“Ini tidak mengandung alkohol!” seru Leon, menunjukkan botol kosong semalam ditenggak bersama Max. “Bagaimana Damian? Dia sudah bangun?” imbuhnya penasaran.Alex tidak langsung merespons, lelaki itu memilih duduk di kursi panjang berhadapan dengan tempat Max serta Leon yang sudah berserakan sisa makanan juga minuman. “Belum.”“Bukankah kau membutuhkan waktu terlalu lama hanya untuk menjawab seperti itu?!” jengkel Leon, diacuhkan oleh Alex yang lebih memilih ponsel.Leon terlihat berang, hingga kaleng bekas minuman di tangan pun diremasnya sampai remuk. Max tersenyum mengatupkan bibir, kemudian berdiri meregangkan seluruh otot tubuh. “Aku ingin mencari makan, adakah yang ingin ikut?” tanya Max, hanya Leon yang berdiri dengan cepat. “Kau tidak ingin makan?” tanya Leon pada Alex. “He, dinding putih yang dingin dan berjamur, aku sedang bertanya padamu!” sambungnya, menatap arah lelaki yang tetap menunduk memainkan jemari pada layar ponsel. “Aduh, Tuhan. Aku bisa tekanan mental menghadap
Seharian di dalam kamar rawat, Damian tak ubahnya manusia yang tengah tertekan jiwa dan mental. Bagaimana tidak, Ines dan Amanda terus saja memperebutkan perhatian dari Damian, sama-sama ingin menjadi yang utama dan enggan terkalahkan. Damian tidak bisa memilih salah satu, pada akhirnya dia sendiri yang harus pasrah menerima perlakuan keduanya dengan wajah pasrah terpasang.Sama seperti sore hari ini, di mana dokter baru saja memeriksa kondisi luka Damian dengan pengamatan jeli Ines dan Amanda—dua orang yang terus berada di sisi ranjang tanpa bersedia berpindah, kecuali saat ke kamar mandi saja. Sore ini, Ines sengaja meminta koki datang langsung ke rumah sakit membawakan makanan untuk Damian, begitu pula dengan Amanda yang meminta koki pribadi di rumah membuatkan makanan kesukaan sang anak.Ines dan Amanda sama-sama membuka tempat makan dalam kamar, mata semua orang pun mengamati dalam penantian tentang apa yang akan dilakukan oleh Damian sekarang. Ya, lelaki tengah duduk di atas ran
"Bisakah Damian pulang hari ini dan kalian melanjutkan perawatan lukanya di rumah?” tanya Vivian pada dokter, menyentak beberapa orang di dekatnya. “Ini akan jauh lebih baik, dari pada dia dijadikan rebutan dan akan mati lebih cepat,” imbuh Vivian menaikkan kedua pundak pada mata-mata terarah padanya.“Ya, sebaiknya memang begitu.” Alex menyetujui. “Kamu membutuhkan istirahat, jadi akan jauh lebih baik kalau Damian berada di rumah. Aku tidak ingin melihatmu duduk sepanjang malam dan mengabaikan kesehatan.” Lelaki di dekat ranjang itu menatap sang kakak.“Damian akan kembali ke rumahnya!” seru Amanda, semua menoleh padanya. “Akan sangat baik kalau keluarganya yang merawat!” tekannya, menatap tajam Ines—wanita yang enggan membalas dan memilih menghela napas panjang.“Tidak. Damian akan bersama dengan istrinya!” sembur David, wanita di dekatnya langsung menoleh.“Apa maksudmu? Dia sedang hamil, dan tidak mungkin kalau dia akan mengurus putra kita. Belum lagi kalau dia akan mengusir putra
