Masih sibuk menggoreng telur, pintu depan digedor. "Ya, tunggu sebentar!" teriakku. Setelah pintu terbuka aku kaget, Wak Narti? Ada apa tukang warung sepagi ini sudah datang menggedor rumahku. "Ada apa, Wak?" tanyaku heran. "Wak cuma mau nagih hutang," jawabnya. "Hutang apa, Wak? Aku merasa nggak berhutang pada Wak Narti," kataku polos. "Ya hutang belanja, apalagi! Ratih kan tiap hari belanja di warung, uangnya selalu nggak cukup jadi dia berhutang. Wak heran loh, padahal kamu kerja kantor gaji banyak kenapa belanja kebutuhan aja sampai nggak cukup?" Aku bingung harus jawab apa, memang benar karena aku cuma memberi Ratih belanja 50 ribu seminggu. Sebenarnya aku tau itu tak cukup tapi sekali lagi karena hatiku sudah tertutup ego hingga tak memikirkan kesusahan Ratih. "Berapa semua, Wak hutangnya?" tanyaku tanpa menjawab pertanyaan Wak Narti. Wak Narti segera membuka buku kasbon utang dan memperlihatkan padaku. Aku terbelalak mengetahui jumlahnya yang besar. Dua juta? Kenapa bis
Begitu membuka mata, aku sudah berada di ranjang. Terlihat Mama sedang duduk menunggu di samping, berulang kali mengompres dahiku. "Kamu udah sadar, Ndre? Syukurlah, Mama sampai khawatir terjadi apa-apa denganmu," katanya cemas. "Andre nggak apa-apa, Ma. Cuma pusing sedikit, oh ya bagaimana Andre bisa sampai di sini?" tanyaku heran. "Tadi temanmu yang gotong kemari. Saat Mama melihatmu digotong, Mama sampai shock. Mama kira kamu meninggal Ndre, huhuhuhu, hiks!" isak Mama menahan tangis. Mataku membulat mendengar Mama sampai berpikir sejauh itu. Ah, meninggal pun tidak akan menyelesaikan masalah. Apa Mama sanggup melunasi angsuran mobil nanti kalo aku sudah tidak ada. "Sebenarnya kenapa kamu pingsan? Kata Bos kamu, begitu menerima pesan kamu langsung nggak sadarkan diri. Bener itu, Ndre?" tanya Mama ingin tau. "Bener, Ma. Andre nggak sanggup lagi makanya pingsan," jawabku pendek sembari menghela napas. "Memangnya pesan dari siapa? Lisa? atau Ratih?" Aku menggeleng, kenapa hidup
Bangkit dari ranjang dan menyambar handuk. Aku harus bergegas membayar angsuran mobil sebelum didenda. Baru saja akan keluar rumah, Lisa sudah memasuki pagar. Kok dia tau aku ada di rumah, padahal hari ini aku lagi malas ketemu. "Mas Andre!" teriaknya memanggil. "Hum," jawabku pendek. "Kamu mau kemana, Mas? Tadi aku ke kantor kamu, tapi katanya kamu pingsan dan dibawa pulang. Makanya aku kemari melihatmu," ucapnya bergelayut manja. "Aku mau keluar sebentar, ada perlu!" "Aku ikut ya! Untuk jaga-jaga sapa tau Mas pingsan lagi," kekehnya. Aku tak menanggapi, bisa kacau kalo dia ikut. Apalagi aku mau bayar angsuran, ntar dikira aku banyak uang bisa-bisa dia akan minta macam-macam lagi. "Kamu nggak usah ikut, tunggu aja di sini ya! Mas cuma sebentar aja," bujukku. "Ogah, mana enak sendiri di sini. Lebih baik aku ikut," Lisa tetap kukuh ikut. "Tapi, mobil Mas nggak bisa jalan. Habis bensin, kalo kamu ikut naik apa coba?" "Hah, kok bisa sampai habis nggak tau sih! Jadi gimana dong?
