Sampai di kampung, kedatanganku disambut ibu dan bapak dengan gembira. Walaupun mereka heran tapi tidak banyak bertanya, pasti mereka maklum aku rindu apalagi sejak pisah dengan Andre, aku bisa bebas kapanpun pulang. Karena seringnya pulang, tetangga jadi kepo. Banyak yang bertanya alasannya, ya aku jujur saja daripada berbohong nanti jadi fitnah kemudian hari. Dari sekian banyak yang tanya tak sedikit yang prihatin. Mereka pun selalu menghiburku agar aku bisa menerimanya dengan ikhlas. "Wah, masih pagi udah rajin ya Neng Ratih!" sapa Bu Wina saat lewat depan rumahku. "Biasa kok, Bu. Bantu-bantu ibu sedikit, daripada ngganggur," jawabku tersenyum. Ya, tiap pagi aku selalu menyiram bunga di halaman rumah. "Kalo masih nganggur, bantu ibu juga ya! Hahahaha ...," ujarnya melawak. "Boleh aja, Bu!" "Ya sudah, teruskan aja. Ibu mau ke pasar dulu, mari!" Aku mengangguk dan meneruskan menyiram bunga. Dengan bersenandung kecil, aku menyiram dengan senang. Banyak bunga bermekaran, aku pun
Aku terpana, di tangan Mas Gun tertenteng banyak barang. Entah apa isinya, juga ada tas kecil. Sepertinya Mas Gun akan menginap. Mas Gun lalu menyalami bapak. Dia memberikan sebagian barang pada ibu dan bapak, dan ada juga bagian untukku. "Apa ini, Nak?" tanya ibu saat menerimanya. "Itu hadiah dari Mama saya, Bu!" jawab Mas Gun senyum. "Loh, jadi kemari sudah bilang pada Mama kamu?" Mas Gun mengangguk, kemudian bapak bergantian tanya. "Katanya kamu calon suami Ratih, benar itu?" Mas Gun melirikku, sepertinya takut aku tidak senang kalo kali ini dia mengatakan itu lagi. Aku hanya menunduk, tak ingin memandang wajah Mas Gun. "Maaf, Pak, Bu. Sebenarnya tanpa meminta pendapat Tiara, saya udah mengklaim calon suami. Namun, saya menyukai dan mencintai Tiara setulus hati. Saya udah mengetahui kalo Tiara adalah janda, tapi saya nggak permasalahkan statusnya. Bahkan Mama saya udah mengenal dan menyetujui hubungan kami," tutur Mas Gun lancar. Aku terpana, Mas Gun begitu berani mengutara
Rencana sebulan di kampung tidak jadi terlaksana, karena semua kesalahpahaman sudah selesai. Mas Gun sudah menjelaskan panjang lebar hingga semua masalah yang kulalui menemukan titik terang. Mas Gun bahkan sudah berjanji, apabila wanita peneror itu beraksi lagi, Mas Gun yang akan turun tangan. Bapak dan ibu juga turut memberi nasehat untuk kami berdua, agar tetap bersabar melalui semua cobaan ini. Kedua orang tuaku merestui hubungan kami dan meminta aku selalu mengabari mereka bila ada perkembangan atau masalah lain. Sewaktu di kampung, bapak menyarankan aku agar secepatnya segera mengajukan gugatan cerai ke pengadilan. Aku pun menyetujui, di dampingi ibu aku mendatangi kantor pengadilan agama. Apalagi selama di rumah Nova berulang kali menelepon. Memberi kabar yang mengejutkan. "Bu, kapan ibu pulang?" tanya Nova resah. "Kenapa Nov, apa ada masalah di restoran?" "Restoran aman, Bu! Cuma saya risih, Mantan suami ibu terus-menerus datang mencari ibu, apalagi dia gak mau bayar sete
