“Kenapa mesti mual?” tanya Emily setelah menguasai kagetnya. “Aku pernah dengar kalau ibu hamil muda suka mual sama bau suaminya,” ringis Giana. “Ada yang seperti itu?” Gallen heran mendengarnya. “Ada,” jawab Giana.Gallen meringis. “Semoga kamu enggak ya, Sayang.” Berita kehamilan Emily walau ditutupi tetap saja menyebar dengan cepat, mereka dihujani ucapan selamat dan doa serta kiriman bingkisan yang membuat Gallen terhenyak. Bagaimana mungkin sebuah kabar kehamilan melebihi sebuah pernikahan kadonya. Mereka bahkan menerima kado seperangkat perhiasan anak perempuan padahal jelas mereka belum tahu jenis kelaminnya. “Sayang ... relasi kamu kok seram amat.” Gallen meneguk ludah melihat bagaimana brand ternama dengan harga menguras deposito tengah Emily buka karena diantarkan langsung oleh orang kepercayaan si pengirim.Emily mengangguk dengan ringis. “Iya aku juga kaget kok bisa dikirim begin
“Kalau mual jangan di tahan, ok? kita langsung pulang dan istirahat,” bisik Gallen pada Emily yang dijawab anggukan penuh senyuman dari Emily. Gallen mewujudkan keinginan istrinya yang ingin di lamar walau mereka sudah menikah dan kini sedang mengandung dua anak kembar. Perhelatan Gallen urus sendiri dengan sungguh-sungguh sesuai keinginan Emily yaitu nuansa gold. Emily bahkan memesan gaun cantik serta membuatkan semua keluarganya baju agar senada dengannya. Ketika Gallen menanyakan apakah masih butuh cincin, Emily menggeleng dan melepas cincin pernikahan mereka untuk Gallen pasangkan nanti saat melamar. Sesaat Gallen meringis, merasa semacam sedang memainkan sandiwara teater. Acara pertunangan diadakan hanya bagi keluarga mereka saja, namun ternyata keluarga mertua Gracia juga datang. Gallen semakin menggaruk kepalanya yang sudah rapi, ada secuil rasa malu sampai pada saat sebuah tepukan di bahu dari belakang badan membuat
Tepuk tangan belum usai setelah Emily menjawab Yes i do penuh haru, beberapa wanita menyusut sudut matanya sementara setelah Gallen memasangkan cincin pernikahan mereka memilih menenggelamkan Emily ke dalam pelukan dari pada harus menciumnya di hadapan banyak orang. Gallen malu tentu saja. “Terima kasih,” lirih Emily dalam pelukan suaminya. “Iya terima kasih juga sudah diterima lamarannya,” kekeh Gallen. Gallen menganggukkan kepala pada MC laki-laki muda di sana yang dijawab anggukan pula oleh sang MC. Gallen membisiki satu kalimat yang membuat Emily mengerutkan kening dalam rengkuhan lengan suaminya. “Kita duduk dulu nikmati pertunjukan berikutnya ya, Sayang. Awas jangan ngeces.” Gallen berbisik dengan menarik Emily keluar dari lingkaran penuh bunga indah menyingkir sesaat namun tidak membawa Emily duduk. “Saya terharu sungguh, selamat berbahagia Gallen dan Emily serta anak-anak kalian kela
“Tidur Sayang tidur ya Tuhan, ini sudah jam satu malam.” Gallen memasuki kamar kembali setelah dari kamar mandi. “Belum bisa tidur, aku masih kepikiran Kak Grace dan Giana,” desah Emily. “Kenapa dengan mereka?” Gallen bertanya seraya bergabung ke dalam selimut dan menarik pelan tubuh Emily untuk ia rengkuh. “Kok bisa melamar anak mama bersamaan tiga-tiganya, astaga untung mama enggak punya masalah jantung.” Emily memandang wajah Gallen yang amat bersih, ia bahkan ke klinik kulit guna performanya maksimal bersih rapi ketika memenuhi keinginan Emily melamarnya.Gallen terkekeh kecil. “Kalau sama Abas itu memang sudah kerja sama kita, sama Pras ... kalau enggak lihat ada orang tuanya tadi sudah aku hajar dia. Tapi aku sangat suka jawaban dari Giana.” “Iya aku juga, siapa yang sangka gadis 20 tahun bisa sedewasa itu,” puji Emily. Flashback tempat lamaran Gallen. Ketika semua se
