"Sudah jam segini, kok rombongan mempelai laki-laki tidak datang?"
Sudah lima jam menunggu dari waktu yang telah di sepakati. Hari lamaran Ayra sedang dalam keadaan sangat tegang lantaran terlalu lama menunggu."Sudah bisa telpon calon suamimu belum, Ay?" tanya Bu Riri, Ibu dari Ayra.Ayra menggeleng setelah kesekian kalinya panggilannya tak sampai pada lelaki yang ia tunggu kedatangannya. Reza, lelaki yang punya niat baik ingin melamarnya hari ini tak kunjung ada kabar."Gimana sih?! Make up udah luntur gini gak dateng-dateng. Janjinya jam 1 siang mau lamaran. Ini udah sore banget gak dateng-dateng," keluh salah satu keluarga.Ayra memilih masuk ke kamar untuk menenangkan diri.Ibunya mengikuti Ayra."Kita harus gimana, Ay? Ibu udah mulai malu sama tetangga dan para tamu. Calon suami kamu itu gimana sih!" Bu Riri nampak cemas.Sungguh Ayra juga tidak tau bagaimana. Ia bahkan tidak tau keadaan Reza, apalagi alasannya kenapa tidak datang juga.Berbagai macam kemungkinan berputar di kepalanya.Apakah kini lelaki yang sudah berhubungan dengannya selama 5 tahun itu sedang baik-baik saja? Atau mungkin ada hal buruk yang menimpanya.Rasa takut semakin membalut hatinya."Kayak gak niat banget sih calon suaminya kakak itu!" Alia adik tirinya menghampiri dengan wajah kesal.Ayra sebisa mungkin tidak mempedulikan mereka. Berfikir sepositif mungkin seperti sejak 5 jam lalu."Jangan tekan putriku." Bapak kandungnya tiba-tiba datang.Bapak Rahman berdiri di ambang pintu. Ia berjalan menghampiri Ayra yang duduk dengan wajah cemasnya."Kalian berdua bisa keluar. Suamimu mencarimu sejak tadi."Dengan dengusan, Ibu dan adik tirinya keluar.Seperti yang Bapaknya bilang, suami Ibu mencari. Tentu suami ibunya itu tidak suka kalau Bapaknya berada di rumah ini. Padahal hanya sekedar menjadi wali untuk menerima lamaran pria yang akan mempersunting putrinya."Perlu Bapak minta Azri ke rumah calon suamimu? Biar kita tau mereka kenapa tidak datang juga."Azri orang yang selalu menjadi andalan bapaknya. Tentunya dia akan siap sedia melalukan apapun permintaan bapaknya.Ayra tampak ragu. Ia menatap Bapaknya dengan wajah antara setuju atau tidak."Mobil calon suamimu datang tuh."Alia memberitahu di ambang pintu. Seketika nafas Ayra jadi plong. Ia dapat tersenyum setelah beberapa jam di balut rasa takut."Mari ke depan," ajak Bapaknya. Walau tampak di wajah Bapaknya seperti kecewa karena ini sudah sangat terlambat.Tapi kelihatannya bapaknya akan bersabar mengingat lelaki yang datang itu adalah pilihan putri kesayanganya.Ayra mengangguk. Ia dan Bapaknya keluar.Di ruang tamu, seserahan tampak memenuhi sebagian tempat di lantai itu barang-barang bawaan mempelai pria.Namun, di mana mempelai pria?"Mohon maaf. Kami ingin bicara baik-baik dulu."Dua pria yang mengantarkan seserahan itu tampak aneh."Silahkan."Bapak menggenggam tangan Ayra putrinya dengan erat lalu menyuruhnya duduk tepat di sampingnya."Ada apa ini?" tanya Bapak dengan tegas."Sebelumnya, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Dari