***"Makan lagi, Sayang.""Sebentar."Adara yang sejak tadi menyusui Reano terus menunduk untuk memastikan posisi putranya aman, sementara Danendra yang bertugas menyuapi sang istri hanya bisa sabar memegang sendok di tangannya."Ra."Adara mendongak lalu tersenyum. "Ah iya," ucapnya disusul mulut yang terbuka agar sesendok makanan masuk."Gimana, enak?" tanya Danendra.Adara mengangguk. "Enak," ucapnya."Oke."Setelahnya, kegiatan kembali berulang hingga nasi juga lauk pauk di piring akhirnya habis juga tak bersisi. Usai melahirkan, nafsu makan Adara masih bisa dibilang cukup bagus—sama seperti ketika sedang hamil.Dan tentu saja semua itu membuat kata diet hanya menjadi angan-angan saja."Kamu juga sarapan gih, Dan. Udah jam delapan inu tuh," kata Adara."Iya sebentar lagi," ucap Danendra."Hari ini mama bawa El ke sini lagi enggak?" tanya Adara."Enggak kayanya. Mama bilang jangan terlalu sering dibawa ke rumah sakit, takutnya enggak baik.""Ah iya juga, kamu benar.""Rean masih mi
***"Sehat kan, Dokter?""Sehat, Bu. Alhamdulillah. Sebelum pulang imunisasi dulu ya.""Iya."Pagi ini, setelah empat malam menginap di rumah sakit, Adara juga sang putra akhirnya diizinkan pulang setelah kondisi keduanya dipastikan membaik.Tak ada yang menjemput, Adara dan Danendra rencananya akan langsung pulang berdua menuju rumah mereka."Sholeh, anak baik," ucap dokter anak yang baru saja menyuntikkan obat di lengan Reano.Tak lama, bayi mungil tersebut hanya menangis beberapa detik saja sebelum akhirnya kembali tenang."Udah ya, Dok?" tanya Adara."Sudah, Bu," kata dokter anak tersebut. "Oh ya, dapat pesan dari dokter Kiran kalau dua minggu dari sekarang, ibu harus kontrol ke sini ya, Bu. Untuk memastikan keadaan rahim dan jahitan.""Oh iya, dokter. Siap."Setelah dokter anak meninggalkan kamar rawat, Danendra yang baru saja menyelesaikan pembayaran kembali."Udah, Dan?""Udah," kata Danendra. "Ini kamu juga udah belum? Gimana kata dokter?""Baik, kok. Semuanya baik," kata Adar
***"Dan, susunya udah belum?!"Danendra yang saat ini masih menuang air panas ke dalam botol seketika menoleh ketika teriakan itu terdengar dari lantai dua.Belum menemukan pengasuh yang cocok, sementara waktu ini Adara dan Danendra cukup kerepotan merawat Elara dan Rean berdua, seperti malam ini,Jam setengah satu dini hari, Rean juga Elara bangun secara bersamaan. Sebenarnya Reano bangun lebih dulu karena popoknya yang basah. Menangis ketika popoknya diganti, bayi mungil itu berhasil membangunkan sang kakak yang tidur di kasur bersama Adara.Alhasil, Elara pun ikut menangis—menginginkan susu karena kebetulan sebelum tidur, Elara belum sempat meminum susunya seperti biasa."Sebentar, Ra. Ini lagi dibuat.""Cepetan, Dan! Ini Elara udah ngamuk-ngamuk!""Iya, Ra."Danendra gugup sendiri dengan kedua tangan yang tiba-tiba saja gemetaran. Beruntung, usai menuangkan air dingin, sebotol susu akhirnya berhasil dia buat.Tak mau membuat Elara menunggu terlalu lama, Danendra berlari menaikki
***"Dasinya mau yang mana, Dan?""Yang mana aja, Ra. Apa pun pilihan kamu, aku suka."Adara tersenyum mendengar jawaban manis yang dilontarkan Danendra dari kamar mandi. Pernikahan mereka hampir menginjak tiga tahun, tak ada yang berubah.Danendra selalu romantis bahkan semakih hari semakin pintar membuatnya bahagia."Yang navy ya, kemejanya biru muda.""Iya, Sayang."Adara mengambil dasi yang dia