Setelah dari rumah Andre, aku menyusul Mas Anton ke rumah sakit. Ingin melihat keadaan Winda, sekalian ingin memberi tahu status baruku. Mobil kuparkir begitu memasuki area rumah sakit, aku turun dari mobil lalu menuju UGD. Terlihat Mas Anton menunggu dengan cemas di depan pintu UGD. "Mas Anton..." Aku tepuk pundaknya. Dia menoleh ke belakang dan terkejut saat mendapatiku berada di sini. "Eh, Ratih," ucapnya gugup. "Bagaimana keadaan Winda, Mas?" tanyaku to the poin. Mas Anton melongo saat aku tanya Winda, mungkin dia kaget aku tau. Aku tersenyum menatapnya. "Aku udah tau, Mas. Winda itu istri kamu kan! Kalian tadi abis dari rumah Rina dan bertengkar," kataku menjawab penasarannya. "Iya, bagaimana kamu tau semua itu? Atau jangan-jangan kamu yang mengirim foto itu sama Rina?" tanya Mas Anton menebak. "Bener, Mas. Waktu itu aku nggak sengaja melihat Mas di rumah sakit. Jadi, aku ingin tunjukkan pada Rina. Selain kasihan pada Rina aku juga ingin memberinya pelajaran," kataku ger
Hari ini rencananya, ibu dan bapak akan balik kampung. Setelah seminggu bersamaku tinggal di restoran, walaupun senang keduanya teringat rumah di kampung tidak ada yang menempati. Jadi, dengan sedikit tak rela aku mengantar menggunakan mobil sendiri. Nova kutugaskan mengawasi dan menghandle restoran karena aku ingin dua hari menginap di rumah tempat aku dibesarkan itu. Lagian aku juga rindu suasana asri pedesaan. Udara yang segar dan suasana sunyi jauh dari kebisingan. "Gimana, ibu dan bapak udah siap?" tanyaku begitu melongok ke dalam kamar. "Sudah, Nak. Tinggal berangkat kita," balas ibu merapikan rambut. Seorang karyawan aku perintahkan membawa tas orang tuaku ke dalam bagasi mobil. Seluruh karyawan juga sudah akrab dengan keduanya, begitu akan pulang semua berebut salaman. Rasa bahagia terpancar dari raut wajah ibu dan bapak. Mobil kukemudikan dengan perlahan dan tidak kencang. Beruntung jalanan tidak terlalu macet jadi perjalanan tidak banyak makan waktu. Bapak duduk di samp
Aku meneteskan air mata mendengar pengakuannya. Teringat memori silam yang mana aku telah salah paham padanya, bahwa kepergiannya ke tempat yang jauh adalah untuk meninggalkan diriku. Namun, Bagas malah telah berniat untuk membuatku bangga dan bisa menerima cintanya. Maafkan aku, Gas. Andai saat itu kamu mau bersabar sedikit, pasti saat ini hubungan kita sudah menjadi suami istri. Akan tetapi semua sudah terjadi, mungkin sudah garis hidupku menikah dengan Andre yang pengkhianat sebagai karma telah melukai hatimu. Terdengar langkah kaki Bagas menjauh dari pintu. Sepertinya dia sudah pulang, mungkin dia merasa aku tidak mau mendengarkan, padahal di balik pintu aku menguping curahan hatinya. "Ratih, tadi ibu mendengar suara Bagas. Kenapa nggak disuruh masuk?" tanya ibu yang keheranan. Gegas mengusap air mata agar ibu tak tau aku sedang menangis karena aku berdiri menghadap pintu. Membalik badan sambil mengangkat tas aku tersenyum pada ibu. "Oh, Bagas udah pulang Bu! Katanya cuma mam