pihak keluarga besar, kami sudah memutuskan hal yang tidak terduga. Saya sebagai paman dari Reza, hanya bisa menyampaikan ini sebagai amanah dari keluarga mereka.""Langsung ke intinya saja!" tegas Bapak.Ayra menatap Bapaknya sekilas dengan perasaan tidak karuan.'Ya allah. Ada apa ini? Kenapa sepertinya keadaannya tidak normal,' batinnya."Keluarga besar kami, memutuskan tidak jadi melamar Ayra."Setidaknya ada sekitar 10 detik dunia serasa berhenti. Entah kupingnya bermasalah, atau memang orang di ruang tamu tiba-tiba jadi hening.Ayra bahkan merasa tubuhnya tak lagi duduk di lantai. Serasa mengawang di udara. Sebisa mungkin ia tetap sadar walau rasanya sudah hampir kehilangan pandangan.Brak!Riuh teriakan setelah salah satu dari dua orang itu terpental dengan wajah memar.Ayra baru sadar kalau orang-orang bersusah payah menahan agar bapaknya tidak menyerang yang satunya lagi."Sabar, Pak. Kami di sini hanya memberikan amanah seserahan ini. Kami meminta permohonan maaf pada Ayra dengan seserahan ini." Orang yang satunya itu berkata."Putriku tidak butuh seserahan hanya untuk permohonan maaf seperti itu! Beraninya kalian bersikap pengecut seperti ini! Aku merasa harga diri putriku di injak-injak!" teriakan Bapak Rahman menggelegar penuh amarah."Sabar, Pak."Ayra dengan air mata berlinang memeluk bapaknya yang seperti orang di rasuki setan saking marahnya."Ayo! Aku harus menemui laki-laki pengecut itu!"****Sesungguhnya Ayra tidak siap menemui Reza saat ini. Apalagi dalam kesadaran Reza membatalkan lamaran mereka seperti ini.Tapi paksaan bapaknya memang tidak bisa di bantah. Berisikan beberapa orang di dalam mobil, dirinya dan bapaknya, mereka menuju sebuah rumah seorang keluarga besar.Rumah ini di tujukan oleh salah satu dari mereka setelah bapak bicara sambil teriak-teriak pada keduanya.Ayra terpaku melihat halaman rumah yang di hias begitu indah. Sesak di dadanya kala mengingat rumah ini, membuat dirinya makin di landa pikiran buruk.Rumah ini, bukan rumah asing. Ia kenal betul bahkan pernah pergi berkali-kali ke rumah ini. Tentunya ini bukan kediaman Reza."Ayo!" ajak Bapaknya dengan wajah memerah padam.Orang-orang yang di sana menatap mereka keheranan. Lalu tanpa permisi Bapak berteriak nama Reza.Susah payah mereka menenangkan Bapak.Sampai Ayra melihat hal yang tidak pernah di duganya.Hal yang mencabik-cabik hati Ayra, tatkala dengan matanya, ia melihat Ari yang duduk mengucapkan ijab qabul, dan perempuan yang duduk di sebelahnya, Jesika sahabat sejak di bangku kuliah.Ayra hanya mampu terpaku. Melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana kenyataan serasa menghantam kesadaran. Calon suaminya membatalkan lamaran mereka, karena melangsungkan ijab qabul dengan sahabatnya."Br*ngs*k! Laki-laki kurang ajar! Kau permainkan putriku!""Sabar, Pak. Jangan lakukan kekerasan lagi." Azri bersusah payah menenangkan Bapak.Tubuh Ayra yang limbung, ditahan oleh seseorang. Ia melihat sekilas pada wajah istri bapaknya yang nampak risau.