maksud lalu membawanya menuju kasur untuk dia gabungkan bersama kemeja juga celana.Pagi ini rasanya sepi dan damai karena Elara mau pun Reano masih terlelap di kamar mereka. Setelah bangun dini hari tadi, Elara pasti baru sadar nanti sekitar pukul delapan pun dengan Reano yang tak akan bangun cepat karena sudah bangun saat subuh menjelang lalu tidur kembali setengah enam."Udah semuanya nih," kata Adara."Oke, aku juga udah mandinya kok."Selang beberapa detik, Danendra keluar dari kamar mandi. Cuaca belakangan ini sedikit lebih dingin, dia langsung memakai kaos dari kamar mandi setelah m
***"Bu, dede Rean mau mimi.""Mimi?""Ah iya, sebentar."Adara yang saat ini tengah mengangkat cucian, lekas mengakhiri kegiatannya ketika seorang perempuan datang menghampiri.Nita, perempuan dua puluh lina tahun itu adalah pengasuh yang diambil Danendra dari sebuah yayasan yang cukup ternama.Terhitung sudah satu bulan Nita bekerja untuk membantu Adara merawat kedua anaknya. Tak melulu ditugaskan menjaga Elara yang semakin hari semakin aktif, Nita juga terkadang memomong Reano ketika Elara ingin menempel dengan sang mama."Anak Mama pengen mimi ya, Sayang?"Sampai di kamar anak-anak, Adara bergegas menghampiri Reano yang tengah merengek di bouncher yang dia tempat.Pelan, Adara mengambil putranya itu lalu duduk di pinggir kasur untuk menyusui sang putra seperti biasa. Kali ini asi Adara tak semelimpah ketika Elara lahir.Meski tak juga sedikit, Adara tak bisa menyetok asip karena memang asinya selalu langsung mereda setiap kali Reano menyusu."El enggak bangun-bangun daritadi?" tan
***"Aku ke sana sekarang, kamu jangan nangis.""Jangan lama, Dan.""Iya, Ra."Danendra yang masih duduk di kursi ruangan meeting lantas memutuskan sambungan teleponnya dengan Adara usai mendapatkan kabar yang kurang menyenangkan.Beranjak, dia menoleh ke arah Susan yang masih menyiapkan berkas untuk meeting karena memang kebetulan klien mereka belum datang."Susan, tolong bilang ke Pak Adam handle meeting siang ini ya, saya mau pergi," kata Danendra—membuat Susan mendongak lalu mengerutkan keningnya."Bapak mau ke mana?""Saya ada urusan mendadak," kata Danendra. "Tolong ya."Tanpa menunggu jawaban, Danendra melangkahkan kaki keluar dari ruangan meeting lalu bergegas menuju lift yang bisa membawanya turun ke lantai bawah.Tak ada lift yang terbuka, Danendra mendesah lalu segera menuju tangga darurat untuk turun menuju lobil.Sambil melonggarkan dasi, Danendra melangkah menyusuri lobi hingga akhirnya sampai di parkiran.Beruntung saat ini kunci mobil berada di saku celananya jadi Dane
***"Dititipin? Kenapa?"Rafly yang baru saja melepas semua pakaian kantornya langsung mengerutkan kening ketika sebuah pernyataan dilontarkan Felicya."Pengen aja," kata Felicya. "Bandung kan jauh.""Enggak jauh-jauh banget, Fel. Enggak usah dititipin," kata Rafly."Ya pokoknya aku maunya dititipin," kata Felicya. "Dan dititipinnya harus sama Adara.""Fel.""Kalau kamu enggak mau, ya udah sana kondangan aja sendiri."Rafly menghela napas lalu duduk di ujung kasur, sementara Felicya nampak santai bersandar pada sofa.Nara? Balita itu sudah terlelap dalam tidurnya beberapa menit lalu setelah dimomong sang mama.Malam ini, Rafly dan Felicya kembali membahas rencana mereka untuk menghadiri pernikahan salah satu atasan Rafly di kantor yang akan digelar besok di kota Bandung.Awalnya Felicya