"Oh ya, gimana hubungan kamu dengan Andre? Apa kalian jadi pisah?" tanya ibu cemas. Aku menunduk sedih, ingin berpura-pura kalo rencana gagal. Bergantian ingin beri kejutan pada mereka, melihatku murung ibu mengelus lembut bahuku. "Sabar ya, Nak. Mungkin belum waktunya untuk kamu pisah dari Andre, kalo memang ada hal yang buat kalian membatalkan cerai mungkin itu yang terbaik," hibur ibu. Mendengar penuturan Ibu, aku pun cekikan. Bapak dan Ibu heran melihatku, kenapa aku malah cekikan. "Pak, Bu. Sebenarnya Ratih udah pisah dengan Andre, Ratih sudah ditalak tiga," kataku tersenyum. Ibu memukul lenganku. "Kamu ini, udah bohongi kami. Kalo gitu kenapa tadi sedih?" ucap ibu manyun. "Maaf, Bu. Ratih sengaja untuk beri kalian kejutan. Sekarang kita impas kan," ujarku tertawa. "Sudah, sudah, yang penting kamu bahagia. Kami dukung apapun keputusanmu," sahut Bapak menimpali. Aku melihat orang tuaku membawa tas, pasti mereka berencana menginap. Tapi, restoran ini cuma ada satu kamar itu
Namaku Anton, anak bungsu dari tiga bersaudara. Sedari kecil hidup susah, membuatku harus mandiri sejak dini. Sekolah hanya tamat SD karena orang tua tak mampu membiayai sekolahku. Kedua kakakku juga berhenti sekolah saat kelas sembilan. Disaat sudah putus sekolah, kedua kakakku bekerja membantu perekonomian keluarga. Walaupun hasil tak seberapa tapi sedikit banyak meringankan beban orang tua. Apalagi setelah Ayah telah berpulang ke Rahmatullah. Nyaris tiada yang bantu ibu menopang beban, karena itu kedua kakakku inisiatif berhenti sekolah. Aku yang masih terlalu kecil, hanya bisa membantu ibu di rumah. Seperti memasak dan mencuci serta membersihkan rumah adalah tugasku. Memasak yang ringan seperti menggoreng telur, tempe, aku bisa. Namun, karena sering di ajarkan ibu lama-lama aku bisa memasak yang berat, masak nasi dan sambel. Beranjak remaja, seorang kakakku sudah menikah dan diboyong suaminya. Tinggal aku, kakak kedua dengan ibu, melihatnya semakin tua aku merasa kasihan. Ingin
Singkatnya dalam sebulan kemudian aku melamar Rina. Pernikahan diadakan dengan mewah, dengan tamu undangan seribuan orang. Malam pertama kami lewati dengan tidur, karena aku belum bernafsu untuk menyentuh Rina. Aku belum menaruh hati padanya, Rina pun mengerti dan tidak memaksaku. Begitulah kami lalui hingga satu bulan kami belum juga melakukan hubungan badan. Hingga malam itu, selesai makan entah mengapa gairahku tiba-tiba naik. Aku melihat Rina dengan nafsu yang memuncak. Rina pun paham lalu menarik tanganku ke kamar. Rina mulai membuka satu persatu pakaiannya, hingga tubuh mulusnya terpampang di hadapanku. Tanpa menunggu lama aku menerkam dan menghempas Rina ke ranjang. Terjadilah adegan malam pertama yang sempat tertunda. Esoknya aku bangun kepalaku terasa pening. Setelah sadar aku membuka selimut, ternyata tubuhku tidak memakai pakaian. Rina masih tertidur membelakangi, terlihat dia juga tidak berpakaian. Aku membangunkan Rina. "Rina, bangun! Apa yang terjadi tadi malam," uca
Lima foto kukirim ke nomer HP Rina, sambil menunggu balasannya pasti tak lama karena Rina sering memainkan ponselnya. Benar, tak lama pesan balasan masuk. [Eh, siapa kamu? Apa maksud kamu mengirim foto ini padaku? Kamu mau menghancurkan rumah tanggaku ya?] ditambah emoticon marah. [Terserah kalo tidak percaya, tanya sendiri sana. Dasar bodoh, suami selingkuh dan akan punya anak tetap nggak tau apa-apa kamu!] balasku memakinya padahal aku cekikan pasti Rina emosi dan jantungan melihat foto suaminya. Benar saja, Rina tak ada membalas lagi. Tentu langsung menghubungi Mas Anton menanyakan kebenarannya. Lega perasaanku nampaknya aku jahat telah merusak rumah tangga Rina namun itu juga demi kebaikannya agar dia tau suaminya telah mengkhianatinya. Dua puluh menit kemudian ponselku berdering, aku mengerutkan dahi. Pesan masuk dari Rina. Pasti dia masih penasaran dengan foto itu dan bertanya lagi. [Sebenarnya kamu siapa? Dan mengapa bisa memfoto suami saya?] [Kamu nggak perlu tau siapa
