Ayra mengiyakan ajakan Azri untuk pergi piknik hari ini. Hitung-hitung refreshing. Mereka tengah menyiapkan makanan dalam rantang.
Rencananya pun pikniknya hanya di pinggir danau dekat-dekat sini. Biasanya hari minggu begini di sana banyak yang duduk-duduk santai sambil makan-makan sekeluarga."Buah udah, cemilan sama minumannya juga udah. Mau bawa apa lagi?" tanya Azri setelah memastikan bawaan mereka lengkap."Cukup deh, Mas. Gak usah banyak-banyak. Nanti repot bawanya."Azri tersenyum lebar mendengar panggilan Ayra pada dirinya yang sudah mulai istrinya itu terapkan sejak tadi lagi.Panggilan "Mas" yang membuat Azri merasakan kehangatan di hatinya."Ya sudah. Aku siapin motor dulu."Ayra mengangguk lalu berjalan ke kamar untuk memberekan dandanannya.Sementara Azri membawa tiker yang akan jadi alas duduk mereka.Tak lama setelah memanaskan motor, Ayra keluar membawa rantang makananAyra sibuk menyiapkan sarapan pagi. Rutinitas pagi yang akan ia jalani mulai sekarang. Tak bisa Ayra pungkiri. Jiwanya lebih tenang sekarang. Setelah memilih akan berdamai dengan segala sakit hatinya. Kini menerima segalanya dengan ikhlas membuat dirinya merasa begitu bahagia."Pagi Ay.""Pagi. Sarapannya masih belum. . . ."Ayra tertegun melihat Azri. Pria itu tampak lebih segar, dan penampilannya lebih rapi dari biasanya. Walau tidak serapi orang mau kerja kantoran."Mas mau kemana?" tanya Ayra.Tak mungkin Azri berpakaian serapi ini tapi ingin di rumah sajakan?Terus tumben sekali Azri sudah bangun sepagi ini. Biasanya pria itu paling cepat bangun jam 8 pagi."Kerja," ujarnya sambil melepas tas ransel lalu menaruhnya di atas meja makan.Pria itu berjalan ke dekatnya yang sedang memasak nasi goreng."Maksudnya mau cari kerja?" tanya Ayra memastikan."Persis. Bi
Di pagi harinya di halaman rumah tampak ramai orang-orang berbondong-bondong mendatangi rumah.Ayra yang kebingungan, ketakutan, hanya bisa berlindung di balik bapaknya. Sementara itu bapaknya yang kesulitan meredam amarah warga nampak memanggil seseorang lewat telpon.Ibu tirinya menarik Ayra untuk masuk ke dalam rumah. Beliau tampak yakin suaminya bisa menangani masa itu.Ambar memberikan Ayra air putih hangat."Tenangkan diri kamu, Ay."Ayra menggeleng. Ia tak bisa tenang kalau sudah sampai serunyam ini.Ambar meraih jemari Ayra yang gemetaran."Azri hanya ingin melihat kamu bahagia, Ay. Semua ini bukan berarti Azri ingin melihat kamu jadi depresi. Tolong percaya pada Azri. Dia akan pulang saat urusannya selesai.""Bagaimana aku bisa mempertahankan kepercayaan bahwa Azri bukan pembunuh? Aku saja bahkan tidak pernah sekalipun tau siapa dia. Begitu banyak keganjilan yang aku tidak tau persis apa
Rapat darurat akan di adakan dua jam lagi. Dan Azri masih kerepotan menyiapkan berkas-berkas dirinya yang akan masuk dalam rapat darurat ini. Tapi dering telpon menyadarkannya kalau Ayra sedang dalam perjalanan menemuinya. Panggilan sang istri itu menyela pekerjaannya yang padat.Sebelumnya bapak Rahman sudah bilang kalau Ayra akan datang menemuinya. Karena tak ingin melihat Ayra lebih menderita lagi gara-gara kesalah pahaman ini.Mau tak mau dirinya harus relakan semuanya. Padahal Azritak berniat untuk memberitahu Ayra tentang dirinya sedini ini. Tapi ya sudahlah. Ini sudah yang paling baik. Demi kewarasan Ayra juga. Kasian dia sudah cukup tertekan sejak awal.Tapi kedatangan Ayra tidak tepat waktu. Dirinya sedang di rundung banyak pekerjaan. Yang mengharuskannya mengirim orang untuk menjemput Ayra di bandara."Kau bilang istrimu di Bandara?" tanya tamannya.Azri menyahut sambil terus mengerjakan tugasnya."Iya. Tapi sudah kuminta seseorang membawanya ke tempat istirahat.""Jemputla
