Litha, Genta dan Rama mengantar Guntur sampai ke mobil. Senyum ayah mertuanya senantiasa merekah kala membicarakan bisnis dengan Guntur. Sesekali Rama akan menyelipkan tentang investasi dari perusahaan Guntur. Namun, Guntur mengatakan mereka belum memiliki keputusan pasti—di mana mereka akan menaruh investasi. Jadi, setelah ini Rama akan memastikan bahwa proposal proyek yang mereka kembangkan lebih menguntungkan dari perusahaan lain.Setelah mobil Guntur melaju, Litha kemudian mengantar ayah mertuanya dan Genta ke mobil karena kedua orang itu menaiki mobil yang sama.“Selamat malam, Pa, Kak Genta,” ujar Litha, masih berdiri di luar badan mobil.“Kamu juga harus segera pulang.” Rama berpesan dengan nada hangat.“Litha mengerti, Pa. Titip salam buat Mama.”Setelah Rama mengangguk kecil, kaca mobil dinaikan dan mobil hitam metalik itu pun melaju. Litha membalik badan sebab tahu seseorang masih menunggunya di dalam sana. Bukan Jeremy, melainkan Hani. Wanita itu lebih muda 2 tahun dari L
Devita mengatupkan mulut ketika pertengkaran Kalandra dan Rosella terjadi. Merasa gentar dan tak mampu menghadapi situasi itu. Kegelisahan pun membuat Devita tak dapat memejam tenang. Jadi, hanya satpam yang tahu bahwa dia keluar mengendarai mobil sampai saat ini belum kembali.Meski tahu berkendara tanpa tujuan, Devita terus menginjak pedal gas dan berkeliling di kota. Dia pun menyadari sudah berkendara lumayan jauh dari kediaman dan dari posisinya sekarang, tak jauh di depan sana merupakan kantor Kalandra. Devita ingat ada sebuah kafe di seberang kantor Kalandra dan memutuskan menepi lalu memarkirkan mobil di depan kafe tersebut. Lampu kantor Kalandra masih menyala dan beberapa orang keluar dari sana. Kemungkinan besar mereka sedang lembur.Netra gadis itu juga melihat sosok lelaki yang baru dikenalnya kemarin. Namun, sayang pria itu sama sekali tak menoleh ke arah kafe. “Selamat datang, silakan dilihat menunya,” ujar pramusaji setelah Devita duduk di sebuah meja dekat dinding kac
Sejak hari itu Kalandra sudah merencanakan kunjungan ke keluarga Guntur. Kalandra menunggu sampai keluarga Guntur menerima kunjungan. Orang kediaman menelepon Kalandra tengah malam untuk memberi kabar, bahwa Guntur menyuruh mereka datang.Dia dan Litha juga sudah menyiapkan beberapa hadiah sejak dua hari lalu. Kala menyadari Litha kembali gugup, Kalandra mengusap lembut punggung Litha.Kalandra mengulurkan tangan pada Gemini. Gadis kecil itu terlihat mengedarkan pandangan pada halaman rumah kakeknya yang lebih luas dari kediaman Rama.“Jadi dulu Mama tinggal di sini,” ucap gadis kecil itu, “rumahnya bagus, ya.”Litha menunduk seraya meletakkan tangan di atas bahu Gemini. “Kita akan sering datang ke sini bersama Papa.” Biarpun belum pasti mereka akan diberi kesempatan untuk datang lagi, tetapi Litha merasa yakin.Kalandra menekan bel pintu, dan beberapa saat kemudian pintu berdaun ganda tersebut perlahan terbuka. Seorang asisten rumah menyapa mereka dengan senyum ramah. “Selamat datan
Lantas Kalandra mengikuti Guntur dan Gemini ke lantai atas. Sementara itu, di ruang tamu masih tersisa tiga orang. Jeremy menarik napas lega menahan suasana tadi yang sedikit menegangkan, menurutnya. Pria itu lebih khawatir ketika ayahnya tergelak daripada marah-marah, karena sang ayah akan lebih tak bisa ditebak.“Kak, jangan cemas. Kayaknya Papa suka sama Gemini. Jelas dong, kan Gemini cucunya Papa.” Jeremy berusaha menenangkan Litha yang nampak mematung.“Bukan itu yang aku pikirin,” sahut Litha seraya melirik pada Elvira. Sejak tadi wanita itu berpura-pura sibuk, padahal tak melakukan apa pun. Litha menduga sejak bertemu terakhir kali di pantai, Elvira jadi semakin kesal padanya. “Gimana kabar Mama sekarang?”Elvira menoleh sejenak pada Litha. “Masih sama seperti sebelumnya.” Dia mengisyaratkan kalau kegundahannya belum teratasi juga. Lain hal dengan Jeremy yang mengartikan ibunya berkata baik-baik saja.“Mama itu rajin olahraga, Kak dan rutin cek kesehatan,” timpal Jeremy.“Jer,
