Begitu membuka mata, aku sudah berada di ranjang. Terlihat Mama sedang duduk menunggu di samping, berulang kali mengompres dahiku. "Kamu udah sadar, Ndre? Syukurlah, Mama sampai khawatir terjadi apa-apa denganmu," katanya cemas. "Andre nggak apa-apa, Ma. Cuma pusing sedikit, oh ya bagaimana Andre bisa sampai di sini?" tanyaku heran. "Tadi temanmu yang gotong kemari. Saat Mama melihatmu digotong, Mama sampai shock. Mama kira kamu meninggal Ndre, huhuhuhu, hiks!" isak Mama menahan tangis. Mataku membulat mendengar Mama sampai berpikir sejauh itu. Ah, meninggal pun tidak akan menyelesaikan masalah. Apa Mama sanggup melunasi angsuran mobil nanti kalo aku sudah tidak ada. "Sebenarnya kenapa kamu pingsan? Kata Bos kamu, begitu menerima pesan kamu langsung nggak sadarkan diri. Bener itu, Ndre?" tanya Mama ingin tau. "Bener, Ma. Andre nggak sanggup lagi makanya pingsan," jawabku pendek sembari menghela napas. "Memangnya pesan dari siapa? Lisa? atau Ratih?" Aku menggeleng, kenapa hidup
Bangkit dari ranjang dan menyambar handuk. Aku harus bergegas membayar angsuran mobil sebelum didenda. Baru saja akan keluar rumah, Lisa sudah memasuki pagar. Kok dia tau aku ada di rumah, padahal hari ini aku lagi malas ketemu. "Mas Andre!" teriaknya memanggil. "Hum," jawabku pendek. "Kamu mau kemana, Mas? Tadi aku ke kantor kamu, tapi katanya kamu pingsan dan dibawa pulang. Makanya aku kemari melihatmu," ucapnya bergelayut manja. "Aku mau keluar sebentar, ada perlu!" "Aku ikut ya! Untuk jaga-jaga sapa tau Mas pingsan lagi," kekehnya. Aku tak menanggapi, bisa kacau kalo dia ikut. Apalagi aku mau bayar angsuran, ntar dikira aku banyak uang bisa-bisa dia akan minta macam-macam lagi. "Kamu nggak usah ikut, tunggu aja di sini ya! Mas cuma sebentar aja," bujukku. "Ogah, mana enak sendiri di sini. Lebih baik aku ikut," Lisa tetap kukuh ikut. "Tapi, mobil Mas nggak bisa jalan. Habis bensin, kalo kamu ikut naik apa coba?" "Hah, kok bisa sampai habis nggak tau sih! Jadi gimana dong?
Sesuai rencana, aku dan bos akan menghadiri acara ulang tahun Bos Gunawan Prakoso. Beberapa hari ini Bos sibuk menyiapkan agenda kerja, agar hasilnya memuaskan. Bos juga banyak menceritakan tentang Bos Gunawan itu. Pria muda dengan segudang prestasi itu sungguh membuatku kagum. Pantas saja dia dipercaya memimpin perusahaan keluarganya yang besar. Perusahaan kecil milik Bos ku juga sudah lama bekerja sama dengan perusahaan Bos Gunawan. Boleh dikatakan andil Beliau besar dalam memajukan perusahaan bos ku. Bos ku sendiri yang bernama Pak Hardi adalah seorang yang sangat berdedikasi. Walaupun sudah agak berumur tapi sifatnya masih tampak muda. Bahkan ada sedikit genit, apalagi jika melihat wanita cantik. Tak jarang Pak Hardi menggodanya. Aku yang sering ikut dengannya sudah hafal kebiasaannya. Untunglah, tidak sampai merusak hubungan kerjasama. Wanita manapun pasti senang digoda, selama masih batas wajar. "Ayo, Andre. Cepetan! Ntar terlambat," ajak Bos mengetuk toilet. "Iya, Bos. Ini
Ratih hanya tersenyum saat dari bibirku keluar gumaman. Kenapa nama Ratih bisa menjadi Mutiara? Siapa dia sebenarnya? Tunggu, bukankah nama restoran ini juga Mutiara. Mungkin saja dia memakai nama Restoran, agar terlihat menarik. Huh, dasar wanita licik. Ternyata begini kelakuannya usai bercerai denganku. Jangan-jangan kemarin dia juga minta uang pada Bos Gunawan untuk membeli gaun. Ratih menjadi wanita murahan, 'kasihan sekali kamu Ratih!' batinku menyeringai. Aku dan Ratih hanya diam mendengarkan, Bos ku dan Bos Gunawan berbicara. Saat Bos ku bertanya ada hubungan apa dengan Ratih, aku segera menajamkan pendengaran. Bagai disambar petir saat kata itu keluar dari mulut Bos Gunawan. Pemilik restoran? Benarkah Ratih pemilik restoran? Ah, tidak mungkin. Bisa saja Bos Gunawan bercanda. Tapi, bisa juga serius karena Bos Gunawan sangat mantap berbicara. Tak lama Bos Gunawan membawa Ratih pergi, entah kemana. Aku terus memperhatikannya dengan ekor mataku. Seperti kudengar tadi Ratih ak