"Winda, kamu ingin makan apa sayang?" tanya Mas Anton pada wanita yang duduk di sebelahnya. "Hum, daging panggang ini boleh Mas?" suara lembut wanita yang dipanggil Winda itu bertanya. Pantas saja Mas Anton menikahinya, dari suaranya sudah nampak selain cantik wanita itu juga lembut, beda jauh dengan si Rina itu. "Boleh sayang, tapi sedikit aja ya! Sayur juga dipilih, biar sehat kan dokter bilang perbanyak makan buah dan sayur," kata Mas Anton perhatian. Sambil menunggu pesanan datang, aku terus mendengar obrolan mereka. Aku sedikit tau kalo istri kedua Mas Anton ini ternyata kenal dekat proyek kerjanya. Kini wanita yang akan bergelar ibu itu ternyata tinggal dengan ibunya Mas Anton. Akan tetapi, mengapa Rina tidak tau? "Mas, apa mbak Rina tau kalo Mas telah menikahiku dan akan punya anak?" "Awalnya dia nggak tau, tapi kemarin entah dari siapa dia mendapat foto waktu kita di rumah sakit. Dia minta jawaban dari Mas, tapi Mas diam aja," sungut Mas Anton. "Kenapa Mas nggak bilang,
Setelah dari rumah Andre, aku menyusul Mas Anton ke rumah sakit. Ingin melihat keadaan Winda, sekalian ingin memberi tahu status baruku. Mobil kuparkir begitu memasuki area rumah sakit, aku turun dari mobil lalu menuju UGD. Terlihat Mas Anton menunggu dengan cemas di depan pintu UGD. "Mas Anton..." Aku tepuk pundaknya. Dia menoleh ke belakang dan terkejut saat mendapatiku berada di sini. "Eh, Ratih," ucapnya gugup. "Bagaimana keadaan Winda, Mas?" tanyaku to the poin. Mas Anton melongo saat aku tanya Winda, mungkin dia kaget aku tau. Aku tersenyum menatapnya. "Aku udah tau, Mas. Winda itu istri kamu kan! Kalian tadi abis dari rumah Rina dan bertengkar," kataku menjawab penasarannya. "Iya, bagaimana kamu tau semua itu? Atau jangan-jangan kamu yang mengirim foto itu sama Rina?" tanya Mas Anton menebak. "Bener, Mas. Waktu itu aku nggak sengaja melihat Mas di rumah sakit. Jadi, aku ingin tunjukkan pada Rina. Selain kasihan pada Rina aku juga ingin memberinya pelajaran," kataku ger
Hari ini rencananya, ibu dan bapak akan balik kampung. Setelah seminggu bersamaku tinggal di restoran, walaupun senang keduanya teringat rumah di kampung tidak ada yang menempati. Jadi, dengan sedikit tak rela aku mengantar menggunakan mobil sendiri. Nova kutugaskan mengawasi dan menghandle restoran karena aku ingin dua hari menginap di rumah tempat aku dibesarkan itu. Lagian aku juga rindu suasana asri pedesaan. Udara yang segar dan suasana sunyi jauh dari kebisingan. "Gimana, ibu dan bapak udah siap?" tanyaku begitu melongok ke dalam kamar. "Sudah, Nak. Tinggal berangkat kita," balas ibu merapikan rambut. Seorang karyawan aku perintahkan membawa tas orang tuaku ke dalam bagasi mobil. Seluruh karyawan juga sudah akrab dengan keduanya, begitu akan pulang semua berebut salaman. Rasa bahagia terpancar dari raut wajah ibu dan bapak. Mobil kukemudikan dengan perlahan dan tidak kencang. Beruntung jalanan tidak terlalu macet jadi perjalanan tidak banyak makan waktu. Bapak duduk di samp
Aku meneteskan air mata mendengar pengakuannya. Teringat memori silam yang mana aku telah salah paham padanya, bahwa kepergiannya ke tempat yang jauh adalah untuk meninggalkan diriku. Namun, Bagas malah telah berniat untuk membuatku bangga dan bisa menerima cintanya. Maafkan aku, Gas. Andai saat itu kamu mau bersabar sedikit, pasti saat ini hubungan kita sudah menjadi suami istri. Akan tetapi semua sudah terjadi, mungkin sudah garis hidupku menikah dengan Andre yang pengkhianat sebagai karma telah melukai hatimu. Terdengar langkah kaki Bagas menjauh dari pintu. Sepertinya dia sudah pulang, mungkin dia merasa aku tidak mau mendengarkan, padahal di balik pintu aku menguping curahan hatinya. "Ratih, tadi ibu mendengar suara Bagas. Kenapa nggak disuruh masuk?" tanya ibu yang keheranan. Gegas mengusap air mata agar ibu tak tau aku sedang menangis karena aku berdiri menghadap pintu. Membalik badan sambil mengangkat tas aku tersenyum pada ibu. "Oh, Bagas udah pulang Bu! Katanya cuma mam