka, mengejutkan Diana dan Edgar yang masih terengah-engah dalam pusaran gairah. Namun, alih-alih sosok Fiona yang muncul sendirian seperti yang diharapkan Diana, mereka justru disambut oleh sekelompok orang yang terdiri dari beberapa petinggi perusahaan. Fiona melangkah masuk dengan anggun, diikuti oleh tiga orang pria paruh baya dalam setelan jas mahal, seorang wanita paruh baya, Putra dan juga Aris. Mereka adalah dewan direksi dan investor utama perusahaan tempat Edgar bekerja, dan beberapa karyawan dari perusahaan milik Edgar. Suasana dalam ruangan seketika membeku, udara dipenuhi oleh ketegangan yang mencekam dan terasa sedikit canggung. Mata Fiona seketika tertuju pada Edgar dan Diana yang masih setengah telanjang, pakaian mereka berserakan di lantai. Ekspresi terkejut dan jijik terukir jelas di wajahnya, namun dengan cepat ia menutupinya dengan topeng profesionalitas yang dingin. "Maaf mengganggu, Pak Edgar. Kami ke sini untuk mendiskusi
Setelah pertemuan yang menghancurkan itu, Edgar menemukan dirinya terduduk lemas di ruang kerjanya. Kepalanya tertunduk dalam, jemarinya meremas rambutnya dengan penuh rasa frustasi yang menggerogoti jiwanya. Ia masih tidak dapat mempercayai bahwa peristiwa memalukan yang baru saja terjadi benar-benar nyata, menghancurkan reputasi dan kredibilitasnya dalam sekejap mata, seperti sebuah mimpi buruk yang menjadi kenyataan. "Sa... sayang. Apa yang sebenarnya terjadi?" ucap Diana dengan suara tergagap, tubuhnya gemetar saat ia mondar-mandir di depan meja kerja Edgar. Kecemasan dan ketakutan terpancar jelas di matanya. Edgar mengangkat kepalanya, matanya menatap Diana dengan tajam. "Diamlah dan duduklah. Kegelisahanmu hanya membuatku semakin pusing," ucapnya dengan nada dingin sambil memijit pelipisnya, berusaha menahan emosi yang bergejolak di dalam dirinya. Diana terduduk dengan lemas, jemarinya gemetar saat ia menggigit ujung kukunya. "Ini semua pasti ulah wanita itu. Ini pasti perbua
Begitu mereka sudah berada di dalam mobil yang melaju membelah jalanan kota, Putra menggelengkan kepalanya dengan heran. "Aku masih tidak habis pikir, bagaimana mungkin orang sebodoh Edgar bisa menjadi pimpinan perusahaan sebesar itu?" tanyanya, nada suaranya dipenuhi oleh campuran ketidakpercayaan dan ejekan. Fiona mendengus, senyum sinis tersungging di bibirnya. "Kau lihat sendiri bagaimana ia terus menerus mempertahankan wanita tak bermoral itu di sisinya. Bukankah itu sudah cukup membuktikan betapa bodoh dan naifnya dia?" sindirnya dengan nada mencemooh. Putra mengangguk setuju, lalu mengeluarkan sebuah map berisi dokumen-dokumen penting. Dengan teliti, ia memeriksa setiap detail angka yang tertera di sana. "Setelah pembelian saham ini, total kepemilikan saham kita di perusahaan Edgar menjadi lima puluh lima persen. Ditambah dengan lima persen saham milik Mingle, itu artinya kita memiliki kendali penuh atas segala keputusan perusahaan," jelasnya, matanya berkilat penuh kemenanga
"Mana suami saya?" tanya Fiona dengan nada dingin yang menusuk. Ia menatap pelayan tua di hadapannya dengan sorot mata yang tajam, menuntut jawaban. Pernikahan ini hanyalah sebuah formalitas belaka, tanpa cinta dan hanya untuk kepentingan bisnis semata. Pelayan itu gemetar di bawah tatapan intens Fiona. Dengan suara yang gugup, ia menjawab, "Maaf Nyonya, Tuan sedang ada urusan pekerjaan mendesak yang tidak bisa ditinggalkan. Izinkan saya menggantikan Tuan untuk menyambut kedatangan Anda." "Hmm, begitu rupanya." sahut Fiona dengan nada acuh tak acuh. Wajah cantiknya yang bak porselain tidak menampakkan emosi sedikitpun. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia melangkah masuk ke dalam rumah megah nan dingin itu, rumah suaminya yang tak pernah dicintainya.Fiona mendongak ke arah lantai dua, matanya menangkap pemandangan yang membuatnya muak. Meskipun samar, ia masih bisa melihat sosok yang disebut suaminya sedang asyik bercumbu dan saling melucuti pakaian dengan seorang wanita. Mereka kemud