Seperti tau aku bicarakan, Bagas membalikkan badannya ke arah jendela kamarku. Ups, untung saja aku segera menunduk. Dan tak lama terdengar langkah kaki menjauh diikuti deru mobil pergi. Lega, tentu saja. Aku tidak harus mendengar keluh kesahnya lagi, tentang cinta dan harapannya. Walaupun dia baik tapi bagaimanapun cinta tetap tak bisa dipaksa. Walaupun aku seorang janda, tapi juga berhak mencintai pria yang menerima kekuranganku. Bagas mungkin sampai sekarang belum tau kalo aku sudah berpisah dengan Andre. Karena kami juga jarang berinteraksi, baik bertemu maupun melalui sambungan telepon. Itu lebih baik agar masalah tidak bertambah banyak. "Dia sudah pulang, sebenarnya ada apa mencari kamu?" tanya ibu tiba-tiba sudah berdiri depan pintu kamar. "Oh, nggak Bu!" kataku kaget. "Apanya yang nggak?" tanya ibu heran. Aku menghela napas, haruskah aku beritahu juga pada ibu tentang Bagas? Namun, bagaimanapun ibu harus tau jadi ibu bisa tau harus bersikap seperti apa kemudian hari meng
Esoknya, setelah membereskan koper dan memasukkan ke bagasi mobil. Aku pun pamit pada ibu dan bapak, keduanya dengan penuh kasih sayang mengantarkan sampai ke halaman. "Kalo surat cerai itu udah sampai ke tangan Andre, beritahu kami ya Nak!" pinta ibu. "Iya, Bu! Ratih akan bertanya pada pengacara, kapan surat itu tiba dan bisa sidang di pengadilan," jawabku sebelum menghidupkan mobil. "Hati-hati di jalan, pelan-pelan aja bawa mobilnya," titah bapak. Aku mengangguk, "Ratih pamit dulu ya Pak, Bu, Assalamualaikum." "Wa'alaikumussalam," jawab keduanya dan melambaikan tangan. Aku melajukan mobil dengan kecepatan sedang, karena jalur masuk kampung belum terlalu mulus. Namun, masih bersyukur sarana transportasi mulai ramai. Sesampainya di restoran, disambut Nova dengan gembira. Sepertinya dia lega aku sudah pulang hingga bisa terlepas dari masalah yang akhir-akhir ini membuatnya pusing. "Bu, alhamdulillah. Akhirnya ibu pulang!" "Apa ada kabar baru?" tanyaku berjalan menuju kantor.
Tok, tok, tok Pintu diketuk, terdengar suara Nova di luar. "Masuk!" seruku. "Bu, ada yang ingin bertemu dengan ibu di depan!" "Siapa?" tanyaku heran. "Katanya teman ibu," jawab Nova. "Baiklah, saya akan ke depan!" kataku sambil beranjak bangun. Aku bergegas keluar, dengan hati bertanya-tanya siapa gerangan yang datang. Teman? Teman yang mana ya! Gumamku heran. Setelah sampai di depan, aku celingukan mencarinya. Terlihat seorang wanita melambaikan tangan. "Ratih ... sini!" panggilnya. "Kamu?" Kami lalu berpelukan, wanita di depanku ini ternyata Winda. "Perut kamu udah besar gini kenapa kemari?" tanyaku. "Bosen di rumah aja, Ratih! Lagian aku juga kangen, kamu sih nggak pernah mau main ke rumah Mas Anton," keluhnya. "Maaf, Win! Aku belum sempat, akhir-akhir ini aku sibuk," jawabku meminta pengertiannya. "Sibuk restoran? Bukankah banyak anak buah yang mengurus?" tanyanya. "Bukan itu, masalah perceraian. Sekarang mantan suami dan mertua udah tau kalo aku punya restoran. Jadi
Winda mengangguk dan menyeruput air minum. Saat asyik berbincang dengan Winda, tetiba di belakangku ada suara lembut menyapa. "Tiara!" Aku menoleh dan tersenyum saat tau siapa yang memanggil. Tumben dia ada waktu ke sini, Winda menaikkan alisnya melihat Mas Gun. Aku tau dari raut wajahnya pasti ingin tau siapa lelaki yang menyapaku. Setelah dekat, Mas Gun menarik kursi di sebelahku lalu duduk. Mas Gun dan Winda sama-sama melongo melihatku, aku pun tersadar. "Kenalkan dia temanku, Mas Gun!" kataku sambil menunjuk Winda. "Oh, iya. Kenalkan saya Gunawan, calon suami Tiara," ucap Mas Gun mengulurkan tangannya. "Tiara? Siapa Tiara sih?" tanya Winda heran tanpa menyambut uluran tangan Mas Gun. Aku pun terkekeh geli melihat Winda kebingungan. Tak sampai hati membuat Winda terus bingung, kemudian mengalirlah ceritaku tentang nama masa kecilku. Winda dan Mas Gun mengangguk mengerti. "Mutiara itu sungguh nama yang cantik, kenapa diganti jadi Ratih, sungguh sayang," gumam Winda. "Memang
