"Danendra."Baru membuka mata, Adara langsung menggumamkan nama Danendra sementara tangan kanannya sibuk meraba-raba kasur, mencari keberadaan sang suami.Kedua matanya terbuka lebar, Adara mendesah karena tak mendapati sang suami tidur di depannya. Padahal, setiap pagi Danendra biasanya ada di dekatnya—memandangi dia ketika bangun tidur."Kangen," gumam Adara pelan.Satu malam tak tidur bersama Danendra, Adara dilanda kerinduan yang mendalam. Jarang sekali ditinggalkan seperti ini membuat dia sangat dekat dengan suaminya itu."Duh."Susah payah, Adara berusaha untuk bangun lalu duduk bersila di atas kasur sambil mengikat rambut juga mengumpulkan kesadaran.Menguap, Adara memandang jam dinding yang ternyata sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. "El kok belum bangun ya?" tanya Adara.Semalaman, Adara kesulitan tidur seperti biasanya karena memang di usia kehamilan yang sudah tua ini, sangat sulit bagi dia mencari posisi aman—terlebih lagi Adara terus memikirkan Danendra."Bismillah."Be
***"Istirahat dulu aja.""Iya, Sayang. Ini juga mau istirahat dulu."Pukul sebelas siang atau dua belas waktu malaysia, Danendra melakukan video call pada Adara yang kebetulan baru saja menidurkan Elara yang terlelap usai menghabiskan makan siangnya.Duduk di kursi balkon, Adara menyimpan ponselnya di meja agar bisa melihat wajah Danendra dengan jelas.Danendra bilang dia baru menyelesaikan pertemuan setengah jam lalu. Pergi berbelanja sedikit oleh-oleh, pria itu kini telungkup di atas kasur—masih memakai kemeja bahkan dasi."Nanti terbang dari sana jam satu, kan?" tanya Adara."Iya kalau enggak delay, jam satu," ucap Danendra. "Kenapa emangnya?""Enggak, aku cuman kangen," kata Adara. "Semalam aku tidur tanpa pelukan kamu dan itu buat aku susah tidur.""Kasian banget sayangnya aku," ucap Danendra. "Malam ini aku peluk lagi ya.""Iya," kata Adara. "Udah sekarang kamu tidur dulu sebentar, habis itu ke Bandara. Awas bangunnya telat.""Iya siap.""Aku matiin ya teleponnya, aku mau tidur
***"Gimana, Dokter?"Dokter Kiran yang baru saja memeriska keadaan Adara, mundur beberapa langkah sebelum menjawab pertanyaan Teresa."Sudah bukaan tiga, Bu," kata dokter Kiran. "Mbak Adaranya kita pindahkan ke ruang bersalin ya.""Baiklah," ucap Teresa."Ma."Atensi Teresa seketika beralih pada Adara. Berjalan mendekat, perempuan itu menghampiri sang menantu."Kenapa, Sayang?""Danendra mana?" tanya Adara. "Dara pengen lahiran ditemenin Danendra."Teresa terdiam sejenak. Usai menyimpan ponselny begitu saja, dia lupa membawa benda pipih itu karena panik dengan Adara."Mama belum sempat dengar jawaban Papa tadi, Sayang. Semoga Danendra baik-baik aja ya."Alih-alih tenang, Adara justru terisak sambil menahan panas di punggungnya yang mulai terasa, meski bulum sering."Dara enggak mau kehilangan, Danendra, Ma. Dia harus lihat anaknya. Danendra harus ada di saat anaknya lahir," lirih Adara sambil terisak. "Danendra udah janji tentang hal itu."Teresa berusaha kuat meski hatinya pun sama
***"Pembukaan berapa?"Dokter Kiran kembali memeriksa kondisi Adara, pertanyaan itu langsung dilontarkan Teresa pada sang dokter."Baru enam," kata dokter Kiran."Enam?" tanya Teresa sambil mengerutkan keningnya. "Ini kayanya udah hampir dua jam lebih dari pembukaan lima tadi deh, Dok. Masa nambahnya cuman satu?"Dokter Kiran menghela napas. Tak langsung menjawab ucapan Teresa, dia