Bersikap ramah dan frandly saat pikiran kacau itu perlu bakat dan ketahanan mental yang kuat. Apalagi pada anak-anak TK yang baru belajar membaca.
Banyak drama yang perlu di sikapi dengan hati yang lapang.Jujur membuat kepalanya berputar tujuh keliling. Harus tetap ramah dan tegas dalam satu waktu. Pun juga ia harus membuat suasana kelas nyaman tapi si murid harus belajar dengan baik tapi tak boleh tertekan.Tugas guru bimbel itu berat. Tapi gajinya kadang kalah dari gaji para PNS guru yang kerjanya kadang gak becus tapi gajinya besar.Ini gak mencakup semuanya ya. Cuma beberapa yang kadang udah tua tapi skillnya gak terupgrad. Biasanya nyalain LCD buat belajar di kelas aja rempong.Jangan bahas soal kalau ada acara. Para guru PNS lebih banyak diam dan melihat aja.Malah para guru honerer yang banyak di kembani tugas tapi gajinya, sama kayak relawan. Kerjaannya banyak, gak sesuai gajinya.Memang sih Ayra bukan guru honorer. Sejak lulus kuliah ia bekerja di bimbel. Jadi pengajar yang gajinya perjam. Pendapatannya juga lebih besar dari honerer tapi bukan gaji buta karena tuntutan murid harus bisa paham dan mengerti. Terus bisa di salahkan kalau nilai si anak tidak memuaskan."Ngebakso dululah, Ay? Masa mau langsung pulang?"Sejujurnya Ayra mau ikut ngebakso. Tapi rasanya suasana hati seperti ini sangat tidak tepat. Gerah body dan gerah hati kalau kata iklan minuman.Nanti kalau di tanya kapan rencananya ia akan segera menikah, malah tambah repot menjelaskan.Apalagi teman-temannya tampak mencari celah menanyakan itu, lantaran dirinya sempat mengambil cuti lamaran."Kapan-kapan deh. Aku lagi banyak urusan."Pahamlah wahai kawan-kawan. Teman kalian yang satu ini sedang gundah gulana.Ayra berpamitan keluar gedung bimbel. Hari sudah menunjukkan pukul 7 malam. Bimbel bisa tutup sampai jam 10 an karena mencakup anak SMA yang mau tambah belajar.Tapi dirinya memang tidak pernah bisa bekerja sampai selarut itu. Makanya jadwal kerjanya hanya sampai isya paling lama.Pulang ke rumah juga sebenarnya bukan ide bagus. Nanti ketemu ibu dan Alia yang combo ingin menjodohkannya sama orang batu bara itu."Ay?"Seseorang memanggilnya di ujung jalan.Rasanya Ayra mau masuk lagi ke gedung bimbel saat sadar siapa yang memanggilnya. Lebih seram dari hantu.Azri.Rasanya lelaki itu bak gentayangan di sekelilingnya. Lebih sering muncul semenjak rencana Bapak mau menikahkan mereka."Kuantar pulang ya?""Gak usah. Aku bisa pulang pakai ojek online.""Ada aku. Gak usah pakai ojek. Yuk."Inginnya Ayra menolak. Ia tidak suka dengan perubahan sikap Azri. Padahal tidak semenyebalkan ini sebelum tragedi lamarannya kandas."Mau makan di pinggir jalan gak? tawar Azri."Ngapain makan di pinggir jalan?""Asik tau, Ay.""Belum gajian.""Nanti aku bayarin."Sok banget si pengangguran satu ini. Nanti kalau sudah mau bayar aja. Alasannya ketinggalan dompet."Terserahlah."Sejak awal pulang, Ayra memang sudah tak punya arah tujuan. Jadi terserah Azri mau membawanya kemana.Di bawa ke alam baka juga okelah.Makanan pinggir jalan yang Azri maksud ternyata steak pinggir jalan. Ya walaupun pinggir jalan tetap aja harganya gak murah. Maksudnya gak semurah seblak."Kamu seriusan mau makan di sini?""Seriuslah. Ayok."Sambil menunggu pesanan mereka jadi, Azri mengajaknya duduk lesehan di tempat yang di sediakan."Putus cinta emang sakit, Ay. Tapi jangan belarut-larut.""Thanks nasehatnya.""Sama-sama. Kamu