"Ratih!" Aku menoleh dan terkejut hingga tak bisa berkata. Bagas?"Ratih, nggak nyangka bisa ketemu kamu di sini. Kemarin aku ke rumah kamu tapi ibumu bilang kamu udah balik ke kota," desah Bagas kecewa. Bagas berjalan mendekati, namun aku mundur ke belakang. Aku ingin menjaga jarak, takut bila Mas Gun melihat akan menimbulkan salah paham lagi. "Stop, jangan dekati aku, Gas!" kataku menghentikan langkahnya yang terus dekat. "Kenapa Ratih, kamu udah nggak mencintaiku lagi?" tanyanya sendu. "Gas, dari dulu aku hanya anggap kamu sebagai sahabat nggak lebih. Perasaan itu nggak bisa dipaksa, tolong kamu mengertilah!" tekanku memelas. "Kenapa, Ratih? Kamu lebih memilih lelaki itu dari aku, apa kamu lupa kebersamaan kita dari kecil sampai besar. Tapi mengapa kamu lebih condong kepada dia, secepat itukah hatimu berubah!" lirih Bagas dengan napas menderu. Aku diam, bagaimanapun aku mengatakan Bagas tetap saja kukuh dengan perasaannya. Tatapan orang-orang yang melewati kami terasa aneh,
Hari Minggu pun tiba, dari pagi sudah sudah mulai terlihat kesibukan. Para tetangga yang rewang sudah banyak yang berdatangan, membantu memasak di dapur. Sedari malam aku luluran dan memakai inai, sengaja sebelum subuh aku mandi agar segar seharian saat menjadi pengantin. Walaupun sudah pernah menikah tapi perasaan gugup dan tegang itu masih ada. Perias pengantin yang mendandani aku juga tak makan waktu lama karena sudah profesional dan ahli. Hingga Mas Gun dan keluarga besar datang, dimulailah ijab qobul. Aku duduk di sebelah Mas Gun yang dipakaikan selendang putih di kepala. Dengan lancar Mas Gun mengucap ijab qobul, yang dijawab sah oleh penghulu dan hadirin. Acara berlanjut hingga temu pengantin sampai selesai lalu setelah duduk di pelaminan maka anggota perwiritan ibu-ibu yang mendapat giliran marhaban. Bunyi gendang yang ditabuh serta doa dan nyanyian pengantin mengiringi. "Tiara, kamu cantik sayang!" bisik Mas Gun setelah acara selesai. Kami berdua tinggal duduk saja meny
Akhirnya sampai juga di kampung, aku membangunkan Nova yang terlelap tidur. Aku tak bisa tidur sama sekali karena Mas Gun mengajak ngobrol dan tertawa. "Mas, kejadian penculikan ini jangan beritahu pada orang tuaku ya! Tiara nggak ingin mereka jadi khawatir," kataku sebelum turun dari mobil. Mas Gun mengangguk dan mengedipkan matanya. Nova juga sudah kuperingatkan, lalu turun membantu mengambil koper di bagasi. Ibu menyambut kedatangan kami dengan senyum. "Oh, udah sampai kamu Nak! Datangnya kok rame-rame gini?" "Iya, Bu! Tadi sebenarnya cuma Nova yang akan mengantar, tapi Mas Gun minta ikut, katanya kangen sama ibu. Iya kan, Mas!" ujarku terkekeh. Mas Gun gelagapan karena sandiwaraku lalu terpaksa mengangguk juga. Mas Gun pasti tak menyangka aku sampai berkata itu. "Ya udah, ayo masuk dulu. Kebetulan ibu udah siap masak, kita makan dulu. Kalian pasti udah lapar, kan !" ajak ibu. "Assiiaap, Bu!" kelakar Mas Gun. Kami semua tertawa melihatnya, Mas Gun pasti sudah ingin mencicip
