Aku meneteskan air mata mendengar pengakuannya. Teringat memori silam yang mana aku telah salah paham padanya, bahwa kepergiannya ke tempat yang jauh adalah untuk meninggalkan diriku. Namun, Bagas malah telah berniat untuk membuatku bangga dan bisa menerima cintanya. Maafkan aku, Gas. Andai saat itu kamu mau bersabar sedikit, pasti saat ini hubungan kita sudah menjadi suami istri. Akan tetapi semua sudah terjadi, mungkin sudah garis hidupku menikah dengan Andre yang pengkhianat sebagai karma telah melukai hatimu. Terdengar langkah kaki Bagas menjauh dari pintu. Sepertinya dia sudah pulang, mungkin dia merasa aku tidak mau mendengarkan, padahal di balik pintu aku menguping curahan hatinya. "Ratih, tadi ibu mendengar suara Bagas. Kenapa nggak disuruh masuk?" tanya ibu yang keheranan. Gegas mengusap air mata agar ibu tak tau aku sedang menangis karena aku berdiri menghadap pintu. Membalik badan sambil mengangkat tas aku tersenyum pada ibu. "Oh, Bagas udah pulang Bu! Katanya cuma mam
Ibu menerima dengan senyum mengembang, aku yang melihatnya jadi penasaran kapan ibu menitipkan barang itu pada Bagas. Kok aku tidak tau atau bisa jadi saat itu aku tak ada di dekat ibu. Ah, sudahlah. Lebih baik aku sibukkan dengan urusan bunga ini, telingaku menangkap suara ibu meminta Bagas masuk dan minum teh. Namun, Bagas menolak halus karena ingin pergi lagi ke rumah sakit. "Ratih, aku pamit dulu ya! Mau kerja," ucap Bagas mengagetkan. Aku menoleh dan mengangguk, kemudian kembali melanjutkan kesibukanku. Tanpa menghiraukan kepergian Bagas yang mungkin heran dengan sikapku masih enggan untuk akrab dengannya. Memang kusengaja bersikap demikian, agar tak memberi harapan terus padanya. Aku juga tak ingin pendirian goyah, untuk sementara aku memang ingin sendiri dulu. Setelah terdengar deru suara mobilnya menjauh, bergegas aku masuk ke dalam rumah. Mendekati ibu yang masih membuka bungkusan barang yang dibawa Bagas tadi. Ibu tersenyum lebar. "Ibu nitip apa sih, sama Bagas?" tany
"Untuk acara apa dan di mana?" tanya karyawan dengan ramah. "Acara di restoran mewah yang dihadiri para konglomerat," jawabku sambil menelisik satu persatu gaun yang ditunjuk. "Oh, kalo begitu ikut saya Bu. Bagian sana bagus dan cocok untuk acara yang ibu maksud," kata karyawan butik berjalan ke dalam, aku pun mengekor di belakang. Sampai di dalam aku terperangah, betapa indah gaun yang dipajang. Pasti budget mencapai jutaan, tapi tak masalah toh baru kali ini aku membeli, lagipula bisa kupakai untuk lain waktu. "Nah, bagian ini semua cocok tapi terserah ibu mau pilih model yang mana," ucap karyawan itu tersenyum. Aku ragu mau pilih yang mana, karena semua gaun indah. Ada gaun terusan panjang dan ada yang selutut juga berbagai warna. Mataku terpaku saat menatap satu gaun, aku coba mengambil dari pajangan. Sebuah gaun berwarna hitam yang elegan, panjang gaun hingga sebetis membentuk bodi dengan hiasan ikat pinggang yang unik. "Wah, ternyata pilihan ibu cermat. Gaun ini sangat ind
Mata Andre tak berkedip melihatku. Ya, begitu aku keluar dari kamar ganti dan sudah mengenakan gaun yang akan kupesan. Sengaja aku tidak peduli tatapan Andre dan meminta pendapat karyawan. "Bagaimana, cantik nggak?" tanyaku. "Wah, ibu cantik seperti princess," puji karyawan itu terkekeh. Aku tersenyum mendengar jawabannya. Lalu memutar-mutar tubuhku untuk membuat Lisa iri. Sepintas kulihat Lisa menatap sinis dan bibirnya mencibir. "Baru segitu aja udah belagu, memangnya cuma dia yang bisa beli, cih!" desis Lisa meludah. "Mbak jangan salah ya, gini-gini gaun ini harganya 10 juta loh! Saya tantang mbak beli sekarang juga," ujar karyawan butik mencemooh Lisa. Lisa terbengong mendengar perkataan karyawan itu, merasa dihina Lisa lalu kembali merayu Andre agar dibelikan gaun. Dan mengambil sebuah gaun secara acak tanpa memperhatikan modelnya. Mungkin ingin menunjukkan pada karyawan itu kalo Lisa mampu membelinya. "Mas, aku mau gaun ini. Bayari dong!" "Nggak, gaun itu mahal! Mas ngga
