Di malam yang cerah, suasana hangat dan nyaman menyelimuti Sarah dan Zavar ketika mereka duduk bersama untuk menikmati makan malam di kontrakan sederhana yang mereka tempati.Sementara mereka tengah menikmati hidangan, di antara percakapan ringan, Sarah tiba-tiba menoleh pada Zavar dengan rasa ingin tahu yang memuncak. Dengan penuh keingintahuan, dia mengajukan pertanyaan yang tak terduga mengenai figur penting yang memimpin perusahaan tempatnya bekerja.“Apakah kamu mengenal presdir di kantorku?” tanya Sarah dengan suara yang penuh penasaran. Saat suara Sarah memecah keheningan, Zavar yang tengah menikmati suapan makanannya, tiba-tiba terdiam. Ekspresi terkejut melintas di wajahnya, seolah menangkap pertanyaan itu secara tiba-tiba dan terkejut.Tanpa disadari, secangkir minumannya hampir tumpah saat dia menahan batuk akibat makanan yang hampir masuk ke saluran pernapasannya. Senyap seketika menyelimuti ruangan ketika Zavar berusaha menenangkan diri dari tersedak yang hampir terjadi.
Sarah menatap dengan seksama sosok yang terlihat dari kejauhan. Dia yakin itu Zavar, orang yang sebelumnya dikenalnya dengan baik. Namun, pikirannya terus berputar, mencoba menghubungkan beberapa fakta yang terlihat bertolak belakang.“Zavar, sang Presiden Direktur, tidak mungkin hadir di dua tempat sekaligus. Tetapi, bagaimana mungkin dia dan Presiden Direktur terluka di tangan yang sama pada saat yang sama?” Pertanyaan itu menjadi pancingan bagi keingintahuannya.Tanpa ragu, Sarah merencanakan langkah selanjutnya. Dia berjalan menuju ruang Presiden Direktur. Langkahnya mantap, tapi jantungnya berdebar keras. Ingin mencari jawaban atas teka-teki yang menghantuinya. Tak peduli apakah dia akan terlambat. Sarah sangat penasaran, tak tahan lagi membendung rasa yang ngesuk hatinya.“Apakah di dalam ada orang?” gumam Sarah memperhatikan sekeliling, untuk staf baru, Sarah memang sangat lancang. “Bodo amat!” ucapnya dengan mantap, siap menerima resiko jika ketahuan menyelinap ke ruangan dan
Sarah mundur beberapa langkah, wajahnya tampak pucat. Segala pikiran buruk mulai menerpa pikirannya, membuatnya merasa takut. Dia merasa seolah-olah dia kembali ke masa lalu, saat seseorang mencoba mencelakainya. Bayangan kelam itu membuatnya merasa ketakutan, membuatnya merasa seolah-olah dia kembali ke masa lalu yang kelam.“Jangan mendekat!” teriak Sarah dengan suara yang penuh ketakutan. Suaranya menggema di ruangan itu, membuat Zavar terdiam di tempat. Dia tampak terkejut, tidak mengerti apa yang membuat Sarah merasa takut.Setelah memastikan bahwa Zavar tidak bergerak, Sarah berbalik dan berlari menuju pintu. Dia membuka pintu itu dengan cepat, seolah-olah dia sedang dikejar oleh bayangan masa lalunya. Dan dengan langkah yang cepat, dia segera pergi dari ruangan Zavar, meninggalkan Zavar yang masih terdiam di tempat, bingung dan tidak mengerti apa yang baru saja terjadi.Fando, asisten yang selalu setia mendampingi Zavar, menatapnya dengan tatapan penuh pertanyaan. “Kenapa denga
