Aku pun menjadi tertarik mendengar cerita mereka, jadi ingin melihat langsung apakah benar seperti yang mereka bilang. Aku tak tau kenapa begitu menggebu, biasa aku akan merasa tidak semangat apabila dikenalkan pada wanita. Namun, jika melihat langsung dan mencari tau sepertinya hal itu sungguh menantang dan itu sangat kusukai. "Oke, lain kali aku ikut kalian ke sana. Tapi, sebisanya jangan sampai membuat curiga, kita bersikap seperti biasa aja. Apa kalian mau?" kataku tegas. "Ciee, akhirnya teman kita si Gugun ini mau juga. Pasti karena kita bilang bosnya cantik, tapi apa kamu yakin Gun kalo kami bilang dia cantik? Bisa jadi kami hanya mempermainkanmu aja," jebak si Andi terkekeh menutup mulutnya. "Heh, aku itu udah kenal lama kalian jadi walaupun kalian somplak aku tau kapan bagi kalian bercanda dan serius," ucapku mendelik. Prok, prok, prok Mereka menepuk tangan bersamaan dengan tertawa, aku juga ikut senang. Kami bersahabat erat, walaupun mereka kerja di perusahaan milikku t
Ratih, ah mantan istri yang dulu pernah mengisi hari-hariku kini hidupnya semakin senang setelah kutalak. Kupikir setelah berpisah dariku, dia akan terpuruk dan menyesal. Namun, kenyataannya akulah yang menyesal. Aku begitu bodoh, sudah menyia-nyiakan dirinya. Padahal Ratih wanita yang baik dan penurut, tapi akibat kebodohanku yang lebih percaya pada Mama ketimbang istri sendiri, membuatku harus kehilangan istri sebaik dirinya. Nafsu juga sudah membutakan mata hatiku, andai saat itu aku tidak mengenal Lisa pasti aku tidak akan selingkuh. Saat itu aku begitu terlena mendapat layanan dari Lisa yang memuaskan tanpa menimbang perasaan Ratih. Aku sudah mengkhianatinya, disaat rumah tangga kami diterpa badai. Sebenarnya dulu aku tak ingin berpisah dari Ratih, akan tetapi saat itu aku sangat emosi karena Ratih terus melawan dan tanpa kuduga Ratih mengetahui perselingkuhanku hingga aku pun malu semua terbongkar. Jadi, demi menutupi rasa malu itu aku menalak Ratih. Keesokan harinya saat Ra
Masih sibuk menggoreng telur, pintu depan digedor. "Ya, tunggu sebentar!" teriakku. Setelah pintu terbuka aku kaget, Wak Narti? Ada apa tukang warung sepagi ini sudah datang menggedor rumahku. "Ada apa, Wak?" tanyaku heran. "Wak cuma mau nagih hutang," jawabnya. "Hutang apa, Wak? Aku merasa nggak berhutang pada Wak Narti," kataku polos. "Ya hutang belanja, apalagi! Ratih kan tiap hari belanja di warung, uangnya selalu nggak cukup jadi dia berhutang. Wak heran loh, padahal kamu kerja kantor gaji banyak kenapa belanja kebutuhan aja sampai nggak cukup?" Aku bingung harus jawab apa, memang benar karena aku cuma memberi Ratih belanja 50 ribu seminggu. Sebenarnya aku tau itu tak cukup tapi sekali lagi karena hatiku sudah tertutup ego hingga tak memikirkan kesusahan Ratih. "Berapa semua, Wak hutangnya?" tanyaku tanpa menjawab pertanyaan Wak Narti. Wak Narti segera membuka buku kasbon utang dan memperlihatkan padaku. Aku terbelalak mengetahui jumlahnya yang besar. Dua juta? Kenapa bis
Begitu membuka mata, aku sudah berada di ranjang. Terlihat Mama sedang duduk menunggu di samping, berulang kali mengompres dahiku. "Kamu udah sadar, Ndre? Syukurlah, Mama sampai khawatir terjadi apa-apa denganmu," katanya cemas. "Andre nggak apa-apa, Ma. Cuma pusing sedikit, oh ya bagaimana Andre bisa sampai di sini?" tanyaku heran. "Tadi temanmu yang gotong kemari. Saat Mama melihatmu digotong, Mama sampai shock. Mama kira kamu meninggal Ndre, huhuhuhu, hiks!" isak Mama menahan tangis. Mataku membulat mendengar Mama sampai berpikir sejauh itu. Ah, meninggal pun tidak akan menyelesaikan masalah. Apa Mama sanggup melunasi angsuran mobil nanti kalo aku sudah tidak ada. "Sebenarnya kenapa kamu pingsan? Kata Bos kamu, begitu menerima pesan kamu langsung nggak sadarkan diri. Bener itu, Ndre?" tanya Mama ingin tau. "Bener, Ma. Andre nggak sanggup lagi makanya pingsan," jawabku pendek sembari menghela napas. "Memangnya pesan dari siapa? Lisa? atau Ratih?" Aku menggeleng, kenapa hidup
Bangkit dari ranjang dan menyambar handuk. Aku harus bergegas membayar angsuran mobil sebelum didenda. Baru saja akan keluar rumah, Lisa sudah memasuki pagar. Kok dia tau aku ada di rumah, padahal hari ini aku lagi malas ketemu. "Mas Andre!" teriaknya memanggil. "Hum," jawabku pendek. "Kamu mau kemana, Mas? Tadi aku ke kantor kamu, tapi katanya kamu pingsan dan dibawa pulang. Makanya aku kemari melihatmu," ucapnya bergelayut manja. "Aku mau keluar sebentar, ada perlu!" "Aku ikut ya! Untuk jaga-jaga sapa tau Mas pingsan lagi," kekehnya. Aku tak menanggapi, bisa kacau kalo dia ikut. Apalagi aku mau bayar angsuran, ntar dikira aku banyak uang bisa-bisa dia akan minta macam-macam lagi. "Kamu nggak usah ikut, tunggu aja di sini ya! Mas cuma sebentar aja," bujukku. "Ogah, mana enak sendiri di sini. Lebih baik aku ikut," Lisa tetap kukuh ikut. "Tapi, mobil Mas nggak bisa jalan. Habis bensin, kalo kamu ikut naik apa coba?" "Hah, kok bisa sampai habis nggak tau sih! Jadi gimana dong?
