Mata Andre tak berkedip melihatku. Ya, begitu aku keluar dari kamar ganti dan sudah mengenakan gaun yang akan kupesan. Sengaja aku tidak peduli tatapan Andre dan meminta pendapat karyawan. "Bagaimana, cantik nggak?" tanyaku. "Wah, ibu cantik seperti princess," puji karyawan itu terkekeh. Aku tersenyum mendengar jawabannya. Lalu memutar-mutar tubuhku untuk membuat Lisa iri. Sepintas kulihat Lisa menatap sinis dan bibirnya mencibir. "Baru segitu aja udah belagu, memangnya cuma dia yang bisa beli, cih!" desis Lisa meludah. "Mbak jangan salah ya, gini-gini gaun ini harganya 10 juta loh! Saya tantang mbak beli sekarang juga," ujar karyawan butik mencemooh Lisa. Lisa terbengong mendengar perkataan karyawan itu, merasa dihina Lisa lalu kembali merayu Andre agar dibelikan gaun. Dan mengambil sebuah gaun secara acak tanpa memperhatikan modelnya. Mungkin ingin menunjukkan pada karyawan itu kalo Lisa mampu membelinya. "Mas, aku mau gaun ini. Bayari dong!" "Nggak, gaun itu mahal! Mas ngga
"Ah, masa' sih! Ntar ditertawakan mereka gimana?" "Nggak mungkin lah, Bu. Mereka juga pasti tak percaya kalo ibu udah menikah, lah wong nampak masih muda," kekeh Nova geli. Aku memukul tangan Nova pelan karena gemas. Setelah dekat, aku sengaja berhenti agak jauh agar terkesan sopan. "Maaf, Pak Gunawan. Ini bos saya pemilik restoran ini," sapa Nova pada pria berjas di depan kami. Pria yang disebut Nova berbalik badan dan saat kami saling pandang, aku terkejut. Inikah yang namanya Gunawan Prakoso itu, masih muda. Tinggi, putih, dan terakhir tampan. Ah, kok aku jadi melantur gini. Kukira Gunawan itu sudah tua orangnya, tak disangka ternyata masih muda. Entah sudah menikah atau belum, kalo belum pasti ada kesempatan. Lah, kok aku jadi terus mikir yang tidak-tidak gini. Sadar Ratih, jangan bikin malu. Kamu harus jual mahal agar tidak direndahkan, gumamku dalam hati. Gunawan Prakoso itu menyodorkan tangannya. Nova menjawil tanganku karena aku cuma bengong. "Bu!" Aku tersentak dan sa
Tiba-tiba, dari arah belakang ada suara wanita memanggil lembut Gunawan. Orang-orang memberikan jalan hingga wanita itu sampai di hadapannya. Aku yang melihatnya segera mundur ke belakang tanpa diketahui Gunawan. Tentu saja tidak ingin merusak momen itu, siapa tau wanita itu pacarnya Gunawan jadi tidak sopan jika aku terus berada disampingnya. "Selamat ulang tahun ya, sayang!" Aku yang sudah berjalan ke belakang sedikit mendengar suara wanita itu, hingga saat Mas Gun menjawabnya membuatku terkejut. "Ibu? Kenapa bisa kemari?" Ibu? Jadi wanita itu ibunya Mas Gun, ah sial aku salah sangka. Kupikir itu pacarnya tapi ternyata ... Ah, sudahlah aku terlanjur pergi dari situ. Lagian aku pasti malu jika terus berada di samping Mas Gun. Bisa-bisa ibunya mengira kami pacaran, akhirnya aku lega juga ada baiknya aku cepat menyingkir. Langkahku berhenti saat dari belakang terdengar suara memanggil. "Ratih!" Aku menoleh dan terkejut begitu tau siapa dia. Ah, kenapa harus bertemu dia lagi. Ka
