"Hahaha! Gambarnya kocak banget, Mas!" "Tapi keren, ih, Mas Juna!" "Iya, bagus banget!" Langkahku yang menaiki tangga terhenti, ketika kudengar canda tawa riang ketiga adikku di hari Minggu pagi. Dengan siapa lagi mereka tertawa kalau bukan dengan kakak iparku? Aku tak bisa melihat apa yang tengah mereka lakukan, sebab aku belum mencapai lantai dua, tetapi sepertinya Juna sedang memamerkan karya seni buatannya. "Kalau kayak gini gimana?" Sejenak terdengar suara pria itu, lalu mereka terdiam, dan akhirnya si kembar kembali tertawa heboh. Tampaknya Juna berhasil mendapatkan hati Disa, Desi, dan Dida dengan kemampuan seninya. Hatiku bimbang apakah aku harus lanjut naik atau kembali turun. Semula aku berniat memanggil adik-adikku untuk sarapan, tapi aku jadi takut kehadiranku akan merusak suasana asyik yang tercipta. Baru kali ini aku mendengar sisi lain dari Arjuna yang bisa membuat orang tertawa. Sepengenalanku iparku yang satu ini jarang tertawa. Ternyata aku belum benar-benar m
"Mohon dukungannya, Mas Yudistira dan Mbak Ashanna!" Aku dan suamiku melongo menyaksikan perempuan di depan kami berdiri sambil memohon, dan sedikit membungkukkan badan. Ia memohon dukungan kami? Kok aku jadi teringat kompetisi menyanyi itu, ya? "Jangan lupa dukung saya, ketik REG FITRI, kirim ke 3456789. Yang banyak, ya!" Rasanya aku pingin bikin yel-yel, "Go, Fitri! Go, Fitri! Go, go!" Padahal kami berdua baru saja menginjakkan kaki di rumah, sepulang kerja, belum sempat mandi pula, tahu-tahu ada tukang tahu, eh, salah, ada tamu maksudnya; tamu istimewa. Kekasih Fitri yang menyelamatkan kami dari suasana canggung ini. "Kamu calon istriku, Fit, aku kakak mereka, jadi kamu nggak perlu panggil mereka mas dan mbak begitu. Panggil nama saja," katanya sedikit memaksa. "Baru pertama ketemu, Mas, baru kenalan. Nggak enak kalau tiba-tiba nggak sopan manggil nama saja, saya belum terbiasa," bantah Fitri dengan lembut tetapi tegas. Terkesan ia masih agak rikuh dengan kami, sedangkan Jun
"Semua cowok sama saja, pembohong! Tidak puas hanya dengan satu wanita!" Niken, adik iparku, datang ke rumah kami tanpa pemberitahuan sebelumnya. Ia marah-marah sambil menangis. Sudah jelas masalahnya mengenai cowok. Reynaldi, teman kuliah sekaligus pacarnya, ketahuan memiliki pacar lain. Kisahnya memprihatinkan ... sekaligus menggelikan, sebab Niken marah-marah sambil menangis dan makan siomay. Katanya ia belum makan siang ini. Niatnya ingin makan, tetapi malah mendapati kekasihnya bersama perempuan lain. "Siapa dia, Rey? Jangan bilang dia saudaramu, nggak mungkin saudara semesra ini. Kamu selingkuh?" todongnya sengit. Reynaldi tak bisa berkata apa-apa, dia gelagapan dengan mulut terbuka dan tertutup seperti ikan di akuarium. Namun, hal yang paling membuatnya jengkel adalah kenyataan bahwa bukan dia yang diselingkuhi. Nikenlah yang menjadi selingkuhan Reynaldi. "Aku pacarnya. Kamu siapa?" tanya Niken kepada si perempuan, karena lelakinya tak berkutik. "Loh, aku pacar Aldi. Kamu
"Kapan kamu mau nurut sama Papa?" Ayah mertuaku bertanya dengan sorot mata dingin. Meskipun pertanyaan itu tidak ditujukan kepadaku, bulu kudukku merinding. Wibawa Pak Pandu memang tidak main-main. Padahal baru Juna yang ditegur oleh ayah mertuaku, belum aku dan Yudis, tapi aku sudah gentar. Jawaban si anak sulung semakin membuat hatiku menciut. "Memang aku harus nurut bagaimana, Pa? Bukannya sudah ada Yudistira yang selalu nurut sama Papa, dan jadi kebanggaan Papa?" Arjuna menanggapi ayahnya dengan sikap tak acuh yang tak kalah dingin. Sepertinya saat ini aku berada di tempat yang salah, aku tak seharusnya mendengarkan perdebatan mereka. Genggaman tangan suamiku yang terasa hangat masih belum sanggup menenangkan kegundahan hatiku. Hanya sorot mata Mama yang sedikit menghibur, seakan meyakinkan aku bahwa Papa tidak akan lepas kendali karena ada dia di sisinya. "Apa maksudmu? Papa membanggakan Yudistira karena ia memang anak yang baik, penurut. Papa berharap dengan memuji Yudistira