"Jadi, kalian bersengkongkol untuk menculikku!" hardikku marah. "Andre, lepaskan aku! Apa kamu nggak takut ditangkap polisi, pikirkan ibumu," sergahku. "Hahahaha ... Kamu pikir Andre akan mendengarkanmu setelah apa yang kamu perbuat pada dirinya. Kamu sungguh licik, dasar wanita penggoda yang merampas kebahagiaan orang!" cemooh Mona mencibir sinis. "Merampas kebahagiaan siapa? Kebahagiaan kamu gitu? Cih, seharusnya kamu tau diri kalo Mas Gun nggak tertarik padamu sedikitpun. Dasar penguntit!" aku kembali mengejeknya. Plak! "Apa kamu bilang? Penguntit? Awalnya aku mengejar Gunawan dan akan mendapatkannya tapi kamu datang merusak semua usahaku. Jadi, kamu harus membayarnya," ucap Mona meninggi. Pipiku yang ditampar terasa sakit dan perih. Kulihat Andre cuma diam saja, aku celingukan mencari Nova. Kemana dia? Nova pasti di tempat lain. "Andre, mau kita apakan ini Ratih?" tanya Mona melirik Andre. Andre cuma diam memandangku, lalu memandang kedua kakiku yang sedikit terbuka hingga
Hari pernikahan tinggal seminggu lagi, persiapan sudah delapan puluh persen. Tinggal menyebar undangan, untuk pesta di kampung memang tak banyak. Sekitar seribu undangan saja, karena kami pun tak banyak kenalan. Di kampung, ibu sudah menelepon memberitahukan persiapan pernikahan. Surat undangan sudah siap dicetak, tinggal menungguku datang untuk mengundang siapa saja. Ibu menyuruhku seminggu sebelum akad, sudah pulang. Aku pun mempersiapkan diri termasuk urusan restoran. Semua karyawan aku liburkan sehari pas pesta pernikahan. Mereka menyambut dengan gembira, setelah mendengar aku akan menikah. Mereka ingin menghadiri pernikahanku, aku bilang nanti saja saat pesta ke dua di gedung. Agar tidak terlalu jauh dari tempat tinggal, mereka pun menyetujuinya. Gegas aku masukkan baju ke koper, selama seminggu aku akan berada di kampung. Setelah seminggu pesta di kampung baru ngunduh temanten di gedung. Nova membantuku membawa koper, lalu memasukkan ke bagasi mobil. Sengaja meminta Nova ya
Mas Gun kembali mengajak ke Mall, membeli barang untuk hantaran nanti. Kali ini aku yang memilih karena aku yang tau ukurannya, seperti mukena set, sepatu, sampai BH dan CD hingga saat aku mengangkatnya Mas Gun memalingkan wajah karena malu. Aku pun tertawa terbahak-bahak. "Oh iya, Mas gimana ranjang dan lemari apa udah disiapkan juga?" tanyaku kepo. "Sudah disiapkan Mama jauh-jauh hari, udah ada di rumah. Apa Tiara mau melihat ke rumah?" tanya Mas Gun. "Boleh, Mas! Tiara juga ingin tau kan blom pernah ke rumah Mas, sekalian ketemu Mama Laras," jawabku. Tentu saja ke rumah Mas Gun juga bagus, barang-barang yang dibeli tadi juga di taruh di rumah Mas Gun dulu. Di bungkus yang cantik untuk hantaran nanti. Setibanya di depan gerbang rumah, lagi-lagi aku melongo. Ini kan bukan rumah tapi istana, indah dan besar. Bahkan halaman yang begitu luas membuat mobil agak masuk ke dalam lagi. Mas Gun memencet mobil, terlihat satpam tergopoh-gopoh membuka gerbang. Mas Gun melajukan mobilnya ma
Hari pernikahan dengan Mas Gun semakin dekat. Rencana setelah sidang cerai selesai, dalam dua minggu Mas Gun akan melamarku. Masa iddahku juga sudah selesai, kusambut dengan bahagia hari yang akan membawaku menuju pelaminan. Ibu sudah balik kampung duluan untuk mempersiapkan pernikahan. Sedangkan aku masih di restoran mengurus segala tetebengeknya. Sesuai musyawarah, pesta pernikahan akan diadakan dua kali. Pertama di kampung dan kedua di gedung. Siang itu Mas Gun datang, seperti biasa akan makan siang. Kali ini dia datang sendiri, sekalian membicarakan pernikahan kami. "Tiara, Mas sungguh senang saat mendengar ceritamu tentang sidang itu. Apalagi Mama udah nggak sabar melihat kita menikah," kata Mas Gun cekikan. "Alhamdulillah, Mas! Sidang berjalan lancar. Gimana persiapan pernikahan kita Mas?" tanyaku menatap pria tampan di depanku. "Untuk mahar, Tiara mau yang mana? Oh iya siap makan kita akan mencari cincin nikah dulu, kamu mau kan?" "Baik, Mas! Kalo gitu Tiara siap-siap dul