setuju untuk ikut bersama Nara ke acara pernikahan tersebut bahkan sudah menyiapkan baju yang sama dengan sang putri.Namun, entah kenapa—tak ada angin, tak ada hujan, dia tiba-tiba saja berubah pikira
***"Kenapa maen iyain aja?"Adara yang baru saja memutuskan sambungan telepon dari Felicya lantas menoleh pada Danendra yang saat ini duduk di sampingnya."Maksud kamu?""Itu permintaan Felicya, kenapa main kamu iyain aja?" tanya Danendra."Kamu dengar?""Iya, kedengaran," kata Danendra lagi. "Felicya mau nitipin anaknya di sini besok, kan? Dia mau ke undangan sama Rafly, dan Nara mau disimpan di sini.""Iya gitu," kata Adara."Ngerepotin," ucap Danendra. "Jaga El sama Rean aja kamu udah repot lho, Ra. Ini ditambah jagain Nara. Apa enggak tambah repot?""Enggak," jawab Adara santai. "Kan bukan aku juga yang jagain.""Terus siapa, aku?" tanya Danendra. "Aku mendingan jaga Elara aja, Ra. Daripada anak orang.""Nara dijagain Mbak Siti, Dan," kata Adara. "Felicya bilang, dia cuman nitipin Nara aja di sini, bukan minta jagain.""Kalau gitu kenapa harus dititipin di sini? Kenapa enggak di rumahnya aja?" tanya Danendra."Enggak tau," ucap Adara. "Udah deh, anggap aja amal.""Lagi enggak pen
*** "Onty, Reano mana. Kok enggak kelihatan dari tadi?" Adara yang sedang menyapa para tamu seketika menoleh saat sebuah pertanyaan diucapkan seorang laki-laki muda yang malam ini tampan dengan kemeja navy bluenya. Danial. Yang baru saja bertanya pada Adara adalah Danial. "Eh, Nial. Rean kayanya masih di jalan." "Lho, enggak bareng?" "Mana maulah bareng sama Onty," kata Adara. "Dia kan jemput pacarnya." "Masih sama Lula?" "Masih." Danial tersenyum. "Awet juga ya, enggak kaya kakaknya." "Haha iya." "Ya udah, Nial gabung dulu sama yang lain ya Onty." "Iya, Nial." Malam ini adalah malam yang cukup membahagiakan bagi keluarga besar Alexander—khususnya keluarga Adam karena sebuah pesta tengah digelar di ballroom hotel berbintang di kota Jakarta. Bukan pertunangan atau pernikahan, pesta yang dirancang oleh anak-anak juga para menantu Adam itu adalah sebuah perayaan aniversary pernikahan Adam dan Teresa yang ke lima puluh delapan tahun. Cukup lama Adam menjalin
***"Duh siapa sih?"Masih dengan kedua mata terpejam, Alula mengulurkan tangannya—meraba-raba meja nakas di samping kasur untuk mencari ponsel yang saat ini berdering cukup nyaring.Entah siala yang menelepon, yang jelas Alula merasa sangat terganggu oleh bunyi dering ponselnya tersebut."Ketemu," gumam Alula ketika akhirnya dia menemukan apa yang dicarinya.Mengambil ponsel tersebut, perlahan Alula membuka matanya dan yang dia temukan di layar adalah nama Reano."Reano. Ngapain sih?"Beringsut, Alula mengubah posisinya menjadi duduk sebelum akhirnya menjawab panggilan dari Reano."Halo, Rean. Kenapa?" tanya Alula parau."Baru bangun?""Iya.""Dih, belum sholat dong?" tanya Reano."Emang ini jam berapa?" tanya Alula yang memang belum sempat melihat jam baik itu di ponsel mau pun di dinding kamar."Jam lima pagi," kata Reano. "Ke air gih sana, cuci muka, wudhu, terus sholat.""Iya.""Nanti jam enam aku ke kamar kamu," ungkap Reano—membuat Alula seketika mengerutkan keningnya."Mau nga
***"Jaga diri baik-baik di sana, awas jangan macam-macam.""Iya, Ma. Siap."Pukul delapan pagi, Reano sudah siap dengan penampilannya yang bisa dibilang cukup rapi. Membawa koper berwarna hitam berisi pakaian ganti, remaja