Sesuai rencana, aku dan bos akan menghadiri acara ulang tahun Bos Gunawan Prakoso. Beberapa hari ini Bos sibuk menyiapkan agenda kerja, agar hasilnya memuaskan. Bos juga banyak menceritakan tentang Bos Gunawan itu. Pria muda dengan segudang prestasi itu sungguh membuatku kagum. Pantas saja dia dipercaya memimpin perusahaan keluarganya yang besar. Perusahaan kecil milik Bos ku juga sudah lama bekerja sama dengan perusahaan Bos Gunawan. Boleh dikatakan andil Beliau besar dalam memajukan perusahaan bos ku. Bos ku sendiri yang bernama Pak Hardi adalah seorang yang sangat berdedikasi. Walaupun sudah agak berumur tapi sifatnya masih tampak muda. Bahkan ada sedikit genit, apalagi jika melihat wanita cantik. Tak jarang Pak Hardi menggodanya. Aku yang sering ikut dengannya sudah hafal kebiasaannya. Untunglah, tidak sampai merusak hubungan kerjasama. Wanita manapun pasti senang digoda, selama masih batas wajar. "Ayo, Andre. Cepetan! Ntar terlambat," ajak Bos mengetuk toilet. "Iya, Bos. Ini
Ratih hanya tersenyum saat dari bibirku keluar gumaman. Kenapa nama Ratih bisa menjadi Mutiara? Siapa dia sebenarnya? Tunggu, bukankah nama restoran ini juga Mutiara. Mungkin saja dia memakai nama Restoran, agar terlihat menarik. Huh, dasar wanita licik. Ternyata begini kelakuannya usai bercerai denganku. Jangan-jangan kemarin dia juga minta uang pada Bos Gunawan untuk membeli gaun. Ratih menjadi wanita murahan, 'kasihan sekali kamu Ratih!' batinku menyeringai. Aku dan Ratih hanya diam mendengarkan, Bos ku dan Bos Gunawan berbicara. Saat Bos ku bertanya ada hubungan apa dengan Ratih, aku segera menajamkan pendengaran. Bagai disambar petir saat kata itu keluar dari mulut Bos Gunawan. Pemilik restoran? Benarkah Ratih pemilik restoran? Ah, tidak mungkin. Bisa saja Bos Gunawan bercanda. Tapi, bisa juga serius karena Bos Gunawan sangat mantap berbicara. Tak lama Bos Gunawan membawa Ratih pergi, entah kemana. Aku terus memperhatikannya dengan ekor mataku. Seperti kudengar tadi Ratih ak
Sudah beberapa hari semenjak kenal dengan Mas Gun, begitulah panggilanku sekarang pada lelaki tampan itu. Kini hari-hariku bertambah semangat. Apalagi setiap hari Mas Gun selalu menyempatkan makan di restoran. Terkadang siang bareng temannya, kadang juga malam sendirian. Bila malam, setelah makan Mas Gun akan mengajakku jalan-jalan ke taman di depan. Untuk sementara, cuma ini yang bisa kami lakukan karena masa iddahku belum selesai juga perceraian dengan Andre belum sah secara negara. Walaupun aku belum mengajukan ke pengadilan, akan tetapi di tanganku sudah banyak tersimpan bukti. Aku hanya menunggu waktu yang tepat. Sejak Andre tau aku pemilik restoran, dia pasti tidak akan tinggal diam. Jadi, aku mesti berjaga-jaga kalo dia sampai menjadikan kekayaanku sebagai alasan tidak pernah menceraikanku. Apalagi kalo Mama Andre juga mengetahui, bukan tidak mungkin keluarga arogan itu akan terus merongrong. Mama Andre yang culas itu pasti berani berbuat apapun demi uang. Seperti saat aku