***"Mau ke mana?"Rafly yang tengah berjalan menuruni tangga seketika menoleh setelah mendengar suara Felicya dari arah dapur.Pulang dari Puncak kemarin malam, pagi tadi Rafly mendengar kabar tentang meninggalnya Monica dari teman-teman kuliah yang sampai saat ini masih berhubungan baik dengan Adara.Mengerjakan pekerjaan kantor lebih dulu, Rafly baru bisa pergi sekitar pukul sepuluh pagi. Untuk melayat, Rafly mungkin terlambat, tapi setidaknya dia ingin mengucapkan bela sungkawa pada Adara.Bagaimanapun juga Rafly sempat dekat dengan Monica bahkan menganggap perempuan itu seperti Ibunya sendiri. Jadi rasanya tak salah jika sekarang dia datang ke rumah mantan kekasihnya itu."Mau ngelayat," jawab Rafly."Mamanya Dara?" tanya Felicya. Tak pergi ke butik, perempuan itu nampak santai dengan short jeans juga kaos polos yang dia pakai. "Ngapain?"Rafly menaikkan sebelah alisnya. "Apanya yang ngapain?" tanyanya."Kamulah," ucap Teresa. Berjalan menuju sofa di dekat tangga, dia bersandar d
***"Udah bangun, belum?"Danendra yang sejak tadi duduk di pinggir kasur seketika langsung mendongak ketika Teresa datang sambil membawa nampan berisi nasi juga segelas air."Belum.""Seriusan, belum?"Teresa mendekat lalu menyimpan nampan yang dia bawa di atas meja. Sedikit membungkukan badan, Teresa mengulurkan tangannya lalu mengusap kening Adara yang berkeringat."Badannya anget, Dan," kata Teresa. "Dara kayanya demam.""Iya, Ma. Apa perlu kita bawa ke dokter?" tanya Danendra khawatir. "Danendra takut Dara kenapa-kenapa.""Cuman hangat aja sih," ucap Teresa. "Ditunggu aja. Kalau membaik, kayanya enggak usah ke dokter.""Oh oke."Setelah mengamuk pada Ginanjar di pemakaman, Adara memang jatuh pingsan. Dibawa pulang ke rumah orang tuanya, sampai saat ini perempuan itu belum kunjung sadar.Selaku suami, Danendra jelas khawatir. Mengabaikan rasa lapar, dia terus duduk di samping Adara untuk menemani istrinya itu."Kamu belum makan, Dan," kata Teresa. "Makan dulu gih di bawah. Pelayan
"Kamu mau pergi ke mana?"Adara menoleh dengan ragu untuk memastikan siapa sebenarnya pengemudi mobil yang saat ini dia tumpangi dan ternyata dugaannya benar. Pria yang saat ini fokus mengemudi bukanlah orang yang asing baginya."Kamu."Pengemudi tersebut menoleh ke arah Adara sekilas. "Kenapa, kaget ya?" tanyanya."Kamu kenapa bisa ada ... ah kamu maksudnya ... euh itu ... astaga!" Adara merutuki dirinya sendiri yang tiba-tiba saja tergagap. Padahal pria di sampingnya sekarang bukanlah hantu atau sebagainya. Melainkan Rafly.Ya, pengemudi mobil yang sekarang ditumpangi Adara adalah Rafly. Entah kebetulan atau apa, Rafly datang di saat yang bersamaan dengan kaburnya Adara dari rumah."Gugup banget, Ra. Aku enggak akan makan kamu," kata Rafly."Bukan gitu maksud aku," kata Adara. "Aku cuman-""Ssst." Rafly mendesis pelan. "Nanti aja ceritanya. Sekarang aku cariin tempat yang tenang dulu buat kamu."Adara diam. Tak menjawab ucapan Rafly, dia memilih diam sementara mantan kekasihnya itu
"Heh perempuan murahan! Ngapain kamu hah?!""Astaga."Adara mendengkus sambil memandang celana jeans Rafly yang sudah basah karena minuman miliknya."Enggak apa-apa biar aku lap," kata Rafly.Adara tak menjawab karena yang dia lakukan sekarang adalah berbalik untuk mengetahui siapa pelaku yang sudah berperilaku tak sopan dengan mendorong kepalanya.Tak hanya Adara, Rafly pun bertindak. Membuka pintu bagian kanan dia keluar dari mobil dan tentu saja selanjutnya desahan keluar dari mulut setelah melihat Felicya.Tak lagi di pinggir, perempuan itu berdiri di bagian depan mobil Rafly dengan raut wajah tak suka.Dikunci di rumah oleh sang suami, Felicya tak kehabisan ide. Bergerak cepat, dia mencari kunci cadangan rumah agar bisa pergi.Sudah menautkan ponsel Rafly dengan ponselnya, Felicya tak kesulitan melacak keberadaan sang suami.Dia pikir Rafly sudah di rumah Adara, tapi ternyata salah. Yang didapat Felicya justru pemandangan tak menyenangkan karena ternyata sang suami sedang berduaa