Sesuai rencana, aku dan bos akan menghadiri acara ulang tahun Bos Gunawan Prakoso. Beberapa hari ini Bos sibuk menyiapkan agenda kerja, agar hasilnya memuaskan. Bos juga banyak menceritakan tentang Bos Gunawan itu. Pria muda dengan segudang prestasi itu sungguh membuatku kagum. Pantas saja dia dipercaya memimpin perusahaan keluarganya yang besar. Perusahaan kecil milik Bos ku juga sudah lama bekerja sama dengan perusahaan Bos Gunawan. Boleh dikatakan andil Beliau besar dalam memajukan perusahaan bos ku. Bos ku sendiri yang bernama Pak Hardi adalah seorang yang sangat berdedikasi. Walaupun sudah agak berumur tapi sifatnya masih tampak muda. Bahkan ada sedikit genit, apalagi jika melihat wanita cantik. Tak jarang Pak Hardi menggodanya. Aku yang sering ikut dengannya sudah hafal kebiasaannya. Untunglah, tidak sampai merusak hubungan kerjasama. Wanita manapun pasti senang digoda, selama masih batas wajar. "Ayo, Andre. Cepetan! Ntar terlambat," ajak Bos mengetuk toilet. "Iya, Bos. Ini
Ratih hanya tersenyum saat dari bibirku keluar gumaman. Kenapa nama Ratih bisa menjadi Mutiara? Siapa dia sebenarnya? Tunggu, bukankah nama restoran ini juga Mutiara. Mungkin saja dia memakai nama Restoran, agar terlihat menarik. Huh, dasar wanita licik. Ternyata begini kelakuannya usai bercerai denganku. Jangan-jangan kemarin dia juga minta uang pada Bos Gunawan untuk membeli gaun. Ratih menjadi wanita murahan, 'kasihan sekali kamu Ratih!' batinku menyeringai. Aku dan Ratih hanya diam mendengarkan, Bos ku dan Bos Gunawan berbicara. Saat Bos ku bertanya ada hubungan apa dengan Ratih, aku segera menajamkan pendengaran. Bagai disambar petir saat kata itu keluar dari mulut Bos Gunawan. Pemilik restoran? Benarkah Ratih pemilik restoran? Ah, tidak mungkin. Bisa saja Bos Gunawan bercanda. Tapi, bisa juga serius karena Bos Gunawan sangat mantap berbicara. Tak lama Bos Gunawan membawa Ratih pergi, entah kemana. Aku terus memperhatikannya dengan ekor mataku. Seperti kudengar tadi Ratih ak
Sudah beberapa hari semenjak kenal dengan Mas Gun, begitulah panggilanku sekarang pada lelaki tampan itu. Kini hari-hariku bertambah semangat. Apalagi setiap hari Mas Gun selalu menyempatkan makan di restoran. Terkadang siang bareng temannya, kadang juga malam sendirian. Bila malam, setelah makan Mas Gun akan mengajakku jalan-jalan ke taman di depan. Untuk sementara, cuma ini yang bisa kami lakukan karena masa iddahku belum selesai juga perceraian dengan Andre belum sah secara negara. Walaupun aku belum mengajukan ke pengadilan, akan tetapi di tanganku sudah banyak tersimpan bukti. Aku hanya menunggu waktu yang tepat. Sejak Andre tau aku pemilik restoran, dia pasti tidak akan tinggal diam. Jadi, aku mesti berjaga-jaga kalo dia sampai menjadikan kekayaanku sebagai alasan tidak pernah menceraikanku. Apalagi kalo Mama Andre juga mengetahui, bukan tidak mungkin keluarga arogan itu akan terus merongrong. Mama Andre yang culas itu pasti berani berbuat apapun demi uang. Seperti saat aku