Ibu menerima dengan senyum mengembang, aku yang melihatnya jadi penasaran kapan ibu menitipkan barang itu pada Bagas. Kok aku tidak tau atau bisa jadi saat itu aku tak ada di dekat ibu. Ah, sudahlah. Lebih baik aku sibukkan dengan urusan bunga ini, telingaku menangkap suara ibu meminta Bagas masuk dan minum teh. Namun, Bagas menolak halus karena ingin pergi lagi ke rumah sakit. "Ratih, aku pamit dulu ya! Mau kerja," ucap Bagas mengagetkan. Aku menoleh dan mengangguk, kemudian kembali melanjutkan kesibukanku. Tanpa menghiraukan kepergian Bagas yang mungkin heran dengan sikapku masih enggan untuk akrab dengannya. Memang kusengaja bersikap demikian, agar tak memberi harapan terus padanya. Aku juga tak ingin pendirian goyah, untuk sementara aku memang ingin sendiri dulu. Setelah terdengar deru suara mobilnya menjauh, bergegas aku masuk ke dalam rumah. Mendekati ibu yang masih membuka bungkusan barang yang dibawa Bagas tadi. Ibu tersenyum lebar. "Ibu nitip apa sih, sama Bagas?" tany
"Untuk acara apa dan di mana?" tanya karyawan dengan ramah. "Acara di restoran mewah yang dihadiri para konglomerat," jawabku sambil menelisik satu persatu gaun yang ditunjuk. "Oh, kalo begitu ikut saya Bu. Bagian sana bagus dan cocok untuk acara yang ibu maksud," kata karyawan butik berjalan ke dalam, aku pun mengekor di belakang. Sampai di dalam aku terperangah, betapa indah gaun yang dipajang. Pasti budget mencapai jutaan, tapi tak masalah toh baru kali ini aku membeli, lagipula bisa kupakai untuk lain waktu. "Nah, bagian ini semua cocok tapi terserah ibu mau pilih model yang mana," ucap karyawan itu tersenyum. Aku ragu mau pilih yang mana, karena semua gaun indah. Ada gaun terusan panjang dan ada yang selutut juga berbagai warna. Mataku terpaku saat menatap satu gaun, aku coba mengambil dari pajangan. Sebuah gaun berwarna hitam yang elegan, panjang gaun hingga sebetis membentuk bodi dengan hiasan ikat pinggang yang unik. "Wah, ternyata pilihan ibu cermat. Gaun ini sangat ind
Mata Andre tak berkedip melihatku. Ya, begitu aku keluar dari kamar ganti dan sudah mengenakan gaun yang akan kupesan. Sengaja aku tidak peduli tatapan Andre dan meminta pendapat karyawan. "Bagaimana, cantik nggak?" tanyaku. "Wah, ibu cantik seperti princess," puji karyawan itu terkekeh. Aku tersenyum mendengar jawabannya. Lalu memutar-mutar tubuhku untuk membuat Lisa iri. Sepintas kulihat Lisa menatap sinis dan bibirnya mencibir. "Baru segitu aja udah belagu, memangnya cuma dia yang bisa beli, cih!" desis Lisa meludah. "Mbak jangan salah ya, gini-gini gaun ini harganya 10 juta loh! Saya tantang mbak beli sekarang juga," ujar karyawan butik mencemooh Lisa. Lisa terbengong mendengar perkataan karyawan itu, merasa dihina Lisa lalu kembali merayu Andre agar dibelikan gaun. Dan mengambil sebuah gaun secara acak tanpa memperhatikan modelnya. Mungkin ingin menunjukkan pada karyawan itu kalo Lisa mampu membelinya. "Mas, aku mau gaun ini. Bayari dong!" "Nggak, gaun itu mahal! Mas ngga
"Ah, masa' sih! Ntar ditertawakan mereka gimana?" "Nggak mungkin lah, Bu. Mereka juga pasti tak percaya kalo ibu udah menikah, lah wong nampak masih muda," kekeh Nova geli. Aku memukul tangan Nova pelan karena gemas. Setelah dekat, aku sengaja berhenti agak jauh agar terkesan sopan. "Maaf, Pak Gunawan. Ini bos saya pemilik restoran ini," sapa Nova pada pria berjas di depan kami. Pria yang disebut Nova berbalik badan dan saat kami saling pandang, aku terkejut. Inikah yang namanya Gunawan Prakoso itu, masih muda. Tinggi, putih, dan terakhir tampan. Ah, kok aku jadi melantur gini. Kukira Gunawan itu sudah tua orangnya, tak disangka ternyata masih muda. Entah sudah menikah atau belum, kalo belum pasti ada kesempatan. Lah, kok aku jadi terus mikir yang tidak-tidak gini. Sadar Ratih, jangan bikin malu. Kamu harus jual mahal agar tidak direndahkan, gumamku dalam hati. Gunawan Prakoso itu menyodorkan tangannya. Nova menjawil tanganku karena aku cuma bengong. "Bu!" Aku tersentak dan sa