Bolehkah Ayra merasa kalau ia saat ini terperangkap dalam dunia mimpi?Segalanya yang di luar perkiraan, bahkan hal-hal yang terjadi ini tidak pernah terbayang dalam ekspektasinya.Siapa juga yang bisa berekspektasi tiba-tiba berada di luar negri. Tinggal di hotel mewah bahkan dengan suami yang tiba-tiba penampilannya berubah total."Aku ambilkan makanan ya," ujar Azri setelah mereka duduk di restoran hotel.Ayra mengangguk dengan tatapan yang tidak bisa lepas dari suaminya.Bukan apa-apa. Ia merasa berbeda saja.Dulu Azri selalu berpenampilan sama. Dengan kaos oblong putih lusuh dan celana trening yang warnanya udah buluk. Kalau mau kemana-mana tinggal lapisin aja pakai jaket yang warna birunya aja udah abu-abu mirip kain pel, terus tampilannya kayak gak pernah di cuci berabad-abad.Tapi sekarang, ia seperti melihat orang yang berbeda di tubuh yang sama.Lelaki itu mengenakan kemeja abu-abu dengan kancing yang terbuka di
Azri pernah hidup dalam dunia yang rasanya tak ada lagi tempat yang bisa di huni di dunia ini. Pernah merasa hidup benar-benar hampa.Dikelilingi minuman beralkohol dan rokok yang selalu mengisi hidupnya seperkian detik."Azri. Lupakan perempuan itu. Mau sampai kapan kamu terus mengingat-ingat dia?"Hampir setiap hari kakaknya menasehati Azri. Tangis kakaknya yang melihat ia hampir gila seolah tak bisa masuk dalam akal sehat Azri."Kehidupan kita sudah membaik, Azri. Jangan kamu rusak hanya karena kamu kehilangan perempuan itu. Ada banyak perempuan di dunia ini.""Lisa. . ."Nama perempuan yang sama yang selalu keluar dari mulut Azri."Lisa. . . "Pecah tangis kakaknya karena Azri tak kunjung bisa membenahi hati."Sudahlah. Biarkan sementara Azri. Kita tidak bisa memperbaiki hatinya. Dia akan baik seiring berjalannya waktu."Begitulah Bapak Rahman menasehati istrinya agar tidak memaksa AzriK
Boleh pamer gak sih? Rasanya tangannya sangat gatal mau pamer sama Jesika. Boleh gak sih ia posting? Di story ajalah kalau boleh.Pengen rasanya buat orang iri. Aduh sunggih niat yang non-mulia."Aku ngisi air dulu," ujar Azri.Lelaki itu sejak tadi sibuk mempelajari sambil mengecek kelengkapan mobil. Sementara ia hanya melihat-lihat sambil membayangkan bagaimana kalau Jesika melihat ini.Kepalanya berisi niat buruk yang minta di realisasikan. Tapi Ayra coba menahan. Nanti kena angin apa deh itu yang suka dateng gegara bikin orang ngiri."Oke. Siap. Kita berangkat."Azri datang menghampirinya setelah memastikan semua aman."Kita mau kemana?" tanya Ayra."Ke pedesaan? Biar udaranya sejuk. Biar dingin juga," jawabnya sambil mengedipkan sebelah mata.Apa sih maksudnya.Jangan senyum, Ay. Nanti ketahuan ngerti.Ayra memilih ikut duduk di samping Azri yang akan menyetir membawa mobil ini melewati tol menuju pede