****"Maaf, Ay. Aku sudah 6 bulanan ini menjalin hubungan dengan Jesika. Ternyata, mama benar. Jesika jauh lebih baik. Itulah kenapa setelah aku pikir-pikir, lebih baik kita tidak menjalani ini."Semudah itu Reza mengungkapkannya. Seolah apa yang telah mereka jalani ini hanya sebuah hubungan singkat yang tidak ada artinya. 5 tahun yang mereka jalani hanya sampah semata."Lagian, Ayra. Keluarga kami gak bisa nerima kamu. Lulusan S1 tapi cuma jadi guru ngajar. Gajinya berapa sih?! Kalau Jesika dia sekertaris direktur. Saya jadi bangga kalau lagi ngumpul sama keluarga saya," jelas Bu Muthiya.Tatapan merendahkan bu Muthiya terpancar jelas menilai Ayra."Jangan berani anda menghina anak saya! Pendidikan dan pekerjaannya adalah hal mulia!" Bapak Rahman kembali naik pitam.Harusnya Ayra mengerti bicara baik-baik juga tidak akan membuat masalah ini selesai.Harusnya Ayra sadar, dirinya di ragukan sejak awal. Tapi ia pikir Reza akan membuktikan pada keluarga besarnya kalau mereka pantas bersanding bersama.Tapi nyatanya lelaki itu tidak cukup gentle. Mentalnya lebih b*nci dari yang Ayra pikirkan."Harusnya kalau memang kamu tidak berniat serius, tidak usah beri harapan," kata Ayra. "Sejak awal harusnya kamu bilang. Kalau kamu memang tidak bisa menerimaku, kenapa kamu malah bilang ingin melamarku?""Jangan salahin anakku! Dia gak salah. Kamu yang sejak awal minta di nikahinkan?" sambar Bu Muthiya dengan mata besarnya yang hampir melompat dari kelopak matanya."Salah saya minta begitu? Kami sudah berpacaran 5 tahun dan saya menanyakan kapan hubungan kami akan serius? Apa saya salah?!"Kenapa dalam situasi di mana dirinya di khianati, tapi nyatanya dirinya malah di tempatkan dalam posisi orang yang paling bersalah."Udahlah. Jangan banyak ngomong. Kami sudah kasih banyak seserahan. Terima saja. Kami sekeluarga sudah sepakat tidak bisa menerima kamu karena memperhitungkan level kamu yang jauh di bawah kami. Berhenti menyalahkan putraku." Bu Muthiya berbicara ngegas dengan raut wajah yang makin kesal."Enggak. Ayra gak salah. Aku dan Jesika yang salah." Reza menyahut tiba-tiba. "Kami tidak berani bicara pada kamu. Kami takut kamu sakit hati."Reza menggenggam jemari Jesika. Yang menambah remuk hati Ayra."Bener, Ay. Tapi untungnya Mama menyadarkan kami kalau kami tidak harus mengorbankan rasa cinta kami berdua hanya untuk menjaga perasaan kamu," sahut Jesika.Bapak berdiri. Seolah tak bisa lagi mendengarkan alasan-alasan mereka yang sudah mempermainkan putrinya."Kalian sudah menyakiti putriku, tapi berlakon seperti kalian berdua yang tersakiti! Sejak awal aku sudah melihat kau memang tidak pantas untuk putriku. Lihat saja, putriku akan mendapatkan suami yang jauh lebih baik darimu."Beliau menarik Ayra meninggalkan tempat itu."Ay, tunggu."Jesika menghentikan tangan Ayra."Aku harap kamu gak benci kami. Ini takdir, Ay. Tuhan menakdirkan kami bersama. Jadi aku harap kamu ikhlas. Jangan marah ya, Ay.""Ibu