Bolehkah Ayra merasa kalau ia saat ini terperangkap dalam dunia mimpi?Segalanya yang di luar perkiraan, bahkan hal-hal yang terjadi ini tidak pernah terbayang dalam ekspektasinya.Siapa juga yang bisa berekspektasi tiba-tiba berada di luar negri. Tinggal di hotel mewah bahkan dengan suami yang tiba-tiba penampilannya berubah total."Aku ambilkan makanan ya," ujar Azri setelah mereka duduk di restoran hotel.Ayra mengangguk dengan tatapan yang tidak bisa lepas dari suaminya.Bukan apa-apa. Ia merasa berbeda saja.Dulu Azri selalu berpenampilan sama. Dengan kaos oblong putih lusuh dan celana trening yang warnanya udah buluk. Kalau mau kemana-mana tinggal lapisin aja pakai jaket yang warna birunya aja udah abu-abu mirip kain pel, terus tampilannya kayak gak pernah di cuci berabad-abad.Tapi sekarang, ia seperti melihat orang yang berbeda di tubuh yang sama.Lelaki itu mengenakan kemeja abu-abu dengan kancing yang terbuka di
Azri pernah hidup dalam dunia yang rasanya tak ada lagi tempat yang bisa di huni di dunia ini. Pernah merasa hidup benar-benar hampa.Dikelilingi minuman beralkohol dan rokok yang selalu mengisi hidupnya seperkian detik."Azri. Lupakan perempuan itu. Mau sampai kapan kamu terus mengingat-ingat dia?"Hampir setiap hari kakaknya menasehati Azri. Tangis kakaknya yang melihat ia hampir gila seolah tak bisa masuk dalam akal sehat Azri."Kehidupan kita sudah membaik, Azri. Jangan kamu rusak hanya karena kamu kehilangan perempuan itu. Ada banyak perempuan di dunia ini.""Lisa. . ."Nama perempuan yang sama yang selalu keluar dari mulut Azri."Lisa. . . "Pecah tangis kakaknya karena Azri tak kunjung bisa membenahi hati."Sudahlah. Biarkan sementara Azri. Kita tidak bisa memperbaiki hatinya. Dia akan baik seiring berjalannya waktu."Begitulah Bapak Rahman menasehati istrinya agar tidak memaksa AzriK
Boleh pamer gak sih? Rasanya tangannya sangat gatal mau pamer sama Jesika. Boleh gak sih ia posting? Di story ajalah kalau boleh.Pengen rasanya buat orang iri. Aduh sunggih niat yang non-mulia."Aku ngisi air dulu," ujar Azri.Lelaki itu sejak tadi sibuk mempelajari sambil mengecek kelengkapan mobil. Sementara ia hanya melihat-lihat sambil membayangkan bagaimana kalau Jesika melihat ini.Kepalanya berisi niat buruk yang minta di realisasikan. Tapi Ayra coba menahan. Nanti kena angin apa deh itu yang suka dateng gegara bikin orang ngiri."Oke. Siap. Kita berangkat."Azri datang menghampirinya setelah memastikan semua aman."Kita mau kemana?" tanya Ayra."Ke pedesaan? Biar udaranya sejuk. Biar dingin juga," jawabnya sambil mengedipkan sebelah mata.Apa sih maksudnya.Jangan senyum, Ay. Nanti ketahuan ngerti.Ayra memilih ikut duduk di samping Azri yang akan menyetir membawa mobil ini melewati tol menuju pede