Tiba-tiba, dari arah belakang ada suara wanita memanggil lembut Gunawan. Orang-orang memberikan jalan hingga wanita itu sampai di hadapannya. Aku yang melihatnya segera mundur ke belakang tanpa diketahui Gunawan. Tentu saja tidak ingin merusak momen itu, siapa tau wanita itu pacarnya Gunawan jadi tidak sopan jika aku terus berada disampingnya. "Selamat ulang tahun ya, sayang!" Aku yang sudah berjalan ke belakang sedikit mendengar suara wanita itu, hingga saat Mas Gun menjawabnya membuatku terkejut. "Ibu? Kenapa bisa kemari?" Ibu? Jadi wanita itu ibunya Mas Gun, ah sial aku salah sangka. Kupikir itu pacarnya tapi ternyata ... Ah, sudahlah aku terlanjur pergi dari situ. Lagian aku pasti malu jika terus berada di samping Mas Gun. Bisa-bisa ibunya mengira kami pacaran, akhirnya aku lega juga ada baiknya aku cepat menyingkir. Langkahku berhenti saat dari belakang terdengar suara memanggil. "Ratih!" Aku menoleh dan terkejut begitu tau siapa dia. Ah, kenapa harus bertemu dia lagi. Ka
Hari Minggu pun tiba, dari pagi sudah sudah mulai terlihat kesibukan. Para tetangga yang rewang sudah banyak yang berdatangan, membantu memasak di dapur. Sedari malam aku luluran dan memakai inai, sengaja sebelum subuh aku mandi agar segar seharian saat menjadi pengantin. Walaupun sudah pernah menikah tapi perasaan gugup dan tegang itu masih ada. Perias pengantin yang mendandani aku juga tak makan waktu lama karena sudah profesional dan ahli. Hingga Mas Gun dan keluarga besar datang, dimulailah ijab qobul. Aku duduk di sebelah Mas Gun yang dipakaikan selendang putih di kepala. Dengan lancar Mas Gun mengucap ijab qobul, yang dijawab sah oleh penghulu dan hadirin. Acara berlanjut hingga temu pengantin sampai selesai lalu setelah duduk di pelaminan maka anggota perwiritan ibu-ibu yang mendapat giliran marhaban. Bunyi gendang yang ditabuh serta doa dan nyanyian pengantin mengiringi. "Tiara, kamu cantik sayang!" bisik Mas Gun setelah acara selesai. Kami berdua tinggal duduk saja meny
Akhirnya sampai juga di kampung, aku membangunkan Nova yang terlelap tidur. Aku tak bisa tidur sama sekali karena Mas Gun mengajak ngobrol dan tertawa. "Mas, kejadian penculikan ini jangan beritahu pada orang tuaku ya! Tiara nggak ingin mereka jadi khawatir," kataku sebelum turun dari mobil. Mas Gun mengangguk dan mengedipkan matanya. Nova juga sudah kuperingatkan, lalu turun membantu mengambil koper di bagasi. Ibu menyambut kedatangan kami dengan senyum. "Oh, udah sampai kamu Nak! Datangnya kok rame-rame gini?" "Iya, Bu! Tadi sebenarnya cuma Nova yang akan mengantar, tapi Mas Gun minta ikut, katanya kangen sama ibu. Iya kan, Mas!" ujarku terkekeh. Mas Gun gelagapan karena sandiwaraku lalu terpaksa mengangguk juga. Mas Gun pasti tak menyangka aku sampai berkata itu. "Ya udah, ayo masuk dulu. Kebetulan ibu udah siap masak, kita makan dulu. Kalian pasti udah lapar, kan !" ajak ibu. "Assiiaap, Bu!" kelakar Mas Gun. Kami semua tertawa melihatnya, Mas Gun pasti sudah ingin mencicip