Di tengah gemuruh jalan yang sunyi, terdengar suara putus asa menerobos keheningan. “Siapa saja, tolong aku!” seru Sarah, suaranya terengah-engah, penuh ketakutan, meminta pertolongan sekuat tenaga. Namun, seruan itu seakan terhanyut oleh gelak tawa keji dari sang preman yang melingkari dirinya. Ekspresi wajahnya begitu gelap, matanya menyimpan keganasan, menatap Sarah yang terjepit, kelemah-lembutan menarik senyum jahat di bibirnya.Sinar lampu jalan yang redup memantulkan bayangan menyeramkan di wajah preman itu, menyoroti kesenjangan kekuatan yang jelas antara mereka. Sarah, dalam keadaan gemetar, mencoba untuk berdiri tegak, namun kakinya gemetar tak berdaya di bawah ancaman yang mencekam.Tawa preman itu semakin menggema, memenuhi udara dengan kepuasan yang ganas. Sementara itu, Sarah semakin terjepit, gelombang rasa takut memenuhi dirinya. Dia mencoba mencari bantuan dengan pandangan mata yang memelas, tetapi keadaannya semakin terperangkap dalam jerat ketakutan.Seketika itu, s
Dalam sekejap, preman tersebut dilumpuhkan oleh gerakan cepat Zavar. Tubuh preman itu terhuyung-huyung, kehilangan keseimbangan, dan akhirnya roboh ke tanah. Dengan pandangan penuh kemarahan, preman tersebut meludahi tanah di depannya, menggertakkan gigi, dan melepaskan umpatan pedas, “Bedebah, brengsek! Sialan kau!” Seruan kasar itu terhambur seperti panah menusuk udara, menciptakan atmosfer tegang di sekitarnya. Makian yang terus-menerus meluncur dari bibir preman yang sekarang terkapar di tanah. Sarah yang menjadi sasaran preman tersebut, hanya bisa menatap preman dengan tatapan tajam, tanpa sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Namun, keheningan itu segera terputus ketika Zavar, pria berwajah tegas yang sebelumnya dengan gesit melangkah maju. Meskipun Sarah telah dilindungi dari ancaman preman, ia tetap terpaku di tempatnya, tercengang melihat kehebatan Zavar yang tak pernah Sarah sangka. Zavar menegaskan pada Fando, “Laporkan mereka pada polisi!” Suaranya menggelegar, member
Zavar memandang Sarah dengan senyum lembut. “Loh? Bukannya tadi kamu mencubit tanganmu sendiri? Aku sengaja membantumu supaya kamu sadar bahwa semua ini bukanlah mimpi,” ujarnya dengan suara yang tenang, mencoba menjelaskan situasi. Tetapi, Sarah merespon dengan ekspresi campuran antara kebingungan dan rasa sakit. Tangannya masih terasa ngilu akibat cubitan tadi. Ia mencoba meredakan rasa sakit dengan mengusap-usapnya perlahan. “Ya, tapi nggak sesakit itu juga kali!” keluh Sarah, wajahnya menunjukkan ketidak percayaan terhadap intensitas rasa sakit yang baru saja dia alami. “Ngilu, tau!” lanjutnya. Zavar mengangguk dengan penuh pengertian, sambil terkekeh. Namun, ekspresi wajahnya berubah menjadi penuh penyesalan. “Maafkan aku karena sudah membuatmu kesakitan,” ucapnya dengan nada rendah, suaranya seperti angin lembut yang mencoba menghapus rasa sakit di hati Sarah. Sarah, meskipun masih merasakan nyeri di tangannya, merespon dengan bijaksana. “Tak apa, jangan ulangi lagi,” ucapny
Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dengan gemerincing pelan. Ina, masuk ke kamar Sarah membawa nampan. Nampan berisi sarapan terhormat diangkat, sementara senyum lembut terukir di wajahnya. Akhirnya, setelah berpikir cukup lama, Ina menemukan panggilan yang tepat untuk Sarah. Dia berharap Sarah suka dengan panggilan itu, meskipun dia tidak yakin apakah Sarah akan menerimanya atau tidak. Ina bertanya dengan lembut pada Sarah yang terlihat begitu terburu-buru di dalam kamar saat mengantarkan sarapan.“Nona mau kemana?” tanya Ina dengan nada penasaran pada Sarah yang tampaknya sedang terburu-buru. Ina menatap Sarah dengan tatapan penuh tanya, mencoba mencari tahu apa yang sedang terjadi.“Ke kantor, Ina,” jawab Sarah tanpa memandang wanita itu. Sarah sibuk membenahi pipinya dengan make up yang sudah tersedia di meja rias, tak terlalu fokus dengan sebutan yang dilontarkan oleh Ina padanya. “Apakah ada pakaian untuk ku?” tanya Sarah lagi, pada Ina, sambil masih sibuk dengan cermin dan kosme