Boleh pamer gak sih? Rasanya tangannya sangat gatal mau pamer sama Jesika. Boleh gak sih ia posting? Di story ajalah kalau boleh.Pengen rasanya buat orang iri. Aduh sunggih niat yang non-mulia."Aku ngisi air dulu," ujar Azri.Lelaki itu sejak tadi sibuk mempelajari sambil mengecek kelengkapan mobil. Sementara ia hanya melihat-lihat sambil membayangkan bagaimana kalau Jesika melihat ini.Kepalanya berisi niat buruk yang minta di realisasikan. Tapi Ayra coba menahan. Nanti kena angin apa deh itu yang suka dateng gegara bikin orang ngiri."Oke. Siap. Kita berangkat."Azri datang menghampirinya setelah memastikan semua aman."Kita mau kemana?" tanya Ayra."Ke pedesaan? Biar udaranya sejuk. Biar dingin juga," jawabnya sambil mengedipkan sebelah mata.Apa sih maksudnya.Jangan senyum, Ay. Nanti ketahuan ngerti.Ayra memilih ikut duduk di samping Azri yang akan menyetir membawa mobil ini melewati tol menuju pedesaan.Tol bayar lagi ternyata. Keluar uang puluhan juta masih belum cukup karen
Ini hari terakhir mereka sebelum pulang ke tanah air. Dan lagi-lagi di habiskan di bawah air hujan yang deras. Ditemani teh hangat sembari melihat keluar jendela mobil mereka. Ayra hanya mengenakan jaket Azri tanpa memakai apa-apa lagi di dalamnya, duduk bersandar menikmati waktu.Perasaan tengang dan nyaman membuatnya betah berlama-lama melihat keluar.Ia melirik ke samping di mana Azri tengah tertidur pulas.Ayra meletakkan gelasnya dan mendekati Azri. Kecupan kecil ia daratkan di pipi pria itu.Menarik selimut lebih tinggi agar Azri tak kedinginan."Bukan. Aku tidak seperti itu. . . ."Ayra sempat terdiam mendengarkan kata yang keluar dari mulut Azri.Pria ini sepertinya sedang mengigau."Aku tidak membunuhnya begitu. . . ."Deg!Apa kata Azri barusan?Tiba-tiba ia jadi cemas.Keringat memenuhi dahi pria itu. Raut wajah Azri yang tampak tidak tenang membuat Ayra mengguncang tubuhnya.Mata Azri terbuka seutuhnya. Pria itu sepertinya langsung sadar dan menatap pada Ayra."Kenapa, Ay
"Mas!" "Mas Azri!" Ayra memanggil-manggil pria itu sejak tadi tapi tak ada sahutan. Seluruh penjuru rumah sudah ia datangi tapi tak ada pria itu. Satu-satunya tempat cuma kamar sebrang kamar tidur mereka. Ia memberanikan diri membuka pintu itu. Beruntungnya juga tidak di kunci Suasana gelap di dalam sana. Sebuah cahaya berasal dari komputer menarik perhatian Ayra. Apalagi sosoknya yang duduk di hadapan komputer itu. Sudah tentu itu Azri. Ia tertegun melihat Azri yang tampak serius mengerjakan sesuatu. Tampak rumit di mata Ayra. Jemari pria itu berhenti menari di atas keyboardnya kala Ayra berdiri tepat di samping belakang pria itu. Azri menoleh lalu melepas earphonenya turun ke leher. "Ay?" "Maaf aku lancang masuk. Aku cari kamu dari tadi." Azri menarik sebuah kursi di sampingnya mempersilahkan Ayra duduk. "Maaf aku ganggu kamu ya?" "Enggak kok."