"Kalo gitu, kami permisi dulu! Oh ya, Mutiara bolehkah ikut denganku? Ada yang mau aku kenalkan padamu," kata Mas Gun meminta persetujuan. "Maaf, Pak Gunawan. Kalo boleh tau dia siapanya Pak Gun?" tanya Pak Hardi ingin tau, soalnya tadi dia belum mendapatkan jawaban. "Oh, Mutiara ini adalah pemilik restoran ini. Saya booking restorannya untuk acara ulang tahun saya inilah. Jadi, sesuai janji saya akan mengenalkan pada kolega saya," jawab Mas Gun sambil menoleh padaku. Pak Hardi manggut-manggut, sedangkan Andre tercengang saat disebut pemilik restoran adalah aku. Aku hanya tersenyum geli melihat ekspresi wajahnya yang entah gimana itu. Lagaknya tadi dia menggertak akan melapor pada bos restoran tapi kini dia tau siapa sesungguhnya bos itu. Aku mengangguk dan setelah mereka saling bersalaman, kami berpencar. Kulihat Andre masih berdiri mematung, terus melihatku. Rasain kamu Andre, aku tau kamu pasti menyesal sudah menceraikanku. Apalagi jika Mamanya dan mbak Rina tau, mereka pasti k
Menelan saliva, bingung mau menjawab apa. Kenapa Bu Laras menanyakan perihal yang sukar kujawab. Apakah aku harus jujur atau berbohong? "Bagaimana, apa kamu udah menikah?" tanya Bu Laras kembali saat melihatku hanya diam. Guratan kecewa mulai nampak di wajahnya, tapi sebagai ibu beliau bisa berbesar hati bila kali ini belum juga waktunya menemukan jodoh buat anaknya. "Bu, maaf ya! Bukan Mutiara nggak mau jawab tapi Mutiara malu Bu! Semua pasti mengira saya ini masih gadis," jawabku gugup . "Kenapa? Kamu udah menikah?" Aku mengangguk, terlihat Bu Laras menghela nafas dan saat pandanganku tertuju pada Mas Gun, dia hanya tertunduk lesu. Aku tidak mengerti mengapa mereka jadi sedih. Apakah aku salah mengatakannya? "Ya udah kalo kamu udah menikah, nggak apa-apa kok. Belum rezeki Gunawan untuk melamarmu," ucap Bu Laras sendu. "Tunggu! Mas Gun mau melamar saya, Bu? Apa nggak salah? Bukankah kami baru kenal," cerocosku memberondong pertanyaan. "Nggak, Gunawan memang berniat melamarmu
"Nggak apa-apa, Bu. Memang seperti itu kenyataannya. Mutiara dan orang tua memang berasal dari desa. Namun, walaupun dari desa kehidupan kami nggak miskin. Kami punya tabungan yang banyak, hingga Mutiara bisa membuka restoran ini. Sayangnya, mantan suami dan mertua menganggap Mutiara nggak punya apa-apa. Hingga mereka memperlakukan Mutiara dengan hina," ucapku geram. Bu Laras mengelus lembut punggungku. Dengan kasih seorang ibu, beliau menenangkan diri ini. Seandainya dulu Mama Andre seperti Bu Laras, pasti rumah tanggaku akan baik-baik saja. Memang surga laki-laki itu terletak pada ibunya, tapi jika seorang ibu zalim, bukankah surga itu bisa berubah jadi neraka. Bukan saja neraka dunia, bahkan menjadi neraka akhirat. Mengingat ceramah ustad bahwa, seorang lelaki akan ditarik ke neraka oleh empat wanita yaitu ibunya, istrinya, anak perempuannya dan adik perempuannya. Jadi, sebisa mungkin menjadi lelaki yang adil dan bertanggungjawab untuk semua wanita yang ada di kehidupannya. Saa
Baru sesaat menikmati momen mesra ini, hapeku berdering. Sontak, aku membuka pesan masuk. Mataku terbelalak saat membaca dari nomer tak di kenal. [Eh, dasar janda gatel! Nggak tau malu, beraninya merebut calon orang] Mas Gun yang melihatku kaget memandang hape terus, segera menegurku. "Mutiara, ada apa?" "Eng, ini Mas dapet pesan tapi nggak tau dari sapa?" jawabku. "Emang dia bilang apa?" Hape kuberikan pada Mas Gun, biar dia baca sendiri. Soalnya kalo kata itu keluar dari mulutku sungguh menyakitkan. "Hah, kejamnya dia bilang begini padamu!" pekik Mas Gun juga shock. "Mas Gun, apa iya kalo aku seperti yang dibilang di pesan itu?" tanyaku sendu menatap manik matanya. "Nggak, Tiara. Mas yakin kalo kamu itu wanita baik, mungkin aja si pengirim itu membencimu. Namun, apakah kamu tau siapa dia?" Aku menggeleng, itu nomer baru. Bagaimana aku tau, tapi yang mengherankan mengapa dia tau nomerku. Apalagi yang dia kirim pesan itu adalah nomer bisnis, tak sembarang orang bisa mendapatk