memilih untuk mendekati Adara yang saat ini terlihat lemas.Terhitung sudah tiga jam Adara di rumah sakit—menikmati gelombang cinta yang semakin lama semakin membuatnya ingin menangis saja."Mbak Dara masih kuat enggak?" tanya dokter Kiran. "Ini saya cek daritadi bukaannya memang seperti enggak ada kemajuan."Adara menggeleng. "Saya enggak kuat, Dok. Saya enggak ada tenaga lagi ini," lirihnya pelan."Ra," kata Teresa sambil mengusap pucuk kepala Adara. "Lihat Mama. Kamu yang kuat ya, Sayang.""Dara butuh Danendra, Ma.""Adam," panggil Terasa pada Adam yang saat ini duduk bersama Ginanjar. "Gimana Danendra,
***"Ma, ini Adara kok enggak bangun-bangun ya? Seriusan enggak kenapa-kenapa, kan?"Masih memegangi tangan kanan Adara yang dibalut infus, Danendra memandang Teresa denhan raut wajah yang cemas.Adara sudah dipindahkan ke ruang rawat usai persalinannya selesai. Tak dalam keadaan sadar, perempuan itu pindah dalam keadaan tak sadarkan diri usai berjuang melahirkan putra keduanya yang memiliki berat 3,5 kilogram.Tak ada sesuatu yang serius terjadi, dokter Kiran bilang Adara hanya mengalami kelelahan saja usai proses persalinan yang memang sedikit lebih sulit dari biasanya."Enggak, Dan. Tadi dokter Kiran kan bilang enggak apa-apa," kata Teresa."Tapi kenapa enggak bangun-bangun ya?" tanya Danendra cemas."Mungkin masih capek.""Hm."Hanya berdua bersama Teresa di kamar rawat, Danendra kembali mengalihkan fokusnya pada Adara sementara di samping kirinya sebuah box bayi terletak.Di dalam box tersebut bayi laki-laki Adara jug Danendra terlelap. Sesuai perkiraan, bayi tersebut memiliki ge
***"Rafly tolong dong, ini anak kamu ganggu banget! Aku lagi kelarin design nih!"Sekali lagi teriakan itu menggema dari ruang tengah lantai dua rumah ketika untuk yang kesekian kalinya Nara mengganggu kegiatan Felicya yang sedang menggambar rancangan design seperti biasa.Berusia delapan bulan, balita gembul yang wajahnya persis Felicya tersebut memang sedang berada di masa sangat aktif.Masih merangkak juga sesekali berjalan sambil berpegangan, pekerjaan Nara setiap harinya adalah mengganggu sang Mama."Kenapa, Fel?""Nara nih! Dia ganggu lagi!""Sebentar, aku kelarin dulu kerjaan," sahut Rafly dari dalam kamar.Cari aman, Felicya memilih untuk menutup kertas yang dia pakai menggambar dengan buku yang kebetulan tersedia di sana sebelum Nara mengacau."Kamu anak siapa sih? Kok aktif banget?" tanya Felicya sambil meraih tubuh Nara yang gempal lalu menggendongnya dan beranjak. "Anak siapa sih? Papa Sanjaya ya?""Mamamama!" ujar Nara sambil meraih rambut Felicya lalu tanpa ragu menarik
***"Kaya onyet."Semua perhatian tertuju pada Elara ketika celetukan tersebut keluar dari mulut mungilnya usai menyaksikan bagaimana baby Reano dijemur tanpa mengenakan pakaian."Onyet?" tanya Teresa. "Onyet itu apa?""Monyet," ucap Danendra."Oh mony ... eh, siapa yang kakak El panggil monyet?" tanya Teresa.Elara terkikik lalu mengarahkan telunjuknya pada baby Rean yang saat ini berada di pangkuan Adara. "Itu, onyet!" serunya sambil tertawa. "Di endong Mama onyet.""Sayang," panggil Adara. "Ini adek lho, bukan onyet.""Tapi kaya onyet," ucap Elara lagi."Dan," panggil Adara pada Danendra. "Masa El panggil Rean monyet sih? Ganteng gini juga."Danendra terkekeh. "El bercanda sayang, jangan dianggap serius," ucapnya."Tapi kan-""Itu dede?" tanya Elara—kembali menunjuk Reano