Fiona duduk sendirian di atas pelaminan yang megah, bagaikan seorang putri yang terlupakan dalam dongeng yang kelam. Gaun pengantin putih bersih yang membalut tubuhnya terlihat kontras dengan suasana hatinya yang penuh kegelapan. Manik matanya menatap nanar ke arah pintu masuk, berharap sosok suaminya akan muncul. Bukan berarti dia mendambakan pria itu, hanya saja, ini kondisi yang benar-benar memalukan untuknya. Wajah Fiona tetap tenang, bagaikan topeng porselen yang tak menampakkan emosi. Namun, jika diperhatikan lebih dalam, sorot matanya menyiratkan kemarahan. Bibirnya terkatup rapat, menahan kata-kata tajam yang ingin ia tumpahkan kepada mereka yang telah menghancurkan hari yang seharusnya menjadi hari yang terindah meskipun ia menikah dengan orang yang tidak ia sukai. "Sialan. Berani-beraninya kalian mempermalukanku seperti ini...." desis Fiona penuh kemarahan. Ia merasa direndahkan di hadapan ratusan pasang mata yang menatapnya dengan pandangan kasihan bercampur rasa ingin
Acara resepsi pernikahan yang memuakan itu akhirnya selesai. Fiona langsung masuk ke kamar, menghapus make-up, dan mengganti pakaiannya. Ia tidak peduli dengan keributan di luar.Ia sudah terlalu capek, capek fisik dan batin. Jadi tidak butuh waktu lama, matanya pun terpejam. Ia tertidur.“Mana wanita jalang itu!” Samar-samar ia mendengar suaranya semakin mendekat dan tubuhnya serasa di guncang dengan keras oleh tangan yang kasar. “Bisa-bisa nya kau masih tidur di kondisi seperti ini!?” Bentaknya sambil terus mengguncang tubuh Fiona. “A..ada apa?” Tanya Fiona tergagap karena ia masih belum sadar sepenuhnya. “Berani-beraninya kau mempermainkan ku !!” Bentaknya lagi. "Kau sudah gila !?" Bentak Fiona begitu kesadarannya pulih sepenuhnya akibat huru-hara di kamarnya. Ia melihat sekilas jam di dinding. Ini pukul setengah lima pagi. "Kau sudah gila !?" Bentak Fiona begitu kesadarannya pulih sepenuhnya akibat huru-hara di kamarnya. Ia melihat sekilas jam di dinding. Ini masih pukul dua
Begitu mereka sudah berada di dalam mobil yang melaju membelah jalanan kota, Putra menggelengkan kepalanya dengan heran. "Aku masih tidak habis pikir, bagaimana mungkin orang sebodoh Edgar bisa menjadi pimpinan perusahaan sebesar itu?" tanyanya, nada suaranya dipenuhi oleh campuran ketidakpercayaan dan ejekan. Fiona mendengus, senyum sinis tersungging di bibirnya. "Kau lihat sendiri bagaimana ia terus menerus mempertahankan wanita tak bermoral itu di sisinya. Bukankah itu sudah cukup membuktikan betapa bodoh dan naifnya dia?" sindirnya dengan nada mencemooh. Putra mengangguk setuju, lalu mengeluarkan sebuah map berisi dokumen-dokumen penting. Dengan teliti, ia memeriksa setiap detail angka yang tertera di sana. "Setelah pembelian saham ini, total kepemilikan saham kita di perusahaan Edgar menjadi lima puluh lima persen. Ditambah dengan lima persen saham milik Mingle, itu artinya kita memiliki kendali penuh atas segala keputusan perusahaan," jelasnya, matanya berkilat penuh kemenanga