Sudah beberapa hari semenjak kenal dengan Mas Gun, begitulah panggilanku sekarang pada lelaki tampan itu. Kini hari-hariku bertambah semangat. Apalagi setiap hari Mas Gun selalu menyempatkan makan di restoran. Terkadang siang bareng temannya, kadang juga malam sendirian. Bila malam, setelah makan Mas Gun akan mengajakku jalan-jalan ke taman di depan. Untuk sementara, cuma ini yang bisa kami lakukan karena masa iddahku belum selesai juga perceraian dengan Andre belum sah secara negara. Walaupun aku belum mengajukan ke pengadilan, akan tetapi di tanganku sudah banyak tersimpan bukti. Aku hanya menunggu waktu yang tepat. Sejak Andre tau aku pemilik restoran, dia pasti tidak akan tinggal diam. Jadi, aku mesti berjaga-jaga kalo dia sampai menjadikan kekayaanku sebagai alasan tidak pernah menceraikanku. Apalagi kalo Mama Andre juga mengetahui, bukan tidak mungkin keluarga arogan itu akan terus merongrong. Mama Andre yang culas itu pasti berani berbuat apapun demi uang. Seperti saat aku
Ting! Bunyi notifikasi masuk, pesan dari nomor tak dikenal. Lagi-lagi pesan yang kemarin membuatku terkejut. [Hei, janda gatel! Sebaiknya kamu mundur sekarang atau kamu akan menyesal telah merebutnya dari tanganku] Siapa dia sebenarnya? gumamku heran. Sudah dua kali si peneror mengirim pesan yang berisi ancaman, ini tak bisa dibiarkan. Masalahku dengan Andre baru saja akan dimulai, jadi jika ditambah ini apakah aku sanggup menghadapinya. Didorong rasa ingin tau, aku pun mengetik balasan. [Maaf, kamu siapa? Dan jangan menuduh kalo tak ada bukti] kusertai emoticon marah. [Kamu tak perlu tau siapa aku, yang penting kamu harus jauhi calon saya. Kalo tidak aku tak segan melukaimu] balasnya. Aku melongo, ancamannya ternyata tidak main-main. Namun, aku penasaran siapa dia dan siapa calon yang dimaksudnya. Aku pun terus membalas pesannya agar terbongkar jati dirinya. [Calon siapa yang kamu maksud?] ketikku. [Jangan pura-pura bodoh, kamu pasti tau siapa yang kumaksud. Jadi, kalo kamu
Karyawan itu mengangguk dan keluar kantor di iringi Nova. Aku pun mencoba mengingat apakah aku pernah mengenalnya. Wanita itu berambut pendek, sedangkan Lisa berambut panjang. Berarti bukan Lisa, lalu siapa? Pandanganku kemudian tertuju pada laptop, ah mungkin saja kejadian saat itu terekam kamera. Ya aku segera membuka laptop, mencari video yang menampilkan beragam peristiwa. Kuamati satu persatu, dari sepuluh video akhirnya aku menemukannya. Memang benar wanita itu mendekati dan berbincang pada karyawan tadi. Ciri-cirinya juga persis di sebutkan, akan tetapi yang membuatku heran kenapa kejadian itu pas ulang tahun Mas Gun. Ada apa? Benarkah dia ada hubungannya dengan Mas Gun? Pacarnya atau penggemarnya? Ah, ternyata Mas Gun masih menyimpan banyak rahasia. Aku belum lama mengenal Mas Gun, jadi belum tau sesungguhnya dirinya. Aku sudah percaya padanya begitu saja, Mas Gun benarkah ada rahasia yang belum kamu ceritakan padaku. Mengapa kamu tidak jujur padaku, tak terasa bulir air m
Sampai di kampung, kedatanganku disambut ibu dan bapak dengan gembira. Walaupun mereka heran tapi tidak banyak bertanya, pasti mereka maklum aku rindu apalagi sejak pisah dengan Andre, aku bisa bebas kapanpun pulang. Karena seringnya pulang, tetangga jadi kepo. Banyak yang bertanya alasannya, ya aku jujur saja daripada berbohong nanti jadi fitnah kemudian hari. Dari sekian banyak yang tanya tak sedikit yang prihatin. Mereka pun selalu menghiburku agar aku bisa menerimanya dengan ikhlas. "Wah, masih pagi udah rajin ya Neng Ratih!" sapa Bu Wina saat lewat depan rumahku. "Biasa kok, Bu. Bantu-bantu ibu sedikit, daripada ngganggur," jawabku tersenyum. Ya, tiap pagi aku selalu menyiram bunga di halaman rumah. "Kalo masih nganggur, bantu ibu juga ya! Hahahaha ...," ujarnya melawak. "Boleh aja, Bu!" "Ya sudah, teruskan aja. Ibu mau ke pasar dulu, mari!" Aku mengangguk dan meneruskan menyiram bunga. Dengan bersenandung kecil, aku menyiram dengan senang. Banyak bunga bermekaran, aku pun