Lagi-lagi mimpi itu menghantui. Mengganggu tidur nyenyak. Bak emas sekarung, tidur nyenyak selalu sulit Azri dapatkan. Ia mengusap wajah dengan kedua tangannya. Lalu menoleh pada Ayra yang tampak tidur dengan pulas. Ia tengkurap hampir menyelimuti ayra dengan tubuhnya. Namun menjaga beberapa centi agar tidak menindih Ay9ira. "Jangan tinggalin aku ya, Ay." Azri berbisik dengan jarak wajah mereka yang sangat dekat. Deru nafasnya menyentuh kulit wajah Ayra. Perasaan yang terus mengganggu perasaannya, kini bertambah. Justru ketakutan di tinggal Ayra mendominasi di hatinya. Untunglah Ayra tak banyak bertanya apalagi menuntut ia harus menceritakan detail masalalunya. **** "Biar aku yang jemur." Ayra habis selesai mencuci. Ember yang ia keluarkan dari kamar mandi di ambil alih oleh Azri "Istirahat. Kamu mau kerja sebentar lagikan?" Lelaki itu berjalan ke depan membawa ember berisi cucian. Sem
"Kapan sih kalian bakal punya anak? Kamu gak hamil-hamil juga, Jes!" Jesika paling malas jika ditanya begitu. Padahal ia baru menikah tak sampai 2 bulan. Tapi pernyataan kapan punya anaknya udah kayak 5 tahun gak punya anak aja. "Belum, Ma. Do'ain aja biar cepet dikasih momongan." Kalau saja tidak di suruh Ari makan siang di rumah mamanya, Jesika malas sekali. "Kata Ari kamu kerjanya sampai malam terus jadi kalian gak ada waktu. Ngerjain apa sih sampai malam? Kapan dong mama bisa gendong cucu?" Gimana gak kerja sampai malam, orang apa-apa Ari gak pernah bisa kasih. Bayar sewa rumah aja Jesika harus nguras tabungannya. Kerjaan Ari cuma bergajih 3 juta sebagai pegawai perusahaan. Sementara buat sewa rumah aja bisa sampai 1 jutaan lebih. Buat pegangan pria itu saja sampai 1 juta 500. Ia harus menutupi banyak kebutuhan rumah. Balum lagi kebutuhannya. Untuk skincare dan lain-lain. Kayak gak punya suami aja rasanya. Apa-apa beli dengan uang sendiri. "Aku masih harus ngerjain
"Ayra di dalam." Yang menunggunya ternyata bos dari istrinya. Baru saja ia menaiki lorong, Bu Adelia sudah menunggunya di depan kamar rawat.Azri segera masuk ke dalam."Dia masih belum sadar sampai sekarang," ucap Adelia saat Azri terpaku melihat istrinya terbaring di atas bangsal rumah sakit.Azri merengkuh tubuh Ayra tak kuasa menahan rasa yang bergejolak dalam dirinya melihat sang istri di sini. Atas alasan apa dan kejadian apa yang menimpa istrinya."Tenang. Dia baik-baik saja. Dokter bilang dia cuma kecapean. Tapi Doktar bilang ingin bertemu denganmu. Katanya ada yang mau di sampaikan.""Ayra kenapa? Dia. . . ." Suara Azri tercekat hendak menanyakan apa yang membuat istrinya sampai berakhir di rumah sakit."Handphone Ayra kehabisan batrai. Jadi kami tidak bisa langsung menghubungimu.""Apa yang terjadi dengan Ayra?""Ayra pingsan saat bersama Fandi. Dia menggunakan handphone adm
Sejak selesai acara resepsi beberapa bulan lalu, Azri dan Ayra memutuskan tinggal di apartement. Tidak lagi tinggal di kampung di rumah bapak Rahman.Apartement yang mereka tinggali pula, bukan tempat tinggal Azri yang dulu.Rupanya sebelum acara resepsi Azri membeli apartement baru dan menjual yang lama. Pokoknya Azri kali ini benar-benar mempersiapkan kehidupan mereka ke depannya dengan jauh lebih baik.Sudah hampir 5 bulanan lebih mereka tinggal di sini."Malam ini jadi nginap di rumah bapak dan kak Ambar, kan?" Azri keluar dari ruang kerjanya dengan earphone di lehernya. Tampak wajah lelah pria itu karena bekerja hampir semalaman."Iya. Aku sudah siapkan barang kita."Ayra masih sibuk masak untuk makan siang mereka. Dirinya menyempatkan diri masak dulu sebelum berangkat kerja.Tak lupa ia juga menyiapkan masakan untuk di bawa nanti malam. Sedikit cemilan buat bapaknya dan kak Ambar. Jadi tak