Setelah pertemuan yang menghancurkan itu, Edgar menemukan dirinya terduduk lemas di ruang kerjanya. Kepalanya tertunduk dalam, jemarinya meremas rambutnya dengan penuh rasa frustasi yang menggerogoti jiwanya. Ia masih tidak dapat mempercayai bahwa peristiwa memalukan yang baru saja terjadi benar-benar nyata, menghancurkan reputasi dan kredibilitasnya dalam sekejap mata, seperti sebuah mimpi buruk yang menjadi kenyataan. "Sa... sayang. Apa yang sebenarnya terjadi?" ucap Diana dengan suara tergagap, tubuhnya gemetar saat ia mondar-mandir di depan meja kerja Edgar. Kecemasan dan ketakutan terpancar jelas di matanya. Edgar mengangkat kepalanya, matanya menatap Diana dengan tajam. "Diamlah dan duduklah. Kegelisahanmu hanya membuatku semakin pusing," ucapnya dengan nada dingin sambil memijit pelipisnya, berusaha menahan emosi yang bergejolak di dalam dirinya. Diana terduduk dengan lemas, jemarinya gemetar saat ia menggigit ujung kukunya. "Ini semua pasti ulah wanita itu. Ini pasti perbua
Pintu ruang kerja Edgar tiba-tiba terbuka, mengejutkan Diana dan Edgar yang masih terengah-engah dalam pusaran gairah. Namun, alih-alih sosok Fiona yang muncul sendirian seperti yang diharapkan Diana, mereka justru disambut oleh sekelompok orang yang terdiri dari beberapa petinggi perusahaan. Fiona melangkah masuk dengan anggun, diikuti oleh tiga orang pria paruh baya dalam setelan jas mahal, seorang wanita paruh baya, Putra dan juga Aris. Mereka adalah dewan direksi dan investor utama perusahaan tempat Edgar bekerja, dan beberapa karyawan dari perusahaan milik Edgar. Suasana dalam ruangan seketika membeku, udara dipenuhi oleh ketegangan yang mencekam dan terasa sedikit canggung. Mata Fiona seketika tertuju pada Edgar dan Diana yang masih setengah telanjang, pakaian mereka berserakan di lantai. Ekspresi terkejut dan jijik terukir jelas di wajahnya, namun dengan cepat ia menutupinya dengan topeng profesionalitas yang dingin. "Maaf mengganggu, Pak Edgar. Kami ke sini untuk mendiskusi
"Sayang, bolehkah aku ikut ke tempat kerjamu hari ini?" tanya Diana dengan nada manja, sembari meringkuk dalam pelukan Edgar yang matanya masih setengah terpejam. "Untuk apa?" gumam Edgar, suaranya masih serak oleh kantuk. "Wanita itu, istrimu, katanya sudah mulai bekerja, bukan? Aku juga ingin merasakan pengalaman bekerja, meski aku sadar kemampuanku terbatas. Setidaknya, izinkan aku melihat seperti apa suasana kantor, bagaimana kesibukan orang-orang di dalamnya," rengek Diana, berusaha membujuk Edgar dengan suaranya yang mendayu-dayu. Edgar menghela napas, lalu berkata dengan lembut namun tegas, "Sayang, kantor bukanlah tempat untuk bermain-main. Kau mungkin akan merasa bosan dan tidak nyaman di sana. Lagipula, hari ini agendaku sangat padat. Ada pertemuan penting dengan rekan bisnis yang harus kuhadiri." Mendengar kata 'rekan bisnis', Diana menegang. Dengan ragu, ia bertanya, "Apakah rekan bisnis yang kau maksud adalah orang yang sangat penting?" Edgar mengangguk. "Ya, rekan b
Restoran yang dipilih Aris terletak tidak jauh dari kafe tempat mereka bertemu sebelumnya. Dengan desain minimalis yang elegan, restoran ini memancarkan aura keanggunan dan kehangatan. Dinding-dinding kaca yang membentang dari lantai hingga langit-langit memberikan pemandangan menakjubkan ke arah kota yang bermandikan cahaya di malam hari. Seorang pelayan dengan senyum ramah menyambut kedatangan mereka dan mengantar ke meja yang telah dipesan Aris. Meja itu terletak di dekat jendela, memberikan privasi yang sempurna untuk melanjutkan obrolan mereka. Fiona tidak bisa menahan diri untuk terkagum-kagum dengan pilihan tempat Aris. "Tempat ini luar biasa indah, Aris. Saya bisa melihat mengapa Anda sangat merekomendasikannya," ucapnya tulus. Aris tersenyum, merasa senang dengan pujian Fiona. "Saya senang Anda menyukainya. Restoran ini adalah salah satu favorit saya. Makanan di sini tidak hanya lezat, tetapi juga disajikan dengan presentasi yang memukau," jelasnya. Mereka membuka menu da