malu, Ayra. Gara-gara kamu batal nikah, satu keluarga kita jadi bahan omongan orang-orang!" Ibu mengeluh dengan dengusan kesalnya kala Ayra memasuki ruang makan."Iya nih. Lagian kakak tuh kenapa sih? Sampai bisa di serempet temen sendiri?" Alia menyahut.Ayra berusaha tak mempedulikan mereka. Ia memilih duduk tanpa banyak bicara. mengambil makanan "Contoh tuh, Ay. Alia dia gak sesusah kamu. Dia nikah sama laki-laki yang kerjanya di tambang batu bara. Gak ada tuh drama-drama kayak kamu gini." Ibunya berkata lagi."Memang anak gadisku pada dasarnya beruntung. Sekolahnya hanya sampai SMA, di lamar laki-laki mapan, dan hidup enak. Gak perlu tuh kayak anak kamu." Suami ibunya menyahut dengan nada bangga.Sungguh. Hal yang Ayra butuhkan saat ini hanya pengertian dari orang-orang terdekatnya. Setidaknya sedikit saja mereka mau mengerti. Hatinya saat ini begitu terluka. "Percuma aja kamu sampai kuliah S1. Jadi guru tapi malahan kalah sama adik kamu yang cuma sekolah sampai kelas 1 SMA
Ayra pergi ke kota. Dirinya berjalan tak tentu arah di terotoar. Pikirannya berkelana kemana-mana. Ia menyeret tubuh yang serasa lemas. Dengan kupluk jaket yang ia gunakan menutup kepalanya. Tangannya bersembunyi di balik saku jaket.Jangan tanya apa yang mau ia lakukan. Ayra juga tidak tau apa. Harapan dan angan akan segera menikah di pacahkan di waktu yang sangat menyakitkan.Bisa bernafas dan makan saja masih untung. Ia berjalan-jalan begini menyusuri malam di tengah kota yang ramai ini juga agar tidak gila. Setidaknya dingin angin malam sedikit banyak mengobati rasa sakit di hatinya.Tanpa Ayra sadari, ia berjalan kaki terlalu jauh dari keramaian. Ia sampai di taman kota yang lebih sepi dari jalanan tadi.Alih-alih ingin kembali ke keramaian, rasanya ia lebih tenang bila duduk di kursi taman ini sembari merasakan hembusan angin malam.Ia membuka handphone, jarinya iseng membuka sosial media. Yang pada akhirnya membuat Ayra menyesal.Jesikaa.Jes Akhirnya setelah beberapa bulan sal
"Kamu izin dulu aja kerjanya hari ini, Ay."Ayra yang sedang mempelajari bahan ajar untuk anak yang akan ia ajari hari ini, mengerut kening heran.Ia bekerja sebagai guru bimbel. Jadi tiap harinya bisa dapat dapat murid yang berbeda-beda. Tergantung jadwal dan pelajaran murid yang cocok dengan keahliannya."Gak bisa gitu, Bu. Aku harus banget kerja hari ini.""Alah. Kamu kerja kayak gitu berapa sih gajinya. Sebulan paling sejuta dua juta. Suaminya Alia mau datang hari ini sama temennya yang sama-sama kerja jadi supir di perusahaan tambang batu bara.""Terus apa masalahnya sama aku?""Ya ampun. Dia mau ngenalin temennya itu. Siapa tau kamu sama dia bisa kenal terus nikah. Lumayan, Ay. Biar kamu bisa hidup enak kayak Alia.""Apa sih, Bu!" Ayra sudah kepalang kesal. Tidak Bapak, tidak Ibu, sama-sama gak ngerti anaknya lagi patah hati. Ia maunya di support, di mengerti sama seluruh keluarganya biar bisa cepat move on dari masalah ini. Biar bisa hodup normal dan kembali ceria kayak dulu.
