"Untuk acara apa dan di mana?" tanya karyawan dengan ramah. "Acara di restoran mewah yang dihadiri para konglomerat," jawabku sambil menelisik satu persatu gaun yang ditunjuk. "Oh, kalo begitu ikut saya Bu. Bagian sana bagus dan cocok untuk acara yang ibu maksud," kata karyawan butik berjalan ke dalam, aku pun mengekor di belakang. Sampai di dalam aku terperangah, betapa indah gaun yang dipajang. Pasti budget mencapai jutaan, tapi tak masalah toh baru kali ini aku membeli, lagipula bisa kupakai untuk lain waktu. "Nah, bagian ini semua cocok tapi terserah ibu mau pilih model yang mana," ucap karyawan itu tersenyum. Aku ragu mau pilih yang mana, karena semua gaun indah. Ada gaun terusan panjang dan ada yang selutut juga berbagai warna. Mataku terpaku saat menatap satu gaun, aku coba mengambil dari pajangan. Sebuah gaun berwarna hitam yang elegan, panjang gaun hingga sebetis membentuk bodi dengan hiasan ikat pinggang yang unik. "Wah, ternyata pilihan ibu cermat. Gaun ini sangat ind
Mata Andre tak berkedip melihatku. Ya, begitu aku keluar dari kamar ganti dan sudah mengenakan gaun yang akan kupesan. Sengaja aku tidak peduli tatapan Andre dan meminta pendapat karyawan. "Bagaimana, cantik nggak?" tanyaku. "Wah, ibu cantik seperti princess," puji karyawan itu terkekeh. Aku tersenyum mendengar jawabannya. Lalu memutar-mutar tubuhku untuk membuat Lisa iri. Sepintas kulihat Lisa menatap sinis dan bibirnya mencibir. "Baru segitu aja udah belagu, memangnya cuma dia yang bisa beli, cih!" desis Lisa meludah. "Mbak jangan salah ya, gini-gini gaun ini harganya 10 juta loh! Saya tantang mbak beli sekarang juga," ujar karyawan butik mencemooh Lisa. Lisa terbengong mendengar perkataan karyawan itu, merasa dihina Lisa lalu kembali merayu Andre agar dibelikan gaun. Dan mengambil sebuah gaun secara acak tanpa memperhatikan modelnya. Mungkin ingin menunjukkan pada karyawan itu kalo Lisa mampu membelinya. "Mas, aku mau gaun ini. Bayari dong!" "Nggak, gaun itu mahal! Mas ngga
"Ah, masa' sih! Ntar ditertawakan mereka gimana?" "Nggak mungkin lah, Bu. Mereka juga pasti tak percaya kalo ibu udah menikah, lah wong nampak masih muda," kekeh Nova geli. Aku memukul tangan Nova pelan karena gemas. Setelah dekat, aku sengaja berhenti agak jauh agar terkesan sopan. "Maaf, Pak Gunawan. Ini bos saya pemilik restoran ini," sapa Nova pada pria berjas di depan kami. Pria yang disebut Nova berbalik badan dan saat kami saling pandang, aku terkejut. Inikah yang namanya Gunawan Prakoso itu, masih muda. Tinggi, putih, dan terakhir tampan. Ah, kok aku jadi melantur gini. Kukira Gunawan itu sudah tua orangnya, tak disangka ternyata masih muda. Entah sudah menikah atau belum, kalo belum pasti ada kesempatan. Lah, kok aku jadi terus mikir yang tidak-tidak gini. Sadar Ratih, jangan bikin malu. Kamu harus jual mahal agar tidak direndahkan, gumamku dalam hati. Gunawan Prakoso itu menyodorkan tangannya. Nova menjawil tanganku karena aku cuma bengong. "Bu!" Aku tersentak dan sa
Tiba-tiba, dari arah belakang ada suara wanita memanggil lembut Gunawan. Orang-orang memberikan jalan hingga wanita itu sampai di hadapannya. Aku yang melihatnya segera mundur ke belakang tanpa diketahui Gunawan. Tentu saja tidak ingin merusak momen itu, siapa tau wanita itu pacarnya Gunawan jadi tidak sopan jika aku terus berada disampingnya. "Selamat ulang tahun ya, sayang!" Aku yang sudah berjalan ke belakang sedikit mendengar suara wanita itu, hingga saat Mas Gun menjawabnya membuatku terkejut. "Ibu? Kenapa bisa kemari?" Ibu? Jadi wanita itu ibunya Mas Gun, ah sial aku salah sangka. Kupikir itu pacarnya tapi ternyata ... Ah, sudahlah aku terlanjur pergi dari situ. Lagian aku pasti malu jika terus berada di samping Mas Gun. Bisa-bisa ibunya mengira kami pacaran, akhirnya aku lega juga ada baiknya aku cepat menyingkir. Langkahku berhenti saat dari belakang terdengar suara memanggil. "Ratih!" Aku menoleh dan terkejut begitu tau siapa dia. Ah, kenapa harus bertemu dia lagi. Ka