juga harus banyak-banyak berhibur biar gak sedih lagi. Sama. . . . .""Sama apa?"Cih! Kenapa harus di tanya sih."Sama aku siap bawa kamu jalan-jalan kemana aja cari hiburan. Biar kamu cepet sembuh dari rasa sakit kamu."Itu barusan tadi gombalan?Standar banget gombalannya pengangguran.Ingin rasanya Ayra bertanya apa Azri pernah bekerja sebelumnya. Dan apa sih motivasi Azri merasa nyaman dengan status penganggurannya itu.Ponsel Azri berbunyi. Lelaki itu tampak memperhatikan benda yang membuat wajahnya menyala itu dengan teramat serius."Aku angkat telpon dulu ya," katanya pamit pergi.Ayra mengangguk kecil sambil mengaduk-aduk jusnya tanpa tenaga. Lemas seperti tidak makan dua bulan.Isi kepala Ayra serasa kosong. Tatapannya juga kosong sama seperti jiwanya setelah di terpa kenyataan. Sakit putus cinta gak kaleng-kaleng ternyata."Hai, Ay.""Hai."Sapaan yang Ayra balas tanpa menengok dulu."Sendiri aja?""Keliatannya kaya berjama'ah?"Ayra mendongak dengan enggan untuk melihat siapa yang barusan menyapa.Mata dan mulutnya terbuka melihat dua sosok yang berdiri di hadapannya. Dua binatang itu bernama Ari dan Jesika."Ngapain di sini?" tanyanya langsung tidak suka. Kesannya seperti kaget dan mau mencengkram keduanya dan membuang mereka ke got."Kita? Pacaran sehabis menikah. Kamu sendiri taukan kami gak sempat pacaran. Jadi pacarannya abis nikah aja." Jesika tersenyum teramat sangat lebar menunjukkan betapa bahagia mereka setelah berkhianat di belakang Ayra.Ayra sendiri menahan diri untuk tidak melirik pada Ari. Lelaki yang sudah terlampau b*ngs*t, br*ngs*k dan *nj*ng dalam satu waktu yang bersamaan.Mohon maaf karena banyak kata makian. Karena hati ini terbawa perasaan."Kamu gak marahkan, Ay?"Sungguh pertanyaan mulia.Enggak. Ayra tidak marah. Ia hanya sedang merasa tidak nyaman hingga hatinya panas. Lalu menyebabkan timbulnya gunung berapi pecah di kepalanya. Bergemuruh lalu mengeluarkan asap di hidung dan telinganya."Kalian mau apa lagi sih?" tanya Ayra lelah dengan dua binatang yang ada di hadapannya ini.Tidak cukupkah mereka berbahagia tanpa pamer padanya? Kalau memang merasa ini takdir dan menyingkirkan dirinya adalah kebenaran, ya sudah.Ayra juga tidak bisa berbuat apa-apa. Jika dirinya tak di inginkan, maka ia juga hanya bisa pasrah.Tapi, tidak bisakah menghargai dirinya sebagai orang yang saat ini tidak tau harus bagaimana membenahi hati?"Kenalin. Calon suami Ayra."Uluran tangan yang langsung di sodorkan tepat di depan wajah Jesika.Ayra menoleh pada orang pemilik tangan itu.Ya. Oke. Ayra paham ini sebenarnya Azri hanya ingin menyelamatkannya dari situasi ini. Cuma masalahnya langsung pada intinya dengan memperkenalkan diri bukan cara yang tepat."Kami akan menikah sebentar lagi."Mata Ayra melotot tajam pada Azri yang membalasnya dengan santai.Karena tak kunjung di jabat tangannya, ia mengarah pada Ari yang dari lirikan Ayra, tampak kaget.Ya memang dirinya juga kaget. Itu reaksi umum."Terima kasih sudah melepas Ayra. Aku jadi bisa membahagiakan Ayra. Selamat menjalani kehidupan kurang beruntung dengan menikahi perempuan di sampingmu itu."