Gallen menghubungi Emily saat pukul satu siang saat ia baru saja memasuki ruangan setelah pertemuan keduanya dengan klien di hari itu. Namun panggilannya tidak jua diangkat oleh Emily, baru pada panggilan ke tiga Emily mengangkat. “Aku di rumah sakit Brawijaya, pendarahan. Sudah dulu.” Emily langsung mematikan panggilan setelah mengatakan hal tersebut. Gallen mematung kaget bukan kepalang, sampai pada detik ke lima, ia meraup kunci mobil dan dompet serta berlari kesetanan keluar ruang. Melewati beberapa karyawannya tanpa menjawab pertanyaan mereka mengenai ia yang terburu-buru. Sesampainya di rumah sakit yang dituju, Gallen langsung bertanya di mana ruangan yang merawat istrinya. Akan tetapi tidak ada pasien bernama Emily bahkan setelah Gallen mengatakan bahwa istrinya di rumah sakit tersebut karena pendarahan tengah hamil sepuluh minggu dan tetap tidak di temukan sekalipun di UGD. Dengan kepanikannya, Gallen menghubungi ke
“Abang ... Kak Em kenapa tidur di kamar aku? sedang marahan sama Abang?” tanya Giana keesokan harinya ketika pulang dari rumah sakit. “Biarkan saja, enggak bisa dibilangi dia bandel. Nanti juga balik kamar sendiri. Bagaimana keadaan kak Gracia?” Gallen membelokkan pertanyaan agar Giana tidak bertanya lebih lanjut. “Kata Dokternya kalau sampai besok terus membaik maka besok boleh pulang. Bang Abas baru akan sampai nanti sore, tapi aku ada kelas siang jadi pulang. Terus aku bagaimana mau masuk?” Giana berbicara dengan bisik-bisik. “Enggak dikunci kan pintunya? Masuk saja enggak apa-apa, kamu enggak akan jadi sasaran Emily,” tukas Gallen.Giana mendesah panjang. “Aku kok merasanya Abang yang salah ya ... jangan suka membuat istri yang sedang hamil marah Bang, nanti menyesal.” Gallen tidak menjawab dan hanya memandang punggung Giana memasuki kembali kamarnya setelah tadi masuk langsung keluar. Semalaman Gallen
Emily mendesah kecil segera duduk di stool bar karena ia sudah tidak ingin berdebat dengan Gallen setelah mengabaikannya seharian. Menunggu Gallen membuatkan nasi goreng bawangnya, Emily memandangi punggung suaminya. Punggung itulah yang selama ini menjadi penopangnya dalam segala keadaan. Punggung itulah yang jatuh bangun melindungi ia dan keluarganya. Dalam sekejap matanya merebak. Ia tahu ia salah mengenakan heels tapi menurutnya Gallen menegur dengan keterlaluan. “Tunggu masih panas.” Gallen membawa sepiring nasi goreng berwarna putih tersebut ke hadapan Emily. Emily mengambil sendok yang di angsurkan Gallen tanpa suara. Menyendok dan meniupnya perlahan, mulai mengunyah pelan tanpa memandang Gallen yang berdiri di hadapannya. “Enggak suka yang aku belikan?” tanya Gallen. “Inginnya ini,” jawab Emily singkat.Gallen mengangguk. “Makanlah, aku akan ambilkan minum.” Gallen mengambilkan minum untuk Emily se
“Sudah makan apa saja, Sayang?” tanya Gallen. Waktu menunjukkan pukul satu siang dan Emily tengah berada di ruang kerjanya menerima panggilan video call dari suaminya. “Makan banyak, ada nasi lemak dibelikan kak Grace dan kak Grace juga bawakan pastel mayo yang di Mampang dong sekotak besar. Dan aku sudah menghabiskan lima potong, enak sekali Gallen ... aku mau pesan lagi ya nanti.” Emily menunjukkan tutup boks di mana tertulis nama tempat penjualnya. “Boleh, nanti aku pesankan ya. Bagaimana hari ini anak-anak kita di perut kamu? apa aktif sekali?” Gallen tampak bersandar nyaman pada kursi di dalam ruangan kantornya. Emily menurunkan ponsel untuk memperlihatkan perutnya yang mulai membesar. Membelai lembut perut tertutup blus putihnya. “Mereka luar biasa sekali, aku sedang presentasi mereka main bola sepertinya di dalam. Menendang-nendang terus,” kekeh Emily. “Oh ya? wah akt