Smpai di rumah, Damian dipapah Alex untuk masuk. Dokter belum tiba, Ines pun meminta pelayan agar menyiapkan kamar untuk suaminya. Wanita itu hendak beralih ke dapur mengambilkan air untuk membersihkan darah yang mengucur pada perut suaminya, tapi lelaki itu mencegah dan meminta agar ditemani duduk di ruang TV saja. Alex pergi keluar rumah, menghubungi Max untuk sekadar mencari tahu keadaan keluarga Damian selepas keributan di rumah sakit, itu pun atas keinginan Ines yang sempat meminta dalam bisikan terhadap adiknya, ketika tadi ingin membantu Damian turun.“Ambilkan air dan kain bersih,” perintah Ines pada pelayan yang mengantarkan minuman.“Baik, Nyonya.” Asisten rumah tangga itu bergerak pergi.“Tunggu di sini, aku akan mengambilkan baju untukmu.” Ines berucap setelah membantu suaminya berbaring.“Tidak perlu,” cegah Damian. “Bisakah tidak terlalu banyak bergerak? Wajahmu terlihat sangat lelah.”“Damian, aku tidak suka dengan bau darah. Aku akan membersihkan lukamu dan menggantika
Dmian memikirkan apa yang hendak dijadikan rencana oleh Vivian terhadap sang ibunda, namun itu tidak memberinya titik cerah walau berjam-jam mempekerjakan pikirannya dengan sangat keras. Damian sengaja menanti di luar rumah kala malam menjelang, disusul sang istri yang sengaja membawakan teh hangat menggunakan kedua tangannya.“Haruskah aku bertanya apa fungsi pelayan dan koki sekali lagi?” tegur Damian, menerima sikap nampan putih bunga sakura dari tangan istrinya.“Kenapa kamu di depan? Pengawal akan mengatakan kalau mereka sudah tiba, tidak perlu menantikan seperti ini.” Ines menemani duduk.“Aku hanya penasaran apa rencana mereka,” sahut lelaki yang memang telah mengisahkan terhadap sang istri, sesuai janji diucapkan untuk menjadikan Ines orang pertama yang mengetahui segalanya.“Sepertinya, keluargamu akan menggunakan situasi sekarang untuk mendapatkan hasil lebih besar.” Ines berkata seraya menghela napas panjang, Damian menautkan kedua alis lebatnya menatap wanita berbalut dres
Damian hening dalam pemikiran, menarik ingatan atas kejadian baru saja dialami. Itu menyakitkan bagi dirinya, ketika mengingat seperti apa keributan antara ibu dan istrinya. Ya, nyatanya Damian lah yang paling terluka dari pertikaian yang terjadi antara Ines dan Amanda, ia juga menyesali tiap untaian kata keras dilayangkan pada sang ibu.Namun, waktu tidaklah bisa diulang untuk kembali pada titik peristiwa di rumah sakit, di mana Damian juga menyesali ketika dirinya tidak mampu berbuat lebih banyak. Perkataan Leon dibenarkan oleh perasaan Damian, sekeras apa pun ia berusaha menjadi imbang antara Ines dan sang ibu, itu tidaklah berguna. Tidak berbeda saat dirinya rela memakan dari keduanya hingga berakhir tersiksa, semua tetap akan berakhir tak jauh berbeda jika terus dilanjutkan.“Baiklah, aku setuju dengan semua yang kalian rencanakan. Tapi, bisakah aku terus memantau mommy? Aku tidak akan pernah bisa tenang kalau tidak mengetahui langsung kondisinya,” ucap Damian setelah memantapkan
Dalam perjalanan kembali pulang, Vivian memahat senyum dan terlihat oleh sang daddy yang tengah mengambil alih tubuh Veli karena ingin pindah ke depan.“Ada apa?” tanya David pada putrinya.“Entahlah, Dad. Aku merasa tidak pernah melihat Damian bahagia seperti ini,” sahut Vivian mempertahankan senyuman. “Aku juga tidak pernah tahu, kalau Ines memperlakukan Damian dengan baik. Sepertinya aku bersalah, karena sempat mengira kalau Ines memperlakukan Damian kejam selama ini.”