"Jadi, kalian bersengkongkol untuk menculikku!" hardikku marah. "Andre, lepaskan aku! Apa kamu nggak takut ditangkap polisi, pikirkan ibumu," sergahku. "Hahahaha ... Kamu pikir Andre akan mendengarkanmu setelah apa yang kamu perbuat pada dirinya. Kamu sungguh licik, dasar wanita penggoda yang merampas kebahagiaan orang!" cemooh Mona mencibir sinis. "Merampas kebahagiaan siapa? Kebahagiaan kamu gitu? Cih, seharusnya kamu tau diri kalo Mas Gun nggak tertarik padamu sedikitpun. Dasar penguntit!" aku kembali mengejeknya. Plak! "Apa kamu bilang? Penguntit? Awalnya aku mengejar Gunawan dan akan mendapatkannya tapi kamu datang merusak semua usahaku. Jadi, kamu harus membayarnya," ucap Mona meninggi. Pipiku yang ditampar terasa sakit dan perih. Kulihat Andre cuma diam saja, aku celingukan mencari Nova. Kemana dia? Nova pasti di tempat lain. "Andre, mau kita apakan ini Ratih?" tanya Mona melirik Andre. Andre cuma diam memandangku, lalu memandang kedua kakiku yang sedikit terbuka hingga
Hari pernikahan tinggal seminggu lagi, persiapan sudah delapan puluh persen. Tinggal menyebar undangan, untuk pesta di kampung memang tak banyak. Sekitar seribu undangan saja, karena kami pun tak banyak kenalan. Di kampung, ibu sudah menelepon memberitahukan persiapan pernikahan. Surat undangan sudah siap dicetak, tinggal menungguku datang untuk mengundang siapa saja. Ibu menyuruhku seminggu sebelum akad, sudah pulang. Aku pun mempersiapkan diri termasuk urusan restoran. Semua karyawan aku liburkan sehari pas pesta pernikahan. Mereka menyambut dengan gembira, setelah mendengar aku akan menikah. Mereka ingin menghadiri pernikahanku, aku bilang nanti saja saat pesta ke dua di gedung. Agar tidak terlalu jauh dari tempat tinggal, mereka pun menyetujuinya. Gegas aku masukkan baju ke koper, selama seminggu aku akan berada di kampung. Setelah seminggu pesta di kampung baru ngunduh temanten di gedung. Nova membantuku membawa koper, lalu memasukkan ke bagasi mobil. Sengaja meminta Nova ya
Mas Gun kembali mengajak ke Mall, membeli barang untuk hantaran nanti. Kali ini aku yang memilih karena aku yang tau ukurannya, seperti mukena set, sepatu, sampai BH dan CD hingga saat aku mengangkatnya Mas Gun memalingkan wajah karena malu. Aku pun tertawa terbahak-bahak. "Oh iya, Mas gimana ranjang dan lemari apa udah disiapkan juga?" tanyaku kepo. "Sudah disiapkan Mama jauh-jauh hari, udah ada di rumah. Apa Tiara mau melihat ke rumah?" tanya Mas Gun. "Boleh, Mas! Tiara juga ingin tau kan blom pernah ke rumah Mas, sekalian ketemu Mama Laras," jawabku. Tentu saja ke rumah Mas Gun juga bagus, barang-barang yang dibeli tadi juga di taruh di rumah Mas Gun dulu. Di bungkus yang cantik untuk hantaran nanti. Setibanya di depan gerbang rumah, lagi-lagi aku melongo. Ini kan bukan rumah tapi istana, indah dan besar. Bahkan halaman yang begitu luas membuat mobil agak masuk ke dalam lagi. Mas Gun memencet mobil, terlihat satpam tergopoh-gopoh membuka gerbang. Mas Gun melajukan mobilnya ma
Hari pernikahan dengan Mas Gun semakin dekat. Rencana setelah sidang cerai selesai, dalam dua minggu Mas Gun akan melamarku. Masa iddahku juga sudah selesai, kusambut dengan bahagia hari yang akan membawaku menuju pelaminan. Ibu sudah balik kampung duluan untuk mempersiapkan pernikahan. Sedangkan aku masih di restoran mengurus segala tetebengeknya. Sesuai musyawarah, pesta pernikahan akan diadakan dua kali. Pertama di kampung dan kedua di gedung. Siang itu Mas Gun datang, seperti biasa akan makan siang. Kali ini dia datang sendiri, sekalian membicarakan pernikahan kami. "Tiara, Mas sungguh senang saat mendengar ceritamu tentang sidang itu. Apalagi Mama udah nggak sabar melihat kita menikah," kata Mas Gun cekikan. "Alhamdulillah, Mas! Sidang berjalan lancar. Gimana persiapan pernikahan kita Mas?" tanyaku menatap pria tampan di depanku. "Untuk mahar, Tiara mau yang mana? Oh iya siap makan kita akan mencari cincin nikah dulu, kamu mau kan?" "Baik, Mas! Kalo gitu Tiara siap-siap dul