yang satu bulan lalu baru saja genap delapan pelas tahun itu sudah tiba di bandara, diantar Adara juga Danendra.Tujuannya? Tentu saja Jerman. Memanfaatkan libur panjang sebelum masuk kuliah, Reano memang meminta izin pada kedua orang tuanya untuk pergi ke Jerman menemui Nara.Tak sendiri, Reano pergi bersama Alula yang memang ingin menghabiskan waktu liburan di luar negeri.Berhubung kedua orang tuanya sibuk, Alula memutuskan untuk ikut bersama Reano yang sejauh ini bisa dipercaya menjaga putri bungsu seorang Arkananta itu."Jangan macam-macam kalian di sana. Ingat, pisah kamar," kata Aludra memperingatkan."Iya, Mama. Masa satu kamar?" tanya Alula. "Lagian uncle Danen kan udah pesenin dua kamar buat aku sama Reano.""Tenang aja, Ra. Aku udah pesenin kamar yang be
***'Hati-hati di jalan.'Elara yang baru saja memasukkan beberapa baju ke dalam tas seketika mengukir senyumannya ketika sebuah pesan yang bisa dibilang cukup romantis masuk ke ponselnya—membuat dia terbang ke angkasa dengan perasaan yang berbunga-bunga.Bukan dari orang sembarangan, pesan tersebut berasal dari Regan yang memberikan peringatan pada Elara karena sore ini gadis itu akan berangkat menuju Bandung untuk menginap di rumah Aksa selama dua malam.Alasannya? Tentu saja Elara ingin menemui Regan yang satu minggu lalu resmi menjadi pacarnya.Dicomblangkan oleh Respati lalu saling mengenal via virtual selama sebulan lebih, Elara dan Regan sepertinya memiliki banyak kecocokan lalu pada akhirnya memutuskan untuk menjalin hubungan setelah Regan menyatakan cintanya lebih dulu seminggu yang lalu.Regan memang jarang bicara bahkan terkesan dingin, tapi di dekat orang yang membuatnya nyaman, Regan kadang berubah seratus delapan puluh derajat dan bagi Elara, Regan ternyata cukup menyena
***"Oke, istirahat dulu aja ya.""Siap, Kak!"Menyimpan semua peralatan yang ada, para siswa juga siswi yang siang ini memakai pakaian olahraga lantas membubarkan diri lalu berjalan ke pinggir lapangan pun dengan siswi yang kini melangkah untuk menghampiri seseorang di bangku pinggir lapangan."Kamu kalau bosen, pulang aja."Istirahat dari latihannya, Alula langsung menghampiri Reano yang sejak tadi setia menunggu sambil bersandar pada tembok.Sejak masuk di SMA yang sama Alula dan Reano bisa dibilang cukup dekat—lebih tepatnya sengaja didekatkan oleh Adara yang memang menginginkan Reano lupa dengan perasaannya pada Nara.Setiap pagi juga siang setelah pulang sekolah, Reano diwajibkan menjemput dan mengantar Alula ke rumahnya bersama supir karena memang usia yang belum tujuh belas tahun membuat Reano belum diizinkan memakai kendaraan sendiri.Reano sebenarnya sudah beberapa kali menolak karena memang didekatkan paksa seperti ini membuatnya tak nyaman.Namun, sederet ancaman penyitaan
***"Reres, kamu ngapain ke sini?"Keluar dari pintu gerbang sekolah, Elara mengerutkan kening ketika mendapati seorang siswa laki-laki dengan seragam yang berbeda dengannya tengah berdiri sambil mengukir senyuman.Respati.Bukan pacar atau gebetan, siswa laki-laki yang kini tengah bersandar di pintu mobil sedan hitam adalah sepupu Elara—anak dari saudara Danendra."Hai, Kak El," sapa Respati sambil mengangkat telapak tangannya. "Apa kabar?""Baik," kata Elara apa adanya. "Kamu apa kabar?""Baik juga," ucap Respati."Kamu ngapain ke sekolahan aku? Ada urusan apa gimana?" tanya Elara."Iya ada urusan