Kekalutan Alex semakin menjadi, tatkala Damian tidak merespons, tak peduli seberapa kencang Alex berteriak sampai urat-urat pada lehernya keluar. Tangan menghoncangkan tubuh Damian pun serasa percuma, karena lelaki itu tetap saja diam dalam keadaan melemah. Alex memacu semakin kencang kendaraan, demi bisa sampai rumah sakit lebih cepat.Sementara di tempat hiburan malam, Max dan Leon begitu brutal menggunakan seluruh kekuatan tangan dan kaki. Mereka gelap mata menghabisi tiap orang yang ada, tanpa sedikit saja memberikan ampunan. Kematian paling mengerikan diberikan oleh Max dan Leon, sekadar melampiaskan kemarahan atas apa diterima oleh kawan baik keduanya. Teriakan sangat kencang disuarakan oleh Max dan Leon ketika menghajar, itu sanggup menambah kekuatan yang mereka miliki.Sampai akhir di mana jarum jam menunjuk angka tiga, Leon dan Max membiarkan semua dikerjakan oleh anak buahnya. Hati tidak bisa tenang sebelum tahu bagaimana keadaan Damian. Kedua kawan karib ith menyisir jalana
“Ini tidak mengandung alkohol!” seru Leon, menunjukkan botol kosong semalam ditenggak bersama Max. “Bagaimana Damian? Dia sudah bangun?” imbuhnya penasaran.Alex tidak langsung merespons, lelaki itu memilih duduk di kursi panjang berhadapan dengan tempat Max serta Leon yang sudah berserakan sisa makanan juga minuman. “Belum.”“Bukankah kau membutuhkan waktu terlalu lama hanya untuk menjawab seperti itu?!” jengkel Leon, diacuhkan oleh Alex yang lebih memilih ponsel.Leon terlihat berang, hingga kaleng bekas minuman di tangan pun diremasnya sampai remuk. Max tersenyum mengatupkan bibir, kemudian berdiri meregangkan seluruh otot tubuh. “Aku ingin mencari makan, adakah yang ingin ikut?” tanya Max, hanya Leon yang berdiri dengan cepat. “Kau tidak ingin makan?” tanya Leon pada Alex. “He, dinding putih yang dingin dan berjamur, aku sedang bertanya padamu!” sambungnya, menatap arah lelaki yang tetap menunduk memainkan jemari pada layar ponsel. “Aduh, Tuhan. Aku bisa tekanan mental menghadap
Seharian di dalam kamar rawat, Damian tak ubahnya manusia yang tengah tertekan jiwa dan mental. Bagaimana tidak, Ines dan Amanda terus saja memperebutkan perhatian dari Damian, sama-sama ingin menjadi yang utama dan enggan terkalahkan. Damian tidak bisa memilih salah satu, pada akhirnya dia sendiri yang harus pasrah menerima perlakuan keduanya dengan wajah pasrah terpasang.Sama seperti sore hari ini, di mana dokter baru saja memeriksa kondisi luka Damian dengan pengamatan jeli Ines dan Amanda—dua orang yang terus berada di sisi ranjang tanpa bersedia berpindah, kecuali saat ke kamar mandi saja. Sore ini, Ines sengaja meminta koki datang langsung ke rumah sakit membawakan makanan untuk Damian, begitu pula dengan Amanda yang meminta koki pribadi di rumah membuatkan makanan kesukaan sang anak.Ines dan Amanda sama-sama membuka tempat makan dalam kamar, mata semua orang pun mengamati dalam penantian tentang apa yang akan dilakukan oleh Damian sekarang. Ya, lelaki tengah duduk di atas ran
"Bisakah Damian pulang hari ini dan kalian melanjutkan perawatan lukanya di rumah?” tanya Vivian pada dokter, menyentak beberapa orang di dekatnya. “Ini akan jauh lebih baik, dari pada dia dijadikan rebutan dan akan mati lebih cepat,” imbuh Vivian menaikkan kedua pundak pada mata-mata terarah padanya.“Ya, sebaiknya memang begitu.” Alex menyetujui. “Kamu membutuhkan istirahat, jadi akan jauh lebih baik kalau Damian berada di rumah. Aku tidak ingin melihatmu duduk sepanjang malam dan mengabaikan kesehatan.” Lelaki di dekat ranjang itu menatap sang kakak.“Damian akan kembali ke rumahnya!” seru Amanda, semua menoleh padanya. “Akan sangat baik kalau keluarganya yang merawat!” tekannya, menatap tajam Ines—wanita yang enggan membalas dan memilih menghela napas panjang.“Tidak. Damian akan bersama dengan istrinya!” sembur David, wanita di dekatnya langsung menoleh.“Apa maksudmu? Dia sedang hamil, dan tidak mungkin kalau dia akan mengurus putra kita. Belum lagi kalau dia akan mengusir putra