Boleh pamer gak sih? Rasanya tangannya sangat gatal mau pamer sama Jesika. Boleh gak sih ia posting? Di story ajalah kalau boleh.Pengen rasanya buat orang iri. Aduh sunggih niat yang non-mulia."Aku ngisi air dulu," ujar Azri.Lelaki itu sejak tadi sibuk mempelajari sambil mengecek kelengkapan mobil. Sementara ia hanya melihat-lihat sambil membayangkan bagaimana kalau Jesika melihat ini.Kepalanya berisi niat buruk yang minta di realisasikan. Tapi Ayra coba menahan. Nanti kena angin apa deh itu yang suka dateng gegara bikin orang ngiri."Oke. Siap. Kita berangkat."Azri datang menghampirinya setelah memastikan semua aman."Kita mau kemana?" tanya Ayra."Ke pedesaan? Biar udaranya sejuk. Biar dingin juga," jawabnya sambil mengedipkan sebelah mata.Apa sih maksudnya.Jangan senyum, Ay. Nanti ketahuan ngerti.Ayra memilih ikut duduk di samping Azri yang akan menyetir membawa mobil ini melewati tol menuju pedesaan.Tol bayar lagi ternyata. Keluar uang puluhan juta masih belum cukup karen
Ini hari terakhir mereka sebelum pulang ke tanah air. Dan lagi-lagi di habiskan di bawah air hujan yang deras. Ditemani teh hangat sembari melihat keluar jendela mobil mereka. Ayra hanya mengenakan jaket Azri tanpa memakai apa-apa lagi di dalamnya, duduk bersandar menikmati waktu.Perasaan tengang dan nyaman membuatnya betah berlama-lama melihat keluar.Ia melirik ke samping di mana Azri tengah tertidur pulas.Ayra meletakkan gelasnya dan mendekati Azri. Kecupan kecil ia daratkan di pipi pria itu.Menarik selimut lebih tinggi agar Azri tak kedinginan."Bukan. Aku tidak seperti itu. . . ."Ayra sempat terdiam mendengarkan kata yang keluar dari mulut Azri.Pria ini sepertinya sedang mengigau."Aku tidak membunuhnya begitu. . . ."Deg!Apa kata Azri barusan?Tiba-tiba ia jadi cemas.Keringat memenuhi dahi pria itu. Raut wajah Azri yang tampak tidak tenang membuat Ayra mengguncang tubuhnya.Mata Azri terbuka seutuhnya. Pria itu sepertinya langsung sadar dan menatap pada Ayra."Kenapa, Ay
"Ayra di dalam." Yang menunggunya ternyata bos dari istrinya. Baru saja ia menaiki lorong, Bu Adelia sudah menunggunya di depan kamar rawat.Azri segera masuk ke dalam."Dia masih belum sadar sampai sekarang," ucap Adelia saat Azri terpaku melihat istrinya terbaring di atas bangsal rumah sakit.Azri merengkuh tubuh Ayra tak kuasa menahan rasa yang bergejolak dalam dirinya melihat sang istri di sini. Atas alasan apa dan kejadian apa yang menimpa istrinya."Tenang. Dia baik-baik saja. Dokter bilang dia cuma kecapean. Tapi Doktar bilang ingin bertemu denganmu. Katanya ada yang mau di sampaikan.""Ayra kenapa? Dia. . . ." Suara Azri tercekat hendak menanyakan apa yang membuat istrinya sampai berakhir di rumah sakit."Handphone Ayra kehabisan batrai. Jadi kami tidak bisa langsung menghubungimu.""Apa yang terjadi dengan Ayra?""Ayra pingsan saat bersama Fandi. Dia menggunakan handphone adm
Sejak selesai acara resepsi beberapa bulan lalu, Azri dan Ayra memutuskan tinggal di apartement. Tidak lagi tinggal di kampung di rumah bapak Rahman.Apartement yang mereka tinggali pula, bukan tempat tinggal Azri yang dulu.Rupanya sebelum acara resepsi Azri membeli apartement baru dan menjual yang lama. Pokoknya Azri kali ini benar-benar mempersiapkan kehidupan mereka ke depannya dengan jauh lebih baik.Sudah hampir 5 bulanan lebih mereka tinggal di sini."Malam ini jadi nginap di rumah bapak dan kak Ambar, kan?" Azri keluar dari ruang kerjanya dengan earphone di lehernya. Tampak wajah lelah pria itu karena bekerja hampir semalaman."Iya. Aku sudah siapkan barang kita."Ayra masih sibuk masak untuk makan siang mereka. Dirinya menyempatkan diri masak dulu sebelum berangkat kerja.Tak lupa ia juga menyiapkan masakan untuk di bawa nanti malam. Sedikit cemilan buat bapaknya dan kak Ambar. Jadi tak