“Itulah, jangan pernah menilai apa pun hanya dari luar.” David mengulas senyum tak jauh berbeda.“Aku berharap, mommy akan bisa melihat seperti apa Damian bahagia hidup bersama Ines. Aku juga berharap, kalau mommy bisa membuka mata untuk melihat kebaikan Ines. Mereka berdua terlihat saling mencintai. Aku suka saat melihat mereka bersama-sama dan saling mendukung.” Vivian mengingat apa disaksikan di rumah Ines tadi.David tersenyum lebar, tidak lagi menjawab perkataan putrinya. Vivian menyandarkan punggung nyaman, men
Hari demi hari bergulir Minggu serta bulan, Damian semakin menunjukkan sikap posesif terhadap istrinya. Bahkan, lelaki yang sudah memusatkan lebih banyak energi pada pencapaian bisnis itu, kerap mencerca tanya pada sang istri sesaat dirinya kembali bekerja. Tentang siapa saja yang berhubungan dengan istrinya melalui sambungan telepon dan apa saja yang dilakukan sang istri ketika di rumah, itu tak pernah absen diulang.Jika ketika perut masih belum terbentuk sempurna Ines sesekali keluar mendatangi pertemuan penting, tidak untuk kali ini di mana kandungan sudah berusia tujuh bulan kurang lima hari. Ines bekerja dari rumah, mempercayakan segalanya pada Alex, walau tidak sepenuhnya karena memang perjanjian harus melewati persetujuan dirinya lebih dulu.Ya, meski perut membesarnya membuat sedikit kesulitan bergerak, tidak tahan duduk lebih lama dan kerap merasakan sakit pada area punggung serta pinggang, tetap Ines tidak mengabaikan tanggung jawab atas apa yang sudah dibangunnya dengan ke
Cukup singkat untuk Damian berulah seperti anak kecil hari ini, karena sang istri memaksanya untuk cepat bersiap dan menghadiri pernikahan Alex. Ya, meski sebenarnya Damian ingin sekali dibujuk, tapi sendirinya juga tidak memiliki pilihan lain setelah mengingat nama besar Ines turut dipertaruhkan hari ini.Wajah cemberut tidak bisa dipalsukan dengan senyuman, Damian menggendong putrinya seraya berjalan menemui keluarga besar yang telah bersiap menjadi saksi terucapnya janji suci Alex pada wanita pilihan hatinya sendiri. Orang-orang yang diminta mempersiapkan dokumen pernikahan pun telah menanti di kediaman Ines, bersama pria paruh baya yang akan menikahkan dua insan saling mencinta yang kini tengah dirundung gugup luar biasa.Ines mendekati adiknya bersama Damian, sekadar memeriksa pakaian dari lelaki yang tampak lesi kali ini. Dasi melingkar pada leher Alex dirapikan oleh Ines, berganti kemeja serta jas. Hal itu tentu saja mengundang perhatian semua orang, di samping tanya tentang wa
Ines tersenyum membelai sisi wajah kanan adiknya, kemudian memberikan kecupan paling hangat pada kening sang adik. “Aku merestui setiap kebaikan yang akan kamu lakukan.”Alex membalas senyum semringah, mengangkat sedikit tubuh dan memeluk kakaknya. “Terima kasih banyak, karena sudah bersedia menjadi orang paling berarti dalam hidupku. Terima kasih untuk semua yang sudah kakak berikan padaku, itu lebih berharga dari apa pun yang ada di dunia ini.”“Aku jauh lebih berterima kasih padamu, karena sudah bersedia menerimaku apa adanya dan melindungiku selama ini. Aku sangat menyayangimu, Alex.” Ines menyapu punggung lebar adiknya. “bisakah aku meminta sesuatu darimu?Alex melepaskan pelukan, menatap tanya pada wanita cantik yang turut mengarahkan biji mata terhadap dirinya. “Katakan saja, kalau memang aku bisa untuk memenuhinya, aku akan sangat bahagia.”“Bisakah kamu tinggal di rumah ini meski sudah menikah?” tanya Ines lirih. “Bukan karena aku ingin menguasai, atau memantau kalian. Tapi,
