Esoknya, setelah membereskan koper dan memasukkan ke bagasi mobil. Aku pun pamit pada ibu dan bapak, keduanya dengan penuh kasih sayang mengantarkan sampai ke halaman. "Kalo surat cerai itu udah sampai ke tangan Andre, beritahu kami ya Nak!" pinta ibu. "Iya, Bu! Ratih akan bertanya pada pengacara, kapan surat itu tiba dan bisa sidang di pengadilan," jawabku sebelum menghidupkan mobil. "Hati-hati di jalan, pelan-pelan aja bawa mobilnya," titah bapak. Aku mengangguk, "Ratih pamit dulu ya Pak, Bu, Assalamualaikum." "Wa'alaikumussalam," jawab keduanya dan melambaikan tangan. Aku melajukan mobil dengan kecepatan sedang, karena jalur masuk kampung belum terlalu mulus. Namun, masih bersyukur sarana transportasi mulai ramai. Sesampainya di restoran, disambut Nova dengan gembira. Sepertinya dia lega aku sudah pulang hingga bisa terlepas dari masalah yang akhir-akhir ini membuatnya pusing. "Bu, alhamdulillah. Akhirnya ibu pulang!" "Apa ada kabar baru?" tanyaku berjalan menuju kantor.
Tok, tok, tok Pintu diketuk, terdengar suara Nova di luar. "Masuk!" seruku. "Bu, ada yang ingin bertemu dengan ibu di depan!" "Siapa?" tanyaku heran. "Katanya teman ibu," jawab Nova. "Baiklah, saya akan ke depan!" kataku sambil beranjak bangun. Aku bergegas keluar, dengan hati bertanya-tanya siapa gerangan yang datang. Teman? Teman yang mana ya! Gumamku heran. Setelah sampai di depan, aku celingukan mencarinya. Terlihat seorang wanita melambaikan tangan. "Ratih ... sini!" panggilnya. "Kamu?" Kami lalu berpelukan, wanita di depanku ini ternyata Winda. "Perut kamu udah besar gini kenapa kemari?" tanyaku. "Bosen di rumah aja, Ratih! Lagian aku juga kangen, kamu sih nggak pernah mau main ke rumah Mas Anton," keluhnya. "Maaf, Win! Aku belum sempat, akhir-akhir ini aku sibuk," jawabku meminta pengertiannya. "Sibuk restoran? Bukankah banyak anak buah yang mengurus?" tanyanya. "Bukan itu, masalah perceraian. Sekarang mantan suami dan mertua udah tau kalo aku punya restoran. Jadi
Winda mengangguk dan menyeruput air minum. Saat asyik berbincang dengan Winda, tetiba di belakangku ada suara lembut menyapa. "Tiara!" Aku menoleh dan tersenyum saat tau siapa yang memanggil. Tumben dia ada waktu ke sini, Winda menaikkan alisnya melihat Mas Gun. Aku tau dari raut wajahnya pasti ingin tau siapa lelaki yang menyapaku. Setelah dekat, Mas Gun menarik kursi di sebelahku lalu duduk. Mas Gun dan Winda sama-sama melongo melihatku, aku pun tersadar. "Kenalkan dia temanku, Mas Gun!" kataku sambil menunjuk Winda. "Oh, iya. Kenalkan saya Gunawan, calon suami Tiara," ucap Mas Gun mengulurkan tangannya. "Tiara? Siapa Tiara sih?" tanya Winda heran tanpa menyambut uluran tangan Mas Gun. Aku pun terkekeh geli melihat Winda kebingungan. Tak sampai hati membuat Winda terus bingung, kemudian mengalirlah ceritaku tentang nama masa kecilku. Winda dan Mas Gun mengangguk mengerti. "Mutiara itu sungguh nama yang cantik, kenapa diganti jadi Ratih, sungguh sayang," gumam Winda. "Memang
"Ratih!" Aku menoleh dan terkejut hingga tak bisa berkata. Bagas?"Ratih, nggak nyangka bisa ketemu kamu di sini. Kemarin aku ke rumah kamu tapi ibumu bilang kamu udah balik ke kota," desah Bagas kecewa. Bagas berjalan mendekati, namun aku mundur ke belakang. Aku ingin menjaga jarak, takut bila Mas Gun melihat akan menimbulkan salah paham lagi. "Stop, jangan dekati aku, Gas!" kataku menghentikan langkahnya yang terus dekat. "Kenapa Ratih, kamu udah nggak mencintaiku lagi?" tanyanya sendu. "Gas, dari dulu aku hanya anggap kamu sebagai sahabat nggak lebih. Perasaan itu nggak bisa dipaksa, tolong kamu mengertilah!" tekanku memelas. "Kenapa, Ratih? Kamu lebih memilih lelaki itu dari aku, apa kamu lupa kebersamaan kita dari kecil sampai besar. Tapi mengapa kamu lebih condong kepada dia, secepat itukah hatimu berubah!" lirih Bagas dengan napas menderu. Aku diam, bagaimanapun aku mengatakan Bagas tetap saja kukuh dengan perasaannya. Tatapan orang-orang yang melewati kami terasa aneh,