"Mama senang bisa ketemu kamu lagi, Tiara!" kata Mama sambil memotong steak daging. "Tiara juga senang, Ma! Mama sehat kan?" "Alhamdulillah, Mama bahkan lebih sehat saat tau akan kemari," kekeh Mama. "Iya, Mama begitu semangat saat akan Mas ajak ketemu kamu dan ibu. Bahkan Mama udah ngomongin soal kita nikah," ucap Mas Gun melirik Mama. Aku cuma tersenyum memandangnya. Sambil makan kita mengobrol, kadang melucu hingga tertawa. "Lah, kan betul ya besan?" tanya Mama memanggil ibuku besan. Mas Gun dan aku melongo. "Iya, besan. Seharusnya mereka berdua yang ngebet, ini malah kita yang nggak sabar," jawab ibu tertawa renyah. Tawa kami meledak mendengar guyonan ibu. Betapa hangat hatiku bila dua wanita yang menyayangiku itu akrab. Wanita yang sama-sama tidak memandang status tapi lebih mengutamakan kebahagiaan anaknya. "Oh, iya bagaimana jalannya sidang perceraian kamu?" tanya Mas Gun. "Insya Allah, besok baru masuk sidang Mas. Ini tadi udah mediasi tapi aku tetap memilih bercerai,
Saat sadar, aku sudah berada di suatu tempat. Aku memandang sekeliling, semua serba putih. Di mana aku? "Kamu udah sadar, Nak?" tanya suara lembut ibu. "Ibu?" "Ya, ibu ke sini karena khawatir. Saat menelepon kamu, tapi nggak kamu jawab lagi. Nova langsung mengabari kalo kamu pingsan." "Aku di mana, Bu?" tanyaku. "Di rumah sakit, tadi Nova yang di sini setelah ibu datang dia baru pulang ke restoran," jawab ibu. Aku bergerak bangun, ibu membantuku duduk. Lalu duduk di kursi sampingku. "Sebenarnya apa yang terjadi sampai kamu pingsan?" tanya ibu khawatir. "Maaf, Bu. Kalo Ratih buat ibu cemas, akhir-akhir ini banyak masalah yang terjadi," jawabku sambil menghembuskan napas. "Memangnya ada apa? Ceritakan pada ibu," pinta ibu. Aku mulai menjelaskan semua, mulai dari masalah Andre, Mona hingga Bagas. Ibu mengangguk mendengarnya dan mengelus lembut tanganku. Memberi kekuatan agar aku bersabar. "Sebaiknya selesaikan masalah kamu satu persatu. Tentang Bagas, ibu rasa kamu tak perlu k
Suatu hari, Mona pernah mendatangi rumah Mas Gun. Kala itu cuma ada Mama Laras di rumah. Dengan nekat Mona bilang pada Mama Laras kalo dia dan Mas Gun pacaran. Sontak Mama Laras terkejut, tapi terlihat tenang. Walaupun curiga tapi Mama Laras menanggapi dengan santai, karena tau Mas Gun pasti cerita jika sudah punya pacar. Mama Laras lalu meminta bukti kalo memang benar Mona pacar Mas Gun. Mona yang awalnya gugup, lalu membuka ponselnya dan menunjukkan foto dia dengan Mas Gun. Akan tetapi Mama Laras cuma tertawa melihatnya, bagaimana mungkin dikatakan pacaran jika berfoto berjauhan. Banyak foto yang ditunjukkan Mona tapi semua sama. Mama Laras pun beranggapan bahwa Mona berbohong dan lebih tepat penguntit. Di dalam foto, banyak suasana dan acara yang dihadiri Gunawan dan selalu ada Mona di sana. Seperti dugaan Mama bahwa Mona hanya ngefans pada Mas Gun. Hingga saat Mama tak percaya, Mona terus memaksa Mama mengakui hubungan mereka. Mama Laras yang kesal pun segera memanggil satpam