yang terus menggeliat."Iya, Sayang. Itu dedek," ucap Teresa. "Namanya Reano. Dia anaknya Mama juga.""Anak Mama?" tanya Elara. "Anak Mama kan El?""Baby Rean juga anak Mama, sekarang," ucap Adara. "Kamu bisa pan
***"El enggak bisa dibiarin nginep aja di sini gitu, Dan? Aku tiba-tiba aja enggak sanggup deh pisah sama dia."Danendra yang sejak tadi menggendong baby Reano hanya bisa menghela napas pelan ketika Adara mengucapkan kata-kata tersebut.Sore ini sepi. Aksa, Danish juga yang lainnya pulang, di kamar rawat hanya ada Adara juga keluarga kecilnya.Reano berada digendongan Danendra, sementara Elara setia di dada Adara—terlelap dalam tidur setelah satu jam lalu menangis karena tak mau diajak pulang oleh Teresa.Katanya seorang anak yang baru saja memiliki adik, selalu tiba-tiba saja rewel bahkan ingin terus menempel pada mamanya karena meskipun belum terlalu paham, instingnya cukup tahu jika dia punya saingan.Melihat Elara yang selama ini sangat dekat dengan Teresa, membuat Adara sempat merasa lega karena mungkin putrinya itu tak akan mengalami rewel seperti balita pada umumnya ketika memiliki adik.Namun, ternyata dugaan Adara salah. Baru sehari Reano lahir dan dipertemukan dengan Elara,
*** "Onty, Reano mana. Kok enggak kelihatan dari tadi?" Adara yang sedang menyapa para tamu seketika menoleh saat sebuah pertanyaan diucapkan seorang laki-laki muda yang malam ini tampan dengan kemeja navy bluenya. Danial. Yang baru saja bertanya pada Adara adalah Danial. "Eh, Nial. Rean kayanya masih di jalan." "Lho, enggak bareng?" "Mana maulah bareng sama Onty," kata Adara. "Dia kan jemput pacarnya." "Masih sama Lula?" "Masih." Danial tersenyum. "Awet juga ya, enggak kaya kakaknya." "Haha iya." "Ya udah, Nial gabung dulu sama yang lain ya Onty." "Iya, Nial." Malam ini adalah malam yang cukup membahagiakan bagi keluarga besar Alexander—khususnya keluarga Adam karena sebuah pesta tengah digelar di ballroom hotel berbintang di kota Jakarta. Bukan pertunangan atau pernikahan, pesta yang dirancang oleh anak-anak juga para menantu Adam itu adalah sebuah perayaan aniversary pernikahan Adam dan Teresa yang ke lima puluh delapan tahun. Cukup lama Adam menjalin
***"Duh siapa sih?"Masih dengan kedua mata terpejam, Alula mengulurkan tangannya—meraba-raba meja nakas di samping kasur untuk mencari ponsel yang saat ini berdering cukup nyaring.Entah siala yang menelepon, yang jelas Alula merasa sangat terganggu oleh bunyi dering ponselnya tersebut."Ketemu," gumam Alula ketika akhirnya dia menemukan apa yang dicarinya.Mengambil ponsel tersebut, perlahan Alula membuka matanya dan yang dia temukan di layar adalah nama Reano."Reano. Ngapain sih?"Beringsut, Alula mengubah posisinya menjadi duduk sebelum akhirnya menjawab panggilan dari Reano."Halo, Rean. Kenapa?" tanya Alula parau."Baru bangun?""Iya.""Dih, belum sholat dong?" tanya Reano."Emang ini jam berapa?" tanya Alula yang memang belum sempat melihat jam baik itu di ponsel mau pun di dinding kamar."Jam lima pagi," kata Reano. "Ke air gih sana, cuci muka, wudhu, terus sholat.""Iya.""Nanti jam enam aku ke kamar kamu," ungkap Reano—membuat Alula seketika mengerutkan keningnya."Mau nga
***"Jaga diri baik-baik di sana, awas jangan macam-macam.""Iya, Ma. Siap."Pukul delapan pagi, Reano sudah siap dengan penampilannya yang bisa dibilang cukup rapi. Membawa koper berwarna hitam berisi pakaian