Ting! Bunyi notifikasi masuk, pesan dari nomor tak dikenal. Lagi-lagi pesan yang kemarin membuatku terkejut. [Hei, janda gatel! Sebaiknya kamu mundur sekarang atau kamu akan menyesal telah merebutnya dari tanganku] Siapa dia sebenarnya? gumamku heran. Sudah dua kali si peneror mengirim pesan yang berisi ancaman, ini tak bisa dibiarkan. Masalahku dengan Andre baru saja akan dimulai, jadi jika ditambah ini apakah aku sanggup menghadapinya. Didorong rasa ingin tau, aku pun mengetik balasan. [Maaf, kamu siapa? Dan jangan menuduh kalo tak ada bukti] kusertai emoticon marah. [Kamu tak perlu tau siapa aku, yang penting kamu harus jauhi calon saya. Kalo tidak aku tak segan melukaimu] balasnya. Aku melongo, ancamannya ternyata tidak main-main. Namun, aku penasaran siapa dia dan siapa calon yang dimaksudnya. Aku pun terus membalas pesannya agar terbongkar jati dirinya. [Calon siapa yang kamu maksud?] ketikku. [Jangan pura-pura bodoh, kamu pasti tau siapa yang kumaksud. Jadi, kalo kamu
Karyawan itu mengangguk dan keluar kantor di iringi Nova. Aku pun mencoba mengingat apakah aku pernah mengenalnya. Wanita itu berambut pendek, sedangkan Lisa berambut panjang. Berarti bukan Lisa, lalu siapa? Pandanganku kemudian tertuju pada laptop, ah mungkin saja kejadian saat itu terekam kamera. Ya aku segera membuka laptop, mencari video yang menampilkan beragam peristiwa. Kuamati satu persatu, dari sepuluh video akhirnya aku menemukannya. Memang benar wanita itu mendekati dan berbincang pada karyawan tadi. Ciri-cirinya juga persis di sebutkan, akan tetapi yang membuatku heran kenapa kejadian itu pas ulang tahun Mas Gun. Ada apa? Benarkah dia ada hubungannya dengan Mas Gun? Pacarnya atau penggemarnya? Ah, ternyata Mas Gun masih menyimpan banyak rahasia. Aku belum lama mengenal Mas Gun, jadi belum tau sesungguhnya dirinya. Aku sudah percaya padanya begitu saja, Mas Gun benarkah ada rahasia yang belum kamu ceritakan padaku. Mengapa kamu tidak jujur padaku, tak terasa bulir air m
Hari Minggu pun tiba, dari pagi sudah sudah mulai terlihat kesibukan. Para tetangga yang rewang sudah banyak yang berdatangan, membantu memasak di dapur. Sedari malam aku luluran dan memakai inai, sengaja sebelum subuh aku mandi agar segar seharian saat menjadi pengantin. Walaupun sudah pernah menikah tapi perasaan gugup dan tegang itu masih ada. Perias pengantin yang mendandani aku juga tak makan waktu lama karena sudah profesional dan ahli. Hingga Mas Gun dan keluarga besar datang, dimulailah ijab qobul. Aku duduk di sebelah Mas Gun yang dipakaikan selendang putih di kepala. Dengan lancar Mas Gun mengucap ijab qobul, yang dijawab sah oleh penghulu dan hadirin. Acara berlanjut hingga temu pengantin sampai selesai lalu setelah duduk di pelaminan maka anggota perwiritan ibu-ibu yang mendapat giliran marhaban. Bunyi gendang yang ditabuh serta doa dan nyanyian pengantin mengiringi. "Tiara, kamu cantik sayang!" bisik Mas Gun setelah acara selesai. Kami berdua tinggal duduk saja meny
Akhirnya sampai juga di kampung, aku membangunkan Nova yang terlelap tidur. Aku tak bisa tidur sama sekali karena Mas Gun mengajak ngobrol dan tertawa. "Mas, kejadian penculikan ini jangan beritahu pada orang tuaku ya! Tiara nggak ingin mereka jadi khawatir," kataku sebelum turun dari mobil. Mas Gun mengangguk dan mengedipkan matanya. Nova juga sudah kuperingatkan, lalu turun membantu mengambil koper di bagasi. Ibu menyambut kedatangan kami dengan senyum. "Oh, udah sampai kamu Nak! Datangnya kok rame-rame gini?" "Iya, Bu! Tadi sebenarnya cuma Nova yang akan mengantar, tapi Mas Gun minta ikut, katanya kangen sama ibu. Iya kan, Mas!" ujarku terkekeh. Mas Gun gelagapan karena sandiwaraku lalu terpaksa mengangguk juga. Mas Gun pasti tak menyangka aku sampai berkata itu. "Ya udah, ayo masuk dulu. Kebetulan ibu udah siap masak, kita makan dulu. Kalian pasti udah lapar, kan !" ajak ibu. "Assiiaap, Bu!" kelakar Mas Gun. Kami semua tertawa melihatnya, Mas Gun pasti sudah ingin mencicip
