***"Tapa Mama?"Adara yang baru menoleh ke arah pintu, langsung mengalihkan perhatiannya pada Elara yang langsung melontarkan pertanyaan usai mendengar bel rumah berbunyi.Saat ini Adara dan Elara sedang berada di ruang tengah untuk menghabiskan sarapan bersama, sementara Danendra mencuci pakaian Reano yang masih terlelap setelah pukul enam tadi sempat bangun."Tamu kayanya, Sayang," kata Adara. "Kita bukain dulu yuk.""Ayok."Keduanya beranjak. Adara menuntun Elara agar balita itu tak berlarian karena luka di keningnya saja bahkan belum sembuh.Membuka pintu, Adara dihadapkan dengan tamj spesial yang pagi ini datang menggendong seorang anak."Fel.""Pagi, Ra. Maaf tadi asal buka aja gerbangnya," kata Felicya."Iya enggak apa-apa," ucap Adara. "Yuk masuk.""Iya."Adara masuk lebih dulu bersama Elara, lalu Felcya yang menggendong Nara mengikutinya dari belakang pun Rafly yang bertugas membawa tas perlengkapan sang putri."Jadi pergi ke Bandungnya?" tanya Adara."Jadi, Ra. Cuman aku mi
***"Aku berangkat dulu ya.""Hati-hati di jalan, Dan. Nyetirnya yang fokus ya. Jangan meleng.""Iya, Ra. Kamu jagain anak-anak ya.""Iya."Danendra yang sudah duduk di kursi kemudi lantas meraih tangan Adara lalu mengecupnya sebagai penenang sang istri yang saat ini terlihat panik usai mendengar kabar kecelakaan Felicya juga Rafly."Kamu yang tenang ya, doain semoga mereka baik-baik aja.""Iya, Dan.""Aku udah suruh Mama ke sini buat bantuin jaga anak-anak.""Makasih, Dan.""Aku pergi dulu.""Hm."Danendra melepaskan pegangannya dari tangan Adara lalu mulai menyalakan mesin dan perlahan ferarri putihnya melaju meninggalkan rumah juga Adara yang masih berdiri di depan pagar.Agar cepat sampai, Danendra menambah kecepatan ketika mobilnya memasuki jalan raya. Dari informasi yang dia dapat, Rafly mau pun Felicya dilarikan ke rumah sakit di daerah Purwakarta untuk mendapatkan penanganan karena memang tempat kecelakaannya pun tak jauh dari sana."Semoga mereka baik-baik aja."Menempuh per
***"Saya pamit dulu, Assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Semua orang yang masih berada di pemakaman, menjawab serempak ucapan salam dari salah satu pemuka agama yang hari ini memimpin proses pemakaman.Minggu pagi, setelah semua proses berjalan dengan lancar, jenazah Rafly juga Felicya dikebumikan di salah satu komplek pemakaman besar di kota Jakarta.Pasangan suami istri yang pergi karena maut itu dimakamkan dengan posisi berdampingan atas izin bibi Rafly yang datang dari Majalengka malam tadi.Danendra dan Adara berperan penting dalam proses pemakaman, mengurus semuanya—mulai dari pemasangan tenda, tahlilan di rumah hingga kini pemakaman."Mama, ini apa?" tanya Elara polos. Ikut ke pemakaman, bocah itu sejak tadi digendong Teresa karena memang Adara harus menghandle Nara yang sejak kemarin rewel.Seolah punya feeling, Nara bahkan tak bisa tidur nyenyak semalaman karena terkadang tiba-tiba saja menangis tanpa sebab."Itu makam, Sayang," kata Adara."Di lamnya ada apa?" "Mama sama P
***"Gimana udah pada siap?""Sedikit lagi, ini ngantri kuncir rambut dulu."Danendra yang baru saja datang sambil menggendong Reano lantas mengukir senyumannya melihat Adara yang nampak sibuk mengikat rambut Elara.Hari ini—tepat tiga bulan setelah kepergian Felicya juga Rafly, Adara dan Danendra menggelar pesta cukup besar di sebuah hotel berbintang.Bukan memperingati kepergian