"Asal kamu tau, Gas! Lisa adalah orang yang menghancurkan rumah tanggaku. Dia bahkan sudah bercinta dengan Andre, aku melihat dengan mata kepala sendiri," gumamku tanpa sadar bahwa Bagas belum begitu jauh. Bagas mendadak berhenti, diam tanpa menoleh hanya memandang ke depan. Lima menit hingga sepuluh menit, kami tiga berdiri tanpa bersuara. Kemudian Bagas melangkah pergi tanpa menoleh lagi ke arahku. Maafkan aku, Gas! Aku terpaksa memberitahu kamu kebenarannya agar kamu tak menyesal kemudian hari. Mas Gun mengelus lembut bahuku, menguatkan hatiku agar bersabar. Aku memandang Mas Gun menatap maniknya. Wajah tampan di depanku hanya tersenyum, aku juga bahagia akhirnya bisa menyelesaikan masalah hati dengan terbuka pada mereka. "Bu, apa udah diangkat teleponnya?" tanya Nova membuatku tersentak. "Belum, ini mau kesana. Ya udah, kamu lanjutkan kerja. Mas Gun, apa ingin ikut aku ke kantor?" tanyaku dengan senyum manis. "Boleh, yuk! Mas takut nanti kamu diculik lagi," gombalnya yang bu
"Walah, Anton! Ya iya aku ingat sekarang, Ya Allah udah lama kita nggak ketemu akhirnya ketemu di sini!" ujar Mas Gun tertawa, mereka pun saling berpelukan. Lah, lah, ada kejutan apa lagi ini. Mas Gun dan Mas Anton ternyata saling kenal, aku dan Winda hanya tersenyum geli. "Memangnya Mas Gun dengan Mas Anton siapa? Kok kalian saling kenal?" tanyaku heran. "Anton itu sepupu, Mas!" jawab Mas Gun yang dibalas anggukan Mas Anton. "Oh, sepupu! Pantes kalian akrab, tapi Mas bilang tadi udah lama gak ketemu. Cerita dong!" rayuku. Lalu mengalirlah cerita dari bibir Mas Gun. Kami semua mendengar dengan seksama. "Dahulu, saat kecil Mas dan Anton sering bermain. Rumah kami yang hanya dipisah jarak dua rumah, memang bertetanggaan. Namun, entah karena masalah apa Anton pindah rumah. Kami tidak tau karena masih kecil, tapi Anton bilang di rumahnya bapak dan ibunya sering ribut, iya kan, Ton?" Mas Anton mengangguk, kemudian gantian bicara. "Memang benar yang dikatakan Gunawan. Awalnya hidup k
Suatu hari, Mona pernah mendatangi rumah Mas Gun. Kala itu cuma ada Mama Laras di rumah. Dengan nekat Mona bilang pada Mama Laras kalo dia dan Mas Gun pacaran. Sontak Mama Laras terkejut, tapi terlihat tenang. Walaupun curiga tapi Mama Laras menanggapi dengan santai, karena tau Mas Gun pasti cerita jika sudah punya pacar. Mama Laras lalu meminta bukti kalo memang benar Mona pacar Mas Gun. Mona yang awalnya gugup, lalu membuka ponselnya dan menunjukkan foto dia dengan Mas Gun. Akan tetapi Mama Laras cuma tertawa melihatnya, bagaimana mungkin dikatakan pacaran jika berfoto berjauhan. Banyak foto yang ditunjukkan Mona tapi semua sama. Mama Laras pun beranggapan bahwa Mona berbohong dan lebih tepat penguntit. Di dalam foto, banyak suasana dan acara yang dihadiri Gunawan dan selalu ada Mona di sana. Seperti dugaan Mama bahwa Mona hanya ngefans pada Mas Gun. Hingga saat Mama tak percaya, Mona terus memaksa Mama mengakui hubungan mereka. Mama Laras yang kesal pun segera memanggil satpam
Saat sadar, aku sudah berada di suatu tempat. Aku memandang sekeliling, semua serba putih. Di mana aku? "Kamu udah sadar, Nak?" tanya suara lembut ibu. "Ibu?" "Ya, ibu ke sini karena khawatir. Saat menelepon kamu, tapi nggak kamu jawab lagi. Nova langsung mengabari kalo kamu pingsan." "Aku di mana, Bu?" tanyaku. "Di rumah sakit, tadi Nova yang di sini setelah ibu datang dia baru pulang ke restoran," jawab ibu. Aku bergerak bangun, ibu membantuku duduk. Lalu duduk di kursi sampingku. "Sebenarnya apa yang terjadi sampai kamu pingsan?" tanya ibu khawatir. "Maaf, Bu. Kalo Ratih buat ibu cemas, akhir-akhir ini banyak masalah yang terjadi," jawabku sambil menghembuskan napas. "Memangnya ada apa? Ceritakan pada ibu," pinta ibu. Aku mulai menjelaskan semua, mulai dari masalah Andre, Mona hingga Bagas. Ibu mengangguk mendengarnya dan mengelus lembut tanganku. Memberi kekuatan agar aku bersabar. "Sebaiknya selesaikan masalah kamu satu persatu. Tentang Bagas, ibu rasa kamu tak perlu k