“Sudah makan apa saja, Sayang?” tanya Gallen. Waktu menunjukkan pukul satu siang dan Emily tengah berada di ruang kerjanya menerima panggilan video call dari suaminya. “Makan banyak, ada nasi lemak dibelikan kak Grace dan kak Grace juga bawakan pastel mayo yang di Mampang dong sekotak besar. Dan aku sudah menghabiskan lima potong, enak sekali Gallen ... aku mau pesan lagi ya nanti.” Emily menunjukkan tutup boks di mana tertulis nama tempat penjualnya. “Boleh, nanti aku pesankan ya. Bagaimana hari ini anak-anak kita di perut kamu? apa aktif sekali?” Gallen tampak bersandar nyaman pada kursi di dalam ruangan kantornya. Emily menurunkan ponsel untuk memperlihatkan perutnya yang mulai membesar. Membelai lembut perut tertutup blus putihnya. “Mereka luar biasa sekali, aku sedang presentasi mereka main bola sepertinya di dalam. Menendang-nendang terus,” kekeh Emily. “Oh ya? wah akt
“Bahagia sekali, Kak. Ada apa gerangan?” tanya Giana. “Tentu saja bahagia, hari ini abang kamu akhirnya bisa temani aku belanja kebutuhan si kembar. Abang kamu masih percaya ucapan orang tua dahulu, belum boleh beli-beli kalau belum tujuh bulan. Aku sampai menyimpan semua catatan setiap lihat yang lucu untuk dibeli. Kamu ikut yuk, bolos sehari. Aku kok merasa akan kesal belanja sama abang kamu saja.” Emily melepas tawa. “Hei bicarakan aku terus kamu ya.” Gallen datang dari dalam kamar mencubit pipi Emily pelan. “Memang iya kok, biarkan Giana ikut ya,” pinta Emily. “Iya boleh, Giana yang akan dorong kursi roda kamu dan aku dorong belanjaan karena aku yakin kita bukan mau belanja tapi mau merampok peralatan bayi,” desah Gallen. “Aku enggak mau pakai kursi roda aku bilang, aku sehat dan jalan itu menyehatkan,” tolak Emily. “Menyehatkan itu 20-30 menit, kamu yakin tidak kurang d
Gallen tertawa kecil ketika menurunkan semua barang calon kedua putri mereka. Bukan hanya satu taksi seperti dugaan Emily, melainkan dua taksi dan semuanya penuh sesak. Ia yang paling banyak andil memilih barang. “Biar enggak repot pindahkan lagi ya, Bang?” tanya Giana. Gallen menurunkan semua belanjaan mereka di rumah baru yang baru akan ditempati bulan depan karena masih melengkapi barang-barangnya. Rumah yang ia dan Emily bangun dengan penuh kebahagiaan menyambut kedua putri mereka. Rumah yang dihadiahkan Gallen untuk Emily dan menolak dibantu dengan dalih ia memang sudah menabung untuk hal tersebut dari jauh hari. “Iya kita akan cicil untuk pindahan nanti, kalian pulang saja sana. Biar ini Abang rapikan dulu. Istirahat kamu, Emily.” Gallen mengangkat kardus besar berisi dua stroller dengan mudah. Rumah baru Gallen dan Emily tidak terlalu jauh dari rumah peninggalan orang tua Gallen. Hanya lima menit pa
Gallen menghela nafas entah untuk ke berapa kali, menyaksikan istrinya yang masih bergeming tidur di sofa tanpa bantal semenjak satu jam lalu. “Ya susah maaf sudah merakit tanpa kamu lihat. Kamu mau aku bongkar lagi itu lemari sama tempat mandi?” Gallen membelai lengan istrinya lembut, duduk berdempetan dengan Emily dalam satu sofa.Emily menarik nafas panjang, ia sejak tadi sedang memikirkan mengapa ia berlebihan sekali marahnya. Tapi masih kesal juga karena Gallen membohonginya dengan mengatakan akan segera pulang menyusul ia dan Giana. Berniat membalikkan badan namun kesusahan karena terlalu sempit.Gallen cepat bangun dari sana dan membantu istrinya bangun pula dengan meringis kecil. Emily sering kesusahan saat bangun dari posisi tiduran, dan hal tersebut sering membuat Gallen takut jika tidak ada yang melihat dan membantu saat Emily hendak bangun.“Kamu tahu aku sangat menunggu momen ini,” lirih Emily.“Iya aku lupa, aku hanya berniat biar yang bes