"Halah, sama saja itu. Kamu ingin Papa berkenalan dengan perempuan itu, lalu dia akan menghalalkan segala cara agar Papa mau menerimanya, 'kan? Kamu sama saja dengan Arjuna, tidak lagi menghormati Papa," kecam ayah mertuaku. Tampaknya pembicaraan ini tak akan mudah. Pak Pandu masih berkukuh dengan sikapnya. Namun, Yudistira tak semudah itu menyerah. Paling tidak ia ingin memenuhi janjinya untuk membantu kakak tirinya sebisa mungkin. "Pa, Papa sendiri yang ngajarin anak-anak untuk tidak berprasangka, dan membeda-bedakan orang hanya karena warna kulit, status sosial, dan kedudukan yang berbeda dari kita," ucap Yudistira lembut. "Memang, tapi kasus ini berbeda. Ini menyangkut keluarga kita secara khusus." Pak Pandu berceramah panjang lebar soal karier dan reputasi yang selama ini telah ia bangun. Hidup di dunia yang materialistis sekarang memang sulit. Sebaik-baiknya orang kaya, pasti akan melihat status sosial seseorang ketika anaknya mencari pasangan hidup. Ayah mertuaku memang tid
"Aku nggak bisa kalau kayak gitu. Memangnya aku mau melepaskan usaha yang sudah kubangun sendiri?" dengus iparku kesal. "Ya ampun, Jun ....." Yudistira geleng kepala, putus asa. Ia tertawa dengan tangan menyentuh jidat. Aku mengerti kegeraman suamiku, ia nggak habis pikir dengan apa yang ada di kepala Juna. Begitu sulit meyakinkan dia, meskipun saran dan argumen yang disampaikan oleh suamiku sangat masuk akal. Papa yang mulai membuka hati, tak serta merta melunak, dan meloloskan keinginan Juna untuk menikahi sang kekasih. "Kamu boleh berpacaran dengan Fitri, asalkan kamu mau kerja sama Papa. Kerja di resort, jadi karyawan biasa, jadi buruh seperti yang lain," tantang Papa. Juna yang tak menduga perkembangan ini langsung syok. "Nggak ... nggak bisa, Pa! Bagaimana dengan bisnisku? Bagaimana dengan ...." "Itu urusan kamu. Kalau kamu masih menginginkan restu dari Papa, turuti kemauan Papa. Atau kamu nggak usah nikah sama sekali." Pak Pandu memberikan ultimatum yang tak bisa diganggu
"Atas nama Yudistira aku meminta maaf, Mas, kalau suamiku pernah berbuat salah, atau membuat kehidupan Mas Juna tidak nyaman," ucapku dengan perasaan tidak enak. Perkataan Juna cukup mengagetkanku. Selama ini kupikir tidak ada masalah yang cukup berarti ketika keluarga Pak Pandu dan Bu Ani bersatu, setelah masing-masing kehilangan pasangan hidup. Namun, alih-alih kesal atau menunjukkan ekspresi getir, wajah Mas Arjun terlihat berseri-seri. "Kamu tidak perlu minta maaf, Ashanna. Ini tak seburuk yang kamu pikirkan," ucapnya untuk menghilangkan rasa bersalahku. Syukurlah! Aku lega bahwa tidak ada masalah besar dalam hubungan antara Yudistira dan Arjuna sebagai saudara tiri. Pria ini bahkan sudah mulai terbiasa menerimaku sebagai bagian dari keluarganya. Ia tak lagi ragu menggunakan kata aku-kamu, padahal sebelumnya Mas Juna selalu terasa menjaga jarak, seolah kami belum benar-benar menjadi keluarga. "Aku memang selalu lebih dekat dengan Mama ketimbang dengan Papa. Jadi aku sangat sedi
"Kamu kenapa, Sha, akhir-akhir ini jadi lebih pendiam? Kurang makan atau gimana, Sayang?" Yudistira menanyakan keadaanku dengan nada bergurau, tetapi aku bisa merasakan kekhawatirannya yang tidak ada kaitannya dengan makanan. "Hehe. Makan pizza, yuk, Yud," ujarku hanya menanggapi pertanyaan yang terucap. Raut wajah suamiku cerah seketika begitu mendengar jawabanku. "Bilang kek dari kemarin, kalau pingin makan pizza," kekehnya. "Jangan ragu bilang kepadaku jika ada yang kamu inginkan, Sayang. Pasti akan kuberikan bila aku mampu." "Hehe. Terima kasih, suamiku tersayang." Aku tersenyum lebar memamerkan sederet gigi sehat yang kujaga ekstra semenjak menikah. Dan sore itu berakhir dengan kencan kami di Mamania, salah satu kedai terkenal yang menyajikan pizza autentik, dipanggang dengan tungku tradisional. Kami makan pizza lezat, bercanda, dan tertawa layaknya pasangan yang tengah dimabuk asmara. Dan percintaan kami di malam harinya masih menggetarkan gairah yang menggelora. Kupikir d