****"Aku sudah gantle belum, Ay?" teriak Azri di atas motor saat mereka sedang melaju di jalanan.Ayra tak membalasnya yang membuat motor itu berhenti di sebuah tempat yang menurut Ayra angker. Tidak ada orang di sini walau ada motor yang melintas."Kenapa singgah di sini?" keluh Ayra dengan wajah takut.Ia jadi teringat kemungkinan ada pak Poci atau Tante Kunti."Aku sudah gantle belum?" tanyanya yang sungguh pertanyaan tidak berarti dan buang-buang waktu.Lagipula tak harus singgah di tempat begini kalau mau tanya yang begitu!"Ck! Kamu tuh maunya apa sih?!""Aku cuma mau tanya. Aku kayak gitu tadi nyelamatin kamu. Udah gantle belum?"Sungguh pertanyaan tidak berguna, tidak penting hingga harus singgah di sarang mbak kunti begini.Ayra mengepalkan kedua tangannya sekuat tenaga. Hatinya yang membara kian bergemuruh. Percampuran rasa kesal, sakit, marah dan pasrah. Tanpa sadar ia terisak. Air matanya keluar sangat deras."Ay?"Azri turun dari motornya."Kamu kenapa sih?! Sama aja kayak semuanya! Kalian nyakitin aku! Kamu pikir kamu beda sama dua binatang itu?!" teriak Ayra melampiaskan kemarahannya."Yang tadi itu bintang?" tanya Azri."Aaagggghhhh. . . ."Ayra semakin di buat kesal. Tangisnya semakin kencang. Tangannya semakin kuat menggenggam demi meredakan keinginananya untuk kayang."Bisa gak sih?! Sekali aja kalian pahami aku! Aku sedang sangat sakit. Aku cuma butuh ruang buat sembuh. Aku cuma mau gak diganggu. Kalian semua sama aja. Gak mau paham kondisi aku!""Iya, Ay. Keluarkan saja."Ayra terdiam.Azri meraih kedua tangannya. Ia membantu melepas tangannya yang mengepal."Tangisi apa yang sakit di dada kamu. Aku siap mendengarkan."Ayra mematung walau air matanya masih keluar deras."Kamu butuh bahu untuk bersandar juga, Ay? Aku siap. Jangan ngerasa sendiri."Pagi hari. Saat semua orang baru saja bangun. Sebuah mobil datang yang tentunya orang rumah tau itu mobil bapak Rahman.Dengan Azri yang menyupirnya. Lelaki itu keluar bersama bapak Rahman.Membawa sebuah kotak hitam. Dari pakaian mereka, tampak lebih rapi.Bahkan Azri yang biasanya tidak penampilan seperti orang tidak pernah mandi saja kelihatan lebih baik sekarang ini."Ayra. Bapak dan Azri datang untuk membicarakan yang kemarin."Bapak kali ini tampak lebih serius. Bahkan tak peduli kalau mantan istrinya tak setuju sekalipun."Mau apa lagi sih kau bawa jongosmu? Aku bilang anakku tidak akan menjadi istri dari pengangguran satu itu!" Ibu Riri langsung membalas dengan kalimat telak."Dengar dulu, Bu. Saya harap di beri kesempatan untuk bicara. Setidaknya kasih kesempatan saya masuk."Ibu Riri mendengus sambil masuk.Daster dengan ketiak bolong yang sejak tadi malam di kenakan beliau menunjukkan kalau beliau baru bangun tidur.Sejujurnya sangat tidak relevan bertamu sepagi ini. Baru j
"Bapak baik-baik aja?"Azri panik di tambah istri bapak Rahman yang lebih panik lagi darinya.Napas tak teratur bapak Rahman seolah sedang sakaratul maut membuat istrunya seolah tidak siap untuk kehilangan. Sementara Azri yang sejak tadi di penuhi pikiran tentang Ayra yang batal menikah, ikutan panik hingga bingung harus bagaimana.Bapak tampak tidak baik-baik saja sejak kembali. Usai mengantar Ayra perkara lamaran yang kacau, mereka kembali pulang.Tentunya dengan perasaan marah dan kecewa pada orang yang telah mempermainkan Ayra.Tadi istri Bapak Rahman menggedor pintu rumahnya karena keadaan bapak Rahman yang tiba-tiba setengah sadar."Minum dulu, Pak." Azri membawa teh hangat dari dapur karena istri Bapak Rahman tampak tidak bisa bergerak melihat suaminya yang seperti orang sekarat.Konon katanya teh hangat obat segala penyakit.Tapi penyakit suka ngutang dan suka susah bayar tuh gak bisa di