“Jangan terlalu stres ya Ibu, jangan sampai tekanan darahnya naik lagi kalau bisa. Pokoknya harus terus bahagia kalau ibu hamil itu dan selalu hati-hati.” Dokter berpesan pada Emily dan Gallen sebelum esok harinya diperbolehkan pulang. “Baik Dok, akan kami ingat.” Gallen dan Emily menjawab serentak. Gallen siap mendorong Emily yang duduk di kursi roda, sedangkan mama Emily dan Giana berdiri di samping keduanya denga tarikan nafas lega. “Kok kamu tiba-tiba punya darah tinggi si, Sayang?” tanya Mama Emily membelai kepala putrinya. “Ini Ma pelakunya yang buat aku tekanan darah tinggi terus, marahin Ma.” Emily menunjuk Gallen dengan wajah sengaja ia lipat-lipat secara dramatis. “Kamu yang buat anak Mama darah tinggi? Hah? dasar nakal kamu ya.” Mama dengan tertawa memukul lengan Gallen berkali-kali. “Pukul Ma pukul yang kencang, jewer kalau perlu.” Emily mengompori dengan bertepu
“Wuih ngeri sekali perut kamu Em, seperti mau meletus,” kelakar laki-laki berjaket kulit hitam. “Asem,” kekeh Emily. “You look so beautyfull, how are you?” Prasetio memberikan pelukan hangat pada Emily dengan pakaian rumahnya, daster. “Peres amat bilang cantik, sudah tahu sebesar ini badan aku. Kabar sehat Alhamdulillah, ada perlu di rumah atau bagaimana kok tiba-tiba balik Indonesia?” tanya Emily. “Ada yang minta aku pulang, kangen katanya,” kekeh Prasetio. Emily tersenyum paham kemudian terkekeh kecil sebelum mempersilakan tamunya masuk ke dalam rumah barunya yang belum sepenuhnya rapi karena baru tiga hari lalu mereka pindahan. “Lagi dijemput sama abangnya, duduk Tio. Sudah pulang ke rumah kan tapi?” tanya Emily. “Sudah, semalam menginap juga di rumah. Iya Giana sudah bilang, bagaimana perkembangan si kembar?” Prasetio menunjuk perut Emily dengan dagunya.
“Abang tanyanya seolah meremehkan begitu, aku enggak pernah pacaran sama sekali. Dari mana pernah ciuman. Dan kalaupun sudah pacaran belum tentu aku akan mau melakukan itu,” papar Giana. “Iya paham, kamu wanita baik-baik buka seperti aku yang banyak ceweknya di sana sini,” desah Prasetio. “Aku enggak mengungkit masalah itu, kenapa Abang malah seolah merendahkan diri sendiri seperti itu?” tuntut Giana. “Kita mau berantem masalah ciuman ini? bukankah kamu bilang kangen sama aku kemarin? Sekarang malah menanduk terus,” papar Prasetio. Giana menunduk kecil, diam. “Aku tidak meremehkan kamu yang belum pernah ciuman, bagus malah. Pergaulan kamu sangat baik dan sehat, dan aku enggak merendahkan diri karena bilang banyak cewek. Itu hanya sebagai pengingat untuk aku terus memperbaiki diri agar benar-benar layak disandingkan perempuan seterjaga kamu, Giana. Sumpah mati aku malu sama masa lalu aku pad
“Ah ... selamat, aduh ya ampun ... aku mau punya keponakan?” Emily kembali berseru, menggeser badan mengimpit Gracia untuk memeluknya dari samping dengan bersemangat. “Kamu tahu sekali aku sangat bahagia, Em. Aku sudah bisa membayangkan anak-anak kita berlarian merebutkan neneknya.” Gracia kembali mengusap sudut matanya yang basah. Emily mengangguk, menyetujui perkataan kakaknya yang ia yakin benar. Si kembar dan sepupu mereka akan memperebutkan sang nenek kelak seperti mama mereka. “Berapa minggu tadi usianya? aku hanya baca bagian positif.” Emily merangkul bahu Gracia erat. “Enam minggu,” jawab suami Gracia. “Titip kakak aku yang cerewet ini ya Bang, awas kalau kenapa- kenapa.” Emili pura-pura mengancam dengan menyipitkan matanya ke arah suami Gracia. “Pasti dong Dek, mereka adalah hidup aku sekarang ini,” tukas suami Gracia. Emily memeluk sang kakak dengan