"Jadi, kalian bersengkongkol untuk menculikku!" hardikku marah. "Andre, lepaskan aku! Apa kamu nggak takut ditangkap polisi, pikirkan ibumu," sergahku. "Hahahaha ... Kamu pikir Andre akan mendengarkanmu setelah apa yang kamu perbuat pada dirinya. Kamu sungguh licik, dasar wanita penggoda yang merampas kebahagiaan orang!" cemooh Mona mencibir sinis. "Merampas kebahagiaan siapa? Kebahagiaan kamu gitu? Cih, seharusnya kamu tau diri kalo Mas Gun nggak tertarik padamu sedikitpun. Dasar penguntit!" aku kembali mengejeknya. Plak! "Apa kamu bilang? Penguntit? Awalnya aku mengejar Gunawan dan akan mendapatkannya tapi kamu datang merusak semua usahaku. Jadi, kamu harus membayarnya," ucap Mona meninggi. Pipiku yang ditampar terasa sakit dan perih. Kulihat Andre cuma diam saja, aku celingukan mencari Nova. Kemana dia? Nova pasti di tempat lain. "Andre, mau kita apakan ini Ratih?" tanya Mona melirik Andre. Andre cuma diam memandangku, lalu memandang kedua kakiku yang sedikit terbuka hingga
Hari pernikahan tinggal seminggu lagi, persiapan sudah delapan puluh persen. Tinggal menyebar undangan, untuk pesta di kampung memang tak banyak. Sekitar seribu undangan saja, karena kami pun tak banyak kenalan. Di kampung, ibu sudah menelepon memberitahukan persiapan pernikahan. Surat undangan sudah siap dicetak, tinggal menungguku datang untuk mengundang siapa saja. Ibu menyuruhku seminggu sebelum akad, sudah pulang. Aku pun mempersiapkan diri termasuk urusan restoran. Semua karyawan aku liburkan sehari pas pesta pernikahan. Mereka menyambut dengan gembira, setelah mendengar aku akan menikah. Mereka ingin menghadiri pernikahanku, aku bilang nanti saja saat pesta ke dua di gedung. Agar tidak terlalu jauh dari tempat tinggal, mereka pun menyetujuinya. Gegas aku masukkan baju ke koper, selama seminggu aku akan berada di kampung. Setelah seminggu pesta di kampung baru ngunduh temanten di gedung. Nova membantuku membawa koper, lalu memasukkan ke bagasi mobil. Sengaja meminta Nova ya
Mas Gun kembali mengajak ke Mall, membeli barang untuk hantaran nanti. Kali ini aku yang memilih karena aku yang tau ukurannya, seperti mukena set, sepatu, sampai BH dan CD hingga saat aku mengangkatnya Mas Gun memalingkan wajah karena malu. Aku pun tertawa terbahak-bahak. "Oh iya, Mas gimana ranjang dan lemari apa udah disiapkan juga?" tanyaku kepo. "Sudah disiapkan Mama jauh-jauh hari, udah ada di rumah. Apa Tiara mau melihat ke rumah?" tanya Mas Gun. "Boleh, Mas! Tiara juga ingin tau kan blom pernah ke rumah Mas, sekalian ketemu Mama Laras," jawabku. Tentu saja ke rumah Mas Gun juga bagus, barang-barang yang dibeli tadi juga di taruh di rumah Mas Gun dulu. Di bungkus yang cantik untuk hantaran nanti. Setibanya di depan gerbang rumah, lagi-lagi aku melongo. Ini kan bukan rumah tapi istana, indah dan besar. Bahkan halaman yang begitu luas membuat mobil agak masuk ke dalam lagi. Mas Gun memencet mobil, terlihat satpam tergopoh-gopoh membuka gerbang. Mas Gun melajukan mobilnya ma