Jesika duduk menunduk di sebuah taman yang cukup sepi. Ia mengenakan masker wajah, dan kacamata menutupi wajahnya. Topi lebar juga ia kenakan agar tidak dikenali.Dengan memegang sebuah undangan pernikahan, senyum dua insan yang tampak berbahagia dalam undangan itu membuat hatinya perih.Kejadian saat dirinya melawan suami dan mertuanya berbuah bahkan sampai pembicaraan perceraian. Batin Jesika tak henti-hentinya merasa nyeri dengan hal yang menimpanya.Segala bentuk kebahagiaan yang Jesika bayangkan setelah menikah dengan Ari, hanya tinggal bayangan. Bahkan tak pernah ada kebahagiaan yang nyata untuknya.Sekarang, hidupnya hancur sehancur-hancurnya. Berita perselingkuhan Jesika dan atasannya di bongkar istri Jacob. Bahkan istri atasannya yang notabenenya adalah seorang model, menyewa infotement gosib untuk mempermalukannya.Wajahnya terpampang di portal-portal gosib sebagai pelakor yang sudah tidur dengan suaminya.T
Ayra tak menyangka Azri bisa menemukan nama teman-teman sekolahnya. Bahkan teman-teman dekat masa kuliahnya. Ibu kostnya dulu, bahkan sampai orang-orang yang pernah berkenalan dengannya sesama penganjar bimbel. Semua ada dalam daftar list tamu undangan. Segelas es susu coklat tersaji di hadapannya. Lalu Azri yang duduk di kursi dengan wajah lelah. "Ada lagi yang mau di masukan dalam list?" tanya Azri lalu menguap. Undangan belum di sebar karena Ayra mau memeriksa list undangannya dulu. "Sudah cukup kok." Azri mengangguk kecil. Ia menghubungi tim WO dengan handphonenya. Detail kecil seperti menyebar undangan pun Azri gunakan tim WO nya. Walau harus bayar lebih, tapi pekerjaan jadi lebih mudah. "Kamu mau tidur aja gak? Kayaknya ngantuk," kata Ayra. "Enggaklah. Aku mau nemenin kamu coba gaunnya." Mereka menunggu di sebuah tempat perancang busana pernikahan. Padahal sepertinya Azri butuh istirahat.
Azri berjalan dengan langkah lemas. Hampir semalaman ia tak tidur mencari Ayra yang pergi setelah kejadian gila tadi malam.Saat maghrib menjelang, Ayra menghubunginya jika akan pulang terlambat karena ada urusan di bimbelnya. Hingga isya, Ayra tak kunjung pulang membuatnya khawatir, tapi Azri mencoba berpikir positif dengan terus menyelesaikan pekerjaannya.Namun gedoran pintu membuat Azri seketika menghentikan pekerjaannya. Ia membuka layar monitor yang menunjukkan CCTV di pintu depan.Dirinya tentu kaget melihat Lisa yang menggedor pintu rumahnya. Dan yang lebih mengagetkan lagi, perempuan itu hanya mengenakan sarung untuk menutupi tubuhnya."Mas! Tolong buka pintunya!" teriakan bercampur tangisan itu membuatnya berjalan ke depan untuk tau apa yang terjadi pada Lisa.Sedetik setelah pintu terbuka, Lisa memeluk Azri erat."Tolong aku, Mas. Aku mau di bunuh." Lisa meraung sambil memeluk Azri erat."Di bunu