dua sahabat mereka, pesta yang siang ini digelar adalah pesta ulang tahun Elara juga Queenara yang digelar secara bersamaan karena memang kedua balita itu lahir di hari yang sama dengan perbedaan jarak satu tahun pas.Elara berulang tahun kedua, sementara Queenara berulanh tahuh ke satu."Ini mereka kok pada cantik sih?" tanya Danendra pada Elara maupun Nara yang memakai gaun serupa.Sebenarnya Nara mendapatkan gaunnya dari Mbak Siti yang sengaja mengantar gaun tersebut ke rumah dan bilang jika gaun yang dibawanya dibuat khusus oleh Felicya empat bulan lalu.Seolah punya firasat, Felicya memang sudah mempers
***"Ke mana aja, kenapa baru pulang?"Adara yang sejak tadi menunggu di teras rumah langsung melayangkan pertanyaan tersebut pada Danendra yang baru saja pulang dari kantornya."Dari kantor," ucap Danendra. "Tahu sendiri kan, setiap hari aku pergi ke mana?""Kok gitu sih, Dan?" tanya Adara."Gitu gimana? Apa jawaban aku ada yang salah?" tanya Danendra."Kamu kenapa sih?""Aku capek, Ra. Mau istirahat."Danendra berjalan begitu saja melewati Adara yang masih duduk di kursi lalu membuka pintu dan tentu saja Adara tak suka dengan hal itu.Entah kenapa, sudah hampir dua hari sikap Danendra tiba-tiba saja berubah. Tak ada angin, tak ada hujan, pria itu menjadi lebih dingin bahkan cuek pada Adara.Padahal, selama ini pria itu tak pernah melakukan hal tersebut."Dan, kamu ada apa sih, Dan?" tanya Adara yang akhirnya berhasil meraih lengan Danendra hingga akhirnya berhenti di dekat tangga."Aku enggak apa-apa, Ra. Aku cuman cape," kata Danendra. "Lepasin tangan aku ya, Ra. Aku mau mandi.""
***"Aku tunggu kamu di sini, hati-hati di jalan.""Iya, Dan.""Love you, Ra.""Love you too, Dan."Adara memutuskan sambungan telepon dari Danendra lalu menyimpan ponselnya di atas meja rias. Sore ini dia sedang bersiap-siap untuk pergi ke Surabaya—menghadiri makan malam romantis yang sudah disiapkan Danendra sejak jauh-jauh hari.Suprise gagal. Danendra yang awalnya berniat memberi kejutan dengan menyembunyikan rencana makan malam tersebut pada akhirnya harus mengatakan semuanya pada Adara agar istrinya tak salah paham.Ini pun sebenarnya salah Danish karena ide mendiamkan Adara lalu berpura-pura bersikap dingin adalah usulan dari pria itu.Katanya agar lebih geregetan, tapi pada kenyataannya Danendra malah dituduh mempunyai wanita idaman lain.Padahal, jangankan wanita idaman lain, menyimpan kontak perempuan di ponselnya—selain orang pentin, Danendra tak pernah karena memang cintanya pada Adara bukan main-main."Oke, Ra. Sore ini di perjalanan enggak boleh mual atau pusing apalagi
***"Hah? Ini gimana maksudnya?""Kakak enggak salah dengar ini?"Baik Danish mau pun Aksa sama-sama memasang wajah tak mengerti usai mendengar ucapan Danendra beberapa detik lalu.Pagi ini, sekitar pukul lima subuh, Aksa juga Danish mendapatkan telepon mendadak dari Danendra yang tiba-tiba saja meminta keduanya datang ke Jakarta dengan alasan 'urgent'.Takut terjadi apa-apa, Danish mau pun Aksa jelas langsung berangkat dari kota mereka masing-masing lalu datang ke rumah Danendra.Danish sampai pukul delapan setelah berangkat dari Surabaya pukul setengah tujuh, sementara Aksa sampai pukul setengah sembilan usia menempuh perjalanan dua jam lebih dari Bandung.Keduanya pikir, alasan Danendra menelepon memang karena sesuatu yang serius seperti masalah rumah tangga yang tak bisa