Satu setengah jam berlalu, Damian tiba di kediaman istrinya bersama Leon juga Max. Ketiganya terburu-buru masuk, melihat Alex sudah bergabung dengan lainnya dan terpancing kesal merapatkan gigi kompak.Damian menghampiri istrinya, memeluk dan mencium di hadapan semua orang, lalu mengambil alih tubuh putrinya yang tengah sibuk berusaha memasukkan jari ke mulut.Leon menyapa kedua orang tuanya, di mana Vivian dan Veli sudah bergabung bersama David juga Amanda serta kedua orang tua Max. Arthur pun menjadi bagian dari perbincangan keluarga yang berkumpul tanpa kabar, hingga membingungkan tiga sahabat yang kini saling beradu mata menunjuk siapa yang akan bertanya.“Kami di sini karena mendengar kabar kurang mengenakan!” seru ayah kandung Max, melirik pada Damian.“Aku?” Damian merasa sendiri. “Memangnya ada apa denganku?” bisiknya pada sang istri.“Kamu sudah tidak menganggap kami keluarga, sampai menikah tanpa memberitahu! Haruskah kami mengetahui dari keributan kalian tadi malam?!” tekan
“Kau memang orang paling menyusahkan yang pernah kutemui seumur hidup!” tekan Alex menyiratkan murka dari wajah serta binar mata, lalu pergi meninggalkan ruang di mana kakaknya memperhatikan tanpa berusaha mencegah. Louisa berdiri, hendak menyusul Alex. Akan tetapi, Ines melarang perempuan itu.“Biarkan dia sendiri, dia butuh waktu untuk berpikir. Beberapa hari ini dia sudah banyak tertekan dalam kebingungan, aku minta padamu untuk tidak mengusiknya sekarang.” Ines mengatakan tanpa ekspresi pada Louisa.“Maaf,” pilu Louisa.“Tidak ada yang membutuhkan kata maafmu, jadi simpanlah. Tidak semua hal bisa diselesaikan dengan kata maaf, Louisa. Ucapan yang tidak tepat, hanya akan memunculkan banyak masalah yang tidak perlu. Pelajari hal itu, sebelum kau hanya tahu berkata tanpa berpikir.” Ines menekan meski nadanya cukup tenang. “Duduklah, itu akan jauh lebih baik sekarang.” Ines menghela napas berat, Arthur menyapu punggung keponakannya.“Temani Ellyn, aku akan membantu suamimu dari sini.
Keesokan pagi, Damian sengaja menghampiri Alex ke rumahnya ketika tak menemukan lelaki itu di rumah. Langsung saja Damian menerobos, karena penjaga juga sudah tahu siapa dirinya. Pelayan yang menyambut di depan menjawab tanya keberadaan tuannya, Damian langsung masuk dan menuju kamar ditempati Alex. Tanpa mengetuk lebih dulu, lelaki berpakaian santai itu membuka pintu kamar, keterkejutan hebat dirasakan ketika melihat adanya dua orang tengah berada di atas ranjang sama.“Oh, Tuhan mataku!” seru Damian kencang, membangunkan dua orang masih terlelap dalam jarak dekat.Louisa dan Alex terbangun, di mana adik Ines itu mengangkat sedikit kepala dan mengintip, kemudian merebahkan kembali kepala begitu tahu siapa yang datang. Alex melenguh panjang, turun dari ranjang dan mengusap wajah dengan kedua telapak tangan. Pintu sudah ditutup kembali oleh Damian, menyisakan celah sekitar lima sentimeter.“Aku akan menemuinya,” ucap Alex, pada perempuan yang terlihat kaget dalam nyawa belum terkumpul.