"Ah maaf, apa saya terlambat ?" tanya Fiona ketika melihat pemuda dengan setelan jas berwarna hitam duduk di salah bangku paling ujung."Tidak, saya datang lebih cepat. Ada keperluan di sekitar sini" jelasnya, Fiona melihat jam kulit yang melingkar di pergelangan tangannya. Masih sekitar tiga puluh menit lagi dari waktu yang di janjikan."Mau pesan apa ?" tanya Aris sambil memanggil pelayan dengan lambaian tangannya."saya belum pernah ke sini. Apakah anda bisa merekomendasikannya ?" ucap Fiona jujur. Ini sebuah kafe yang sangat nyaman. Fiona bertanya-tanya, bagaimana bisa ia tidak tahu tempat sebagus ini.Aris tersenyum mendengar pertanyaan Fiona. Ia sudah cukup sering mengunjungi kafe ini sehingga tahu menu-menu andalan mereka."Kalau saya biasanya memesan Chicken Pesto Pasta di sini. Pastanya dimasak al dente dengan saus pesto yang segar dan potongan ayam yang empuk. Porsinya juga pas, tidak terlalu banyak tapi cukup mengenyangkan," jelas
Dalam sekejap, media sosial dihebohkan dengan munculnya sebuah video yang mempertontonkan tindakan tak bermoral seorang wanita. Deskripsi singkat di video itu menyebutkan dengan gamblang, "Wanita simpanan pemilik perusahaan ekspedisi X memberikan uang bulanan kepada istri sahnya hanya sebesar seratus ribu rupiah!"Video tersebut menampilkan seorang wanita dengan handuk melilit kepalanya, melenggang angkuh ke sebuah kamar. Dengan gerakan meremehkan, ia melemparkan sebuah amplop kecil ke arah meja rias. Ketika sang istri membukanya, ternyata hanya terdapat lembaran uang senilai seratus ribu rupiah di dalamnya.Gambar selanjutnya memperlihatkan sebuah surat pernyataan yang seolah menegaskan aksi keji tersebut. Disebutkan bahwa wanita dalam video secara sah memberikan uang bulanan sebesar seratus ribu rupiah kepada nyonya rumah tangga.Tak pelak, unggahan itu langsung menuai kecaman dari berbagai penjuru. Komentar-komentar pedas bermunculan, mengutuk tindakan tak be
“Kamu datang lagi malam ini ?" tanya Diana sambil menatap Edgar memasuki kamar mereka."Tentu saja, ini kamar kita," jawabnya sambil melangkah dan merangkul Diana."Tapi kau sudah memiliki istri," ucap Diana dengan raut wajah yang cemberut."Tapi hatiku milikmu. Biarkan aku hanya bersamamu," ucap Edgar dengan lembut sambil membelai lembut wajah Diana."Apa kamu lebih memilih aku menghabiskan malam dengan wanita itu?" Diana mempererat pelukannya sambil menggeleng keras."Melihatmu menikah membuat hatiku hancur berkeping-keping. Bahkan membayangkan kalian tidur bersama saja sudah membuatku tak tahan," ucap Diana sambil terisak, kepedihan tergambar jelas di matanya.“Jangan berfikif terlalu berlebihan. Kamu tahu bukan kalau aku sangat mencintaimu” ucapnya mulai melucuti pakaian Diana dan mengecup bahu Diana lembut.“Ya, aku juga sangat mencintaimu. Jadi jangan pernah mencampakanku” ucap Diana dengan suara gemetar, diiringi dengan tatapan penuh cinta kepada Edgar.“Wajah yang sangat tampa
"Apa yang bisa kamu lakukan ? Kamu berharap keluargamu membantumu ?" Desis Edgar dengan wajah merah padam."Kenapa aku butuh keluargaku ? Aku bisa menghancurkanmu dengan kekuatanku sendiri" Edgar tertawa terbahak-bahak mendengarnya."Kamu kira aku tidak tahu ? Kamu disini karena di buang oleh keluargamu kan ? Kalau bukan karena ke untungan, aku tidak sudi menikahi mu" Fiona mengangkat salah satu alisnya."Kamu disini tidak memiliki apa-apa. Selama kamu menumpang hidup disini, jaga perilakumu !" Bentaknya lagi sambil membawa Diana dalam pelukannya dan meninggalkan meja makan."Sayang, apa kamu tidak keterlaluan menamparnya tadi?" bujuk Diana manja sambil bergelayut di lengan Edgar."Dia berani menyirammu!" hardik Edgar geram. Wajahnya memerah menahan amarah. "Itu karena ia cemburu padaku. Dia pasti ingin diperlakukan seperti aku," sahut Diana dengan seringai sinis."Itu tidak akan terjadi!" bentak Edgar. "Mana mungkin dia berpikir bisa menggantikan posisimu!"Diana memasang wajah sedi