Sarah menoleh ke belakang, mencari asal suara yang baru saja ia dengar. Mata coklatnya membelalak saat melihat sosok yang sudah dikenalnya. Zavar, pria yang selalu membuatnya merasa terganggu beberapa hari ini kini berdiri tepat di belakangnya.“Kenapa wajahmu cemberut seperti itu?” tanya Zavar dengan nada santai. Senyum miringnya membuat Sarah semakin kesal. Zavar terus berjalan melangkahkan kakinya mengikis jarak diantara mereka berdua.Sarah mendengus, “Kamu yang kenapa, tiba-tiba mengapa mencegah diriku bekerja!” ujarnya dengan nada kesal, menunjukkan rasa frustrasinya.Zavar hanya tersenyum, “Sebab kamu tidak cocok menjadi pegawaiku,” jawabnya dengan nada datar.“Maksud kamu?” Sarah merasa bingung dan marah dengan pernyataan Zavar.“Ya, kamu lebih cocok menjadi nyonya Zavar ketimbang menjadi pegawaiku,” ujar Zavar dengan nada serius.Mendengar penjelasan Zavar, Sarah merasa jantungnya berhenti sejenak. Ia merasa panas memenuhi wajahnya. Tiba-tiba, wajah Sarah bersemu merah, mence
Zavar duduk tegang di ruang tunggu rumah sakit, gelisah menanti kabar mengenai keadaan mertuanya. Setelah beberapa saat yang terasa seperti berjam-jam, dokter yang menangani Bagas akhirnya muncul di hadapannya.“Dokter, bagaimana keadaan mertua saya?” tanya Zavar dengan wajah penuh kekhawatiran.Dokter itu melihat langsung ke mata Zavar sebelum memberikan jawaban, “Masih lemah, Tuan. Tetapi saya senang memberitahu Anda bahwa ada kemajuan sedikit dibanding saat pak Bagas di bawa kemari.”Walaupun Zavar merasa sedikit lega mendengar kabar positif, rasa penasarannya masih belum terpuaskan. “Dokter, bagaimana zat aktif itu bisa masuk ke tubuh mertua saya? Apakah beliau mengkonsumsinya?” tanya Zavar, ingin memahami lebih lanjut.Dokter menjelaskan dengan penuh perhatian, “Menurut kami, tampaknya obat itu memang sengaja diberikan, tujuannya untuk merusak sel-sel tubuh secara perlahan. Melihat kondisi pak Bagas yang sangat memprihatinkan.”Pernyataan dokter membuat Zavar tercengang, tidak bi
Sorak-sorai terdengar memecah keheningan senja di pinggir hutan saat seorang wanita memecahkan keheningan itu dengan serunya saat melintasi jalan sepi di dekat hutan yang setiap hari ia lalui menuju arah pulang dari bekerja.“Ya ampun, Sarah! Iya, ini Sarah!” Wajahnya penuh kekhawatiran ketika dia melintas di jalan, menyusuri lorong gelap yang mengarah pulang menjelang senja.Tiba-tiba, desakan bantuan memecah udara, memotong kesunyian senja. “Tolong!” teriak wanita itu, meminta pertolongan dengan nada yang memilukan. Seruannya segera menarik perhatian beberapa warga yang berada di sekitar lokasi, dan mereka dengan cepat mendekat.Seorang warga, penuh kebaikan hati, bertanya, “Ada apa, Bu?” dengan ekspresi keprihatinan di wajahnya.Wanita itu buru-buru menjelaskan, “Ini, tolong bantu saya membawa wanita ini ke rumah sakit, Pak!” Sorot matanya penuh dengan kegelisahan.“Siapa wanita ini, Bu? Dan kenapa? Apakah wanita ini korban perampokan?” tanya seorang warga lain, mencoba memahami si