sama Kak El," ucap Respati—membuat Elara seketika mengerutkan keningnya."Urusan apa?""Hm." Respati bergumam pelan, sementara wajahnya terlihat menunjukkan sebuah keraguan. "Mau minta bantuan sih, Kak?""Bantuan apa?"Respati menggaruk tengkuknya yang bahkan tak gatal sama sekali."Res?""Ah iya, Kak. Bantuan apa sih?" tanya Elara. "Ngomong aja. Enggak usah ragu.""Hm, nanti malam Kakak s
***"Baik-baik di sekolah. Jangan banyak tingkah."Sambil mengoleskan selai ke roti, ucapan tersebut dilontarkan Adara pada Reano yang saat ini baru saja duduk di meja makan.Setelah dua minggu liburan berlangsung, tahun ajaran baru akhirnya tiba dan hari ini Reano akan memulai kegiatan sekolahnya di SMA.Sesuai perintah, mau tak mau Reano menurut untuk bersekolah di SMAN 8. Padahal, sudah sejak jauh-jauh hari remaja itu menginginkan sekolah di SMAN 34 karena memang hampir semua teman dekatnya bersekolah di sana."Mau joged di tengah lapangan," celetuk Reano."Apaan sih? Kalau dikasih tahu itu jawab yang benar. Bukan kaya gitu."Elara yang baru saja siap, lantas menoyor kepala adiknya itu dengan tangan kanan sementara tangan kirinya menarik kursi untuk duduk."Kamu juga apaan? Kepala itu sensitif. Enggak usah pake noyor," ketus Reano tak suka.Berbeda dengan kebanyakan siswa yang biasanya bahagia ketika masuk di sekolah baru, Reano justru sebaliknya.Selain karena sekolah yang dia tem
***"Kamu kenapa?"Menghampiri Adara di pinggir kolam, Danendra langsung mengucapkan pertanyaan tersebut setelah beberapa menit lalu terus memperhatikan sang istri yang sepertinya sedang memikirkan sesuatu."Dan. Kamu di sini.""Orang-orang di dalam, kamu kok di luar?" tanya Danendra. "Lagi mikirin apa sih, hm?""Reano," kata Adara.Danendra mengerutkan keningnya. Dia yang datang membawa segelas air putih lantas menarik kursi lalu duduk di depan Adara."Apa yang kamu pikirkan tentang Reano?" tanya Danendra."Kamu lupa sama apa yang dia omongin tadi di mobil?" tanya Adara. "Reano bilang dia cinta sama Nara, Dan.""Terus masalahnya di mana?""Kok kamu nanya gitu, Danen?" tanya Adara tak suka. "Ya enggak bolehlah! Reano sama Nara itu saudara. Mereka enggak boleh saling mencintai lebih dari sekadar saudara.""Tapi kan bukan kandung," ucap Danendra. "Dalam segi agama ataupun negara, mereka sah-sah aja kalau mau punya hubungan.""Enggak!" pungkas Adara. "Sampai kapan pun aku enggak akan res
***"Males ikut, Ma."Mendengar ucapan tersebut, Adara menoleh seketika lalu memandang putranya sambil menaikkan sebelah alis."Males ikut apa?""Rean malas ikut ke Bandung."Pagi ini—seminggu setelah kepergian Nara ke Jerman, keluarga Adara akan bertolak menuju Bandung, menghadiri undangan yang diberikan keluarga Aksa.Bukan pesta besar, di Bandung sana Aksa hanya merayakan syukuran atas kelulusan putri angkatnya Aileen di salah satu universitas terbaik di kota Bandung dengan nilai yang juga tentunya sangat baik.Tak hanya Danendra dan keluarga, nantinya Adam juga Teresa pun akan datang bersama supir lalu Danish juga terbang dari Surabaya bersama keluarganya."Kenapa?" tanya Adara.Tak tahu tentang yang terjadi pada Nara, Adara memang mulai bersikap biasa kembali. Perempuan itu mencoba menghibur diri dari rasa sedih kehilangan Nara karena tentunya dia berpikir sang putri tak akan lama pergi.Berbeda dengan Adara yang berusaha menghibur diri, Reano justru seperti orang tak bersemangat