Aku pun menjadi tertarik mendengar cerita mereka, jadi ingin melihat langsung apakah benar seperti yang mereka bilang. Aku tak tau kenapa begitu menggebu, biasa aku akan merasa tidak semangat apabila dikenalkan pada wanita. Namun, jika melihat langsung dan mencari tau sepertinya hal itu sungguh menantang dan itu sangat kusukai. "Oke, lain kali aku ikut kalian ke sana. Tapi, sebisanya jangan sampai membuat curiga, kita bersikap seperti biasa aja. Apa kalian mau?" kataku tegas. "Ciee, akhirnya teman kita si Gugun ini mau juga. Pasti karena kita bilang bosnya cantik, tapi apa kamu yakin Gun kalo kami bilang dia cantik? Bisa jadi kami hanya mempermainkanmu aja," jebak si Andi terkekeh menutup mulutnya. "Heh, aku itu udah kenal lama kalian jadi walaupun kalian somplak aku tau kapan bagi kalian bercanda dan serius," ucapku mendelik. Prok, prok, prok Mereka menepuk tangan bersamaan dengan tertawa, aku juga ikut senang. Kami bersahabat erat, walaupun mereka kerja di perusahaan milikku t
Hari Minggu pun tiba, dari pagi sudah sudah mulai terlihat kesibukan. Para tetangga yang rewang sudah banyak yang berdatangan, membantu memasak di dapur. Sedari malam aku luluran dan memakai inai, sengaja sebelum subuh aku mandi agar segar seharian saat menjadi pengantin. Walaupun sudah pernah menikah tapi perasaan gugup dan tegang itu masih ada. Perias pengantin yang mendandani aku juga tak makan waktu lama karena sudah profesional dan ahli. Hingga Mas Gun dan keluarga besar datang, dimulailah ijab qobul. Aku duduk di sebelah Mas Gun yang dipakaikan selendang putih di kepala. Dengan lancar Mas Gun mengucap ijab qobul, yang dijawab sah oleh penghulu dan hadirin. Acara berlanjut hingga temu pengantin sampai selesai lalu setelah duduk di pelaminan maka anggota perwiritan ibu-ibu yang mendapat giliran marhaban. Bunyi gendang yang ditabuh serta doa dan nyanyian pengantin mengiringi. "Tiara, kamu cantik sayang!" bisik Mas Gun setelah acara selesai. Kami berdua tinggal duduk saja meny
Akhirnya sampai juga di kampung, aku membangunkan Nova yang terlelap tidur. Aku tak bisa tidur sama sekali karena Mas Gun mengajak ngobrol dan tertawa. "Mas, kejadian penculikan ini jangan beritahu pada orang tuaku ya! Tiara nggak ingin mereka jadi khawatir," kataku sebelum turun dari mobil. Mas Gun mengangguk dan mengedipkan matanya. Nova juga sudah kuperingatkan, lalu turun membantu mengambil koper di bagasi. Ibu menyambut kedatangan kami dengan senyum. "Oh, udah sampai kamu Nak! Datangnya kok rame-rame gini?" "Iya, Bu! Tadi sebenarnya cuma Nova yang akan mengantar, tapi Mas Gun minta ikut, katanya kangen sama ibu. Iya kan, Mas!" ujarku terkekeh. Mas Gun gelagapan karena sandiwaraku lalu terpaksa mengangguk juga. Mas Gun pasti tak menyangka aku sampai berkata itu. "Ya udah, ayo masuk dulu. Kebetulan ibu udah siap masak, kita makan dulu. Kalian pasti udah lapar, kan !" ajak ibu. "Assiiaap, Bu!" kelakar Mas Gun. Kami semua tertawa melihatnya, Mas Gun pasti sudah ingin mencicip
