“Maaf, saya tidak sengaja,” ucap Sarah dengan suara yang penuh penyesalan. Sarah merasa perlu minta maaf meski tak sepenuhnya dia yang salah. Setelah mengatakan maaf Ia berjongkok di lantai, mencoba memunguti berkas-berkas yang tercecer di lantai. Tangannya bergerak cepat, mencoba mengumpulkan kembali berkas-berkas itu sebelum orang lain melihatnya. “Makanya, lain kali kerja yang bener. Jangan cuma santai-santai di lobby!” hardik sosok itu dengan nada tinggi. Kata-katanya terdengar keras, membuat semua orang di lobby menoleh ke arah mereka. Sarah merasa malu. Ia menjadi pusat perhatian di lobby, dan semua orang tampak menatapnya dengan tatapan penasaran. “Iya, tapi tidak sepenuhnya saya yang salah. Anda juga bersalah, karena anda juga bersalah, tidak melihat saya yang sebesar ini, lalu menyenggol hingga saya terjatuh,” balas Sarah dengan nada yang tetap tenang. Ia merasa kesal, sudah minta maaf, masih saja disalahkan oleh sosok itu. “Oh, ternyata gadis kemarin yang bersama Alex,”
Di malam yang cerah, suasana hangat dan nyaman menyelimuti Sarah dan Zavar ketika mereka duduk bersama untuk menikmati makan malam di kontrakan sederhana yang mereka tempati.Sementara mereka tengah menikmati hidangan, di antara percakapan ringan, Sarah tiba-tiba menoleh pada Zavar dengan rasa ingin tahu yang memuncak. Dengan penuh keingintahuan, dia mengajukan pertanyaan yang tak terduga mengenai figur penting yang memimpin perusahaan tempatnya bekerja.“Apakah kamu mengenal presdir di kantorku?” tanya Sarah dengan suara yang penuh penasaran. Saat suara Sarah memecah keheningan, Zavar yang tengah menikmati suapan makanannya, tiba-tiba terdiam. Ekspresi terkejut melintas di wajahnya, seolah menangkap pertanyaan itu secara tiba-tiba dan terkejut.Tanpa disadari, secangkir minumannya hampir tumpah saat dia menahan batuk akibat makanan yang hampir masuk ke saluran pernapasannya. Senyap seketika menyelimuti ruangan ketika Zavar berusaha menenangkan diri dari tersedak yang hampir terjadi.
Sarah menatap dengan seksama sosok yang terlihat dari kejauhan. Dia yakin itu Zavar, orang yang sebelumnya dikenalnya dengan baik. Namun, pikirannya terus berputar, mencoba menghubungkan beberapa fakta yang terlihat bertolak belakang.“Zavar, sang Presiden Direktur, tidak mungkin hadir di dua tempat sekaligus. Tetapi, bagaimana mungkin dia dan Presiden Direktur terluka di tangan yang sama pada saat yang sama?” Pertanyaan itu menjadi pancingan bagi keingintahuannya.Tanpa ragu, Sarah merencanakan langkah selanjutnya. Dia berjalan menuju ruang Presiden Direktur. Langkahnya mantap, tapi jantungnya berdebar keras. Ingin mencari jawaban atas teka-teki yang menghantuinya. Tak peduli apakah dia akan terlambat. Sarah sangat penasaran, tak tahan lagi membendung rasa yang ngesuk hatinya.“Apakah di dalam ada orang?” gumam Sarah memperhatikan sekeliling, untuk staf baru, Sarah memang sangat lancang. “Bodo amat!” ucapnya dengan mantap, siap menerima resiko jika ketahuan menyelinap ke ruangan dan
Sarah mundur beberapa langkah, wajahnya tampak pucat. Segala pikiran buruk mulai menerpa pikirannya, membuatnya merasa takut. Dia merasa seolah-olah dia kembali ke masa lalu, saat seseorang mencoba mencelakainya. Bayangan kelam itu membuatnya merasa ketakutan, membuatnya merasa seolah-olah dia kembali ke masa lalu yang kelam.“Jangan mendekat!” teriak Sarah dengan suara yang penuh ketakutan. Suaranya menggema di ruangan itu, membuat Zavar terdiam di tempat. Dia tampak terkejut, tidak mengerti apa yang membuat Sarah merasa takut.Setelah memastikan bahwa Zavar tidak bergerak, Sarah berbalik dan berlari menuju pintu. Dia membuka pintu itu dengan cepat, seolah-olah dia sedang dikejar oleh bayangan masa lalunya. Dan dengan langkah yang cepat, dia segera pergi dari ruangan Zavar, meninggalkan Zavar yang masih terdiam di tempat, bingung dan tidak mengerti apa yang baru saja terjadi.Fando, asisten yang selalu setia mendampingi Zavar, menatapnya dengan tatapan penuh pertanyaan. “Kenapa denga