***"Masuk."Tak banyak bicara, Adara langsung masuk ke dalam sedan hitam setelah Danendra membukakam pintu. Tak di depan, Adara duduk di jok belakang karena kali ini Aksa yang mengemudi.Setelah sempat terjebak adu mulut, mereka akhirnya membubarkan diri. Danendra membawa Adara dan Rafly tentu saja membawa Felicya pulang sebelum kembali membuat kekacauan."Udah?" tanya Aksa ketika Danendra baru saja masuk lalu duduk di samping Adara."Udah, jalan, Kak.""Oke."Dalam hitungan detik, sedan hitam yang dikendarai Aksa kembali melaju—membelah jalanan.Untuk beberapa saat, suasana mobil terasa begitu hening karena sejak naik lalu duduk di dalam sedan hitam milik sang kakak ipar, Adara hanya bersandar pada jok sambil menatap lurus ke depan.Pandangan bahkan pikirannya kosong. Setelah kelakuan Ginanjar, kini ucapan Felicya tentang Monica yang sempat selingkuh pun membebani pikiran Adara sampai rasanya kepala dia hampir meledak."Kamu enggak apa-apa?" tanya Danendra—membuka percakapan juga me
***"Lho, kok ke sini sih, Raf?"Berhenti di sebuah basemant gedung apartemen, Felicya langsung melontarkan pertanyaan tersebut sesaat setelah dia turun dari mobilnya.Berhasil dibawa pergi dari Adara, Felicya dan Rafly memang tak berada dalam satu mobil karena Felicya mengemudikan sedan putihnya.Rafly melaju lebih dulu, Felicya terus mengikutinya dari belakang. Dia pikir suaminya itu akan mengajak dia pulang, tapi ternyata salah.Tak ke rumah, Rafly justru membawa Felicya ke gedung apartemen lamanya yang sampai saat ini masih bisa dia tempati karena biaya sewa yang masih tersisa."Kenapa?""Kok kenapa sih, Raf?" tanya Felicya. "Kita kan seharusnya pulang.""Ini aku pulang."Felicya mengerutkan kening. "Maksudnya?"Rafly berjalan menghampiri Felicya lalu berdiri persis di depan istrinya itu. "Kamh tahu jengah?" tanyanya. "Pernah ngerasa jengah?""Raf.""Aku lagi ngerasa jengah, Fel," kata Rafly. "Aku jengah sama kelakuan kamu yang udah kelewatan.""Apanya yang kelewatan sih, Raf?" ta
***"Maafin Mama ya, Sayang. Dari kemarin Mama belum sempat perhatiin kamu. Mama sayang kamu, El."Duduk di ujung kasur, Adara memomong Elara yang sedang menyusu dengan penuh kasih sayang. Tak lagi di rumah sang Papa, Adara kini sudah kembali ke rumah sesuai permintaannya.Bukan tak ingin terlibat dalam acara pengajian yang akan digelar di rumah Ginanjar untuk Monica, Adara hanya terlalu tak sanggup bertemu sang Papa.Ditampar bahkan dipukul, Adara masih bisa mentoleransi, tapi menghilangkan nyawa sang Mama, demi apapun sulit untuk Adara melupakan atau bahkan memaafkan Ginanjar."Ra, ayo."Adara mendongak ketika pintu kamar dibuka—menampakkan Danendra yang sudah rapi dengan pakaian muslimnyaSore ini jarum jam di kamar memang sudah menunjukkan pukul lima sore, dan satu jam lagi—alias pukul enam sore nanti, tepatnya selepas maghrib, acara tahlilan di rumah Ginanjar digelar."Ayo apa?" tanya Adara. Berbeda dengan Danendra, Adara masih memakai baju santai—kaos juga celana panjang."Ke ru
***"Kamu di mana?"Sampai di rumah sakit jam setengah enam sore, yang dilakukan Danendra adalah menghubungi Danish karena memang yang membawa Ginanjar ke rumah sakit setelah ditemukan overdosis di dalam kamar adalah Danish juga Adam.Teresa dan Aksa memutuskan untuk tetap berada di rumah Ginanjar karena acara akan segera dimulai. Tak enak rasanya jika pengajian digelar tanpa ada tuan rumah di sana."Di lantai tiga ruangan VIP 203," jawab Danish dari telepon."Oke, Kakak ke sana sekarang."Tanpa basa-basi, Danendra memutuskan sambungan telepon lalu berjalan meninggalkan parkiran untuk segera menemui sang mertua yang beruntungnya masih bisa diselamatkan dari maut.Sungguh, Danendra rasanya tak bisa membayangkan bagaimana hancurnya Adara jika Ginanjar pun pergi di hari yang sama dengan meninggalnya sang istri.Meskipun Adara terlihat berapi-rapi bahkan murka pada sang Papa, jauh di hati kecilnya Danendra tahu jika istrinya itu masih menyayangi Ginanjar.Semarah apapun anak pada orang tu