Smpai di rumah, Damian dipapah Alex untuk masuk. Dokter belum tiba, Ines pun meminta pelayan agar menyiapkan kamar untuk suaminya. Wanita itu hendak beralih ke dapur mengambilkan air untuk membersihkan darah yang mengucur pada perut suaminya, tapi lelaki itu mencegah dan meminta agar ditemani duduk di ruang TV saja. Alex pergi keluar rumah, menghubungi Max untuk sekadar mencari tahu keadaan keluarga Damian selepas keributan di rumah sakit, itu pun atas keinginan Ines yang sempat meminta dalam bisikan terhadap adiknya, ketika tadi ingin membantu Damian turun.“Ambilkan air dan kain bersih,” perintah Ines pada pelayan yang mengantarkan minuman.“Baik, Nyonya.” Asisten rumah tangga itu bergerak pergi.“Tunggu di sini, aku akan mengambilkan baju untukmu.” Ines berucap setelah membantu suaminya berbaring.“Tidak perlu,” cegah Damian. “Bisakah tidak terlalu banyak bergerak? Wajahmu terlihat sangat lelah.”“Damian, aku tidak suka dengan bau darah. Aku akan membersihkan lukamu dan menggantika
Dmian memikirkan apa yang hendak dijadikan rencana oleh Vivian terhadap sang ibunda, namun itu tidak memberinya titik cerah walau berjam-jam mempekerjakan pikirannya dengan sangat keras. Damian sengaja menanti di luar rumah kala malam menjelang, disusul sang istri yang sengaja membawakan teh hangat menggunakan kedua tangannya.“Haruskah aku bertanya apa fungsi pelayan dan koki sekali lagi?” tegur Damian, menerima sikap nampan putih bunga sakura dari tangan istrinya.“Kenapa kamu di depan? Pengawal akan mengatakan kalau mereka sudah tiba, tidak perlu menantikan seperti ini.” Ines menemani duduk.“Aku hanya penasaran apa rencana mereka,” sahut lelaki yang memang telah mengisahkan terhadap sang istri, sesuai janji diucapkan untuk menjadikan Ines orang pertama yang mengetahui segalanya.“Sepertinya, keluargamu akan menggunakan situasi sekarang untuk mendapatkan hasil lebih besar.” Ines berkata seraya menghela napas panjang, Damian menautkan kedua alis lebatnya menatap wanita berbalut dres
Damian hening dalam pemikiran, menarik ingatan atas kejadian baru saja dialami. Itu menyakitkan bagi dirinya, ketika mengingat seperti apa keributan antara ibu dan istrinya. Ya, nyatanya Damian lah yang paling terluka dari pertikaian yang terjadi antara Ines dan Amanda, ia juga menyesali tiap untaian kata keras dilayangkan pada sang ibu.Namun, waktu tidaklah bisa diulang untuk kembali pada titik peristiwa di rumah sakit, di mana Damian juga menyesali ketika dirinya tidak mampu berbuat lebih banyak. Perkataan Leon dibenarkan oleh perasaan Damian, sekeras apa pun ia berusaha menjadi imbang antara Ines dan sang ibu, itu tidaklah berguna. Tidak berbeda saat dirinya rela memakan dari keduanya hingga berakhir tersiksa, semua tetap akan berakhir tak jauh berbeda jika terus dilanjutkan.“Baiklah, aku setuju dengan semua yang kalian rencanakan. Tapi, bisakah aku terus memantau mommy? Aku tidak akan pernah bisa tenang kalau tidak mengetahui langsung kondisinya,” ucap Damian setelah memantapkan
Dalam perjalanan kembali pulang, Vivian memahat senyum dan terlihat oleh sang daddy yang tengah mengambil alih tubuh Veli karena ingin pindah ke depan.“Ada apa?” tanya David pada putrinya.“Entahlah, Dad. Aku merasa tidak pernah melihat Damian bahagia seperti ini,” sahut Vivian mempertahankan senyuman. “Aku juga tidak pernah tahu, kalau Ines memperlakukan Damian dengan baik. Sepertinya aku bersalah, karena sempat mengira kalau Ines memperlakukan Damian kejam selama ini.”“Itulah, jangan pernah menilai apa pun hanya dari luar.” David mengulas senyum tak jauh berbeda.“Aku berharap, mommy akan bisa melihat seperti apa Damian bahagia hidup bersama Ines. Aku juga berharap, kalau mommy bisa membuka mata untuk melihat kebaikan Ines. Mereka berdua terlihat saling mencintai. Aku suka saat melihat mereka bersama-sama dan saling mendukung.” Vivian mengingat apa disaksikan di rumah Ines tadi.David tersenyum lebar, tidak lagi menjawab perkataan putrinya. Vivian menyandarkan punggung nyaman, men