"Jadi, kalian bersengkongkol untuk menculikku!" hardikku marah. "Andre, lepaskan aku! Apa kamu nggak takut ditangkap polisi, pikirkan ibumu," sergahku. "Hahahaha ... Kamu pikir Andre akan mendengarkanmu setelah apa yang kamu perbuat pada dirinya. Kamu sungguh licik, dasar wanita penggoda yang merampas kebahagiaan orang!" cemooh Mona mencibir sinis. "Merampas kebahagiaan siapa? Kebahagiaan kamu gitu? Cih, seharusnya kamu tau diri kalo Mas Gun nggak tertarik padamu sedikitpun. Dasar penguntit!" aku kembali mengejeknya. Plak! "Apa kamu bilang? Penguntit? Awalnya aku mengejar Gunawan dan akan mendapatkannya tapi kamu datang merusak semua usahaku. Jadi, kamu harus membayarnya," ucap Mona meninggi. Pipiku yang ditampar terasa sakit dan perih. Kulihat Andre cuma diam saja, aku celingukan mencari Nova. Kemana dia? Nova pasti di tempat lain. "Andre, mau kita apakan ini Ratih?" tanya Mona melirik Andre. Andre cuma diam memandangku, lalu memandang kedua kakiku yang sedikit terbuka hingga
Hari pernikahan tinggal seminggu lagi, persiapan sudah delapan puluh persen. Tinggal menyebar undangan, untuk pesta di kampung memang tak banyak. Sekitar seribu undangan saja, karena kami pun tak banyak kenalan. Di kampung, ibu sudah menelepon memberitahukan persiapan pernikahan. Surat undangan sudah siap dicetak, tinggal menungguku datang untuk mengundang siapa saja. Ibu menyuruhku seminggu sebelum akad, sudah pulang. Aku pun mempersiapkan diri termasuk urusan restoran. Semua karyawan aku liburkan sehari pas pesta pernikahan. Mereka menyambut dengan gembira, setelah mendengar aku akan menikah. Mereka ingin menghadiri pernikahanku, aku bilang nanti saja saat pesta ke dua di gedung. Agar tidak terlalu jauh dari tempat tinggal, mereka pun menyetujuinya. Gegas aku masukkan baju ke koper, selama seminggu aku akan berada di kampung. Setelah seminggu pesta di kampung baru ngunduh temanten di gedung. Nova membantuku membawa koper, lalu memasukkan ke bagasi mobil. Sengaja meminta Nova ya
Mas Gun kembali mengajak ke Mall, membeli barang untuk hantaran nanti. Kali ini aku yang memilih karena aku yang tau ukurannya, seperti mukena set, sepatu, sampai BH dan CD hingga saat aku mengangkatnya Mas Gun memalingkan wajah karena malu. Aku pun tertawa terbahak-bahak. "Oh iya, Mas gimana ranjang dan lemari apa udah disiapkan juga?" tanyaku kepo. "Sudah disiapkan Mama jauh-jauh hari, udah ada di rumah. Apa Tiara mau melihat ke rumah?" tanya Mas Gun. "Boleh, Mas! Tiara juga ingin tau kan blom pernah ke rumah Mas, sekalian ketemu Mama Laras," jawabku. Tentu saja ke rumah Mas Gun juga bagus, barang-barang yang dibeli tadi juga di taruh di rumah Mas Gun dulu. Di bungkus yang cantik untuk hantaran nanti. Setibanya di depan gerbang rumah, lagi-lagi aku melongo. Ini kan bukan rumah tapi istana, indah dan besar. Bahkan halaman yang begitu luas membuat mobil agak masuk ke dalam lagi. Mas Gun memencet mobil, terlihat satpam tergopoh-gopoh membuka gerbang. Mas Gun melajukan mobilnya ma
Hari pernikahan dengan Mas Gun semakin dekat. Rencana setelah sidang cerai selesai, dalam dua minggu Mas Gun akan melamarku. Masa iddahku juga sudah selesai, kusambut dengan bahagia hari yang akan membawaku menuju pelaminan. Ibu sudah balik kampung duluan untuk mempersiapkan pernikahan. Sedangkan aku masih di restoran mengurus segala tetebengeknya. Sesuai musyawarah, pesta pernikahan akan diadakan dua kali. Pertama di kampung dan kedua di gedung. Siang itu Mas Gun datang, seperti biasa akan makan siang. Kali ini dia datang sendiri, sekalian membicarakan pernikahan kami. "Tiara, Mas sungguh senang saat mendengar ceritamu tentang sidang itu. Apalagi Mama udah nggak sabar melihat kita menikah," kata Mas Gun cekikan. "Alhamdulillah, Mas! Sidang berjalan lancar. Gimana persiapan pernikahan kita Mas?" tanyaku menatap pria tampan di depanku. "Untuk mahar, Tiara mau yang mana? Oh iya siap makan kita akan mencari cincin nikah dulu, kamu mau kan?" "Baik, Mas! Kalo gitu Tiara siap-siap dul