diselesaikan berdua atau sebagainya.Namun, ternyata dugaan Danish dan Aksa salah. Alasan kenapa Danendra meminta keduanya datang adalah; untuk mengabulkan ngidam Adara yang ternyata ingin melihat Aksa, Danish, da
***"Pelan ... yuk, dorong."Adara menarik napas panjang sebelum akhirnya mengejan sekuat tenaga untuk mengeluarkan bayinya. Kedua kaki Adara perlahan bergetar sementara pegangan tangannya pada Danendra mulai menguat.Tak memegang tangan, jari-jari Adara justru bermuara di atas kepala Danendra—menarik erat rambut suaminya itu sambil terus mengejan."Ah, Danendra sakit!" teriak Adara di sela-sela kegiatannya mengejan."Sama, Ra. Aku juga sakit!" ujar Danendra tak kalah meringis karena semakin lama pegangan Adara semakin mengencang."Sakitan aku, Danendra! Kamu enggak usah ngomel!""Iya, Ra. Iya. Sakitan kamu," kata Danendra. "Yuk ngejan lagi dan keluarin bayinya ya.""Kamu pikir gampang, hah?! Sakit tau!" teriak Adara lalu di detik berikutnya dia kembali mengejan panjang—sekuat tenaga, semampunya, untuk melahirkan anak ketiga yang sudah dia kandung selama sembilan bulan ini."Ah!" teriak Adara ketika bagian bawahnya terasa membuka lebar—disusul sesuatu yang rasanya keluar seakan tersen
*** "Onty, Reano mana. Kok enggak kelihatan dari tadi?" Adara yang sedang menyapa para tamu seketika menoleh saat sebuah pertanyaan diucapkan seorang laki-laki muda yang malam ini tampan dengan kemeja navy bluenya. Danial. Yang baru saja bertanya pada Adara adalah Danial. "Eh, Nial. Rean kayanya masih di jalan." "Lho, enggak bareng?" "Mana maulah bareng sama Onty," kata Adara. "Dia kan jemput pacarnya." "Masih sama Lula?" "Masih." Danial tersenyum. "Awet juga ya, enggak kaya kakaknya." "Haha iya." "Ya udah, Nial gabung dulu sama yang lain ya Onty." "Iya, Nial." Malam ini adalah malam yang cukup membahagiakan bagi keluarga besar Alexander—khususnya keluarga Adam karena sebuah pesta tengah digelar di ballroom hotel berbintang di kota Jakarta. Bukan pertunangan atau pernikahan, pesta yang dirancang oleh anak-anak juga para menantu Adam itu adalah sebuah perayaan aniversary pernikahan Adam dan Teresa yang ke lima puluh delapan tahun. Cukup lama Adam menjalin
***"Duh siapa sih?"Masih dengan kedua mata terpejam, Alula mengulurkan tangannya—meraba-raba meja nakas di samping kasur untuk mencari ponsel yang saat ini berdering cukup nyaring.Entah siala yang menelepon, yang jelas Alula merasa sangat terganggu oleh bunyi dering ponselnya tersebut."Ketemu," gumam Alula ketika akhirnya dia menemukan apa yang dicarinya.Mengambil ponsel tersebut, perlahan Alula membuka matanya dan yang dia temukan di layar adalah nama Reano."Reano. Ngapain sih?"Beringsut, Alula mengubah posisinya menjadi duduk sebelum akhirnya menjawab panggilan dari Reano."Halo, Rean. Kenapa?" tanya Alula parau."Baru bangun?""Iya.""Dih, belum sholat dong?" tanya Reano."Emang ini jam berapa?" tanya Alula yang memang belum sempat melihat jam baik itu di ponsel mau pun di dinding kamar."Jam lima pagi," kata Reano. "Ke air gih sana, cuci muka, wudhu, terus sholat.""Iya.""Nanti jam enam aku ke kamar kamu," ungkap Reano—membuat Alula seketika mengerutkan keningnya."Mau nga
***"Jaga diri baik-baik di sana, awas jangan macam-macam.""Iya, Ma. Siap."Pukul delapan pagi, Reano sudah siap dengan penampilannya yang bisa dibilang cukup rapi. Membawa koper berwarna hitam berisi