"Maaf. Aku belum bersihkan rumah."Azri tampak tidak enak saat Ayra akan memasuki rumahnya. Rumah yang tidak bisa lagi di bilang berantakan. Ini sih lebih parah dari kandang kambing."Ya. Rumah bujangan," balas Ayra.Kalau Ayra sih juga bukan orang yang bersih. tapi kalau sekotor ini, apa bisa di bilang habis di huni manusia."Aku sibuk sekali beberapa waktu ini. Jadinya tidak sempat membersihkan rumah."Yang benar saja. "Sibuk apa?" tanya Ayra sambil memunguti sampah kulit bekas snack."Sibuk. . . ."Kurang ngenes apa hidup Ayra. Sudah di selingkuhi, di tikung sahabat sendiri, lalu harus menikah dengan Azri karena ibunya.Cuma perkara tidak jadi dapat uang 200 juta, ibunya sampai stroke. Ini lagi lebih parah. Baru menikah bukannya senang-senang malah harus bersih-bersih rumah."Sibuk apa?" tanya Ayra yang sejak tadi menunggu jawaban Azri.Menerima menikah dengan
Ayra memperhatikan gerak gerik Azri. Setelah sarapan, lelaki itu duduk di teras dengan dengan sebungkus rokok. Dari ruang tamu, ia melihat kepulan asap yang dihasilkan oleh batang-batang rokok itu.Ia mulai membayangkan hal yang kemungkinan terjadi sekarang.Tentang ibu tirinya dan Azri.Lelaki itu bahkan tidak bekerja. Dari mana dapat uang untuk beli rokok. Sudah pasti dari ibu tirinya itu bukan?Sejujurnya Ayra tidak merasa perlu mencurigai keduanya jikalau perasaan Bapaknya tidak dipertaruhkan.Bahkan Ayra tidak peduli kalau lelaki pengangguran yang berstatus suaminya ini mau selingkuh atau bagaimanapun. Tidak ada gunanya juga.Dari sekian banyak kemungkinan yang muncul di otaknya, Ayra yakin ibu tirinya sedang berusaha memoroti uang bapaknya. Bisa saja suatu hari nanti Azri dan ibu tirinya pergi membawa semua harta bapaknya.Dan sebelum itu terlambat, ia harus menyelamatkan harta bapaknya dan memastikan
Ayra menatap Azri dengan kilat kemarahan."Oh, jadi kalian mau nyewa rumah depan itu ya?" tanya Azri dengan senyum terpaksa.Sembari ia menatap tatapan Ayra yang menghunus dirinya.Kalau itu sudah di luar prediksi BMKG. Azri awalnya hanya mau Ayra tampak berkelas dan terhormat depan sahabat dan mantan calon suaminya."Semoga kita bisa jadi tetangga yang baik ya, Ay," ujar Jesika girang.'Semoga saja kalian ditemui mbak kunti penjaga rumah depan itu. Jadi kalian tidak betah dan pergi.' Ayra membatin.Mereka tinggal di tempat yang lumayan jauh dari kehidupan Ayra saja, ia sudah ngeri dengan ucapan Azri. Apalagi kalau sudah jadi tetangga. Apa gak kecium duluan bangkai rumah tangganya ini?Usai keduanya pergi, Ayra mematung di sofa. Pandangannya lurus dengan nafas yang tipis."Belum matikan, Ay?""Udah pulangkan mereka?""Iya. Udah di luar.""Udah jauh?"Az
"Udah semua barangnya, Nak?""Udah kayaknya, Ma."Ibu Muthiya, atau ibunya Ari ikut membantu pindahan anak menantunya."Posisi ruang tamunya jangan kayak gitu. Kayak gini dong biar kelihatan lebih bagus."Mungkin lebih tepatnya ikut mengatur."Kayaknya udah bagus deh gini, Ma," balas Jesika."Ck! Jangan gitu. Nanti kurang enak kalau ada tamu."Bu Muthiya tetap kuekeh ingin mengubah posisi sofa dan letak telivisi."Mas. Tapi aku maunya gitu," keluh Jesika."Ikutin aja apa kata mama, Jes. Jangan di bantah. Mama cuma mau kasih yang terbaik aja," balas Ari.Ia meninggalkan Jesika ke mamanya yang tampak kesulitan mengubah posisi sofa yang beliau inginkan.Sementara itu Jesika yang sejak tadi merasa semua yang di lakukannya pasti salah, hanya bisa menghela nafas lalu ikut seperti apa kata mertuanya."Kok kalian pindahnya ke sini sih. Kan lumayan jauh kalau dari rumah mama. Padahal mama udah kasih rekomendasi kalian tinggal di komplek dekat perumahan kita aja." Bu Muthiya mendumal.Rumah yan