Jesika duduk menunduk di sebuah taman yang cukup sepi. Ia mengenakan masker wajah, dan kacamata menutupi wajahnya. Topi lebar juga ia kenakan agar tidak dikenali.Dengan memegang sebuah undangan pernikahan, senyum dua insan yang tampak berbahagia dalam undangan itu membuat hatinya perih.Kejadian saat dirinya melawan suami dan mertuanya berbuah bahkan sampai pembicaraan perceraian. Batin Jesika tak henti-hentinya merasa nyeri dengan hal yang menimpanya.Segala bentuk kebahagiaan yang Jesika bayangkan setelah menikah dengan Ari, hanya tinggal bayangan. Bahkan tak pernah ada kebahagiaan yang nyata untuknya.Sekarang, hidupnya hancur sehancur-hancurnya. Berita perselingkuhan Jesika dan atasannya di bongkar istri Jacob. Bahkan istri atasannya yang notabenenya adalah seorang model, menyewa infotement gosib untuk mempermalukannya.Wajahnya terpampang di portal-portal gosib sebagai pelakor yang sudah tidur dengan suaminya.T
Ayra tak menyangka Azri bisa menemukan nama teman-teman sekolahnya. Bahkan teman-teman dekat masa kuliahnya. Ibu kostnya dulu, bahkan sampai orang-orang yang pernah berkenalan dengannya sesama penganjar bimbel. Semua ada dalam daftar list tamu undangan. Segelas es susu coklat tersaji di hadapannya. Lalu Azri yang duduk di kursi dengan wajah lelah. "Ada lagi yang mau di masukan dalam list?" tanya Azri lalu menguap. Undangan belum di sebar karena Ayra mau memeriksa list undangannya dulu. "Sudah cukup kok." Azri mengangguk kecil. Ia menghubungi tim WO dengan handphonenya. Detail kecil seperti menyebar undangan pun Azri gunakan tim WO nya. Walau harus bayar lebih, tapi pekerjaan jadi lebih mudah. "Kamu mau tidur aja gak? Kayaknya ngantuk," kata Ayra. "Enggaklah. Aku mau nemenin kamu coba gaunnya." Mereka menunggu di sebuah tempat perancang busana pernikahan. Padahal sepertinya Azri butuh istirahat.
Azri berjalan dengan langkah lemas. Hampir semalaman ia tak tidur mencari Ayra yang pergi setelah kejadian gila tadi malam.Saat maghrib menjelang, Ayra menghubunginya jika akan pulang terlambat karena ada urusan di bimbelnya. Hingga isya, Ayra tak kunjung pulang membuatnya khawatir, tapi Azri mencoba berpikir positif dengan terus menyelesaikan pekerjaannya.Namun gedoran pintu membuat Azri seketika menghentikan pekerjaannya. Ia membuka layar monitor yang menunjukkan CCTV di pintu depan.Dirinya tentu kaget melihat Lisa yang menggedor pintu rumahnya. Dan yang lebih mengagetkan lagi, perempuan itu hanya mengenakan sarung untuk menutupi tubuhnya."Mas! Tolong buka pintunya!" teriakan bercampur tangisan itu membuatnya berjalan ke depan untuk tau apa yang terjadi pada Lisa.Sedetik setelah pintu terbuka, Lisa memeluk Azri erat."Tolong aku, Mas. Aku mau di bunuh." Lisa meraung sambil memeluk Azri erat."Di bunu