Bersikap ramah dan frandly saat pikiran kacau itu perlu bakat dan ketahanan mental yang kuat. Apalagi pada anak-anak TK yang baru belajar membaca.Banyak drama yang perlu di sikapi dengan hati yang lapang. Jujur membuat kepalanya berputar tujuh keliling. Harus tetap ramah dan tegas dalam satu waktu. Pun juga ia harus membuat suasana kelas nyaman tapi si murid harus belajar dengan baik tapi tak boleh tertekan.Tugas guru bimbel itu berat. Tapi gajinya kadang kalah dari gaji para PNS guru yang kerjanya kadang gak becus tapi gajinya besar.Ini gak mencakup semuanya ya. Cuma beberapa yang kadang udah tua tapi skillnya gak terupgrad. Biasanya nyalain LCD buat belajar di kelas aja rempong.Jangan bahas soal kalau ada acara. Para guru PNS lebih banyak diam dan melihat aja.Malah para guru honerer yang banyak di kembani tugas tapi gajinya, sama kayak relawan. Kerjaannya banyak, gak sesuai gajinya.Memang sih Ayra bukan guru honorer. Sejak lulus kuliah ia bekerja di bimbel. Jadi pengajar yang
Pagi hari. Saat semua orang baru saja bangun. Sebuah mobil datang yang tentunya orang rumah tau itu mobil bapak Rahman.Dengan Azri yang menyupirnya. Lelaki itu keluar bersama bapak Rahman.Membawa sebuah kotak hitam. Dari pakaian mereka, tampak lebih rapi.Bahkan Azri yang biasanya tidak penampilan seperti orang tidak pernah mandi saja kelihatan lebih baik sekarang ini."Ayra. Bapak dan Azri datang untuk membicarakan yang kemarin."Bapak kali ini tampak lebih serius. Bahkan tak peduli kalau mantan istrinya tak setuju sekalipun."Mau apa lagi sih kau bawa jongosmu? Aku bilang anakku tidak akan menjadi istri dari pengangguran satu itu!" Ibu Riri langsung membalas dengan kalimat telak."Dengar dulu, Bu. Saya harap di beri kesempatan untuk bicara. Setidaknya kasih kesempatan saya masuk."Ibu Riri mendengus sambil masuk.Daster dengan ketiak bolong yang sejak tadi malam di kenakan beliau menunjukkan kalau beliau baru bangun tidur.Sejujurnya sangat tidak relevan bertamu sepagi ini. Baru j
"Bapak baik-baik aja?"Azri panik di tambah istri bapak Rahman yang lebih panik lagi darinya.Napas tak teratur bapak Rahman seolah sedang sakaratul maut membuat istrunya seolah tidak siap untuk kehilangan. Sementara Azri yang sejak tadi di penuhi pikiran tentang Ayra yang batal menikah, ikutan panik hingga bingung harus bagaimana.Bapak tampak tidak baik-baik saja sejak kembali. Usai mengantar Ayra perkara lamaran yang kacau, mereka kembali pulang.Tentunya dengan perasaan marah dan kecewa pada orang yang telah mempermainkan Ayra.Tadi istri Bapak Rahman menggedor pintu rumahnya karena keadaan bapak Rahman yang tiba-tiba setengah sadar."Minum dulu, Pak." Azri membawa teh hangat dari dapur karena istri Bapak Rahman tampak tidak bisa bergerak melihat suaminya yang seperti orang sekarat.Konon katanya teh hangat obat segala penyakit.Tapi penyakit suka ngutang dan suka susah bayar tuh gak bisa di