pakaian ganti, remaja yang satu bulan lalu baru saja genap delapan pelas tahun itu sudah tiba di bandara, diantar Adara juga Danendra.Tujuannya? Tentu saja Jerman. Memanfaatkan libur panjang sebelum masuk kuliah, Reano memang meminta izin pada kedua orang tuanya untuk pergi ke Jerman menemui Nara.Tak sendiri, Reano pergi bersama Alula yang memang ingin menghabiskan waktu liburan di luar negeri.Berhubung kedua orang tuanya sibuk, Alula memutuskan untuk ikut bersama Reano yang sejauh ini bisa dipercaya menjaga putri bungsu seorang Arkananta itu."Jangan macam-macam kalian di sana. Ingat, pisah kamar," kata Aludra memperingatkan."Iya, Mama. Masa satu kamar?" tanya Alula. "Lagian uncle Danen kan udah pesenin dua kamar buat aku sama Reano.""Tenang aja, Ra. Aku udah pesenin kamar yang be
***'Hati-hati di jalan.'Elara yang baru saja memasukkan beberapa baju ke dalam tas seketika mengukir senyumannya ketika sebuah pesan yang bisa dibilang cukup romantis masuk ke ponselnya—membuat dia terbang ke angkasa dengan perasaan yang berbunga-bunga.Bukan dari orang sembarangan, pesan tersebut berasal dari Regan yang memberikan peringatan pada Elara karena sore ini gadis itu akan berangkat menuju Bandung untuk menginap di rumah Aksa selama dua malam.Alasannya? Tentu saja Elara ingin menemui Regan yang satu minggu lalu resmi menjadi pacarnya.Dicomblangkan oleh Respati lalu saling mengenal via virtual selama sebulan lebih, Elara dan Regan sepertinya memiliki banyak kecocokan lalu pada akhirnya memutuskan untuk menjalin hubungan setelah Regan menyatakan cintanya lebih dulu seminggu yang lalu.Regan memang jarang bicara bahkan terkesan dingin, tapi di dekat orang yang membuatnya nyaman, Regan kadang berubah seratus delapan puluh derajat dan bagi Elara, Regan ternyata cukup menyena
***"Oke, istirahat dulu aja ya.""Siap, Kak!"Menyimpan semua peralatan yang ada, para siswa juga siswi yang siang ini memakai pakaian olahraga lantas membubarkan diri lalu berjalan ke pinggir lapangan pun dengan siswi yang kini melangkah untuk menghampiri seseorang di bangku pinggir lapangan."Kamu kalau bosen, pulang aja."Istirahat dari latihannya, Alula langsung menghampiri Reano yang sejak tadi setia menunggu sambil bersandar pada tembok.Sejak masuk di SMA yang sama Alula dan Reano bisa dibilang cukup dekat—lebih tepatnya sengaja didekatkan oleh Adara yang memang menginginkan Reano lupa dengan perasaannya pada Nara.Setiap pagi juga siang setelah pulang sekolah, Reano diwajibkan menjemput dan mengantar Alula ke rumahnya bersama supir karena memang usia yang belum tujuh belas tahun membuat Reano belum diizinkan memakai kendaraan sendiri.Reano sebenarnya sudah beberapa kali menolak karena memang didekatkan paksa seperti ini membuatnya tak nyaman.Namun, sederet ancaman penyitaan
***"Reres, kamu ngapain ke sini?"Keluar dari pintu gerbang sekolah, Elara mengerutkan kening ketika mendapati seorang siswa laki-laki dengan seragam yang berbeda dengannya tengah berdiri sambil mengukir senyuman.Respati.Bukan pacar atau gebetan, siswa laki-laki yang kini tengah bersandar di pintu mobil sedan hitam adalah sepupu Elara—anak dari saudara Danendra."Hai, Kak El," sapa Respati sambil mengangkat telapak tangannya. "Apa kabar?""Baik," kata Elara apa adanya. "Kamu apa kabar?""Baik juga," ucap Respati."Kamu ngapain ke sekolahan aku? Ada urusan apa gimana?" tanya Elara."Iya