Zavar terlihat sibuk menandatangani berkas yang disodorkan oleh Fando.“Ada lagi, Fan?” tanyanya seraya menjepit pulpen di antara jari telunjuk dan jari tengah, matanya menatap fokus pada Fando yang berdiri di hadapannya.“Sudah selesai untuk hari ini, Zavar,” tukas Fando sopan, namun wajahnya nampak datar.Zavar mengangguk singkat. Ia gegas bangkit berdiri, berjalan mendekati sang asisten pribadi. “Rekaman CCTV sudah ada di tangan kamu?” tanyanya seraya berjalan melewati Fando.Fando yang ditanya, gegas menyusul di belakang. “Sudah, kamu akan terkejut melihat hasilnya,” tukasnya, merogoh saku jas, kemudian menyerahkan sebuah flashdisk berisi copy rekaman CCTV ke samping kanan Zavar.Zavar menerimanya, menggenggamnya erat tanpa menghentikan langkahnya. Keduanya berjalan beriringan tanpa sepatah katapun menuju pintu keluar.Zavar gegas masuk ke dalam mobil yang telah menunggunya di depan lobi, begitu Fando membukakan pintu penumpang, menutupnya perlahan, kemudian gegas berlari memutar,
“Gak! Itu gak benar, Sarah! Itu semuanya fitnah!” Selena bersikeras. Wajahnya bahkan terlihat berusaha serius, nampak meyakinkan. Namun Sarah yang sudah tahu akal busuk saudara tirinya itu, tidak serta Merta percaya.“Heleh! Jangan berkilah kamu, Selena! Aku yakin banget, kalo kamu lah pelakunya!” tuding Sarah berapi-api seraya menunjuk-nunjuk ke arah wajah Selena.“Aku berani bersumpah, Sarah. Bahwasanya aku tidak pernah melakukan hal bodoh seperti itu!” Selena masih berusaha membuat Sarah terpedaya.“Gak usah ngelak lagi kamu! Mending kamu ngaku aja dengan jujur, apa maksud kamu ngasih kopi itu sama suami aku? Ingat Selena, Zavar itu suami aku, iparmu sendiri. Jadi kamu jangan berpikiran picik dengan berusaha merebut dia dari tanganku! Atau jangan-jangan kamu yang berusaha mengadu domba aku dan Zavar dengan berpura-pura mengaku menjadi mantan kekasihnya!”pekik Sarah murka. Wajahnya bahkan terlihat merah padam.“Sudah aku bilang, kalo aku gak pernah ngelakuin itu! Kamu itu bego atau
Zavar menatap Fando dengan ekspresi serius, memecahkan keheningan dengan kata-kata yang membuat atmosfer ruangan semakin tegang. “Ada orang yang menjebak aku, sengaja memberikan minuman perangsang,” ungkapnya tegas, matanya mencari kepastian di wajah Fando.Terdengar desahan kaget dari Fando. Ia langsung menanggapi, “Astaga, siapa?” Rasa penasarannya terpancar jelas dari setiap kata yang terucap.Zavar mengangguk, memberikan penjelasan lebih lanjut, “Nggak tau, aku tadi kan meeting. Segera kamu periksa CCTV, aku ingin tau siapa pelakunya.” Suaranya penuh desakan, menunjukkan urgensi untuk mengungkap kebenaran di balik insiden yang menimpanya.Fando mengangguk serius, “Mungkinkah itu Lolly?” Ia mencoba menghubungkan benang merah dari kejadian itu dengan sosok yang mungkin terlibat.Zavar merenung sejenak sebelum menjawab, “Entah, aku tak tau.” Ungkapannya penuh dengan ketidakpastian, membuat situasi semakin misterius.Tak lama kemudian, Fando melanjutkan serangkaian pertanyaannya, “La
Suasana di ruangan itu menjadi tegang ketika Sarah melihat gelisah yang meliputi wajah suaminya, Zavar. Dengan rasa concern, ia tak bisa menahan diri untuk bertanya, “Sayang kamu kenapa?” Suara lembutnya memecah keheningan, memperlihatkan kekhawatiran yang mendalam terhadap suami tercintanya.Meski Sarah masih curiga terhadap Zavar, tetapi itu tak mengubah sikapnya pada pria tampan itu.Zavar, yang tampaknya merasa gelisah dan waspada, segera memberikan instruksi pada Sarah, “Sayang, tutup pintunya, katakan pada sekretaris jangan ada yang mengganggu.” Permintaan tersebut disampaikan dengan suara serius dan penuh perhatian. Sarah, tanpa ragu dan dengan penuh ketaatan, segera melangkah ke pintu dan menguncinya rapat, memastikan keamanan ruangan dari mata orang asing.Namun, ketegangan semakin terasa ketika Sarah kembali mendekati Zavar, mencoba memahami penyebab sikap gelisah yang merayap di dalam hati suaminya. “Ada apa?” tanya Sarah dengan suara lembut, mencoba membuka pintu percaka