"Mama senang bisa ketemu kamu lagi, Tiara!" kata Mama sambil memotong steak daging. "Tiara juga senang, Ma! Mama sehat kan?" "Alhamdulillah, Mama bahkan lebih sehat saat tau akan kemari," kekeh Mama. "Iya, Mama begitu semangat saat akan Mas ajak ketemu kamu dan ibu. Bahkan Mama udah ngomongin soal kita nikah," ucap Mas Gun melirik Mama. Aku cuma tersenyum memandangnya. Sambil makan kita mengobrol, kadang melucu hingga tertawa. "Lah, kan betul ya besan?" tanya Mama memanggil ibuku besan. Mas Gun dan aku melongo. "Iya, besan. Seharusnya mereka berdua yang ngebet, ini malah kita yang nggak sabar," jawab ibu tertawa renyah. Tawa kami meledak mendengar guyonan ibu. Betapa hangat hatiku bila dua wanita yang menyayangiku itu akrab. Wanita yang sama-sama tidak memandang status tapi lebih mengutamakan kebahagiaan anaknya. "Oh, iya bagaimana jalannya sidang perceraian kamu?" tanya Mas Gun. "Insya Allah, besok baru masuk sidang Mas. Ini tadi udah mediasi tapi aku tetap memilih bercerai,
Saat sadar, aku sudah berada di suatu tempat. Aku memandang sekeliling, semua serba putih. Di mana aku? "Kamu udah sadar, Nak?" tanya suara lembut ibu. "Ibu?" "Ya, ibu ke sini karena khawatir. Saat menelepon kamu, tapi nggak kamu jawab lagi. Nova langsung mengabari kalo kamu pingsan." "Aku di mana, Bu?" tanyaku. "Di rumah sakit, tadi Nova yang di sini setelah ibu datang dia baru pulang ke restoran," jawab ibu. Aku bergerak bangun, ibu membantuku duduk. Lalu duduk di kursi sampingku. "Sebenarnya apa yang terjadi sampai kamu pingsan?" tanya ibu khawatir. "Maaf, Bu. Kalo Ratih buat ibu cemas, akhir-akhir ini banyak masalah yang terjadi," jawabku sambil menghembuskan napas. "Memangnya ada apa? Ceritakan pada ibu," pinta ibu. Aku mulai menjelaskan semua, mulai dari masalah Andre, Mona hingga Bagas. Ibu mengangguk mendengarnya dan mengelus lembut tanganku. Memberi kekuatan agar aku bersabar. "Sebaiknya selesaikan masalah kamu satu persatu. Tentang Bagas, ibu rasa kamu tak perlu k
Suatu hari, Mona pernah mendatangi rumah Mas Gun. Kala itu cuma ada Mama Laras di rumah. Dengan nekat Mona bilang pada Mama Laras kalo dia dan Mas Gun pacaran. Sontak Mama Laras terkejut, tapi terlihat tenang. Walaupun curiga tapi Mama Laras menanggapi dengan santai, karena tau Mas Gun pasti cerita jika sudah punya pacar. Mama Laras lalu meminta bukti kalo memang benar Mona pacar Mas Gun. Mona yang awalnya gugup, lalu membuka ponselnya dan menunjukkan foto dia dengan Mas Gun. Akan tetapi Mama Laras cuma tertawa melihatnya, bagaimana mungkin dikatakan pacaran jika berfoto berjauhan. Banyak foto yang ditunjukkan Mona tapi semua sama. Mama Laras pun beranggapan bahwa Mona berbohong dan lebih tepat penguntit. Di dalam foto, banyak suasana dan acara yang dihadiri Gunawan dan selalu ada Mona di sana. Seperti dugaan Mama bahwa Mona hanya ngefans pada Mas Gun. Hingga saat Mama tak percaya, Mona terus memaksa Mama mengakui hubungan mereka. Mama Laras yang kesal pun segera memanggil satpam