“Tidur Sayang tidur ya Tuhan, ini sudah jam satu malam.” Gallen memasuki kamar kembali setelah dari kamar mandi. “Belum bisa tidur, aku masih kepikiran Kak Grace dan Giana,” desah Emily. “Kenapa dengan mereka?” Gallen bertanya seraya bergabung ke dalam selimut dan menarik pelan tubuh Emily untuk ia rengkuh. “Kok bisa melamar anak mama bersamaan tiga-tiganya, astaga untung mama enggak punya masalah jantung.” Emily memandang wajah Gallen yang amat bersih, ia bahkan ke klinik kulit guna performanya maksimal bersih rapi ketika memenuhi keinginan Emily melamarnya.Gallen terkekeh kecil. “Kalau sama Abas itu memang sudah kerja sama kita, sama Pras ... kalau enggak lihat ada orang tuanya tadi sudah aku hajar dia. Tapi aku sangat suka jawaban dari Giana.” “Iya aku juga, siapa yang sangka gadis 20 tahun bisa sedewasa itu,” puji Emily. Flashback tempat lamaran Gallen. Ketika semua se
Gallen menghubungi Emily saat pukul satu siang saat ia baru saja memasuki ruangan setelah pertemuan keduanya dengan klien di hari itu. Namun panggilannya tidak jua diangkat oleh Emily, baru pada panggilan ke tiga Emily mengangkat. “Aku di rumah sakit Brawijaya, pendarahan. Sudah dulu.” Emily langsung mematikan panggilan setelah mengatakan hal tersebut. Gallen mematung kaget bukan kepalang, sampai pada detik ke lima, ia meraup kunci mobil dan dompet serta berlari kesetanan keluar ruang. Melewati beberapa karyawannya tanpa menjawab pertanyaan mereka mengenai ia yang terburu-buru. Sesampainya di rumah sakit yang dituju, Gallen langsung bertanya di mana ruangan yang merawat istrinya. Akan tetapi tidak ada pasien bernama Emily bahkan setelah Gallen mengatakan bahwa istrinya di rumah sakit tersebut karena pendarahan tengah hamil sepuluh minggu dan tetap tidak di temukan sekalipun di UGD. Dengan kepanikannya, Gallen menghubungi ke
“Abang ... Kak Em kenapa tidur di kamar aku? sedang marahan sama Abang?” tanya Giana keesokan harinya ketika pulang dari rumah sakit. “Biarkan saja, enggak bisa dibilangi dia bandel. Nanti juga balik kamar sendiri. Bagaimana keadaan kak Gracia?” Gallen membelokkan pertanyaan agar Giana tidak bertanya lebih lanjut. “Kata Dokternya kalau sampai besok terus membaik maka besok boleh pulang. Bang Abas baru akan sampai nanti sore, tapi aku ada kelas siang jadi pulang. Terus aku bagaimana mau masuk?” Giana berbicara dengan bisik-bisik. “Enggak dikunci kan pintunya? Masuk saja enggak apa-apa, kamu enggak akan jadi sasaran Emily,” tukas Gallen.Giana mendesah panjang. “Aku kok merasanya Abang yang salah ya ... jangan suka membuat istri yang sedang hamil marah Bang, nanti menyesal.” Gallen tidak menjawab dan hanya memandang punggung Giana memasuki kembali kamarnya setelah tadi masuk langsung keluar. Semalaman Gallen
Emily mendesah kecil segera duduk di stool bar karena ia sudah tidak ingin berdebat dengan Gallen setelah mengabaikannya seharian. Menunggu Gallen membuatkan nasi goreng bawangnya, Emily memandangi punggung suaminya. Punggung itulah yang selama ini menjadi penopangnya dalam segala keadaan. Punggung itulah yang jatuh bangun melindungi ia dan keluarganya. Dalam sekejap matanya merebak. Ia tahu ia salah mengenakan heels tapi menurutnya Gallen menegur dengan keterlaluan. “Tunggu masih panas.” Gallen membawa sepiring nasi goreng berwarna putih tersebut ke hadapan Emily. Emily mengambil sendok yang di angsurkan Gallen tanpa suara. Menyendok dan meniupnya perlahan, mulai mengunyah pelan tanpa memandang Gallen yang berdiri di hadapannya. “Enggak suka yang aku belikan?” tanya Gallen. “Inginnya ini,” jawab Emily singkat.Gallen mengangguk. “Makanlah, aku akan ambilkan minum.” Gallen mengambilkan minum untuk Emily se