"Maaf. Aku belum bersihkan rumah."Azri tampak tidak enak saat Ayra akan memasuki rumahnya. Rumah yang tidak bisa lagi di bilang berantakan. Ini sih lebih parah dari kandang kambing."Ya. Rumah bujangan," balas Ayra.Kalau Ayra sih juga bukan orang yang bersih. tapi kalau sekotor ini, apa bisa di bilang habis di huni manusia."Aku sibuk sekali beberapa waktu ini. Jadinya tidak sempat membersihkan rumah."Yang benar saja. "Sibuk apa?" tanya Ayra sambil memunguti sampah kulit bekas snack."Sibuk. . . ."Kurang ngenes apa hidup Ayra. Sudah di selingkuhi, di tikung sahabat sendiri, lalu harus menikah dengan Azri karena ibunya.Cuma perkara tidak jadi dapat uang 200 juta, ibunya sampai stroke. Ini lagi lebih parah. Baru menikah bukannya senang-senang malah harus bersih-bersih rumah."Sibuk apa?" tanya Ayra yang sejak tadi menunggu jawaban Azri.Menerima menikah dengan
Ayra memperhatikan gerak gerik Azri. Setelah sarapan, lelaki itu duduk di teras dengan dengan sebungkus rokok. Dari ruang tamu, ia melihat kepulan asap yang dihasilkan oleh batang-batang rokok itu.Ia mulai membayangkan hal yang kemungkinan terjadi sekarang.Tentang ibu tirinya dan Azri.Lelaki itu bahkan tidak bekerja. Dari mana dapat uang untuk beli rokok. Sudah pasti dari ibu tirinya itu bukan?Sejujurnya Ayra tidak merasa perlu mencurigai keduanya jikalau perasaan Bapaknya tidak dipertaruhkan.Bahkan Ayra tidak peduli kalau lelaki pengangguran yang berstatus suaminya ini mau selingkuh atau bagaimanapun. Tidak ada gunanya juga.Dari sekian banyak kemungkinan yang muncul di otaknya, Ayra yakin ibu tirinya sedang berusaha memoroti uang bapaknya. Bisa saja suatu hari nanti Azri dan ibu tirinya pergi membawa semua harta bapaknya.Dan sebelum itu terlambat, ia harus menyelamatkan harta bapaknya dan memastikan
"Ayra di dalam." Yang menunggunya ternyata bos dari istrinya. Baru saja ia menaiki lorong, Bu Adelia sudah menunggunya di depan kamar rawat.Azri segera masuk ke dalam."Dia masih belum sadar sampai sekarang," ucap Adelia saat Azri terpaku melihat istrinya terbaring di atas bangsal rumah sakit.Azri merengkuh tubuh Ayra tak kuasa menahan rasa yang bergejolak dalam dirinya melihat sang istri di sini. Atas alasan apa dan kejadian apa yang menimpa istrinya."Tenang. Dia baik-baik saja. Dokter bilang dia cuma kecapean. Tapi Doktar bilang ingin bertemu denganmu. Katanya ada yang mau di sampaikan.""Ayra kenapa? Dia. . . ." Suara Azri tercekat hendak menanyakan apa yang membuat istrinya sampai berakhir di rumah sakit."Handphone Ayra kehabisan batrai. Jadi kami tidak bisa langsung menghubungimu.""Apa yang terjadi dengan Ayra?""Ayra pingsan saat bersama Fandi. Dia menggunakan handphone adm
Sejak selesai acara resepsi beberapa bulan lalu, Azri dan Ayra memutuskan tinggal di apartement. Tidak lagi tinggal di kampung di rumah bapak Rahman.Apartement yang mereka tinggali pula, bukan tempat tinggal Azri yang dulu.Rupanya sebelum acara resepsi Azri membeli apartement baru dan menjual yang lama. Pokoknya Azri kali ini benar-benar mempersiapkan kehidupan mereka ke depannya dengan jauh lebih baik.Sudah hampir 5 bulanan lebih mereka tinggal di sini."Malam ini jadi nginap di rumah bapak dan kak Ambar, kan?" Azri keluar dari ruang kerjanya dengan earphone di lehernya. Tampak wajah lelah pria itu karena bekerja hampir semalaman."Iya. Aku sudah siapkan barang kita."Ayra masih sibuk masak untuk makan siang mereka. Dirinya menyempatkan diri masak dulu sebelum berangkat kerja.Tak lupa ia juga menyiapkan masakan untuk di bawa nanti malam. Sedikit cemilan buat bapaknya dan kak Ambar. Jadi tak