"Mama senang bisa ketemu kamu lagi, Tiara!" kata Mama sambil memotong steak daging. "Tiara juga senang, Ma! Mama sehat kan?" "Alhamdulillah, Mama bahkan lebih sehat saat tau akan kemari," kekeh Mama. "Iya, Mama begitu semangat saat akan Mas ajak ketemu kamu dan ibu. Bahkan Mama udah ngomongin soal kita nikah," ucap Mas Gun melirik Mama. Aku cuma tersenyum memandangnya. Sambil makan kita mengobrol, kadang melucu hingga tertawa. "Lah, kan betul ya besan?" tanya Mama memanggil ibuku besan. Mas Gun dan aku melongo. "Iya, besan. Seharusnya mereka berdua yang ngebet, ini malah kita yang nggak sabar," jawab ibu tertawa renyah. Tawa kami meledak mendengar guyonan ibu. Betapa hangat hatiku bila dua wanita yang menyayangiku itu akrab. Wanita yang sama-sama tidak memandang status tapi lebih mengutamakan kebahagiaan anaknya. "Oh, iya bagaimana jalannya sidang perceraian kamu?" tanya Mas Gun. "Insya Allah, besok baru masuk sidang Mas. Ini tadi udah mediasi tapi aku tetap memilih bercerai,
Saat sadar, aku sudah berada di suatu tempat. Aku memandang sekeliling, semua serba putih. Di mana aku? "Kamu udah sadar, Nak?" tanya suara lembut ibu. "Ibu?" "Ya, ibu ke sini karena khawatir. Saat menelepon kamu, tapi nggak kamu jawab lagi. Nova langsung mengabari kalo kamu pingsan." "Aku di mana, Bu?" tanyaku. "Di rumah sakit, tadi Nova yang di sini setelah ibu datang dia baru pulang ke restoran," jawab ibu. Aku bergerak bangun, ibu membantuku duduk. Lalu duduk di kursi sampingku. "Sebenarnya apa yang terjadi sampai kamu pingsan?" tanya ibu khawatir. "Maaf, Bu. Kalo Ratih buat ibu cemas, akhir-akhir ini banyak masalah yang terjadi," jawabku sambil menghembuskan napas. "Memangnya ada apa? Ceritakan pada ibu," pinta ibu. Aku mulai menjelaskan semua, mulai dari masalah Andre, Mona hingga Bagas. Ibu mengangguk mendengarnya dan mengelus lembut tanganku. Memberi kekuatan agar aku bersabar. "Sebaiknya selesaikan masalah kamu satu persatu. Tentang Bagas, ibu rasa kamu tak perlu k
Suatu hari, Mona pernah mendatangi rumah Mas Gun. Kala itu cuma ada Mama Laras di rumah. Dengan nekat Mona bilang pada Mama Laras kalo dia dan Mas Gun pacaran. Sontak Mama Laras terkejut, tapi terlihat tenang. Walaupun curiga tapi Mama Laras menanggapi dengan santai, karena tau Mas Gun pasti cerita jika sudah punya pacar. Mama Laras lalu meminta bukti kalo memang benar Mona pacar Mas Gun. Mona yang awalnya gugup, lalu membuka ponselnya dan menunjukkan foto dia dengan Mas Gun. Akan tetapi Mama Laras cuma tertawa melihatnya, bagaimana mungkin dikatakan pacaran jika berfoto berjauhan. Banyak foto yang ditunjukkan Mona tapi semua sama. Mama Laras pun beranggapan bahwa Mona berbohong dan lebih tepat penguntit. Di dalam foto, banyak suasana dan acara yang dihadiri Gunawan dan selalu ada Mona di sana. Seperti dugaan Mama bahwa Mona hanya ngefans pada Mas Gun. Hingga saat Mama tak percaya, Mona terus memaksa Mama mengakui hubungan mereka. Mama Laras yang kesal pun segera memanggil satpam