Ayra mengiyakan ajakan Azri untuk pergi piknik hari ini. Hitung-hitung refreshing. Mereka tengah menyiapkan makanan dalam rantang.Rencananya pun pikniknya hanya di pinggir danau dekat-dekat sini. Biasanya hari minggu begini di sana banyak yang duduk-duduk santai sambil makan-makan sekeluarga."Buah udah, cemilan sama minumannya juga udah. Mau bawa apa lagi?" tanya Azri setelah memastikan bawaan mereka lengkap."Cukup deh, Mas. Gak usah banyak-banyak. Nanti repot bawanya."Azri tersenyum lebar mendengar panggilan Ayra pada dirinya yang sudah mulai istrinya itu terapkan sejak tadi lagi.Panggilan "Mas" yang membuat Azri merasakan kehangatan di hatinya."Ya sudah. Aku siapin motor dulu."Ayra mengangguk lalu berjalan ke kamar untuk memberekan dandanannya.Sementara Azri membawa tiker yang akan jadi alas duduk mereka.Tak lama setelah memanaskan motor, Ayra keluar membawa rantang makanan
Ayra sibuk menyiapkan sarapan pagi. Rutinitas pagi yang akan ia jalani mulai sekarang. Tak bisa Ayra pungkiri. Jiwanya lebih tenang sekarang. Setelah memilih akan berdamai dengan segala sakit hatinya. Kini menerima segalanya dengan ikhlas membuat dirinya merasa begitu bahagia."Pagi Ay.""Pagi. Sarapannya masih belum. . . ."Ayra tertegun melihat Azri. Pria itu tampak lebih segar, dan penampilannya lebih rapi dari biasanya. Walau tidak serapi orang mau kerja kantoran."Mas mau kemana?" tanya Ayra.Tak mungkin Azri berpakaian serapi ini tapi ingin di rumah sajakan?Terus tumben sekali Azri sudah bangun sepagi ini. Biasanya pria itu paling cepat bangun jam 8 pagi."Kerja," ujarnya sambil melepas tas ransel lalu menaruhnya di atas meja makan.Pria itu berjalan ke dekatnya yang sedang memasak nasi goreng."Maksudnya mau cari kerja?" tanya Ayra memastikan."Persis. Bi
"Ayra di dalam." Yang menunggunya ternyata bos dari istrinya. Baru saja ia menaiki lorong, Bu Adelia sudah menunggunya di depan kamar rawat.Azri segera masuk ke dalam."Dia masih belum sadar sampai sekarang," ucap Adelia saat Azri terpaku melihat istrinya terbaring di atas bangsal rumah sakit.Azri merengkuh tubuh Ayra tak kuasa menahan rasa yang bergejolak dalam dirinya melihat sang istri di sini. Atas alasan apa dan kejadian apa yang menimpa istrinya."Tenang. Dia baik-baik saja. Dokter bilang dia cuma kecapean. Tapi Doktar bilang ingin bertemu denganmu. Katanya ada yang mau di sampaikan.""Ayra kenapa? Dia. . . ." Suara Azri tercekat hendak menanyakan apa yang membuat istrinya sampai berakhir di rumah sakit."Handphone Ayra kehabisan batrai. Jadi kami tidak bisa langsung menghubungimu.""Apa yang terjadi dengan Ayra?""Ayra pingsan saat bersama Fandi. Dia menggunakan handphone adm
