Selamat membaca, semoga suka ❤
Dalam sekejap, preman tersebut dilumpuhkan oleh gerakan cepat Zavar. Tubuh preman itu terhuyung-huyung, kehilangan keseimbangan, dan akhirnya roboh ke tanah. Dengan pandangan penuh kemarahan, preman tersebut meludahi tanah di depannya, menggertakkan gigi, dan melepaskan umpatan pedas, “Bedebah, brengsek! Sialan kau!” Seruan kasar itu terhambur seperti panah menusuk udara, menciptakan atmosfer tegang di sekitarnya. Makian yang terus-menerus meluncur dari bibir preman yang sekarang terkapar di tanah. Sarah yang menjadi sasaran preman tersebut, hanya bisa menatap preman dengan tatapan tajam, tanpa sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Namun, keheningan itu segera terputus ketika Zavar, pria berwajah tegas yang sebelumnya dengan gesit melangkah maju. Meskipun Sarah telah dilindungi dari ancaman preman, ia tetap terpaku di tempatnya, tercengang melihat kehebatan Zavar yang tak pernah Sarah sangka. Zavar menegaskan pada Fando, “Laporkan mereka pada polisi!” Suaranya menggelegar, member
Zavar memandang Sarah dengan senyum lembut. “Loh? Bukannya tadi kamu mencubit tanganmu sendiri? Aku sengaja membantumu supaya kamu sadar bahwa semua ini bukanlah mimpi,” ujarnya dengan suara yang tenang, mencoba menjelaskan situasi. Tetapi, Sarah merespon dengan ekspresi campuran antara kebingungan dan rasa sakit. Tangannya masih terasa ngilu akibat cubitan tadi. Ia mencoba meredakan rasa sakit dengan mengusap-usapnya perlahan. “Ya, tapi nggak sesakit itu juga kali!” keluh Sarah, wajahnya menunjukkan ketidak percayaan terhadap intensitas rasa sakit yang baru saja dia alami. “Ngilu, tau!” lanjutnya. Zavar mengangguk dengan penuh pengertian, sambil terkekeh. Namun, ekspresi wajahnya berubah menjadi penuh penyesalan. “Maafkan aku karena sudah membuatmu kesakitan,” ucapnya dengan nada rendah, suaranya seperti angin lembut yang mencoba menghapus rasa sakit di hati Sarah. Sarah, meskipun masih merasakan nyeri di tangannya, merespon dengan bijaksana. “Tak apa, jangan ulangi lagi,” ucapny
Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dengan gemerincing pelan. Ina, masuk ke kamar Sarah membawa nampan. Nampan berisi sarapan terhormat diangkat, sementara senyum lembut terukir di wajahnya. Akhirnya, setelah berpikir cukup lama, Ina menemukan panggilan yang tepat untuk Sarah. Dia berharap Sarah suka dengan panggilan itu, meskipun dia tidak yakin apakah Sarah akan menerimanya atau tidak. Ina bertanya dengan lembut pada Sarah yang terlihat begitu terburu-buru di dalam kamar saat mengantarkan sarapan.“Nona mau kemana?” tanya Ina dengan nada penasaran pada Sarah yang tampaknya sedang terburu-buru. Ina menatap Sarah dengan tatapan penuh tanya, mencoba mencari tahu apa yang sedang terjadi.“Ke kantor, Ina,” jawab Sarah tanpa memandang wanita itu. Sarah sibuk membenahi pipinya dengan make up yang sudah tersedia di meja rias, tak terlalu fokus dengan sebutan yang dilontarkan oleh Ina padanya. “Apakah ada pakaian untuk ku?” tanya Sarah lagi, pada Ina, sambil masih sibuk dengan cermin dan kosme
Sarah menoleh ke belakang, mencari asal suara yang baru saja ia dengar. Mata coklatnya membelalak saat melihat sosok yang sudah dikenalnya. Zavar, pria yang selalu membuatnya merasa terganggu beberapa hari ini kini berdiri tepat di belakangnya.“Kenapa wajahmu cemberut seperti itu?” tanya Zavar dengan nada santai. Senyum miringnya membuat Sarah semakin kesal. Zavar terus berjalan melangkahkan kakinya mengikis jarak diantara mereka berdua.Sarah mendengus, “Kamu yang kenapa, tiba-tiba mengapa mencegah diriku bekerja!” ujarnya dengan nada kesal, menunjukkan rasa frustrasinya.Zavar hanya tersenyum, “Sebab kamu tidak cocok menjadi pegawaiku,” jawabnya dengan nada datar.“Maksud kamu?” Sarah merasa bingung dan marah dengan pernyataan Zavar.“Ya, kamu lebih cocok menjadi nyonya Zavar ketimbang menjadi pegawaiku,” ujar Zavar dengan nada serius.Mendengar penjelasan Zavar, Sarah merasa jantungnya berhenti sejenak. Ia merasa panas memenuhi wajahnya. Tiba-tiba, wajah Sarah bersemu merah, mence