Jesika duduk menunduk di sebuah taman yang cukup sepi. Ia mengenakan masker wajah, dan kacamata menutupi wajahnya. Topi lebar juga ia kenakan agar tidak dikenali.Dengan memegang sebuah undangan pernikahan, senyum dua insan yang tampak berbahagia dalam undangan itu membuat hatinya perih.Kejadian saat dirinya melawan suami dan mertuanya berbuah bahkan sampai pembicaraan perceraian. Batin Jesika tak henti-hentinya merasa nyeri dengan hal yang menimpanya.Segala bentuk kebahagiaan yang Jesika bayangkan setelah menikah dengan Ari, hanya tinggal bayangan. Bahkan tak pernah ada kebahagiaan yang nyata untuknya.Sekarang, hidupnya hancur sehancur-hancurnya. Berita perselingkuhan Jesika dan atasannya di bongkar istri Jacob. Bahkan istri atasannya yang notabenenya adalah seorang model, menyewa infotement gosib untuk mempermalukannya.Wajahnya terpampang di portal-portal gosib sebagai pelakor yang sudah tidur dengan suaminya.T
Ayra tak menyangka Azri bisa menemukan nama teman-teman sekolahnya. Bahkan teman-teman dekat masa kuliahnya. Ibu kostnya dulu, bahkan sampai orang-orang yang pernah berkenalan dengannya sesama penganjar bimbel. Semua ada dalam daftar list tamu undangan. Segelas es susu coklat tersaji di hadapannya. Lalu Azri yang duduk di kursi dengan wajah lelah. "Ada lagi yang mau di masukan dalam list?" tanya Azri lalu menguap. Undangan belum di sebar karena Ayra mau memeriksa list undangannya dulu. "Sudah cukup kok." Azri mengangguk kecil. Ia menghubungi tim WO dengan handphonenya. Detail kecil seperti menyebar undangan pun Azri gunakan tim WO nya. Walau harus bayar lebih, tapi pekerjaan jadi lebih mudah. "Kamu mau tidur aja gak? Kayaknya ngantuk," kata Ayra. "Enggaklah. Aku mau nemenin kamu coba gaunnya." Mereka menunggu di sebuah tempat perancang busana pernikahan. Padahal sepertinya Azri butuh istirahat.
Azri berjalan dengan langkah lemas. Hampir semalaman ia tak tidur mencari Ayra yang pergi setelah kejadian gila tadi malam.Saat maghrib menjelang, Ayra menghubunginya jika akan pulang terlambat karena ada urusan di bimbelnya. Hingga isya, Ayra tak kunjung pulang membuatnya khawatir, tapi Azri mencoba berpikir positif dengan terus menyelesaikan pekerjaannya.Namun gedoran pintu membuat Azri seketika menghentikan pekerjaannya. Ia membuka layar monitor yang menunjukkan CCTV di pintu depan.Dirinya tentu kaget melihat Lisa yang menggedor pintu rumahnya. Dan yang lebih mengagetkan lagi, perempuan itu hanya mengenakan sarung untuk menutupi tubuhnya."Mas! Tolong buka pintunya!" teriakan bercampur tangisan itu membuatnya berjalan ke depan untuk tau apa yang terjadi pada Lisa.Sedetik setelah pintu terbuka, Lisa memeluk Azri erat."Tolong aku, Mas. Aku mau di bunuh." Lisa meraung sambil memeluk Azri erat."Di bunu
