Aku terpana, di tangan Mas Gun tertenteng banyak barang. Entah apa isinya, juga ada tas kecil. Sepertinya Mas Gun akan menginap. Mas Gun lalu menyalami bapak. Dia memberikan sebagian barang pada ibu dan bapak, dan ada juga bagian untukku. "Apa ini, Nak?" tanya ibu saat menerimanya. "Itu hadiah dari Mama saya, Bu!" jawab Mas Gun senyum. "Loh, jadi kemari sudah bilang pada Mama kamu?" Mas Gun mengangguk, kemudian bapak bergantian tanya. "Katanya kamu calon suami Ratih, benar itu?" Mas Gun melirikku, sepertinya takut aku tidak senang kalo kali ini dia mengatakan itu lagi. Aku hanya menunduk, tak ingin memandang wajah Mas Gun. "Maaf, Pak, Bu. Sebenarnya tanpa meminta pendapat Tiara, saya udah mengklaim calon suami. Namun, saya menyukai dan mencintai Tiara setulus hati. Saya udah mengetahui kalo Tiara adalah janda, tapi saya nggak permasalahkan statusnya. Bahkan Mama saya udah mengenal dan menyetujui hubungan kami," tutur Mas Gun lancar. Aku terpana, Mas Gun begitu berani mengutara
Rencana sebulan di kampung tidak jadi terlaksana, karena semua kesalahpahaman sudah selesai. Mas Gun sudah menjelaskan panjang lebar hingga semua masalah yang kulalui menemukan titik terang. Mas Gun bahkan sudah berjanji, apabila wanita peneror itu beraksi lagi, Mas Gun yang akan turun tangan. Bapak dan ibu juga turut memberi nasehat untuk kami berdua, agar tetap bersabar melalui semua cobaan ini. Kedua orang tuaku merestui hubungan kami dan meminta aku selalu mengabari mereka bila ada perkembangan atau masalah lain. Sewaktu di kampung, bapak menyarankan aku agar secepatnya segera mengajukan gugatan cerai ke pengadilan. Aku pun menyetujui, di dampingi ibu aku mendatangi kantor pengadilan agama. Apalagi selama di rumah Nova berulang kali menelepon. Memberi kabar yang mengejutkan. "Bu, kapan ibu pulang?" tanya Nova resah. "Kenapa Nov, apa ada masalah di restoran?" "Restoran aman, Bu! Cuma saya risih, Mantan suami ibu terus-menerus datang mencari ibu, apalagi dia gak mau bayar sete
Seperti tau aku bicarakan, Bagas membalikkan badannya ke arah jendela kamarku. Ups, untung saja aku segera menunduk. Dan tak lama terdengar langkah kaki menjauh diikuti deru mobil pergi. Lega, tentu saja. Aku tidak harus mendengar keluh kesahnya lagi, tentang cinta dan harapannya. Walaupun dia baik tapi bagaimanapun cinta tetap tak bisa dipaksa. Walaupun aku seorang janda, tapi juga berhak mencintai pria yang menerima kekuranganku. Bagas mungkin sampai sekarang belum tau kalo aku sudah berpisah dengan Andre. Karena kami juga jarang berinteraksi, baik bertemu maupun melalui sambungan telepon. Itu lebih baik agar masalah tidak bertambah banyak. "Dia sudah pulang, sebenarnya ada apa mencari kamu?" tanya ibu tiba-tiba sudah berdiri depan pintu kamar. "Oh, nggak Bu!" kataku kaget. "Apanya yang nggak?" tanya ibu heran. Aku menghela napas, haruskah aku beritahu juga pada ibu tentang Bagas? Namun, bagaimanapun ibu harus tau jadi ibu bisa tau harus bersikap seperti apa kemudian hari meng
Esoknya, setelah membereskan koper dan memasukkan ke bagasi mobil. Aku pun pamit pada ibu dan bapak, keduanya dengan penuh kasih sayang mengantarkan sampai ke halaman. "Kalo surat cerai itu udah sampai ke tangan Andre, beritahu kami ya Nak!" pinta ibu. "Iya, Bu! Ratih akan bertanya pada pengacara, kapan surat itu tiba dan bisa sidang di pengadilan," jawabku sebelum menghidupkan mobil. "Hati-hati di jalan, pelan-pelan aja bawa mobilnya," titah bapak. Aku mengangguk, "Ratih pamit dulu ya Pak, Bu, Assalamualaikum." "Wa'alaikumussalam," jawab keduanya dan melambaikan tangan. Aku melajukan mobil dengan kecepatan sedang, karena jalur masuk kampung belum terlalu mulus. Namun, masih bersyukur sarana transportasi mulai ramai. Sesampainya di restoran, disambut Nova dengan gembira. Sepertinya dia lega aku sudah pulang hingga bisa terlepas dari masalah yang akhir-akhir ini membuatnya pusing. "Bu, alhamdulillah. Akhirnya ibu pulang!" "Apa ada kabar baru?" tanyaku berjalan menuju kantor.