Sejak selesai acara resepsi beberapa bulan lalu, Azri dan Ayra memutuskan tinggal di apartement. Tidak lagi tinggal di kampung di rumah bapak Rahman.Apartement yang mereka tinggali pula, bukan tempat tinggal Azri yang dulu.Rupanya sebelum acara resepsi Azri membeli apartement baru dan menjual yang lama. Pokoknya Azri kali ini benar-benar mempersiapkan kehidupan mereka ke depannya dengan jauh lebih baik.Sudah hampir 5 bulanan lebih mereka tinggal di sini."Malam ini jadi nginap di rumah bapak dan kak Ambar, kan?" Azri keluar dari ruang kerjanya dengan earphone di lehernya. Tampak wajah lelah pria itu karena bekerja hampir semalaman."Iya. Aku sudah siapkan barang kita."Ayra masih sibuk masak untuk makan siang mereka. Dirinya menyempatkan diri masak dulu sebelum berangkat kerja.Tak lupa ia juga menyiapkan masakan untuk di bawa nanti malam. Sedikit cemilan buat bapaknya dan kak Ambar. Jadi tak
Jesika duduk menunduk di sebuah taman yang cukup sepi. Ia mengenakan masker wajah, dan kacamata menutupi wajahnya. Topi lebar juga ia kenakan agar tidak dikenali.Dengan memegang sebuah undangan pernikahan, senyum dua insan yang tampak berbahagia dalam undangan itu membuat hatinya perih.Kejadian saat dirinya melawan suami dan mertuanya berbuah bahkan sampai pembicaraan perceraian. Batin Jesika tak henti-hentinya merasa nyeri dengan hal yang menimpanya.Segala bentuk kebahagiaan yang Jesika bayangkan setelah menikah dengan Ari, hanya tinggal bayangan. Bahkan tak pernah ada kebahagiaan yang nyata untuknya.Sekarang, hidupnya hancur sehancur-hancurnya. Berita perselingkuhan Jesika dan atasannya di bongkar istri Jacob. Bahkan istri atasannya yang notabenenya adalah seorang model, menyewa infotement gosib untuk mempermalukannya.Wajahnya terpampang di portal-portal gosib sebagai pelakor yang sudah tidur dengan suaminya.T
Ayra tak menyangka Azri bisa menemukan nama teman-teman sekolahnya. Bahkan teman-teman dekat masa kuliahnya. Ibu kostnya dulu, bahkan sampai orang-orang yang pernah berkenalan dengannya sesama penganjar bimbel. Semua ada dalam daftar list tamu undangan. Segelas es susu coklat tersaji di hadapannya. Lalu Azri yang duduk di kursi dengan wajah lelah. "Ada lagi yang mau di masukan dalam list?" tanya Azri lalu menguap. Undangan belum di sebar karena Ayra mau memeriksa list undangannya dulu. "Sudah cukup kok." Azri mengangguk kecil. Ia menghubungi tim WO dengan handphonenya. Detail kecil seperti menyebar undangan pun Azri gunakan tim WO nya. Walau harus bayar lebih, tapi pekerjaan jadi lebih mudah. "Kamu mau tidur aja gak? Kayaknya ngantuk," kata Ayra. "Enggaklah. Aku mau nemenin kamu coba gaunnya." Mereka menunggu di sebuah tempat perancang busana pernikahan. Padahal sepertinya Azri butuh istirahat.
Azri berjalan dengan langkah lemas. Hampir semalaman ia tak tidur mencari Ayra yang pergi setelah kejadian gila tadi malam.Saat maghrib menjelang, Ayra menghubunginya jika akan pulang terlambat karena ada urusan di bimbelnya. Hingga isya, Ayra tak kunjung pulang membuatnya khawatir, tapi Azri mencoba berpikir positif dengan terus menyelesaikan pekerjaannya.Namun gedoran pintu membuat Azri seketika menghentikan pekerjaannya. Ia membuka layar monitor yang menunjukkan CCTV di pintu depan.Dirinya tentu kaget melihat Lisa yang menggedor pintu rumahnya. Dan yang lebih mengagetkan lagi, perempuan itu hanya mengenakan sarung untuk menutupi tubuhnya."Mas! Tolong buka pintunya!" teriakan bercampur tangisan itu membuatnya berjalan ke depan untuk tau apa yang terjadi pada Lisa.Sedetik setelah pintu terbuka, Lisa memeluk Azri erat."Tolong aku, Mas. Aku mau di bunuh." Lisa meraung sambil memeluk Azri erat."Di bunu