ganti, remaja yang satu bulan lalu baru saja genap delapan pelas tahun itu sudah tiba di bandara, diantar Adara juga Danendra.Tujuannya? Tentu saja Jerman. Memanfaatkan libur panjang sebelum masuk kuliah, Reano memang meminta izin pada kedua orang tuanya untuk pergi ke Jerman menemui Nara.Tak sendiri, Reano pergi bersama Alula yang memang ingin menghabiskan waktu liburan di luar negeri.Berhubung kedua orang tuanya sibuk, Alula memutuskan untuk ikut bersama Reano yang sejauh ini bisa dipercaya menjaga putri bungsu seorang Arkananta itu."Jangan macam-macam kalian di sana. Ingat, pisah kamar," kata Aludra memperingatkan."Iya, Mama. Masa satu kamar?" tanya Alula. "Lagian uncle Danen kan udah pesenin dua kamar buat aku sama Reano.""Tenang aja, Ra. Aku udah pesenin kamar yang be
***'Hati-hati di jalan.'Elara yang baru saja memasukkan beberapa baju ke dalam tas seketika mengukir senyumannya ketika sebuah pesan yang bisa dibilang cukup romantis masuk ke ponselnya—membuat dia terbang ke angkasa dengan perasaan yang berbunga-bunga.Bukan dari orang sembarangan, pesan tersebut berasal dari Regan yang memberikan peringatan pada Elara karena sore ini gadis itu akan berangkat menuju Bandung untuk menginap di rumah Aksa selama dua malam.Alasannya? Tentu saja Elara ingin menemui Regan yang satu minggu lalu resmi menjadi pacarnya.Dicomblangkan oleh Respati lalu saling mengenal via virtual selama sebulan lebih, Elara dan Regan sepertinya memiliki banyak kecocokan lalu pada akhirnya memutuskan untuk menjalin hubungan setelah Regan menyatakan cintanya lebih dulu seminggu yang lalu.Regan memang jarang bicara bahkan terkesan dingin, tapi di dekat orang yang membuatnya nyaman, Regan kadang berubah seratus delapan puluh derajat dan bagi Elara, Regan ternyata cukup menyena
***"Oke, istirahat dulu aja ya.""Siap, Kak!"Menyimpan semua peralatan yang ada, para siswa juga siswi yang siang ini memakai pakaian olahraga lantas membubarkan diri lalu berjalan ke pinggir lapangan pun dengan siswi yang kini melangkah untuk menghampiri seseorang di bangku pinggir lapangan."Kamu kalau bosen, pulang aja."Istirahat dari latihannya, Alula langsung menghampiri Reano yang sejak tadi setia menunggu sambil bersandar pada tembok.Sejak masuk di SMA yang sama Alula dan Reano bisa dibilang cukup dekat—lebih tepatnya sengaja didekatkan oleh Adara yang memang menginginkan Reano lupa dengan perasaannya pada Nara.Setiap pagi juga siang setelah pulang sekolah, Reano diwajibkan menjemput dan mengantar Alula ke rumahnya bersama supir karena memang usia yang belum tujuh belas tahun membuat Reano belum diizinkan memakai kendaraan sendiri.Reano sebenarnya sudah beberapa kali menolak karena memang didekatkan paksa seperti ini membuatnya tak nyaman.Namun, sederet ancaman penyitaan
***"Reres, kamu ngapain ke sini?"Keluar dari pintu gerbang sekolah, Elara mengerutkan kening ketika mendapati seorang siswa laki-laki dengan seragam yang berbeda dengannya tengah berdiri sambil mengukir senyuman.Respati.Bukan pacar atau gebetan, siswa laki-laki yang kini tengah bersandar di pintu mobil sedan hitam adalah sepupu Elara—anak dari saudara Danendra."Hai, Kak El," sapa Respati sambil mengangkat telapak tangannya. "Apa kabar?""Baik," kata Elara apa adanya. "Kamu apa kabar?""Baik juga," ucap Respati."Kamu ngapain ke sekolahan aku? Ada urusan apa gimana?" tanya Elara."Iya ada