Langkah kaki Zavar terdengar semakin dekat, seiring dengan detak jantung Sarah yang semakin cepat.Meja di hadapannya menjadi semakin jelas dalam pandangannya, dan ketegangan terasa begitu nyata di udara. Sarah merasakan debaran kencang di dadanya, seperti serangan kecil dari rasa was-was yang merayap dalam benaknya.Langkah kaki Zavar menghasilkan suara yang berat, menciptakan dentuman yang membuat saraf Sarah merespon dengan cepat. Kletak. Kletak. Setiap langkah mengisyaratkan kedatangan sosok yang mungkin membawa segala macam kejutan.“Aduh, gimana ini?” bisik hati Sarah, ketidakpastian memenuhi pikirannya. Kedua kata itu menjadi sepasang mantra yang terus berputar di benaknya. Sementara langkah kaki Zavar semakin mendekat, ruangan itu seakan-akan mengecil, menyisakan ruang sempit bagi ketegangan untuk berkembang.Dalam ketidakpastian yang mencekam, suara langkah kaki Zavar menggema di dalam ruangan, menciptakan atmosfer yang begitu tegang sehingga bahkan udara tampaknya menahan na
Esok pagi tiba dengan udara yang sejuk dan langit yang cerah, menciptakan suasana yang kontras dengan kegelapan yang menyelimuti hati Sarah.Mendekati jam makan siang, diam-diam Sarah datang ke kantor, hatinya dipenuhi kegelisahan yang sulit diungkapkan. Dengan langkah-langkah hati-hati, Sarah memutuskan untuk mengungkap misteri yang merayapi pikirannya.Seiring langkahnya yang mantap, Sarah melangkah menuju kantor suaminya yang berlokasi di pusat kota. Dia memutuskan untuk memilih jalur taksi sebagai sarana transportasinya, berharap dapat mengurangi waktu tempuh dan mempertahankan keberadaannya yang rahasia. Saat taksi itu tiba, dia dengan hati-hati menuruni tangga, memastikan bahwa tidak ada yang memperhatikan langkah-langkahnya yang tersembunyi.“Bismillah. Semoga aku menemukan kebenarannya di sini,” bisik Sarah dalam hati sambil menyesap napasnya yang teratur. “Ini pak, uangnya, kembaliannya ambil bapak saja,” ujar Sarah dengan tegas kepada sopir taksi ketika sampai di tujuan. De
Lena membuka pintu rumah dengan senyuman, melihat putrinya, Selena, yang tampak begitu bersemangat.“Kamu kenapa sayang? Kok girang banget?” tanya Lena dengan senyum penasaran saat baru tiba di rumah mereka.“Mama baru pulang? Aku lagi senang mah,” kata Selena sambil tersenyum cerah.“Senang kenapa?” tanya Lena, menunjukkan rasa penasaran yang sama.“Sebab, rencana kita berjalan lancar, Mah,” kata Selena dengan antusias.“Lancar?” Lena semakin penasaran.“Iya, Mah. Tadi Selena berhasil mengambil foto yang bagus, lalu mengirim pada Sarah. Tau nggak Mah, Sarah langsung nelpon setelah Selena kirim foto itu,pasti dia sakit hati,” cerita Selena sembari membagi cerita dengan penuh semangat.“Dia tidak kenal suara kamu?” tanya Lena dengan nada penasaran.“Nggak, Mah. Sudah Selena filter, jadi nggak akan Sarah kenal,” jelas Selena sambil menjelaskan dengan penuh semangat.Lena menggelengkan kepala, meresapi kata-kata putrinya dengan ekspresi serius. “Baguslah, kalau mama malah nggak berhasil