Di tengah gemuruh jalan yang sunyi, terdengar suara putus asa menerobos keheningan. “Siapa saja, tolong aku!” seru Sarah, suaranya terengah-engah, penuh ketakutan, meminta pertolongan sekuat tenaga. Namun, seruan itu seakan terhanyut oleh gelak tawa keji dari sang preman yang melingkari dirinya. Ekspresi wajahnya begitu gelap, matanya menyimpan keganasan, menatap Sarah yang terjepit, kelemah-lembutan menarik senyum jahat di bibirnya.Sinar lampu jalan yang redup memantulkan bayangan menyeramkan di wajah preman itu, menyoroti kesenjangan kekuatan yang jelas antara mereka. Sarah, dalam keadaan gemetar, mencoba untuk berdiri tegak, namun kakinya gemetar tak berdaya di bawah ancaman yang mencekam.Tawa preman itu semakin menggema, memenuhi udara dengan kepuasan yang ganas. Sementara itu, Sarah semakin terjepit, gelombang rasa takut memenuhi dirinya. Dia mencoba mencari bantuan dengan pandangan mata yang memelas, tetapi keadaannya semakin terperangkap dalam jerat ketakutan.Seketika itu, s
Dalam sekejap, preman tersebut dilumpuhkan oleh gerakan cepat Zavar. Tubuh preman itu terhuyung-huyung, kehilangan keseimbangan, dan akhirnya roboh ke tanah. Dengan pandangan penuh kemarahan, preman tersebut meludahi tanah di depannya, menggertakkan gigi, dan melepaskan umpatan pedas, “Bedebah, brengsek! Sialan kau!” Seruan kasar itu terhambur seperti panah menusuk udara, menciptakan atmosfer tegang di sekitarnya. Makian yang terus-menerus meluncur dari bibir preman yang sekarang terkapar di tanah. Sarah yang menjadi sasaran preman tersebut, hanya bisa menatap preman dengan tatapan tajam, tanpa sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Namun, keheningan itu segera terputus ketika Zavar, pria berwajah tegas yang sebelumnya dengan gesit melangkah maju. Meskipun Sarah telah dilindungi dari ancaman preman, ia tetap terpaku di tempatnya, tercengang melihat kehebatan Zavar yang tak pernah Sarah sangka. Zavar menegaskan pada Fando, “Laporkan mereka pada polisi!” Suaranya menggelegar, member
Zavar memandang Sarah dengan senyum lembut. “Loh? Bukannya tadi kamu mencubit tanganmu sendiri? Aku sengaja membantumu supaya kamu sadar bahwa semua ini bukanlah mimpi,” ujarnya dengan suara yang tenang, mencoba menjelaskan situasi. Tetapi, Sarah merespon dengan ekspresi campuran antara kebingungan dan rasa sakit. Tangannya masih terasa ngilu akibat cubitan tadi. Ia mencoba meredakan rasa sakit dengan mengusap-usapnya perlahan. “Ya, tapi nggak sesakit itu juga kali!” keluh Sarah, wajahnya menunjukkan ketidak percayaan terhadap intensitas rasa sakit yang baru saja dia alami. “Ngilu, tau!” lanjutnya. Zavar mengangguk dengan penuh pengertian, sambil terkekeh. Namun, ekspresi wajahnya berubah menjadi penuh penyesalan. “Maafkan aku karena sudah membuatmu kesakitan,” ucapnya dengan nada rendah, suaranya seperti angin lembut yang mencoba menghapus rasa sakit di hati Sarah. Sarah, meskipun masih merasakan nyeri di tangannya, merespon dengan bijaksana. “Tak apa, jangan ulangi lagi,” ucapny
Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dengan gemerincing pelan. Ina, masuk ke kamar Sarah membawa nampan. Nampan berisi sarapan terhormat diangkat, sementara senyum lembut terukir di wajahnya. Akhirnya, setelah berpikir cukup lama, Ina menemukan panggilan yang tepat untuk Sarah. Dia berharap Sarah suka dengan panggilan itu, meskipun dia tidak yakin apakah Sarah akan menerimanya atau tidak. Ina bertanya dengan lembut pada Sarah yang terlihat begitu terburu-buru di dalam kamar saat mengantarkan sarapan.“Nona mau kemana?” tanya Ina dengan nada penasaran pada Sarah yang tampaknya sedang terburu-buru. Ina menatap Sarah dengan tatapan penuh tanya, mencoba mencari tahu apa yang sedang terjadi.“Ke kantor, Ina,” jawab Sarah tanpa memandang wanita itu. Sarah sibuk membenahi pipinya dengan make up yang sudah tersedia di meja rias, tak terlalu fokus dengan sebutan yang dilontarkan oleh Ina padanya. “Apakah ada pakaian untuk ku?” tanya Sarah lagi, pada Ina, sambil masih sibuk dengan cermin dan kosme