urusan sama Kak El," ucap Respati—membuat Elara seketika mengerutkan keningnya."Urusan apa?""Hm." Respati bergumam pelan, sementara wajahnya terlihat menunjukkan sebuah keraguan. "Mau minta bantuan sih, Kak?""Bantuan apa?"Respati menggaruk tengkuknya yang bahkan tak gatal sama sekali."Res?""Ah iya, Kak. Bantuan apa sih?" tanya Elara. "Ngomong aja. Enggak usah ragu.""Hm, nanti malam Kakak s
***"Baik-baik di sekolah. Jangan banyak tingkah."Sambil mengoleskan selai ke roti, ucapan tersebut dilontarkan Adara pada Reano yang saat ini baru saja duduk di meja makan.Setelah dua minggu liburan berlangsung, tahun ajaran baru akhirnya tiba dan hari ini Reano akan memulai kegiatan sekolahnya di SMA.Sesuai perintah, mau tak mau Reano menurut untuk bersekolah di SMAN 8. Padahal, sudah sejak jauh-jauh hari remaja itu menginginkan sekolah di SMAN 34 karena memang hampir semua teman dekatnya bersekolah di sana."Mau joged di tengah lapangan," celetuk Reano."Apaan sih? Kalau dikasih tahu itu jawab yang benar. Bukan kaya gitu."Elara yang baru saja siap, lantas menoyor kepala adiknya itu dengan tangan kanan sementara tangan kirinya menarik kursi untuk duduk."Kamu juga apaan? Kepala itu sensitif. Enggak usah pake noyor," ketus Reano tak suka.Berbeda dengan kebanyakan siswa yang biasanya bahagia ketika masuk di sekolah baru, Reano justru sebaliknya.Selain karena sekolah yang dia tem
***"Kamu kenapa?"Menghampiri Adara di pinggir kolam, Danendra langsung mengucapkan pertanyaan tersebut setelah beberapa menit lalu terus memperhatikan sang istri yang sepertinya sedang memikirkan sesuatu."Dan. Kamu di sini.""Orang-orang di dalam, kamu kok di luar?" tanya Danendra. "Lagi mikirin apa sih, hm?""Reano," kata Adara.Danendra mengerutkan keningnya. Dia yang datang membawa segelas air putih lantas menarik kursi lalu duduk di depan Adara."Apa yang kamu pikirkan tentang Reano?" tanya Danendra."Kamu lupa sama apa yang dia omongin tadi di mobil?" tanya Adara. "Reano bilang dia cinta sama Nara, Dan.""Terus masalahnya di mana?""Kok kamu nanya gitu, Danen?" tanya Adara tak suka. "Ya enggak bolehlah! Reano sama Nara itu saudara. Mereka enggak boleh saling mencintai lebih dari sekadar saudara.""Tapi kan bukan kandung," ucap Danendra. "Dalam segi agama ataupun negara, mereka sah-sah aja kalau mau punya hubungan.""Enggak!" pungkas Adara. "Sampai kapan pun aku enggak akan res
***"Males ikut, Ma."Mendengar ucapan tersebut, Adara menoleh seketika lalu memandang putranya sambil menaikkan sebelah alis."Males ikut apa?""Rean malas ikut ke Bandung."Pagi ini—seminggu setelah kepergian Nara ke Jerman, keluarga Adara akan bertolak menuju Bandung, menghadiri undangan yang diberikan keluarga Aksa.Bukan pesta besar, di Bandung sana Aksa hanya merayakan syukuran atas kelulusan putri angkatnya Aileen di salah satu universitas terbaik di kota Bandung dengan nilai yang juga tentunya sangat baik.Tak hanya Danendra dan keluarga, nantinya Adam juga Teresa pun akan datang bersama supir lalu Danish juga terbang dari Surabaya bersama keluarganya."Kenapa?" tanya Adara.Tak tahu tentang yang terjadi pada Nara, Adara memang mulai bersikap biasa kembali. Perempuan itu mencoba menghibur diri dari rasa sedih kehilangan Nara karena tentunya dia berpikir sang putri tak akan lama pergi.Berbeda dengan Adara yang berusaha menghibur diri, Reano justru seperti orang tak bersemangat