Sarah menatap Zavar dengan tatapan kosong, seolah-olah dia tidak mengerti apa yang baru saja diucapkan oleh Zavar. “Aku-aku tak mengerti apa maksudmu,” ucap Sarah dengan suara yang penuh kebingungan.Zavar menghela nafas panjang, mencoba merangkai kata-kata yang tepat untuk menjelaskan maksudnya. Dia menatap Sarah dengan tatapan yang penuh harapan dan cinta. “Aku mau mengadakan pesta pernikahan untuk kita,” ucap Zavar dengan suara yang lembut namun penuh keyakinan.Sarah terkejut mendengar ucapan Zavar. “A-apa?” tanya Sarah dengan suara yang gemetar. Dia merasa seperti jantungnya berhenti sejenak, tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar.Zavar tersenyum melihat reaksi Sarah. Dia meraih tangan Sarah dan menatap matanya dengan penuh kasih sayang. “Aku mau mengadakan pesta, sebab beberapa bulan yang lalu kita menikah sangat sederhana,” lanjut Zavar mengulangi ucapannya. Dia berharap Sarah bisa mengerti maksudnya.Sarah masih terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja dia den
Lena merespons dengan suara yang penuh keyakinan, matanya terlihat terasa pilu. “Saya sangat yakin, Roy,” ujarnya sambil menatap dengan penuh perasaan.Roy langsung menanggapi, “Tentu saja, saya akan segera menyelesaikan permintaan Nyonya.” Pemuda itu, terbiasa dengan situasi seperti ini, tidak akan pernah menolak, terutama ketika ada dorongan dari Lena.Lena memerinci rencananya dengan suara rendah pada Roy, “Baiklah, siapkan dirimu. Kita akan menyewa sebuah kamar di hotel. Aku tidak ingin ada yang mengetahui aktivitas kita. Jika dilakukan di rumah, akan banyak yang melihat kita, tak terkecuali Bagas.” Bisikannya terdengar jelas meski pelan.“Baik, saya akan segera siap,” jawab Roy. Tanpa menunggu lama, pria berusia 35 tahun itu bergerak cepat, seketika menghilang dari taman dan bergegas masuk ke dalam rumah untuk mengganti pakaiannya.Tidak butuh waktu lama, keduanya segera berangkat. Lena sudah menunggu di dalam mobil sejak lama, begitu Roy masuk, mereka melaju dengan cepat menuju
Bagas mendongak, wajahnya mencerminkan rasa penasaran yang tak tersembunyi.“Itu apa?” tanyanya, mata menyipit seolah mencoba memahami objek yang menjadi fokus pembicaraan.Lena menghela nafas, berusaha menjelaskan dengan ekspresi wajah yang gugup. Otaknya berpikir keras mencari alasan yang logis dan masuk akal sebagai penjelasan.“Itu, anu. Tadi aku minta diurutkan sama asisten kamu di kantor, soalnya leherku sakit banget. Mungkin gara-gara salah bantal,” ujarnya, mencoba mencari alasan di balik ketidaknyamanan yang dialaminya.“Oh,” jawab Bagas singkat, sepertinya belum sepenuhnya terfokus pada pembicaraan. Dengan rasa ingin tahu yang masih membayangi, mencoba memecah keheningan, dan mengalihkan topik. “Iya. Lagian Mas ngapain jam segini belum tidur!” tanyanya, berusaha mengalihkan perhatian Bagas.“Nggak tau, mataku sulit sekali untuk terpejam,” jawab Bagas, menunjukkan bahwa mungkin ada hal lain yang mengganggunya.“Tidurlah, sudah larut. Aku juga sudah mengantuk, esok aku mau ke
Setelah Sarah selesai mandi, dia merasa segar dan siap. Di ruang rias, Ina dengan penuh antusias membantu Sarah untuk merias wajahnya. Ina dengan telaten mengaplikasikan berbagai macam make up, menonjolkan kecantikan alami Sarah tanpa membuatnya terlihat berlebihan. Setiap gerakan kuas dan sentuhan tangan Ina terasa begitu presisi, menambahkan sentuhan glamor yang sesuai dengan gaya Sarah.Ketika semua selesai, sebuah senyuman puas terukir di wajah Ina. “Perfect!” ucapnya dengan bangga melihat hasil akhir dari riasan yang telah dibuatnya. Dengan percaya diri, Sarah memandang cermin. Dia terpesona melihat transformasi wajahnya yang semakin bersinar.“Nona Sarah cantik, Tuan pasti akan terkesima melihat Nona,” ucap Ina dengan penuh keyakinan, memberikan semangat pada Sarah.“Tapi mau ke mana?” tanya Sarah dengan ekspresi bingung yang masih terpancar di wajahnya, mencerminkan ketidakpastian akan acara yang akan dihadiri.Sebelum Ina sempat memberikan jawaban atau Zavar merespon, suara k