ada urusan sama Kak El," ucap Respati—membuat Elara seketika mengerutkan keningnya."Urusan apa?""Hm." Respati bergumam pelan, sementara wajahnya terlihat menunjukkan sebuah keraguan. "Mau minta bantuan sih, Kak?""Bantuan apa?"Respati menggaruk tengkuknya yang bahkan tak gatal sama sekali."Res?""Ah iya, Kak. Bantuan apa sih?" tanya Elara. "Ngomong aja. Enggak usah ragu.""Hm, nanti malam Kakak s
***"Baik-baik di sekolah. Jangan banyak tingkah."Sambil mengoleskan selai ke roti, ucapan tersebut dilontarkan Adara pada Reano yang saat ini baru saja duduk di meja makan.Setelah dua minggu liburan berlangsung, tahun ajaran baru akhirnya tiba dan hari ini Reano akan memulai kegiatan sekolahnya di SMA.Sesuai perintah, mau tak mau Reano menurut untuk bersekolah di SMAN 8. Padahal, sudah sejak jauh-jauh hari remaja itu menginginkan sekolah di SMAN 34 karena memang hampir semua teman dekatnya bersekolah di sana."Mau joged di tengah lapangan," celetuk Reano."Apaan sih? Kalau dikasih tahu itu jawab yang benar. Bukan kaya gitu."Elara yang baru saja siap, lantas menoyor kepala adiknya itu dengan tangan kanan sementara tangan kirinya menarik kursi untuk duduk."Kamu juga apaan? Kepala itu sensitif. Enggak usah pake noyor," ketus Reano tak suka.Berbeda dengan kebanyakan siswa yang biasanya bahagia ketika masuk di sekolah baru, Reano justru sebaliknya.Selain karena sekolah yang dia tem
***"Kamu kenapa?"Menghampiri Adara di pinggir kolam, Danendra langsung mengucapkan pertanyaan tersebut setelah beberapa menit lalu terus memperhatikan sang istri yang sepertinya sedang memikirkan sesuatu."Dan. Kamu di sini.""Orang-orang di dalam, kamu kok di luar?" tanya Danendra. "Lagi mikirin apa sih, hm?""Reano," kata Adara.Danendra mengerutkan keningnya. Dia yang datang membawa segelas air putih lantas menarik kursi lalu duduk di depan Adara."Apa yang kamu pikirkan tentang Reano?" tanya Danendra."Kamu lupa sama apa yang dia omongin tadi di mobil?" tanya Adara. "Reano bilang dia cinta sama Nara, Dan.""Terus masalahnya di mana?""Kok kamu nanya gitu, Danen?" tanya Adara tak suka. "Ya enggak bolehlah! Reano sama Nara itu saudara. Mereka enggak boleh saling mencintai lebih dari sekadar saudara.""Tapi kan bukan kandung," ucap Danendra. "Dalam segi agama ataupun negara, mereka sah-sah aja kalau mau punya hubungan.""Enggak!" pungkas Adara. "Sampai kapan pun aku enggak akan res
***"Males ikut, Ma."Mendengar ucapan tersebut, Adara menoleh seketika lalu memandang putranya sambil menaikkan sebelah alis."Males ikut apa?""Rean malas ikut ke Bandung."Pagi ini—seminggu setelah kepergian Nara ke Jerman, keluarga Adara akan bertolak menuju Bandung, menghadiri undangan yang diberikan keluarga Aksa.Bukan pesta besar, di Bandung sana Aksa hanya merayakan syukuran atas kelulusan putri angkatnya Aileen di salah satu universitas terbaik di kota Bandung dengan nilai yang juga tentunya sangat baik.Tak hanya Danendra dan keluarga, nantinya Adam juga Teresa pun akan datang bersama supir lalu Danish juga terbang dari Surabaya bersama keluarganya."Kenapa?" tanya Adara.Tak tahu tentang yang terjadi pada Nara, Adara memang mulai bersikap biasa kembali. Perempuan itu mencoba menghibur diri dari rasa sedih kehilangan Nara karena tentunya dia berpikir sang putri tak akan lama pergi.Berbeda dengan Adara yang berusaha menghibur diri, Reano justru seperti orang tak bersemangat