"Kak ambar baik-baik ajakan?"Ayra menghampiri Ambar yang terkulai lemas habis mual-mual."Kakak gak apa-apa, Ay. Cuma reaksi hamil ya gini. Suka muntah-muntah."Rasa cemas Ayra berkali lipat setelah kejadian ibunya. Ia takut Kak Ambar kenapa-napa, dan Azri akan sangat murka nantinya.Apalagi mengingat sudah berkali-kali kak Ambar keguguran."Aku udah gak apa-apa, Ay. Setelah melihat Azri sekarang bahagia, aku sudah berhasil melupakan masalalu yang sangat menyedihkan itu. Terlepas, meski kadang ingat, tapi aku tidak apa-apa. Dia juga sepertinya kuat di dalam sana."Ambar mengusap perutnya yang sudah mulai berbentuk."Syukurlah, Kak. Aku gak kebayang akan sesedih apa Azri dan bapak kalau sampai kakak kenapa-napa.""Gak, Ay. Kakak gak kenapa-napa."Ayra mengangguk, lalu menundukkan wajahnya dengan bibir tertutup. Raut wajahnya menimbulkan penasaran Ambar."Tapi muka kamu kenap
Mereka pergi ke dapur untuk bicara berdua. Namun baru saja Ayra duduk di kursi meja makan, Azri sudah memotong sebelum bibirnya mengucapkan apapun."Gak bisa Ay. Maaf. Aku gak bisa bagaimanapun bujuk rayumu."Bahkan belum Ayra bicara apa-apa. Azri sudah mengklaim keputusannya.Walau begitu, Ayra menangkap ekspresi tidak enak di wajah Azri."Jadi ibuku harus tetap pergikan?" tanya Ayra.Azri mendekatkan wajahnya, ia menghela nafas pelan."Maaf. Tapi aku gak mau Kak Ambar jadi sakit karena kejadian hari ini. Kau orang berharga dalam hidupku, Ay. Begitupun kak Ambar."Ia tau saat ini Azri sedang merasa sangat serba salah.Ayra mengangguk. "Kalau gitu, tolong siapkan tempat tinggal untuk ibu."Azri tercenung seolah tak menyangka itu yang keluar dari mulut Ayra.Ia pikir akan berdebat panjang karena persoalan ini."Ibu tidak pernah mencintai Bapak. Bahkan sampai saat ini. Ta
Ayra masuk ke kamar, dari ambang pintu dirinya menyaksikan sang ibu menangis."Bu. Ibu kenapa?" tanya Ayra.Ia duduk di pinggir ranjang tak jauh dari ibunya yang duduk di lantai sambil menangis."Ibu gak tau kenapa bisa sehancur ini, Ayra!" Di usap Ayra pelan punggung ibunya. "Udahlah, Bu. Gak usah di inget lagi. Ikhlasin aja.""Ibu udah kasih apapun yang ibu punya. Bahkan rasanya gak pernah sedetikpun ibu gak mencintai dia. Tapi dia tetap meninggalkan ibu."Rupanya kesedihan ibunya berupa pada bapak tirinya yang sampai di sini Ayra tau telah pergi dengan perempuan lain."Kenapa ibu bisa menikah dengan dia?" tanya Ayra.Sang ibu tampak menoleh pada Ayra. Untuk beberapa saat terdiam."Ibu memcintainya, Ayra. Ini adalah cinta pertama dan terakhir."Sungguh sulit keluar dari mulut Ayra. Tapi, dirinya hanya ingin apa yang orang-orang katakan padanya selama ini tidak benar.
Bahan di dapur habis, opsi termudah untuk membuat makan siang hari ini hanya dengan pergi ketukang sayur yang biasanya di gerumbuni oleh emak-emak yang nyambi beli sayur sambil ngomongin orang.Ia ingat sekali ibu-ibu itu tampaknya golongan yang tidak mengerti teknologi bahkan tidak paham yang namanya kurir."Kemarin saya liat anak Pak Ridwan di kasih cowok barang.""Anak pak Ridwan si bunga itu?""Iya. Katanya itu barang dari jakarta. Sering banget saya liat cowoknya ke rumah nganter-nganterin barang gitu. Mana pake bajunya selalu sama. Merah gitu. Heran sama anak zaman sekarang."Di jelasin juga gak mau tau apa itu kurir dan kerjaannya emang gitu nganter-nganter barang.Ayra sejujurnya malas sekali ke sana. Tapi masa iya dirinya lagi-lagi tidak masak hanya karena tidak mau mendengarkan omongan orang lain.Lagi pula Bu Retno tak akan ada di tukang sayur. Ada bagusnya juga lumpuhnya bu Retno. Ngurang-nguran