"Kak ambar baik-baik ajakan?"Ayra menghampiri Ambar yang terkulai lemas habis mual-mual."Kakak gak apa-apa, Ay. Cuma reaksi hamil ya gini. Suka muntah-muntah."Rasa cemas Ayra berkali lipat setelah kejadian ibunya. Ia takut Kak Ambar kenapa-napa, dan Azri akan sangat murka nantinya.Apalagi mengingat sudah berkali-kali kak Ambar keguguran."Aku udah gak apa-apa, Ay. Setelah melihat Azri sekarang bahagia, aku sudah berhasil melupakan masalalu yang sangat menyedihkan itu. Terlepas, meski kadang ingat, tapi aku tidak apa-apa. Dia juga sepertinya kuat di dalam sana."Ambar mengusap perutnya yang sudah mulai berbentuk."Syukurlah, Kak. Aku gak kebayang akan sesedih apa Azri dan bapak kalau sampai kakak kenapa-napa.""Gak, Ay. Kakak gak kenapa-napa."Ayra mengangguk, lalu menundukkan wajahnya dengan bibir tertutup. Raut wajahnya menimbulkan penasaran Ambar."Tapi muka kamu kenap
Mereka pergi ke dapur untuk bicara berdua. Namun baru saja Ayra duduk di kursi meja makan, Azri sudah memotong sebelum bibirnya mengucapkan apapun."Gak bisa Ay. Maaf. Aku gak bisa bagaimanapun bujuk rayumu."Bahkan belum Ayra bicara apa-apa. Azri sudah mengklaim keputusannya.Walau begitu, Ayra menangkap ekspresi tidak enak di wajah Azri."Jadi ibuku harus tetap pergikan?" tanya Ayra.Azri mendekatkan wajahnya, ia menghela nafas pelan."Maaf. Tapi aku gak mau Kak Ambar jadi sakit karena kejadian hari ini. Kau orang berharga dalam hidupku, Ay. Begitupun kak Ambar."Ia tau saat ini Azri sedang merasa sangat serba salah.Ayra mengangguk. "Kalau gitu, tolong siapkan tempat tinggal untuk ibu."Azri tercenung seolah tak menyangka itu yang keluar dari mulut Ayra.Ia pikir akan berdebat panjang karena persoalan ini."Ibu tidak pernah mencintai Bapak. Bahkan sampai saat ini. Ta
Ayra masuk ke kamar, dari ambang pintu dirinya menyaksikan sang ibu menangis."Bu. Ibu kenapa?" tanya Ayra.Ia duduk di pinggir ranjang tak jauh dari ibunya yang duduk di lantai sambil menangis."Ibu gak tau kenapa bisa sehancur ini, Ayra!" Di usap Ayra pelan punggung ibunya. "Udahlah, Bu. Gak usah di inget lagi. Ikhlasin aja.""Ibu udah kasih apapun yang ibu punya. Bahkan rasanya gak pernah sedetikpun ibu gak mencintai dia. Tapi dia tetap meninggalkan ibu."Rupanya kesedihan ibunya berupa pada bapak tirinya yang sampai di sini Ayra tau telah pergi dengan perempuan lain."Kenapa ibu bisa menikah dengan dia?" tanya Ayra.Sang ibu tampak menoleh pada Ayra. Untuk beberapa saat terdiam."Ibu memcintainya, Ayra. Ini adalah cinta pertama dan terakhir."Sungguh sulit keluar dari mulut Ayra. Tapi, dirinya hanya ingin apa yang orang-orang katakan padanya selama ini tidak benar.
Bahan di dapur habis, opsi termudah untuk membuat makan siang hari ini hanya dengan pergi ketukang sayur yang biasanya di gerumbuni oleh emak-emak yang nyambi beli sayur sambil ngomongin orang.Ia ingat sekali ibu-ibu itu tampaknya golongan yang tidak mengerti teknologi bahkan tidak paham yang namanya kurir."Kemarin saya liat anak Pak Ridwan di kasih cowok barang.""Anak pak Ridwan si bunga itu?""Iya. Katanya itu barang dari jakarta. Sering banget saya liat cowoknya ke rumah nganter-nganterin barang gitu. Mana pake bajunya selalu sama. Merah gitu. Heran sama anak zaman sekarang."Di jelasin juga gak mau tau apa itu kurir dan kerjaannya emang gitu nganter-nganter barang.Ayra sejujurnya malas sekali ke sana. Tapi masa iya dirinya lagi-lagi tidak masak hanya karena tidak mau mendengarkan omongan orang lain.Lagi pula Bu Retno tak akan ada di tukang sayur. Ada bagusnya juga lumpuhnya bu Retno. Ngurang-nguran