Hari pernikahan dengan Mas Gun semakin dekat. Rencana setelah sidang cerai selesai, dalam dua minggu Mas Gun akan melamarku. Masa iddahku juga sudah selesai, kusambut dengan bahagia hari yang akan membawaku menuju pelaminan. Ibu sudah balik kampung duluan untuk mempersiapkan pernikahan. Sedangkan aku masih di restoran mengurus segala tetebengeknya. Sesuai musyawarah, pesta pernikahan akan diadakan dua kali. Pertama di kampung dan kedua di gedung. Siang itu Mas Gun datang, seperti biasa akan makan siang. Kali ini dia datang sendiri, sekalian membicarakan pernikahan kami. "Tiara, Mas sungguh senang saat mendengar ceritamu tentang sidang itu. Apalagi Mama udah nggak sabar melihat kita menikah," kata Mas Gun cekikan. "Alhamdulillah, Mas! Sidang berjalan lancar. Gimana persiapan pernikahan kita Mas?" tanyaku menatap pria tampan di depanku. "Untuk mahar, Tiara mau yang mana? Oh iya siap makan kita akan mencari cincin nikah dulu, kamu mau kan?" "Baik, Mas! Kalo gitu Tiara siap-siap dul
"Mama senang bisa ketemu kamu lagi, Tiara!" kata Mama sambil memotong steak daging. "Tiara juga senang, Ma! Mama sehat kan?" "Alhamdulillah, Mama bahkan lebih sehat saat tau akan kemari," kekeh Mama. "Iya, Mama begitu semangat saat akan Mas ajak ketemu kamu dan ibu. Bahkan Mama udah ngomongin soal kita nikah," ucap Mas Gun melirik Mama. Aku cuma tersenyum memandangnya. Sambil makan kita mengobrol, kadang melucu hingga tertawa. "Lah, kan betul ya besan?" tanya Mama memanggil ibuku besan. Mas Gun dan aku melongo. "Iya, besan. Seharusnya mereka berdua yang ngebet, ini malah kita yang nggak sabar," jawab ibu tertawa renyah. Tawa kami meledak mendengar guyonan ibu. Betapa hangat hatiku bila dua wanita yang menyayangiku itu akrab. Wanita yang sama-sama tidak memandang status tapi lebih mengutamakan kebahagiaan anaknya. "Oh, iya bagaimana jalannya sidang perceraian kamu?" tanya Mas Gun. "Insya Allah, besok baru masuk sidang Mas. Ini tadi udah mediasi tapi aku tetap memilih bercerai,
Saat sadar, aku sudah berada di suatu tempat. Aku memandang sekeliling, semua serba putih. Di mana aku? "Kamu udah sadar, Nak?" tanya suara lembut ibu. "Ibu?" "Ya, ibu ke sini karena khawatir. Saat menelepon kamu, tapi nggak kamu jawab lagi. Nova langsung mengabari kalo kamu pingsan." "Aku di mana, Bu?" tanyaku. "Di rumah sakit, tadi Nova yang di sini setelah ibu datang dia baru pulang ke restoran," jawab ibu. Aku bergerak bangun, ibu membantuku duduk. Lalu duduk di kursi sampingku. "Sebenarnya apa yang terjadi sampai kamu pingsan?" tanya ibu khawatir. "Maaf, Bu. Kalo Ratih buat ibu cemas, akhir-akhir ini banyak masalah yang terjadi," jawabku sambil menghembuskan napas. "Memangnya ada apa? Ceritakan pada ibu," pinta ibu. Aku mulai menjelaskan semua, mulai dari masalah Andre, Mona hingga Bagas. Ibu mengangguk mendengarnya dan mengelus lembut tanganku. Memberi kekuatan agar aku bersabar. "Sebaiknya selesaikan masalah kamu satu persatu. Tentang Bagas, ibu rasa kamu tak perlu k
Suatu hari, Mona pernah mendatangi rumah Mas Gun. Kala itu cuma ada Mama Laras di rumah. Dengan nekat Mona bilang pada Mama Laras kalo dia dan Mas Gun pacaran. Sontak Mama Laras terkejut, tapi terlihat tenang. Walaupun curiga tapi Mama Laras menanggapi dengan santai, karena tau Mas Gun pasti cerita jika sudah punya pacar. Mama Laras lalu meminta bukti kalo memang benar Mona pacar Mas Gun. Mona yang awalnya gugup, lalu membuka ponselnya dan menunjukkan foto dia dengan Mas Gun. Akan tetapi Mama Laras cuma tertawa melihatnya, bagaimana mungkin dikatakan pacaran jika berfoto berjauhan. Banyak foto yang ditunjukkan Mona tapi semua sama. Mama Laras pun beranggapan bahwa Mona berbohong dan lebih tepat penguntit. Di dalam foto, banyak suasana dan acara yang dihadiri Gunawan dan selalu ada Mona di sana. Seperti dugaan Mama bahwa Mona hanya ngefans pada Mas Gun. Hingga saat Mama tak percaya, Mona terus memaksa Mama mengakui hubungan mereka. Mama Laras yang kesal pun segera memanggil satpam