Tok, tok, tok Pintu diketuk, terdengar suara Nova di luar. "Masuk!" seruku. "Bu, ada yang ingin bertemu dengan ibu di depan!" "Siapa?" tanyaku heran. "Katanya teman ibu," jawab Nova. "Baiklah, saya akan ke depan!" kataku sambil beranjak bangun. Aku bergegas keluar, dengan hati bertanya-tanya siapa gerangan yang datang. Teman? Teman yang mana ya! Gumamku heran. Setelah sampai di depan, aku celingukan mencarinya. Terlihat seorang wanita melambaikan tangan. "Ratih ... sini!" panggilnya. "Kamu?" Kami lalu berpelukan, wanita di depanku ini ternyata Winda. "Perut kamu udah besar gini kenapa kemari?" tanyaku. "Bosen di rumah aja, Ratih! Lagian aku juga kangen, kamu sih nggak pernah mau main ke rumah Mas Anton," keluhnya. "Maaf, Win! Aku belum sempat, akhir-akhir ini aku sibuk," jawabku meminta pengertiannya. "Sibuk restoran? Bukankah banyak anak buah yang mengurus?" tanyanya. "Bukan itu, masalah perceraian. Sekarang mantan suami dan mertua udah tau kalo aku punya restoran. Jadi
Winda mengangguk dan menyeruput air minum. Saat asyik berbincang dengan Winda, tetiba di belakangku ada suara lembut menyapa. "Tiara!" Aku menoleh dan tersenyum saat tau siapa yang memanggil. Tumben dia ada waktu ke sini, Winda menaikkan alisnya melihat Mas Gun. Aku tau dari raut wajahnya pasti ingin tau siapa lelaki yang menyapaku. Setelah dekat, Mas Gun menarik kursi di sebelahku lalu duduk. Mas Gun dan Winda sama-sama melongo melihatku, aku pun tersadar. "Kenalkan dia temanku, Mas Gun!" kataku sambil menunjuk Winda. "Oh, iya. Kenalkan saya Gunawan, calon suami Tiara," ucap Mas Gun mengulurkan tangannya. "Tiara? Siapa Tiara sih?" tanya Winda heran tanpa menyambut uluran tangan Mas Gun. Aku pun terkekeh geli melihat Winda kebingungan. Tak sampai hati membuat Winda terus bingung, kemudian mengalirlah ceritaku tentang nama masa kecilku. Winda dan Mas Gun mengangguk mengerti. "Mutiara itu sungguh nama yang cantik, kenapa diganti jadi Ratih, sungguh sayang," gumam Winda. "Memang
"Ratih!" Aku menoleh dan terkejut hingga tak bisa berkata. Bagas?"Ratih, nggak nyangka bisa ketemu kamu di sini. Kemarin aku ke rumah kamu tapi ibumu bilang kamu udah balik ke kota," desah Bagas kecewa. Bagas berjalan mendekati, namun aku mundur ke belakang. Aku ingin menjaga jarak, takut bila Mas Gun melihat akan menimbulkan salah paham lagi. "Stop, jangan dekati aku, Gas!" kataku menghentikan langkahnya yang terus dekat. "Kenapa Ratih, kamu udah nggak mencintaiku lagi?" tanyanya sendu. "Gas, dari dulu aku hanya anggap kamu sebagai sahabat nggak lebih. Perasaan itu nggak bisa dipaksa, tolong kamu mengertilah!" tekanku memelas. "Kenapa, Ratih? Kamu lebih memilih lelaki itu dari aku, apa kamu lupa kebersamaan kita dari kecil sampai besar. Tapi mengapa kamu lebih condong kepada dia, secepat itukah hatimu berubah!" lirih Bagas dengan napas menderu. Aku diam, bagaimanapun aku mengatakan Bagas tetap saja kukuh dengan perasaannya. Tatapan orang-orang yang melewati kami terasa aneh,
"Asal kamu tau, Gas! Lisa adalah orang yang menghancurkan rumah tanggaku. Dia bahkan sudah bercinta dengan Andre, aku melihat dengan mata kepala sendiri," gumamku tanpa sadar bahwa Bagas belum begitu jauh. Bagas mendadak berhenti, diam tanpa menoleh hanya memandang ke depan. Lima menit hingga sepuluh menit, kami tiga berdiri tanpa bersuara. Kemudian Bagas melangkah pergi tanpa menoleh lagi ke arahku. Maafkan aku, Gas! Aku terpaksa memberitahu kamu kebenarannya agar kamu tak menyesal kemudian hari. Mas Gun mengelus lembut bahuku, menguatkan hatiku agar bersabar. Aku memandang Mas Gun menatap maniknya. Wajah tampan di depanku hanya tersenyum, aku juga bahagia akhirnya bisa menyelesaikan masalah hati dengan terbuka pada mereka. "Bu, apa udah diangkat teleponnya?" tanya Nova membuatku tersentak. "Belum, ini mau kesana. Ya udah, kamu lanjutkan kerja. Mas Gun, apa ingin ikut aku ke kantor?" tanyaku dengan senyum manis. "Boleh, yuk! Mas takut nanti kamu diculik lagi," gombalnya yang bu