"Kak ambar baik-baik ajakan?"Ayra menghampiri Ambar yang terkulai lemas habis mual-mual."Kakak gak apa-apa, Ay. Cuma reaksi hamil ya gini. Suka muntah-muntah."Rasa cemas Ayra berkali lipat setelah kejadian ibunya. Ia takut Kak Ambar kenapa-napa, dan Azri akan sangat murka nantinya.Apalagi mengingat sudah berkali-kali kak Ambar keguguran."Aku udah gak apa-apa, Ay. Setelah melihat Azri sekarang bahagia, aku sudah berhasil melupakan masalalu yang sangat menyedihkan itu. Terlepas, meski kadang ingat, tapi aku tidak apa-apa. Dia juga sepertinya kuat di dalam sana."Ambar mengusap perutnya yang sudah mulai berbentuk."Syukurlah, Kak. Aku gak kebayang akan sesedih apa Azri dan bapak kalau sampai kakak kenapa-napa.""Gak, Ay. Kakak gak kenapa-napa."Ayra mengangguk, lalu menundukkan wajahnya dengan bibir tertutup. Raut wajahnya menimbulkan penasaran Ambar."Tapi muka kamu kenap
Mereka pergi ke dapur untuk bicara berdua. Namun baru saja Ayra duduk di kursi meja makan, Azri sudah memotong sebelum bibirnya mengucapkan apapun."Gak bisa Ay. Maaf. Aku gak bisa bagaimanapun bujuk rayumu."Bahkan belum Ayra bicara apa-apa. Azri sudah mengklaim keputusannya.Walau begitu, Ayra menangkap ekspresi tidak enak di wajah Azri."Jadi ibuku harus tetap pergikan?" tanya Ayra.Azri mendekatkan wajahnya, ia menghela nafas pelan."Maaf. Tapi aku gak mau Kak Ambar jadi sakit karena kejadian hari ini. Kau orang berharga dalam hidupku, Ay. Begitupun kak Ambar."Ia tau saat ini Azri sedang merasa sangat serba salah.Ayra mengangguk. "Kalau gitu, tolong siapkan tempat tinggal untuk ibu."Azri tercenung seolah tak menyangka itu yang keluar dari mulut Ayra.Ia pikir akan berdebat panjang karena persoalan ini."Ibu tidak pernah mencintai Bapak. Bahkan sampai saat ini. Ta
Ayra masuk ke kamar, dari ambang pintu dirinya menyaksikan sang ibu menangis."Bu. Ibu kenapa?" tanya Ayra.Ia duduk di pinggir ranjang tak jauh dari ibunya yang duduk di lantai sambil menangis."Ibu gak tau kenapa bisa sehancur ini, Ayra!" Di usap Ayra pelan punggung ibunya. "Udahlah, Bu. Gak usah di inget lagi. Ikhlasin aja.""Ibu udah kasih apapun yang ibu punya. Bahkan rasanya gak pernah sedetikpun ibu gak mencintai dia. Tapi dia tetap meninggalkan ibu."Rupanya kesedihan ibunya berupa pada bapak tirinya yang sampai di sini Ayra tau telah pergi dengan perempuan lain."Kenapa ibu bisa menikah dengan dia?" tanya Ayra.Sang ibu tampak menoleh pada Ayra. Untuk beberapa saat terdiam."Ibu memcintainya, Ayra. Ini adalah cinta pertama dan terakhir."Sungguh sulit keluar dari mulut Ayra. Tapi, dirinya hanya ingin apa yang orang-orang katakan padanya selama ini tidak benar.
Bahan di dapur habis, opsi termudah untuk membuat makan siang hari ini hanya dengan pergi ketukang sayur yang biasanya di gerumbuni oleh emak-emak yang nyambi beli sayur sambil ngomongin orang.Ia ingat sekali ibu-ibu itu tampaknya golongan yang tidak mengerti teknologi bahkan tidak paham yang namanya kurir."Kemarin saya liat anak Pak Ridwan di kasih cowok barang.""Anak pak Ridwan si bunga itu?""Iya. Katanya itu barang dari jakarta. Sering banget saya liat cowoknya ke rumah nganter-nganterin barang gitu. Mana pake bajunya selalu sama. Merah gitu. Heran sama anak zaman sekarang."Di jelasin juga gak mau tau apa itu kurir dan kerjaannya emang gitu nganter-nganter barang.Ayra sejujurnya malas sekali ke sana. Tapi masa iya dirinya lagi-lagi tidak masak hanya karena tidak mau mendengarkan omongan orang lain.Lagi pula Bu Retno tak akan ada di tukang sayur. Ada bagusnya juga lumpuhnya bu Retno. Ngurang-nguran