"Kalo gitu, kami permisi dulu! Oh ya, Mutiara bolehkah ikut denganku? Ada yang mau aku kenalkan padamu," kata Mas Gun meminta persetujuan. "Maaf, Pak Gunawan. Kalo boleh tau dia siapanya Pak Gun?" tanya Pak Hardi ingin tau, soalnya tadi dia belum mendapatkan jawaban. "Oh, Mutiara ini adalah pemilik restoran ini. Saya booking restorannya untuk acara ulang tahun saya inilah. Jadi, sesuai janji saya akan mengenalkan pada kolega saya," jawab Mas Gun sambil menoleh padaku. Pak Hardi manggut-manggut, sedangkan Andre tercengang saat disebut pemilik restoran adalah aku. Aku hanya tersenyum geli melihat ekspresi wajahnya yang entah gimana itu. Lagaknya tadi dia menggertak akan melapor pada bos restoran tapi kini dia tau siapa sesungguhnya bos itu. Aku mengangguk dan setelah mereka saling bersalaman, kami berpencar. Kulihat Andre masih berdiri mematung, terus melihatku. Rasain kamu Andre, aku tau kamu pasti menyesal sudah menceraikanku. Apalagi jika Mamanya dan mbak Rina tau, mereka pasti k
Menelan saliva, bingung mau menjawab apa. Kenapa Bu Laras menanyakan perihal yang sukar kujawab. Apakah aku harus jujur atau berbohong? "Bagaimana, apa kamu udah menikah?" tanya Bu Laras kembali saat melihatku hanya diam. Guratan kecewa mulai nampak di wajahnya, tapi sebagai ibu beliau bisa berbesar hati bila kali ini belum juga waktunya menemukan jodoh buat anaknya. "Bu, maaf ya! Bukan Mutiara nggak mau jawab tapi Mutiara malu Bu! Semua pasti mengira saya ini masih gadis," jawabku gugup . "Kenapa? Kamu udah menikah?" Aku mengangguk, terlihat Bu Laras menghela nafas dan saat pandanganku tertuju pada Mas Gun, dia hanya tertunduk lesu. Aku tidak mengerti mengapa mereka jadi sedih. Apakah aku salah mengatakannya? "Ya udah kalo kamu udah menikah, nggak apa-apa kok. Belum rezeki Gunawan untuk melamarmu," ucap Bu Laras sendu. "Tunggu! Mas Gun mau melamar saya, Bu? Apa nggak salah? Bukankah kami baru kenal," cerocosku memberondong pertanyaan. "Nggak, Gunawan memang berniat melamarmu
"Nggak apa-apa, Bu. Memang seperti itu kenyataannya. Mutiara dan orang tua memang berasal dari desa. Namun, walaupun dari desa kehidupan kami nggak miskin. Kami punya tabungan yang banyak, hingga Mutiara bisa membuka restoran ini. Sayangnya, mantan suami dan mertua menganggap Mutiara nggak punya apa-apa. Hingga mereka memperlakukan Mutiara dengan hina," ucapku geram. Bu Laras mengelus lembut punggungku. Dengan kasih seorang ibu, beliau menenangkan diri ini. Seandainya dulu Mama Andre seperti Bu Laras, pasti rumah tanggaku akan baik-baik saja. Memang surga laki-laki itu terletak pada ibunya, tapi jika seorang ibu zalim, bukankah surga itu bisa berubah jadi neraka. Bukan saja neraka dunia, bahkan menjadi neraka akhirat. Mengingat ceramah ustad bahwa, seorang lelaki akan ditarik ke neraka oleh empat wanita yaitu ibunya, istrinya, anak perempuannya dan adik perempuannya. Jadi, sebisa mungkin menjadi lelaki yang adil dan bertanggungjawab untuk semua wanita yang ada di kehidupannya. Saa
Baru sesaat menikmati momen mesra ini, hapeku berdering. Sontak, aku membuka pesan masuk. Mataku terbelalak saat membaca dari nomer tak di kenal. [Eh, dasar janda gatel! Nggak tau malu, beraninya merebut calon orang] Mas Gun yang melihatku kaget memandang hape terus, segera menegurku. "Mutiara, ada apa?" "Eng, ini Mas dapet pesan tapi nggak tau dari sapa?" jawabku. "Emang dia bilang apa?" Hape kuberikan pada Mas Gun, biar dia baca sendiri. Soalnya kalo kata itu keluar dari mulutku sungguh menyakitkan. "Hah, kejamnya dia bilang begini padamu!" pekik Mas Gun juga shock. "Mas Gun, apa iya kalo aku seperti yang dibilang di pesan itu?" tanyaku sendu menatap manik matanya. "Nggak, Tiara. Mas yakin kalo kamu itu wanita baik, mungkin aja si pengirim itu membencimu. Namun, apakah kamu tau siapa dia?" Aku menggeleng, itu nomer baru. Bagaimana aku tau, tapi yang mengherankan mengapa dia tau nomerku. Apalagi yang dia kirim pesan itu adalah nomer bisnis, tak sembarang orang bisa mendapatk