"Kak ambar baik-baik ajakan?"Ayra menghampiri Ambar yang terkulai lemas habis mual-mual."Kakak gak apa-apa, Ay. Cuma reaksi hamil ya gini. Suka muntah-muntah."Rasa cemas Ayra berkali lipat setelah kejadian ibunya. Ia takut Kak Ambar kenapa-napa, dan Azri akan sangat murka nantinya.Apalagi mengingat sudah berkali-kali kak Ambar keguguran."Aku udah gak apa-apa, Ay. Setelah melihat Azri sekarang bahagia, aku sudah berhasil melupakan masalalu yang sangat menyedihkan itu. Terlepas, meski kadang ingat, tapi aku tidak apa-apa. Dia juga sepertinya kuat di dalam sana."Ambar mengusap perutnya yang sudah mulai berbentuk."Syukurlah, Kak. Aku gak kebayang akan sesedih apa Azri dan bapak kalau sampai kakak kenapa-napa.""Gak, Ay. Kakak gak kenapa-napa."Ayra mengangguk, lalu menundukkan wajahnya dengan bibir tertutup. Raut wajahnya menimbulkan penasaran Ambar."Tapi muka kamu kenap
Mereka pergi ke dapur untuk bicara berdua. Namun baru saja Ayra duduk di kursi meja makan, Azri sudah memotong sebelum bibirnya mengucapkan apapun."Gak bisa Ay. Maaf. Aku gak bisa bagaimanapun bujuk rayumu."Bahkan belum Ayra bicara apa-apa. Azri sudah mengklaim keputusannya.Walau begitu, Ayra menangkap ekspresi tidak enak di wajah Azri."Jadi ibuku harus tetap pergikan?" tanya Ayra.Azri mendekatkan wajahnya, ia menghela nafas pelan."Maaf. Tapi aku gak mau Kak Ambar jadi sakit karena kejadian hari ini. Kau orang berharga dalam hidupku, Ay. Begitupun kak Ambar."Ia tau saat ini Azri sedang merasa sangat serba salah.Ayra mengangguk. "Kalau gitu, tolong siapkan tempat tinggal untuk ibu."Azri tercenung seolah tak menyangka itu yang keluar dari mulut Ayra.Ia pikir akan berdebat panjang karena persoalan ini."Ibu tidak pernah mencintai Bapak. Bahkan sampai saat ini. Ta
Ayra masuk ke kamar, dari ambang pintu dirinya menyaksikan sang ibu menangis."Bu. Ibu kenapa?" tanya Ayra.Ia duduk di pinggir ranjang tak jauh dari ibunya yang duduk di lantai sambil menangis."Ibu gak tau kenapa bisa sehancur ini, Ayra!" Di usap Ayra pelan punggung ibunya. "Udahlah, Bu. Gak usah di inget lagi. Ikhlasin aja.""Ibu udah kasih apapun yang ibu punya. Bahkan rasanya gak pernah sedetikpun ibu gak mencintai dia. Tapi dia tetap meninggalkan ibu."Rupanya kesedihan ibunya berupa pada bapak tirinya yang sampai di sini Ayra tau telah pergi dengan perempuan lain."Kenapa ibu bisa menikah dengan dia?" tanya Ayra.Sang ibu tampak menoleh pada Ayra. Untuk beberapa saat terdiam."Ibu memcintainya, Ayra. Ini adalah cinta pertama dan terakhir."Sungguh sulit keluar dari mulut Ayra. Tapi, dirinya hanya ingin apa yang orang-orang katakan padanya selama ini tidak benar.
Bahan di dapur habis, opsi termudah untuk membuat makan siang hari ini hanya dengan pergi ketukang sayur yang biasanya di gerumbuni oleh emak-emak yang nyambi beli sayur sambil ngomongin orang.Ia ingat sekali ibu-ibu itu tampaknya golongan yang tidak mengerti teknologi bahkan tidak paham yang namanya kurir."Kemarin saya liat anak Pak Ridwan di kasih cowok barang.""Anak pak Ridwan si bunga itu?""Iya. Katanya itu barang dari jakarta. Sering banget saya liat cowoknya ke rumah nganter-nganterin barang gitu. Mana pake bajunya selalu sama. Merah gitu. Heran sama anak zaman sekarang."Di jelasin juga gak mau tau apa itu kurir dan kerjaannya emang gitu nganter-nganter barang.Ayra sejujurnya malas sekali ke sana. Tapi masa iya dirinya lagi-lagi tidak masak hanya karena tidak mau mendengarkan omongan orang lain.Lagi pula Bu Retno tak akan ada di tukang sayur. Ada bagusnya juga lumpuhnya bu Retno. Ngurang-nguran