“Jangan hanya diam, katakan apa yang harus kulakukan!” Suara kencang menyambar-nyambar, mengejutkan Alex dan membuka kedua matanya.‘Oh, Tuhan! Apa yang baru saja ada di kepalaku?’ batin Alex, napasnya tersengal. Lelaki itu menyapu dada berulang, mulut membola dijadikan sarana pertukaran udara.Alex menatap arah Louisa, kemudian berbalik dan keluar dari kamar mandi. Pintu ditutup kencang olehnya yang kini menyisir kamar sembari menoleh ke kamar mandi telah tertutup rapat.“Sepertinya aku memang sudah tidak waras!” umpat Alex, keluar dari kamar dan memutuskan untuk menghubungi Vivian.Cumbuan gila yang dilakukan pada Louisa, memanglah angan semata yang berkeliaran di kepala Alex. Entah mengapa hal itu sampai hadir, terpenting adalah sekarang ia terselamatkan dari fantasi yang memang tidak harus disalurkan.Alex menenggak sebotol air dingin untuk menyadarkan dirinya sendiri, sembari menanti jawaban dari panggilan yang tengah disambungkan. Alex mengakui keindahan tubuh Louisa sekarang, i
Damian menyerahkan telepon genggam masih terhubung dengan Vivian, lelaki di hadapannya tidak langsung menerima. Damian tidak memiliki kesabaran, ia menekan pengeras suara dan menggeletakkan ponsel di atas meja.“Bicaralah, kayu kering pasti mendengarnya!” ujar Damian pada sang kakak.“Alex, tolong aku kali ini saja. Louisa sedang mabuk, dan dia tidak ingin diantar siapa pun. Max dan Leon tidak berani menjemput, mereka takut dihabisi olehmu. Mustahil kalau aku yang pergi, mommy tidak akan mengizinkannya!” cerocos Vivian di ujung panggilan.“Kau memiliki pengawal, minta saja mereka yang menjemput. Aku sedang sibuk,” jawab Alex tanpa menghentikan pena di tangan kanan mencoret-coret dokumen.“Pengawal juga seorang laki-laki, bagaimana kalau mereka kemasukan setan dan melakukan hal yang tidak-tidak pada Louisa? Ayolah aku mohon, jemput dia sebelum hal buruk terjadi!” Vivian menggebu cemas. “Kalau kamu yang melakukan hal macam-macam tidak masalah, karena kalian saling mencintai! Tapi, berbe
Alex hening, tatapannya meredup. Ines menarik senyuman, menunjukkan cincin yang pernah diberikan oleh adiknya ketika di rumah sakit, dan kini diletakkan pada jari manis berbeda dengan cincin nikahnya. Sesuatu yang diambil Alex di rumah bersama Louisa, adalah cincin serta kalung berliontin biru milik mendiang ibunya, yang kini telah diserahkan pada sang kakak.“Bukankah kamu menitipkan ini untuk diberikan pada orang yang tepat?” lembut Ines. “Liontin yang aku pakai, memang dititipkan untukku. Tapi, cincin yang sekarang di jariku, bukanlah milikku.”“Itu karena aku tidak ingin menikah,” sahut Alex tetap menurunkan pandangan.“Aku memahami hal itu, Alex. Aku juga tidak akan memaksamu untuk mengubah keputusan demi siapa pun, karena melakukan apa pun dengan alasan orang lain tidak akan pernah membuatmu bahagia,” ucap Ines. “Tapi, sebagai kakak aku hanya akan memberimu sedikit nasihat, tanpa berniat untuk menekanmu sama sekali. Aku tahu kalau kamu lebih bijaksana dariku, dan bisa mengambil
Tiga hari Ines berada di rumah sakit bersama buah hati tercinta, tanpa pernah ditinggalkan oleh orang-orang yang terus mencurahkan perhatian serta kasih sayang layaknya keluarga. Bayi yang diberi nama Gracellyn Amora Xander oleh kakek neneknya itu, juga tidak memiliki masalah kesehatan apa pun meski lahir dengan hitungan bulan yang kurang.Bayi yang disepakati untuk dipanggil Ellyn itu mendapat sambutan luar biasa dari para pekerja di kediaman Ines. Ucapan sambutan terangkai indah dengan balon warna-warni, serta acara sederhana dipersiapkan, berhasil membuat Ines haru. Semua itu adalah ide dari seluruh pekerja, yang disetujui oleh Damian juga Alex.Kali ini, Ines menghapus seluruh batas antar dirinya, pengawal, koki serta pelayan dan pekerja taman rumahnya, membiarkan semua bergabung dalam acara yang mereka persiapkan. Keluarga Xander ada di sana, begitu pula dengan Louisa yang memang tidak pernah absen dalam upaya meluluhkan hati Alex, walau belum kunjung berhasil sampai detik ini.A