“Sudah makan apa saja, Sayang?” tanya Gallen. Waktu menunjukkan pukul satu siang dan Emily tengah berada di ruang kerjanya menerima panggilan video call dari suaminya. “Makan banyak, ada nasi lemak dibelikan kak Grace dan kak Grace juga bawakan pastel mayo yang di Mampang dong sekotak besar. Dan aku sudah menghabiskan lima potong, enak sekali Gallen ... aku mau pesan lagi ya nanti.” Emily menunjukkan tutup boks di mana tertulis nama tempat penjualnya. “Boleh, nanti aku pesankan ya. Bagaimana hari ini anak-anak kita di perut kamu? apa aktif sekali?” Gallen tampak bersandar nyaman pada kursi di dalam ruangan kantornya. Emily menurunkan ponsel untuk memperlihatkan perutnya yang mulai membesar. Membelai lembut perut tertutup blus putihnya. “Mereka luar biasa sekali, aku sedang presentasi mereka main bola sepertinya di dalam. Menendang-nendang terus,” kekeh Emily. “Oh ya? wah akt
“Bahagia sekali, Kak. Ada apa gerangan?” tanya Giana. “Tentu saja bahagia, hari ini abang kamu akhirnya bisa temani aku belanja kebutuhan si kembar. Abang kamu masih percaya ucapan orang tua dahulu, belum boleh beli-beli kalau belum tujuh bulan. Aku sampai menyimpan semua catatan setiap lihat yang lucu untuk dibeli. Kamu ikut yuk, bolos sehari. Aku kok merasa akan kesal belanja sama abang kamu saja.” Emily melepas tawa. “Hei bicarakan aku terus kamu ya.” Gallen datang dari dalam kamar mencubit pipi Emily pelan. “Memang iya kok, biarkan Giana ikut ya,” pinta Emily. “Iya boleh, Giana yang akan dorong kursi roda kamu dan aku dorong belanjaan karena aku yakin kita bukan mau belanja tapi mau merampok peralatan bayi,” desah Gallen. “Aku enggak mau pakai kursi roda aku bilang, aku sehat dan jalan itu menyehatkan,” tolak Emily. “Menyehatkan itu 20-30 menit, kamu yakin tidak kurang d
Gallen tertawa kecil ketika menurunkan semua barang calon kedua putri mereka. Bukan hanya satu taksi seperti dugaan Emily, melainkan dua taksi dan semuanya penuh sesak. Ia yang paling banyak andil memilih barang. “Biar enggak repot pindahkan lagi ya, Bang?” tanya Giana. Gallen menurunkan semua belanjaan mereka di rumah baru yang baru akan ditempati bulan depan karena masih melengkapi barang-barangnya. Rumah yang ia dan Emily bangun dengan penuh kebahagiaan menyambut kedua putri mereka. Rumah yang dihadiahkan Gallen untuk Emily dan menolak dibantu dengan dalih ia memang sudah menabung untuk hal tersebut dari jauh hari. “Iya kita akan cicil untuk pindahan nanti, kalian pulang saja sana. Biar ini Abang rapikan dulu. Istirahat kamu, Emily.” Gallen mengangkat kardus besar berisi dua stroller dengan mudah. Rumah baru Gallen dan Emily tidak terlalu jauh dari rumah peninggalan orang tua Gallen. Hanya lima menit pa
Gallen menghela nafas entah untuk ke berapa kali, menyaksikan istrinya yang masih bergeming tidur di sofa tanpa bantal semenjak satu jam lalu. “Ya susah maaf sudah merakit tanpa kamu lihat. Kamu mau aku bongkar lagi itu lemari sama tempat mandi?” Gallen membelai lengan istrinya lembut, duduk berdempetan dengan Emily dalam satu sofa.Emily menarik nafas panjang, ia sejak tadi sedang memikirkan mengapa ia berlebihan sekali marahnya. Tapi masih kesal juga karena Gallen membohonginya dengan mengatakan akan segera pulang menyusul ia dan Giana. Berniat membalikkan badan namun kesusahan karena terlalu sempit.Gallen cepat bangun dari sana dan membantu istrinya bangun pula dengan meringis kecil. Emily sering kesusahan saat bangun dari posisi tiduran, dan hal tersebut sering membuat Gallen takut jika tidak ada yang melihat dan membantu saat Emily hendak bangun.“Kamu tahu aku sangat menunggu momen ini,” lirih Emily.“Iya aku lupa, aku hanya berniat biar yang bes