"Ah, masa' sih! Ntar ditertawakan mereka gimana?" "Nggak mungkin lah, Bu. Mereka juga pasti tak percaya kalo ibu udah menikah, lah wong nampak masih muda," kekeh Nova geli. Aku memukul tangan Nova pelan karena gemas. Setelah dekat, aku sengaja berhenti agak jauh agar terkesan sopan. "Maaf, Pak Gunawan. Ini bos saya pemilik restoran ini," sapa Nova pada pria berjas di depan kami. Pria yang disebut Nova berbalik badan dan saat kami saling pandang, aku terkejut. Inikah yang namanya Gunawan Prakoso itu, masih muda. Tinggi, putih, dan terakhir tampan. Ah, kok aku jadi melantur gini. Kukira Gunawan itu sudah tua orangnya, tak disangka ternyata masih muda. Entah sudah menikah atau belum, kalo belum pasti ada kesempatan. Lah, kok aku jadi terus mikir yang tidak-tidak gini. Sadar Ratih, jangan bikin malu. Kamu harus jual mahal agar tidak direndahkan, gumamku dalam hati. Gunawan Prakoso itu menyodorkan tangannya. Nova menjawil tanganku karena aku cuma bengong. "Bu!" Aku tersentak dan sa
Tiba-tiba, dari arah belakang ada suara wanita memanggil lembut Gunawan. Orang-orang memberikan jalan hingga wanita itu sampai di hadapannya. Aku yang melihatnya segera mundur ke belakang tanpa diketahui Gunawan. Tentu saja tidak ingin merusak momen itu, siapa tau wanita itu pacarnya Gunawan jadi tidak sopan jika aku terus berada disampingnya. "Selamat ulang tahun ya, sayang!" Aku yang sudah berjalan ke belakang sedikit mendengar suara wanita itu, hingga saat Mas Gun menjawabnya membuatku terkejut. "Ibu? Kenapa bisa kemari?" Ibu? Jadi wanita itu ibunya Mas Gun, ah sial aku salah sangka. Kupikir itu pacarnya tapi ternyata ... Ah, sudahlah aku terlanjur pergi dari situ. Lagian aku pasti malu jika terus berada di samping Mas Gun. Bisa-bisa ibunya mengira kami pacaran, akhirnya aku lega juga ada baiknya aku cepat menyingkir. Langkahku berhenti saat dari belakang terdengar suara memanggil. "Ratih!" Aku menoleh dan terkejut begitu tau siapa dia. Ah, kenapa harus bertemu dia lagi. Ka
"Kalo gitu, kami permisi dulu! Oh ya, Mutiara bolehkah ikut denganku? Ada yang mau aku kenalkan padamu," kata Mas Gun meminta persetujuan. "Maaf, Pak Gunawan. Kalo boleh tau dia siapanya Pak Gun?" tanya Pak Hardi ingin tau, soalnya tadi dia belum mendapatkan jawaban. "Oh, Mutiara ini adalah pemilik restoran ini. Saya booking restorannya untuk acara ulang tahun saya inilah. Jadi, sesuai janji saya akan mengenalkan pada kolega saya," jawab Mas Gun sambil menoleh padaku. Pak Hardi manggut-manggut, sedangkan Andre tercengang saat disebut pemilik restoran adalah aku. Aku hanya tersenyum geli melihat ekspresi wajahnya yang entah gimana itu. Lagaknya tadi dia menggertak akan melapor pada bos restoran tapi kini dia tau siapa sesungguhnya bos itu. Aku mengangguk dan setelah mereka saling bersalaman, kami berpencar. Kulihat Andre masih berdiri mematung, terus melihatku. Rasain kamu Andre, aku tau kamu pasti menyesal sudah menceraikanku. Apalagi jika Mamanya dan mbak Rina tau, mereka pasti k
Menelan saliva, bingung mau menjawab apa. Kenapa Bu Laras menanyakan perihal yang sukar kujawab. Apakah aku harus jujur atau berbohong? "Bagaimana, apa kamu udah menikah?" tanya Bu Laras kembali saat melihatku hanya diam. Guratan kecewa mulai nampak di wajahnya, tapi sebagai ibu beliau bisa berbesar hati bila kali ini belum juga waktunya menemukan jodoh buat anaknya. "Bu, maaf ya! Bukan Mutiara nggak mau jawab tapi Mutiara malu Bu! Semua pasti mengira saya ini masih gadis," jawabku gugup . "Kenapa? Kamu udah menikah?" Aku mengangguk, terlihat Bu Laras menghela nafas dan saat pandanganku tertuju pada Mas Gun, dia hanya tertunduk lesu. Aku tidak mengerti mengapa mereka jadi sedih. Apakah aku salah mengatakannya? "Ya udah kalo kamu udah menikah, nggak apa-apa kok. Belum rezeki Gunawan untuk melamarmu," ucap Bu Laras sendu. "Tunggu! Mas Gun mau melamar saya, Bu? Apa nggak salah? Bukankah kami baru kenal," cerocosku memberondong pertanyaan. "Nggak, Gunawan memang berniat melamarmu