Gaun hitam membalut tubuh ramping Hani, dipadukan dengan high heels berwarna senada. Polesan wajah wanita itu sedikit lebih dewasa daripada biasanya. Hani membawa langkah memasuki kediaman utama.Kedua kelopak Jeremy tak berkedip tatkala memperhatikan penampilan Hani. “Kak Hani dari mana?”“Apartemen,” sahutnya datar. “Berpenampilan seperti itu cuma buat pulang ke rumah?” tanya Jeremy lagi.Hani mendelik kesal. Entah kenapa dia merasa Jeremy lebih cerewet daripada biasanya. “Iya. Mau tanya apa lagi?”“Tidak ada lagi yang aku tanyakan. Tapi, penampilan Kak Hani kelihatan … hm … gimana ya bilangnya—”Hani berdecak dan berpikir untuk melempar pouch ke wajah menyebalkan Jeremy. Dia segera memotong ucapan Jeremy yang bertele-tele, “Minggir sana.” Jejak kaki Hani segera melewati Jeremy. Raut kesal wanita itu tak dapat ditutupi oleh polesan wajah dewasa. Jeremy puas melihat ekspresi itu.“Oh, ya, aku baru ingat. Dandanan Kakak kayak orang yang mau pergi ke klub malam. Kakak mau pergi ke klu
Senyum Hani lenyap dibarengi dengan mata membelalak begitu tatapannya beradu dengan mata dingin Litha. Bukankah sudah jelas dia meminta Kalandra datang ke kamar ini tanpa sepengetahuan siapa pun. Harusnya lelaki itu tetap di sini.Lantas mengapa Litha bisa ada di kamarnya sekarang dan di mana Litha menyembunyikan Kalandra?“Kenapa syok begitu? Dekorasi kamar kamu cukup, sederhana ya. Ya, namanya juga kamar jarang dipakai. Karena sudah terlalu lama, aku lupa kamarku yang mana, jadi aku masuk ke sini deh,” kata Litha kala meraba buku-buku di dalam rak.Hani menghela napas kesal. “Jangan basa-basi lagi. Gimana kamu tahu kalau suami kamu ada di kamar ini?” Dengan gamblang Hani bertanya. Dia terlalu malas untuk pura-pura tak tahu di depan Litha.Litha tersenyum tipis. Semua berkat pesannya pada Jeremy. Lelaki itu panik saat kembali dari kamar mandi dan menemukan Kalandra tak ada di ruang tamu. Karena takut mengecewakan sang kakak, Jeremy pun pergi ke ruang keamanan guna melihat kamera peng
Devita sengaja menunggu di tempat parkir perusahaan Kalandra. Sengaja tak memberitahu Arvin supaya terlihat seperti kebetulan. Setiap kali ada karyawan pria yang keluar dari gedung itu, Devita menajamkan penglihatan.“Duh, apa mungkin dia tidak lembur malam ini?” Dia bertanya pada dirinya sendiri. Sebab Devita sudah berdiam di sana selama lebih dari 30 menit. “Ini salahku karena tak mencari tahu dulu. Apa aku tanya Kak Kalandra aja? Aku tanya nomor handphone Arvin gitu?” Devita segera menghilangkan pertanyaan itu dari pikirannya. Apa yang akan dikatakan Kalandra nanti. Devita bisa diejek habis-habisan.“Ow! Mikirin aja buat aku merinding.”Senyum Devita mengembang kala sosok yang ditunggunya keluar dari pintu gedung. Pria yang selalu rapi dengan suit putih membalut tubuh tingginya.Dia segera menyalakan mobil, melaju pelan sampai ke depan gedung. Kemudian membuka jendela mobil.“Hai, Pak Arvin!”“Devita? Ngapain di sini?” Arvin melangkah lebih dekat ke mobil gadis itu seraya sedikit
“Apa katamu? Kamu sudah mengandung 6 bulan, Litha?!” Guntur yang gelap mata mendengar pernyataan putri sulungnya, menampar Litha dengan begitu keras sampai-sampai badan Litha terhuyung.Karena Litha ingin mempertahankan bayi itu, dia menyimpan rahasia tersebut selama enam bulan. Semakin besar kandungannya, membuat Litha harus jujur pada orang tuanya.“Anak durhaka. Anak kurang ajar! Anak tidak tahu diri! Tidak bermoral!” Guntur mencaci habis-habisan dan sekali lagi melayangkan tamparan. Tubuh Litha terhuyung, tangannya dengan cepat mencengkram lengan sang ibu. Untung saja Litha tak jatuh ke lantai, jika tidak ia bisa kehilangan bayinya. Elvira membantu Litha lalu berdiri di depannya seperti tameng. Sementara Jeremy merengkuh kaki sang ayah sambil berteriak.“Jangan sakiti Kak Litha, Pa! Jangan!” Jeremy menangis ketakutan. Namun, hanya ada satu orang yang terdiam mematung menyaksikan keadaan itu, seolah-olah tak ada hubungannya dengan dia.“Jangan membela anak kurang ajar ini! Kita mem